Rabu, 15 Juli 2015

HUMAN TRAFFICKING DALAM DIMENSI KEISLAMAN

Pengantar
Manusia sebagai makhluk mulia yang disempurnakan Allah melalui predikatnya menjadi khalifah [pemimpin] di dunia karena indikator pembeda dengan makhluk lainnya yaitu akal dan nafsu. Konsep keimanan manusia digambarkan dalam hadits bahwa senantiasa mengalami kenaikan dan penurunan [al Imanu yankisu wa yanzidu ; sesungguhnya iman itu akan mengalami kenaikan dan penurunan] kualitas, konteks inilah manusia diuji tingkat ketaqwaanya pada Allah SWT. Kemuliaan ini sepatutnya juga diimplementasikan manusia dengan senantiasa menjaga harkat dan martabat insanianya [kemanusiaannya] melalui ketaatan menjalan kewajiban normatif dan menjauhi larangan [dimensi ketaqwaan]. Dalam rangka defenisi taqwa dimaksud, manusia dibatasi hak dan kewajiban agar dalam tatanan kehidupan sosial tidak terjadi ketimpangan yang muaranya akan terjadi menaksiatan, bila terjadi pelanggaran hak dan ketidak patutan pada kewajiban.
Bergulirnya arus globalisasi diakibatnya kemajuan teknologi dan informasi menjadi konsekuensi dari kemajuan peradaban karena peran kendali manusia sebagai khalifah menggunakan akal dan nafsunya untuk senantiasa terus berkembang [berkarya]. Bukti kemajuan dimaksud adalah adanya industrialisasi yang merupakan kreasi manusia dalam berkarya, namun naif-nya terjadi ketimpangan [pelanggaran/penyerobotan hak] dengan adanya industrialisasi nilai-nilai kemanusiaan. Kemuliaan manusia justru terlunturkan karena tidak ada indikator pembeda antara makhluk lain [hewan dan tumbuhan] yang diperjual-belikan, manusia telah menjadi komoditi industri akibat keterbelakangan [bodoh dan miskin] dalam mempertahankan hidupnya. Hak hidup yang manusiawi dikesampingkan karena untuk pemenuhan nafsu para pengendali industri, sisi ini karena para korban mengalami keterbelakangan dalam peradaban.
Istilah human trafficking [perdagangan manusia] bukan hal baru dalam perkembangan zaman, dahulunya dikenal dengan perbudakan [raqabah ; bahasa arab] kemudian berkembang secara sistematis dan teroganisir dalam bentuk penjajahan. Hukum alam bahwa yang kuat menguasai yang lemah kemudian mengenyampingkan hak-hak kaum mustad’ifin [yang terpinggirkan/ kaum lemah], sesungguhnya norma agama mengisyaratkan bahwa yang kuat berkewajiban melindungi [menyayangi] yang lemah sehingga terjadi keseimbangan hidup dalam pranata sosial. Sesungguhnya konsep penjajahan adalah gerakan terbesar dari makna pembudakan karena adanya keserakahan ingin menguasai, kini dikenal human trafficking adalah bagian kecil dari bukti pelanggaran hak hidup yang manusiawi. Perbedaan mendasarnya, pola perbudakan dahulunya cenderung menjajah [penjajah yang datang menguasai objek jajahan] sedangkan trafficking cenderung terjadi pemindahan, namun pada sisi yang sama keduanya adalah bentuk paksaan, kekerasan, penyekapan, eksploitasi, penyiksaan, dan tindakan melanggar hukum lainnya yang menunjukan adanya penzoliman.
Faktor Pemicu, Modus dan Akibat Perdagangan Manusia
Human trafficking terjadi karena dipicu oleh faktor pendorong [seperti; kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja, lemahnya penegakan hukum, kebodohan, konflik sosial, an-harmonisasi keluarga] dan faktor penarik [seperti; glamour gaya hidup, kemudahan mendapatkan uang di kota, janji para calo, kecanduan narkoba, mudahnya akses informasi dan teknologi, dll]. Contoh yang terjadi diantaranya adalah terjadinya perdagangan anak yang dipekerjakan jermal [part-time], penjualan bayi, perdagangan perempuan dan akan menjadi pekerja domestik [PRT], perdagangan manusia menjadi pengemis, perdagangan manusia menjadi pengedar narkoba dan pekerja seks. Apapun bentuknya dengan asumsi mencari kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup namun telah terjadi pemaksaan dari kondrati humanis dan terjadi berlakuan kekerasan maka praktek ini tergolong melanggar hukum. Realita ini tengah terjadi di Kota Kupang yang bukan hanya diperdagangkan keluar Kupang tapi juga terjadi didalam lingkup Kota Kupang dengan mempekerjakan anak seperti penjaja koran dan pelayan jasa di pasar-pasar.
Modus operandi yang dimainkan secara sistematis dalam bentuk jaringan [mucikari] maupun secara personal yang mencari korbannya dikeramaian kota maupun menjemput di pinggiran kota maupun desa-desa miskin dengan tawaram kerja pendapatan besar, pembiusan, biro jodoh, dan pekerja anak PKL. Akibatnya terjadi kekerasan fisik dan psikologis, tidak terpenuhinya hak-hak hidup bersifat asasi yang sepatutnya merdeka dari berbagai bentuk penindasan [penzoliman]. Bagi perempuan dan anak-anak korban trafficking telah terjadi upaya sistematis penyumbatan dan pengkerdilan kualitas generasi muda masa depan yang selayaknya menjadi penggerak pembangunan peradaban.
Perbudakan dalam Islam
Perbudakan atau perdagangan manusia adalah sistem segolongan manusia yang dirampas kebebasan hidupnya untuk bekerja guna kepentingan golongan manusia yang lainnya. Praktek ini sesungguhnya telah terjadi [dikenal] sejak fase prasejarah hingga sejarah pada seluruh kelompok bangsa sebagai respons atas perkembangan peradaban. Bangsa Arab mengenalnya dengan raqabah [budak/hamba sahaya], yaitu orang yang dimiliki oleh orang lain yang lebih mampu [tuan/majikan] yang harus bekerja untuk majikannya dan dapat diperjual belikan. Sistem perbudakan di Timur Tengah [sebagai episentrum peradaban Islam] telah ada sebelum hadirnya nabi utusan Allah [Rosulullah/Muhammad SAW], sebagaimana dilakukan oleh kaum Quraisyi dan Yahudi. Rosulullah diutus untuk menuntun manusia ke jalan kebajikan [benar] termasuk upaya pembebasan praktek perbudakan yang merupakan upaya penzoliman terhadap kaum mustad’ifin.
Amanat Allah kepada Rosulullah saat pertama memasuki kota Makkah dalma surat Al Balad yang hikmahnya adalah Manusia diciptakan Allah untuk berjuang menghadapi kesulitan; janganlah manusia terpedaya oleh kekuasaan dan harta benda yang banyak yang telah dibelanjakannya; beberapa peringatan kepada manusia atas beberapa nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya dan bahwa Allah telah menunjukkan jalan-jalan yang akan menyampaikannya kepada kebAhagiaan dan yang akan membawanya kepada kecelakaan. Firman Allah SWT melarang segala macam praktek perbudakan yang ditandai dengan penegasan di dalam AL Qu’an sebanyak 24 kali,  salah satunya dalam Q.S. Al Balad 11-13;

Artinya   :     Maka tidaklah sebaiknya [dengan hartanya itu] ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apa jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) membebaskan budak dari perbudakan
Pembebasan manusia dari perbudakan telah dirintis sejak permulaan masa Rosulullah SAW, meskipun bukan sebuah pekerjaan yang ringan namun menjadi tantangan berat karenanya Allah mengatakan ‘al aqabah’ [mendaki dan sukar]. Banyak kisah sahabat Rosulullah yang mengorbankan harta dan nyawanya untuk ditukarkan dengan para budak agar dibebaskan kemudian dijadikan kaum yang terhormat sesuai kualitas dan kapasitasnya.
Dimensi ke-Islam-an dalam ilmu fikih dikenal jenis fikih jinayah yaitu ilmu syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang [jarimah] dan hukumannya [uqubah], maka secara yuridis Qur’ani, human trafficking terkategori hukuman ta’zir [hukum pengajaran terhadap kesalahan yang tidak diancam hukuman khusus/ had]. Had artinya kejahata-kejahatan yang sudah pasti ketentuannya tetapi syarat-syaratnya tidak cukup. Hukuman kepada pelaku diberikan pelajaran setimpal dengan akibat [dampak] dan menyiapkan stimulus untuk pencegahannya dari perbuatannya mengekang hak humanis manusia yang keputusannya diserahkan kepada hakim. Otoritas ketentuan hukuman [pembelajaran] yang tepat tergantung akibat yang ditimbulkan sehingga secara syar’i dikembalikan pada norma sosial, ketentuan lainnya akan dirinci atas kerugian pihak lain yang dirugikan [hak-hak manakah yang dilanggar] maka ada ketimpalan yang seimbang agar memenuhi unsur keadilan.
Islam menjunjung tinggi hak anak diantaranya; hak nasab [kejelasan silsilah], hak radha’ah [disusui pada periode pertama], hak hadhamah [perlindungan/pemeliharaan], hak perwalian, dan hak dinafkahi. Praktek pada masa jahiliah [zaman kebodohan sebelum datangnya Rosullullah] bahkan tidak hanya membatasi bentuk eksploitasi pada anak dan perempuan namun pada segala hak bagi manusia termasuk lelaki dewasa yang mengalami perlakuan kekerasan dan penindasan. Khususnya perbudakan seks yang mempekerjakan perempuan tidak selayaknya terkodrati sebagai perempuan juga ditegaskan dalam Al Qur’an An-Nur,33.
Artinya   :  Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu
Beberapa ayat dalam Al Qur’an menjelaskan bentuk perlindungan pada nilai-nilai kemanusiaan, diantaranya;
1.       Perlindungan Hak laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama di hadapan Allah, yang membedakannya adalah kualitas ketaqwaannya [Q.S. An Nahl, 97].




Artinya     :  Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungghnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
2.       Perlindungan jiwa dan nyawa manusia dalam Q.S. Al Baqarah, 178 yaitu; “
Artinya     :  Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih
3.       Perlindungan terhadap akal manusia dalam Q.S. Al Maidah, 90
4.       Perlindungan terhadap diri dan kesucian turunan Q.S. AL Isra, 32.
Islam sebagai Rahmatil lil ‘alamin
Islam yang berarti ‘keselamatan’ merupakan rahmat bagi seluruh alam, tidak hanya pada mahluk hidup namun juga benda mati maupun yang telah mati. Islam mengatur segala bentuk norma kehidupan manusia termasuk praktek ketidak-adilan, kesewenang-wenangan, penzoliman, penindasan hingga kekerasan. Syiar Islam dijalankan dengan damai dan kasih sayang, bukan memaksakan secara langsung maupun tidak langsung karena hakekat kehadirannya adalah rahmat bagi seluruh alam.
Praktek penzoliman atas pekerjaan kepada seorang hamba Allah dengan tidak memenuhi hak dasar kemanusiaannya adalah bentuk penzoliman seperti perlakuan kasar, tidak membayar gaji yang layak sesuai curahan tenaga dan pikirannya dalam bekerja, serta bentuk penindasan lainnya. Islam mengajarkan bahwa semua manusia adalah sama derajatnya dihadapan Allah, yang membedakannya hanyalah kualitas ketaqwaan sehingga yang harus diperangi Islam adalah kemunkaran dan kemaksiatan yang merupakan upaya sistematis menjerumuskan kualitas keimanan dan ketaqwaan manusia. Penafsiran mengapa indikator pembeda adalah kualitas ketaqwaan, bukan legalitas pemelukan agama?, sisi inilah bukti Islam rahmat bagi seluruh alam yang senantiasa menyebarkan rahman dan rahim. Bahwasanya ada realitas keberagamaan yang ditegaskan dalam Al Qur’an; kafir dan ahlul kitab [ummat yang memiliki kitab suci] maka Islam mengajarkan perlakuan rahman-rahim harus diimplementasikan bagi seluruh kaum kecuali yang melakukan tindakan yang menguras kualitas ketaqwaan. Allah berfirman dalam Hadits Kudsi, yang artinya;
“... Ada tiga golongan yang Aku murkai pada hari kiaman, pertama; orang yang telah memberikan sumpahnya atas nama-Ku tetapi ia kemudian mengabaikan sumpah itu, kedua; orang yang menjual [memperbudak] orang yang merdeka, dan ketiga; orang yang mempekerjakan orang lain dan stetlah selesai ia tidak memberikan upahnya
Bahwasanya ahlul kitab termasuk dalamnya kaum nasrani, memiliki pedoman kehidupan keberagamaan menurut keyakinannya kemudian mempraktekkannya dalam tatanan kehidupan sosial sebagaimana diajarkan oleh Al Qur’an dan Sunnah Rosulullah maka kelompok demikian telah menjaga kualitas ketaqwaannya [memerangi kemungkaran dan menjalani ajaran Allah]. Meskipun seseorang secara formal beragama Islam sekalipun namun mempraktekan kehidupan yang jauh dari standar ketaqwaan dengan melakukan kemungkaran maka selayaknya diperangi dengan tahapan penegakan yang di syaratkan.
Upaya Pencegahan Human Trafficking
Hukum positif sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 beserta runtunan peraturan perundang-undangan lain dibawahnya [UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang], telah melarang dan secara tegas menghakimi praktek human trafficking namun kenyataannya secara sistematis maupun personal masih terjadi dalam realitas sosial. Berbagai regulasi dimaksud hanya berperan pada tataran penegakan aturan yaitu menindak hal yang telah terjadi namun keseriusan dalam melakukan upaya pencegahan terlihat lemah. Upaya mencegah selayaknya dilakukan sebagai bentuk antisipasi pada faktor pemicunya yang merupakan tanggung jawab semua pihak untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatnya tingkat kesejahteraan dengan memberantas kemiskinan, menyehatkan stabilitas ekonomi, memperkuat nilai dan norma sosial yang Pancasilais dan mengamalkan ajaran-ajaran kebajikan agama/keyakinan bagi pemeluknya.
Perempuan berperan penting dalam menyiapkan generasi rabbani yang memerankan kemajuan peradaban, bilamana subjek perempuan sendiri tidak diposisikan dalam kondratnya ‘kesucian’ maka rusaklah tatanan sosial akibat ketidakmampuan perempuan mendesain generasi masa depan. Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan memiliki ciri dan sifat khusus yang menjamin keberlangsungan eksistensi bangsa dan negara pada waktu mendatang. Anak dan generasi muda menjadi subjek dari konsekuensi perkembangan peradaban, merekalah yang menjalani, mengendalikan dan mengatur baik buruknya masa depan sehingga didikan moral yang utamanya ditanamkan agar tidak terpengaruh dengan budaya hedonisme dan gaya hidup glamour. Penguatan budaya sosialis yang menghargai sesamanya [menyayangi yang lemah dan menghargai yang kuat] adalah konsep hidup rukun, berlaku adil pada semua makhluk Allah serta hidup toleran menjadi modal bagi generasi untuk menata kehidapan madani yang sejahtera dan bermartabat.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar