Rabu, 15 Juli 2015

REVOLUSI MENTAL DENGAN BERPUASA



 
Refolusi Mental
Istilah “Revolusi Mental” pertama kali dipopulerkan oleh Karl Marx yang bertumpu pada perubahan mental kaum proletar menjadi kaum progresif. Pertengahan 2014 dalam suasana politik Indonesia yang memanas, kembali di kumandangkan istilah “Revolusi Mental”, dan hari ini menjadi bagian dari nilai perjuangan bangsa karena dianggap menjadi pola, cara dan metode membangun kembali nilai-nilai Pancasila. Refolusi mental dilaksanakan melalui internalisasi nilai-nilai esensial pada individu, keluarga, insititus sosial, masyarakat sampai dengan lembaga-lembaga Negara. Nilai-nilai esensial meliputi etos kemajuan, etika kerja, motivasi berprestasi, disiplin, taat hokum dan aturan, berpandangan optimistis, produktif, inovatif, adaptif, kerja sama dan gotong royong, dan berorientasi pada kebajikan publik dan kemaslahatan umum.
Defenisi ini terkesan kabur namun hematnya revolusi mental merupakan upaya mengubah karakter building masyarakat Indonesia tanpa pertumpahan darah, khususnya berkaitan dengan mind [kesadaran persepsi dan pikiran]. Langkah ini mengharuskan tranformasi kebudayaan yang progresif terhadap pengetahuan teknologi dan ekonomi, [dan juga harus] ekspresif terhadap kesenian dan kebudayaan yang dimiliki. Revolusi mental menjadi semboyan perjuangan yang harus diperjuangan karena bagi pemimpin saat ini, disinilah letak masalah bangsa Indonesia. Namun menyimak materi oleh berbagai sumber dalam Musrenbangnas 2014 yang khusus mendiskusikan dan merancang skema [strategi] implementasi dari Revolusi Mental, hampir tidak ditemukan perubahan-perubahan mendasar dari yang seharusnya menggunakan istilah RE-VOLUTION = ‘berputar kembali’ pada mental hingga mencapai transformasi etos. Persoalannya, perbincangan tentang mental banyak harus diklarifikasikan sehingga upaya ini menjadi tidak fokus dan membias namun melalui momentum dan implementasi kerja-kerja seperti inilah, nilai-nilai kebajikan dalam pesan revolusi mental ini disampaikan agar mempengaruhi etos kerja yang semakin membaik.
Kepolisian RI [Polri] yang merupakan abdi negara tentunya memiliki berbagai semboyan korps yang harus kembali disinergiskan dengan selogan dari transformasi etos dimaksud agar produktitas kerja meningkat, hasil kerja bertambah baik, dan publik merasakan kebajikannya. Jika boleh menarik benang merah, istilah Refolusi Mental menjadi cara membaca, memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila. Momentul HUT Polri ke-69 yang kebetulan dirayakan dalam Bulan Ramadlan ini dapat menjadi tonggak kembalinya semangat nasionalisme, meningkatkan profesionalisme kerjanya sebagaimana tema yang disiapkan. Jika boleh mengusulkan, tema juga harus lebih mendarat hingga mencapai nilai faedahnya yaitu “memberikan manfaat dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat hingga memperoleh ridlo Allah”.
Peran moralis dan mentalis sebagaimana dimaksud semuanya telah tertuang dalam ayat-ayat Allah yang tertuang dalam Al Qur’an maupun kitab suci lainnya, dan seharusnya menjadi bijak jika di implementasikan. Persoalannya, apakah kita [ummat] telah kembali mengikuti apa yang Allah perbolehkan dan meninggalkan apa yang di haramkan sebagaimana sunnah Rosulullah? Momentum puasa akan menjadi titik dimana kita kembali karena tuntutan “revolusi adalah kembali memperbaiki mental” sementara ending dari puasa ramadlan kelaknya adala “kembali kepada yang fitrah”, fitrahnya manusia yang semestinya mengejahwantahkan nilai-nilai kebajikan yang dimiliki Allah [asma’ul husna, nilai-nilai ketuhanan]. 
Perintah Puasa
Perintah puasa sebagaimana tertera dalam Q.S. Al Baqarah 183 jelas-jelas menerangkan bahwa;
[a].  Hukum dasar puasa adalah WAJIB, tidak diterangkan apa jenis puasanya namun mengenang asbabun nuzul-nya, ayat ini di turunkan berkaitan dengan ramadlan.
Pertanyaannya, kenapa ayat ini tidak langsung menyebutkan secara tekstual “Puasa Ramadlan” namun di generalisir untuk semua jenis puasa adalah WAJIB, sementara Rosulullah SAW ada beberapa jenis puasa yang di sunnahkan dan ada beberapa hari yang di haramkan melakukan puasa. Semua jenis puasa yang membedakan teknisnya adalah waktu pelaksanaannya [kapan puasa di laksanakan] dan bukan tata cara berpuasanya sehingga yang harus di ingat adalah : RUKUN dan SYARAT yang menyertai dalam pelaksanaan puasa harus terpenuhi, kemudian kebetulan puasa dilakukan dalam range waktu bulan Ramadlan sehingga keberkahannya lebih dari puasa yang dilakukan di luar ramadlan. Melalui berbagai media dan ceramah kita telah tahu ke-istimewaan ramadlan maka dalam melaksanakan syiam ramadlan kita mendapat 2 porsi kebajikan; “porsi puasa dan porsi amalan ramadlan” sehingga jangan lewatkan kesempatan ramadlan kali ini agar kelaknya kita keluar sebagai pemenang.
[b].  Puasa dimaksud TELAH di wajibkan bagi orang yang ber’IMAN’ yang berkeyakinan terhadap ke’TAUHID’an, bukan ummah Islam ‘MUSLIM’ saja. Julukan bagi pribadi yang diberi predikat “YANG BERIMAN” adalah mereka yang memiliki iman, berkeyakinan terhadap sesuatu zat yang diyakini sebagai zat kausal sehingga harus kita akui bahwa ada jenis keyakinan lain yang diakui keberadaannya oleh Al Qur’an yaitu ahlul qitab [yang memiliki kitab suci]. Sementara tingkatan kualitas ketaqwaan dimulai dengan MUSLIM-MU’MIN-MUKHSIN [Islam-Iman-Ihsan] sehingga kemungkinan ada kelompok BERIMAN lain yang berasal dari luar pemeluk Islam. Catatan ini khusus untuk kaum terdahulu sebelum Rosulullah SAW dan diakui Al Qur’an sebagai ahlul qitab. Kenapa puasa berhubungan dengan kelompok BERIMAN? Karena kelompok ini menjalani proses TAUHID dan nilai TAUHID inilah yang diperjuangkan oleh seluruh kelompok agama sehingga klaim benar-salah hanyalah pada kata TAUHID.
[c].  Kewajiban berpuasa juga telah diwajibkan bagi ummat sebelum Ummat Muhammad SAW [ummat dimaksud adalah para ahlul qitab]. Kelompok ummat terdahulu yang juga memiliki keyakinan tersendiri sehingga para nabi sebelumnya dengan para pengikutnya sudah menjalankan perintah puasa sesuai perintah yang di terima saat itu, kemudian di sempurnakan hukum [rukun dan syar’i] nya saat perintah puasa melalui Rosulullah SAW. Sebagaimana  point [a dan b] dimaksud, tata cara berpuasa dengan diperbolehkan dan dilarangnya segala tingkah laku, perkataan, perbuatan dan aktifitas hati dan pikiran yang negatif; semuanya tidak diperkenankan saat puasa dilaksanakan. Artinya, berpuasa adalah menahan nafsu [lahir dan bathin, materi dan immateri, fisik dan psikis] yang merupakan kombinasi aktifitas yang dilakoni pancaindra, masuk ke otak [terpikirkan] menjadi pikiran, kemudian mendapatkan pertimbangan bathin dari dalam hati [termasuk niat]. Olehnya, berpuasa tidak hanya menahan lapar, dahaga dan nafsu birahi namun juga menjamin seluruh elemen [panca indra, otak, dan hati] agar bekerja positif sesuai keharusannya sebagai sifat-sifat ke’Tuhan’an.
[d].  Tujuan puasa agar mencapai status TAQWA. Defenisi sederhananya menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya, konsep ini mudah di hafal dan diingat namun belum tentu dimengerti karena batasan “PERINTAH” yang diperbolehkan dengan “LARANGAN” yang dibatasi sulit untuk dibedakan. Antara HAQ dan BATHIL sudah tercampur adukkan sehingga kualitas ketaqwaan perlu redefenisi dan terkategori, namun itu adalah urusan Allah. Karenanya, berpuasa itu tanggung jawab ‘amalianya tanpa perantara malaikan namun langsung pada Allah, sementara ‘amaliyah ramadlan lainnya menjadi bagian dari kerja malaikat mencatatnya. Artinya, kesempatan ramadlan kali ini juga menjadi bulan tarbiyah untuk mempelajari batasan HAQ dan BATHIL, kemudian menjalaninya dengan berbagai kemampuannya untuk mendapatkan ridlo Allah karena keputusan diterima/ ditolaknya ‘amalan kenajikan adalah saat kualitas niat beribada [niat menentukan ridla].

 Ibadah shiyam (puasa) Ramadlan merupakan terapi psikologis mengubah mental manusia dalam kehidupannya, dilaksanakan dalam bulan yang diibaratkan sebagai wahana pendidikan [sekolah] yang didalamnya terdapat syarat dan rukunnya. Puasa itu revolusi mental berupa ibadah puasa agar mengubah cara pandang [mindset ] seorang muslim dalam hidupnya yang menentukan prilaku seseorang. Salah satu bentuk revolusi mental yang diajarkan ibadah puasa adalah rasa cinta dan dekat seorang manusia dengan Allah-nya, empati dan peduli sosial karena turut menikmati apa yang dirasakan kaum miskin [fuqara’], sederhana dan tidak tama’ [rakus], jujur dan tidak berbohong, mengekang segala bentuk amarah dan nafsuh serakah.
Berbagai pesan kebajikan seperti yang diharapkan dari transformasi etos hanya dapat terwujud bilamana setiap pribadi mampu melaksanakan berbagai tata cara, hukum dan syar’i yang menjadi standar ke’absah’an puasa menurut Allah. Olehnya, Revolusi mental akan tidak bermakna bila kesempatan ramadlan kali ini tidak menghasilkan manusia nan fitrah untuk kembali menjadi suci menjalani amanah dan pesan kerasulan Muhammad SAW. Mengakhirinya, dalam rangka mendukung spirit REVOLUSI MENTAL yang di giatkan Jokowi-JK, cukup saja membangun tradisi puasa sunnah di luar ramadlan, menjamin kualitas dan iklim sosial selama puasa dilaksanakan, maka harmonisasi TRANSFORMASI ETOS dapat terealisasi dan masyarakat akan merasakan nilai manfaat dari keberadaan aparatur.

[disajikan saat Buka Puasa Bersama Polda NTT, 1 Juli 2015 di Mapolda NTT]
oleh : Ketua Umum MUI NTT [Drs. H. Abdulkadir Makarim]
disusun oleh : Hamza H. Wulakada



Tidak ada komentar:

Posting Komentar