Refolusi Mental
Istilah “Revolusi Mental” pertama kali
dipopulerkan oleh Karl Marx yang bertumpu
pada perubahan mental kaum proletar menjadi kaum progresif. Pertengahan 2014 dalam
suasana politik Indonesia yang memanas, kembali di kumandangkan istilah “Revolusi Mental”, dan hari ini menjadi bagian dari nilai perjuangan bangsa karena
dianggap menjadi pola, cara dan metode membangun kembali nilai-nilai Pancasila.
Refolusi mental dilaksanakan melalui internalisasi nilai-nilai esensial pada individu,
keluarga, insititus sosial, masyarakat sampai dengan lembaga-lembaga Negara. Nilai-nilai esensial meliputi etos kemajuan, etika kerja, motivasi berprestasi, disiplin, taat hokum dan aturan,
berpandangan optimistis, produktif, inovatif, adaptif, kerja sama dan gotong royong, dan
berorientasi pada kebajikan publik dan kemaslahatan umum.
Defenisi ini terkesan kabur
namun hematnya revolusi mental merupakan upaya mengubah
karakter building masyarakat Indonesia tanpa
pertumpahan darah, khususnya berkaitan dengan mind [kesadaran persepsi dan pikiran]. Langkah ini
mengharuskan tranformasi kebudayaan yang progresif terhadap pengetahuan
teknologi dan ekonomi, [dan juga harus] ekspresif terhadap kesenian dan kebudayaan
yang dimiliki. Revolusi mental menjadi semboyan perjuangan yang harus
diperjuangan karena bagi pemimpin saat ini, disinilah letak masalah bangsa
Indonesia. Namun menyimak materi oleh berbagai sumber dalam Musrenbangnas 2014
yang khusus mendiskusikan dan merancang skema [strategi] implementasi dari Revolusi
Mental, hampir tidak ditemukan perubahan-perubahan mendasar dari yang
seharusnya menggunakan istilah RE-VOLUTION = ‘berputar kembali’ pada mental
hingga mencapai transformasi etos. Persoalannya, perbincangan tentang mental
banyak harus diklarifikasikan sehingga upaya ini menjadi tidak fokus dan
membias namun melalui momentum dan implementasi kerja-kerja seperti inilah,
nilai-nilai kebajikan dalam pesan revolusi mental ini disampaikan agar
mempengaruhi etos kerja yang semakin membaik.
Kepolisian
RI [Polri] yang merupakan abdi negara tentunya memiliki berbagai semboyan korps
yang harus kembali disinergiskan dengan selogan dari transformasi etos dimaksud
agar produktitas kerja meningkat, hasil kerja bertambah baik, dan publik
merasakan kebajikannya. Jika boleh menarik benang merah, istilah Refolusi
Mental menjadi cara membaca, memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai
Pancasila. Momentul HUT Polri ke-69 yang kebetulan dirayakan dalam Bulan
Ramadlan ini dapat menjadi tonggak kembalinya semangat nasionalisme,
meningkatkan profesionalisme kerjanya sebagaimana tema yang disiapkan. Jika
boleh mengusulkan, tema juga harus lebih mendarat hingga mencapai nilai
faedahnya yaitu “memberikan manfaat dan
dirasakan manfaatnya oleh rakyat hingga memperoleh ridlo Allah”.
Peran
moralis dan mentalis sebagaimana dimaksud semuanya telah tertuang dalam
ayat-ayat Allah yang tertuang dalam Al Qur’an maupun kitab suci lainnya, dan
seharusnya menjadi bijak jika di implementasikan. Persoalannya, apakah kita
[ummat] telah kembali mengikuti apa yang Allah perbolehkan dan meninggalkan apa
yang di haramkan sebagaimana sunnah Rosulullah? Momentum puasa akan menjadi
titik dimana kita kembali karena tuntutan “revolusi adalah kembali memperbaiki
mental” sementara ending dari puasa ramadlan kelaknya adala “kembali kepada
yang fitrah”, fitrahnya manusia yang semestinya mengejahwantahkan nilai-nilai
kebajikan yang dimiliki Allah [asma’ul
husna, nilai-nilai ketuhanan].
Perintah Puasa
Perintah
puasa sebagaimana tertera dalam Q.S. Al Baqarah 183 jelas-jelas menerangkan
bahwa;
[a].
Hukum dasar puasa adalah WAJIB, tidak diterangkan apa jenis puasanya namun
mengenang asbabun nuzul-nya, ayat ini
di turunkan berkaitan dengan ramadlan.
Pertanyaannya, kenapa
ayat ini tidak langsung menyebutkan secara tekstual “Puasa Ramadlan” namun di
generalisir untuk semua jenis puasa adalah WAJIB, sementara Rosulullah SAW ada
beberapa jenis puasa yang di sunnahkan dan ada beberapa hari yang di haramkan
melakukan puasa. Semua jenis puasa yang membedakan teknisnya adalah waktu
pelaksanaannya [kapan puasa di laksanakan] dan bukan tata cara berpuasanya
sehingga yang harus di ingat adalah : RUKUN dan SYARAT yang menyertai dalam
pelaksanaan puasa harus terpenuhi, kemudian kebetulan puasa dilakukan dalam range waktu bulan Ramadlan sehingga
keberkahannya lebih dari puasa yang dilakukan di luar ramadlan. Melalui
berbagai media dan ceramah kita telah tahu ke-istimewaan ramadlan maka dalam
melaksanakan syiam ramadlan kita mendapat 2 porsi kebajikan; “porsi puasa dan
porsi amalan ramadlan” sehingga jangan lewatkan kesempatan ramadlan kali ini
agar kelaknya kita keluar sebagai pemenang.
[b].
Puasa dimaksud TELAH di wajibkan bagi orang yang ber’IMAN’ yang berkeyakinan
terhadap ke’TAUHID’an, bukan ummah Islam ‘MUSLIM’ saja. Julukan bagi pribadi
yang diberi predikat “YANG BERIMAN” adalah mereka yang memiliki iman,
berkeyakinan terhadap sesuatu zat yang diyakini sebagai zat kausal sehingga
harus kita akui bahwa ada jenis keyakinan lain yang diakui keberadaannya oleh
Al Qur’an yaitu ahlul qitab [yang
memiliki kitab suci]. Sementara tingkatan kualitas ketaqwaan dimulai dengan
MUSLIM-MU’MIN-MUKHSIN [Islam-Iman-Ihsan] sehingga kemungkinan ada kelompok
BERIMAN lain yang berasal dari luar pemeluk Islam. Catatan ini khusus untuk
kaum terdahulu sebelum Rosulullah SAW dan diakui Al Qur’an sebagai ahlul qitab. Kenapa puasa berhubungan
dengan kelompok BERIMAN? Karena kelompok ini menjalani proses TAUHID dan nilai
TAUHID inilah yang diperjuangkan oleh seluruh kelompok agama sehingga klaim benar-salah
hanyalah pada kata TAUHID.
[c].
Kewajiban berpuasa juga telah diwajibkan bagi ummat sebelum Ummat Muhammad
SAW [ummat dimaksud adalah para ahlul
qitab]. Kelompok ummat terdahulu yang juga memiliki keyakinan tersendiri
sehingga para nabi sebelumnya dengan para pengikutnya sudah menjalankan
perintah puasa sesuai perintah yang di terima saat itu, kemudian di sempurnakan
hukum [rukun dan syar’i] nya saat perintah puasa melalui Rosulullah SAW.
Sebagaimana point [a dan b] dimaksud,
tata cara berpuasa dengan diperbolehkan dan dilarangnya segala tingkah laku,
perkataan, perbuatan dan aktifitas hati dan pikiran yang negatif; semuanya
tidak diperkenankan saat puasa dilaksanakan. Artinya, berpuasa adalah menahan
nafsu [lahir dan bathin, materi dan immateri, fisik dan psikis] yang merupakan
kombinasi aktifitas yang dilakoni pancaindra, masuk ke otak [terpikirkan]
menjadi pikiran, kemudian mendapatkan pertimbangan bathin dari dalam hati
[termasuk niat]. Olehnya, berpuasa tidak hanya menahan lapar, dahaga dan nafsu birahi
namun juga menjamin seluruh elemen [panca indra, otak, dan hati] agar bekerja
positif sesuai keharusannya sebagai sifat-sifat ke’Tuhan’an.
[d].
Tujuan puasa agar mencapai status TAQWA. Defenisi sederhananya menjalankan
perintah Allah dan menjauhi larangannya, konsep ini mudah di hafal dan diingat
namun belum tentu dimengerti karena batasan “PERINTAH” yang diperbolehkan
dengan “LARANGAN” yang dibatasi sulit untuk dibedakan. Antara HAQ dan BATHIL
sudah tercampur adukkan sehingga kualitas ketaqwaan perlu redefenisi dan
terkategori, namun itu adalah urusan Allah. Karenanya, berpuasa itu tanggung
jawab ‘amalianya tanpa perantara malaikan namun langsung pada Allah, sementara
‘amaliyah ramadlan lainnya menjadi bagian dari kerja malaikat mencatatnya.
Artinya, kesempatan ramadlan kali ini juga menjadi bulan tarbiyah untuk
mempelajari batasan HAQ dan BATHIL, kemudian menjalaninya dengan berbagai
kemampuannya untuk mendapatkan ridlo Allah karena keputusan diterima/
ditolaknya ‘amalan kenajikan adalah saat kualitas niat beribada [niat
menentukan ridla].
Ibadah shiyam (puasa)
Ramadlan merupakan terapi psikologis mengubah mental manusia dalam kehidupannya, dilaksanakan dalam
bulan yang diibaratkan sebagai wahana pendidikan [sekolah] yang didalamnya
terdapat syarat dan rukunnya. Puasa itu
revolusi mental berupa ibadah puasa agar mengubah cara pandang [mindset
] seorang muslim dalam hidupnya yang menentukan prilaku seseorang. Salah satu bentuk revolusi mental yang
diajarkan ibadah puasa adalah rasa cinta dan dekat seorang manusia dengan
Allah-nya, empati dan
peduli sosial karena turut menikmati apa yang dirasakan kaum miskin [fuqara’], sederhana dan tidak tama’
[rakus], jujur dan tidak berbohong, mengekang segala bentuk amarah dan nafsuh
serakah.
Berbagai
pesan kebajikan seperti yang diharapkan dari transformasi etos hanya dapat
terwujud bilamana setiap pribadi mampu melaksanakan berbagai tata cara, hukum
dan syar’i yang menjadi standar ke’absah’an puasa menurut Allah. Olehnya,
Revolusi mental akan tidak bermakna bila kesempatan ramadlan kali ini tidak
menghasilkan manusia nan fitrah untuk kembali menjadi suci menjalani amanah dan
pesan kerasulan Muhammad SAW. Mengakhirinya, dalam rangka mendukung spirit
REVOLUSI MENTAL yang di giatkan Jokowi-JK, cukup saja membangun tradisi puasa
sunnah di luar ramadlan, menjamin kualitas dan iklim sosial selama puasa
dilaksanakan, maka harmonisasi TRANSFORMASI ETOS dapat terealisasi dan
masyarakat akan merasakan nilai manfaat dari keberadaan aparatur.
[disajikan saat Buka Puasa Bersama Polda NTT, 1 Juli 2015 di Mapolda NTT]
oleh : Ketua Umum MUI NTT [Drs. H. Abdulkadir Makarim]
disusun oleh : Hamza H. Wulakada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar