Pengantar
Manusia sebagai makhluk mulia yang disempurnakan Allah melalui predikatnya
menjadi khalifah [pemimpin] di dunia karena indikator pembeda dengan makhluk
lainnya yaitu akal dan nafsu. Konsep keimanan manusia digambarkan dalam hadits
bahwa senantiasa mengalami kenaikan dan penurunan [al Imanu yankisu wa yanzidu ; sesungguhnya iman itu akan mengalami
kenaikan dan penurunan] kualitas, konteks inilah manusia diuji tingkat
ketaqwaanya pada Allah SWT. Kemuliaan ini sepatutnya juga diimplementasikan
manusia dengan senantiasa menjaga harkat dan martabat insanianya [kemanusiaannya]
melalui ketaatan menjalan kewajiban normatif dan menjauhi larangan [dimensi
ketaqwaan]. Dalam rangka defenisi taqwa dimaksud, manusia dibatasi hak dan
kewajiban agar dalam tatanan kehidupan sosial tidak terjadi ketimpangan yang
muaranya akan terjadi menaksiatan, bila terjadi pelanggaran hak dan ketidak
patutan pada kewajiban.
Bergulirnya arus globalisasi diakibatnya kemajuan teknologi dan informasi
menjadi konsekuensi dari kemajuan peradaban karena peran kendali manusia
sebagai khalifah menggunakan akal dan nafsunya untuk senantiasa terus
berkembang [berkarya]. Bukti kemajuan dimaksud adalah adanya industrialisasi
yang merupakan kreasi manusia dalam berkarya, namun naif-nya terjadi ketimpangan
[pelanggaran/penyerobotan hak] dengan adanya industrialisasi nilai-nilai
kemanusiaan. Kemuliaan manusia justru terlunturkan karena tidak ada indikator
pembeda antara makhluk lain [hewan dan tumbuhan] yang diperjual-belikan,
manusia telah menjadi komoditi industri akibat keterbelakangan [bodoh dan
miskin] dalam mempertahankan hidupnya. Hak hidup yang manusiawi dikesampingkan
karena untuk pemenuhan nafsu para pengendali industri, sisi ini karena para
korban mengalami keterbelakangan dalam peradaban.
Istilah human trafficking
[perdagangan manusia] bukan hal baru dalam perkembangan zaman, dahulunya
dikenal dengan perbudakan [raqabah ; bahasa
arab] kemudian berkembang secara sistematis dan teroganisir dalam bentuk
penjajahan. Hukum alam bahwa yang kuat menguasai yang lemah kemudian
mengenyampingkan hak-hak kaum mustad’ifin [yang terpinggirkan/ kaum lemah], sesungguhnya
norma agama mengisyaratkan bahwa yang kuat berkewajiban melindungi [menyayangi]
yang lemah sehingga terjadi keseimbangan hidup dalam pranata sosial.
Sesungguhnya konsep penjajahan adalah gerakan terbesar dari makna pembudakan
karena adanya keserakahan ingin menguasai, kini dikenal human trafficking adalah bagian kecil dari bukti pelanggaran hak
hidup yang manusiawi. Perbedaan mendasarnya, pola perbudakan dahulunya
cenderung menjajah [penjajah yang datang menguasai objek jajahan] sedangkan trafficking cenderung terjadi
pemindahan, namun pada sisi yang sama keduanya adalah bentuk paksaan,
kekerasan, penyekapan, eksploitasi, penyiksaan, dan tindakan melanggar hukum
lainnya yang menunjukan adanya penzoliman.
Faktor Pemicu, Modus dan
Akibat Perdagangan Manusia
Human trafficking terjadi karena dipicu
oleh faktor pendorong [seperti; kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja,
lemahnya penegakan hukum, kebodohan, konflik sosial, an-harmonisasi keluarga]
dan faktor penarik [seperti; glamour gaya hidup, kemudahan mendapatkan uang di
kota, janji para calo, kecanduan narkoba, mudahnya akses informasi dan
teknologi, dll]. Contoh yang terjadi diantaranya adalah terjadinya perdagangan
anak yang dipekerjakan jermal [part-time],
penjualan bayi, perdagangan perempuan dan akan menjadi pekerja domestik [PRT],
perdagangan manusia menjadi pengemis, perdagangan manusia menjadi pengedar
narkoba dan pekerja seks. Apapun bentuknya dengan asumsi mencari kerja untuk
memenuhi kebutuhan hidup namun telah terjadi pemaksaan dari kondrati humanis
dan terjadi berlakuan kekerasan maka praktek ini tergolong melanggar hukum.
Realita ini tengah terjadi di Kota Kupang yang bukan hanya diperdagangkan
keluar Kupang tapi juga terjadi didalam lingkup Kota Kupang dengan
mempekerjakan anak seperti penjaja koran dan pelayan jasa di pasar-pasar.
Modus operandi yang dimainkan secara sistematis dalam bentuk jaringan
[mucikari] maupun secara personal yang mencari korbannya dikeramaian kota
maupun menjemput di pinggiran kota maupun desa-desa miskin dengan tawaram kerja
pendapatan besar, pembiusan, biro jodoh, dan pekerja anak PKL. Akibatnya
terjadi kekerasan fisik dan psikologis, tidak terpenuhinya hak-hak hidup
bersifat asasi yang sepatutnya merdeka dari berbagai bentuk penindasan
[penzoliman]. Bagi perempuan dan anak-anak korban trafficking telah terjadi upaya sistematis penyumbatan dan
pengkerdilan kualitas generasi muda masa depan yang selayaknya menjadi
penggerak pembangunan peradaban.
Perbudakan dalam Islam
Perbudakan atau perdagangan manusia adalah sistem segolongan manusia yang
dirampas kebebasan hidupnya untuk bekerja guna kepentingan golongan manusia
yang lainnya. Praktek ini sesungguhnya telah terjadi [dikenal] sejak fase
prasejarah hingga sejarah pada seluruh kelompok bangsa sebagai respons atas
perkembangan peradaban. Bangsa Arab mengenalnya dengan raqabah [budak/hamba sahaya], yaitu orang yang dimiliki oleh orang
lain yang lebih mampu [tuan/majikan] yang harus bekerja untuk majikannya dan
dapat diperjual belikan. Sistem perbudakan di Timur Tengah [sebagai episentrum
peradaban Islam] telah ada sebelum hadirnya nabi utusan Allah
[Rosulullah/Muhammad SAW], sebagaimana dilakukan oleh kaum Quraisyi dan Yahudi.
Rosulullah diutus untuk menuntun manusia ke jalan kebajikan [benar] termasuk
upaya pembebasan praktek perbudakan yang merupakan upaya penzoliman terhadap
kaum mustad’ifin.
Amanat Allah kepada Rosulullah saat pertama memasuki kota Makkah dalma
surat Al Balad yang hikmahnya adalah Manusia diciptakan Allah untuk berjuang
menghadapi kesulitan; janganlah manusia terpedaya oleh kekuasaan dan harta
benda yang banyak yang telah dibelanjakannya; beberapa peringatan kepada
manusia atas beberapa nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya dan bahwa
Allah telah menunjukkan jalan-jalan yang akan menyampaikannya kepada
kebAhagiaan dan yang akan membawanya kepada kecelakaan. Firman
Allah SWT melarang segala macam praktek perbudakan yang ditandai dengan
penegasan di dalam AL Qu’an sebanyak 24 kali,
salah satunya dalam Q.S. Al Balad 11-13;
Artinya : “Maka tidaklah sebaiknya [dengan hartanya
itu] ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apa jalan yang
mendaki lagi sukar itu? (yaitu) membebaskan budak dari perbudakan”
Pembebasan manusia dari perbudakan telah dirintis sejak permulaan masa
Rosulullah SAW, meskipun bukan sebuah pekerjaan yang ringan namun menjadi
tantangan berat karenanya Allah mengatakan ‘al aqabah’ [mendaki dan sukar].
Banyak kisah sahabat Rosulullah yang mengorbankan harta dan nyawanya untuk
ditukarkan dengan para budak agar dibebaskan kemudian dijadikan kaum yang
terhormat sesuai kualitas dan kapasitasnya.
Dimensi ke-Islam-an dalam ilmu fikih dikenal jenis fikih jinayah yaitu ilmu
syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang [jarimah] dan hukumannya [uqubah], maka secara yuridis Qur’ani,
human trafficking terkategori hukuman ta’zir
[hukum pengajaran terhadap kesalahan yang tidak diancam hukuman khusus/ had]. Had artinya kejahata-kejahatan yang sudah pasti ketentuannya tetapi
syarat-syaratnya tidak cukup. Hukuman kepada pelaku diberikan pelajaran
setimpal dengan akibat [dampak] dan menyiapkan stimulus untuk pencegahannya
dari perbuatannya mengekang hak humanis manusia yang keputusannya diserahkan
kepada hakim. Otoritas ketentuan hukuman [pembelajaran] yang tepat tergantung
akibat yang ditimbulkan sehingga secara syar’i dikembalikan pada norma sosial,
ketentuan lainnya akan dirinci atas kerugian pihak lain yang dirugikan [hak-hak
manakah yang dilanggar] maka ada ketimpalan yang seimbang agar memenuhi unsur
keadilan.
Islam menjunjung tinggi hak anak diantaranya; hak nasab [kejelasan
silsilah], hak radha’ah [disusui pada periode pertama], hak hadhamah
[perlindungan/pemeliharaan], hak perwalian, dan hak dinafkahi. Praktek pada
masa jahiliah [zaman kebodohan sebelum datangnya Rosullullah] bahkan tidak
hanya membatasi bentuk eksploitasi pada anak dan perempuan namun pada segala
hak bagi manusia termasuk lelaki dewasa yang mengalami perlakuan kekerasan dan
penindasan. Khususnya perbudakan seks yang mempekerjakan perempuan tidak
selayaknya terkodrati sebagai perempuan juga ditegaskan dalam Al Qur’an
An-Nur,33.
Artinya : “Dan
orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu
miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan
mereka, jika kamu
mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian
dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa
budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri
mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan
barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu”
Beberapa ayat dalam Al Qur’an menjelaskan bentuk perlindungan pada
nilai-nilai kemanusiaan, diantaranya;
1.
Perlindungan Hak laki-laki dan perempuan memiliki derajat
yang sama di hadapan Allah, yang membedakannya adalah kualitas ketaqwaannya
[Q.S. An Nahl, 97].
Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh,
baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungghnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
2.
Perlindungan jiwa dan nyawa manusia dalam Q.S. Al Baqarah, 178 yaitu; “
Artinya : “Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang
baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa
yang sangat pedih”
3.
Perlindungan terhadap akal manusia dalam Q.S. Al Maidah, 90
4.
Perlindungan terhadap diri dan kesucian turunan Q.S. AL Isra, 32.
Islam sebagai Rahmatil
lil ‘alamin
Islam yang berarti ‘keselamatan’ merupakan rahmat bagi seluruh alam, tidak
hanya pada mahluk hidup namun juga benda mati maupun yang telah mati. Islam
mengatur segala bentuk norma kehidupan manusia termasuk praktek ketidak-adilan,
kesewenang-wenangan, penzoliman, penindasan hingga kekerasan. Syiar Islam
dijalankan dengan damai dan kasih sayang, bukan memaksakan secara langsung
maupun tidak langsung karena hakekat kehadirannya adalah rahmat bagi seluruh
alam.
Praktek penzoliman atas pekerjaan kepada seorang hamba Allah dengan tidak
memenuhi hak dasar kemanusiaannya adalah bentuk penzoliman seperti perlakuan
kasar, tidak membayar gaji yang layak sesuai curahan tenaga dan pikirannya
dalam bekerja, serta bentuk penindasan lainnya. Islam mengajarkan bahwa semua manusia
adalah sama derajatnya dihadapan Allah, yang membedakannya hanyalah kualitas
ketaqwaan sehingga yang harus diperangi Islam adalah kemunkaran dan kemaksiatan
yang merupakan upaya sistematis menjerumuskan kualitas keimanan dan ketaqwaan
manusia. Penafsiran mengapa indikator pembeda adalah kualitas ketaqwaan, bukan
legalitas pemelukan agama?, sisi inilah bukti Islam rahmat bagi seluruh alam
yang senantiasa menyebarkan rahman dan rahim. Bahwasanya ada realitas
keberagamaan yang ditegaskan dalam Al Qur’an; kafir dan ahlul kitab [ummat yang
memiliki kitab suci] maka Islam mengajarkan perlakuan rahman-rahim harus
diimplementasikan bagi seluruh kaum kecuali yang melakukan tindakan yang
menguras kualitas ketaqwaan. Allah berfirman dalam Hadits Kudsi, yang artinya;
“... Ada tiga golongan yang Aku
murkai pada hari kiaman, pertama; orang yang telah memberikan sumpahnya atas
nama-Ku tetapi ia kemudian mengabaikan sumpah itu, kedua; orang yang menjual
[memperbudak] orang yang merdeka, dan ketiga; orang yang mempekerjakan orang
lain dan stetlah selesai ia tidak memberikan upahnya”
Bahwasanya ahlul kitab termasuk dalamnya kaum nasrani, memiliki pedoman
kehidupan keberagamaan menurut keyakinannya kemudian mempraktekkannya dalam
tatanan kehidupan sosial sebagaimana diajarkan oleh Al Qur’an dan Sunnah
Rosulullah maka kelompok demikian telah menjaga kualitas ketaqwaannya
[memerangi kemungkaran dan menjalani ajaran Allah]. Meskipun seseorang secara
formal beragama Islam sekalipun namun mempraktekan kehidupan yang jauh dari standar
ketaqwaan dengan melakukan kemungkaran maka selayaknya diperangi dengan tahapan
penegakan yang di syaratkan.
Upaya Pencegahan Human Trafficking
Hukum positif sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 beserta runtunan
peraturan perundang-undangan lain dibawahnya [UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang], telah melarang dan secara tegas menghakimi praktek human trafficking namun kenyataannya
secara sistematis maupun personal masih terjadi dalam realitas sosial. Berbagai
regulasi dimaksud hanya berperan pada tataran penegakan aturan yaitu menindak
hal yang telah terjadi namun keseriusan dalam melakukan upaya pencegahan terlihat
lemah. Upaya mencegah selayaknya dilakukan sebagai bentuk antisipasi pada
faktor pemicunya yang merupakan tanggung jawab semua pihak untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, meningkatnya tingkat kesejahteraan dengan memberantas
kemiskinan, menyehatkan stabilitas ekonomi, memperkuat nilai dan norma sosial
yang Pancasilais dan mengamalkan ajaran-ajaran kebajikan agama/keyakinan bagi
pemeluknya.
Perempuan berperan penting dalam menyiapkan generasi rabbani yang
memerankan kemajuan peradaban, bilamana subjek perempuan sendiri tidak
diposisikan dalam kondratnya ‘kesucian’ maka rusaklah tatanan sosial akibat
ketidakmampuan perempuan mendesain generasi masa depan. Anak adalah tunas,
potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran
strategis dan memiliki ciri dan sifat khusus yang menjamin keberlangsungan
eksistensi bangsa dan negara pada waktu mendatang. Anak dan generasi muda
menjadi subjek dari konsekuensi perkembangan peradaban, merekalah yang
menjalani, mengendalikan dan mengatur baik buruknya masa depan sehingga didikan
moral yang utamanya ditanamkan agar tidak terpengaruh dengan budaya hedonisme dan gaya hidup glamour.
Penguatan budaya sosialis yang menghargai sesamanya [menyayangi yang lemah dan
menghargai yang kuat] adalah konsep hidup rukun, berlaku adil pada semua
makhluk Allah serta hidup toleran menjadi modal bagi generasi untuk menata
kehidapan madani yang sejahtera dan bermartabat.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar