A. Pengantar
Keberagaman
agama di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat terpegantung dengan
perjalanan sejarah penjajahan dimasa lampau. Mengikuti catatan kelam seputar
daerah jajahan, rupanya NTT termasuk salah satu daerah yang mengalami dekadensi
kekuasaan para penjajah yang cukup beragam dan bervariatif. Mengingat kondisi
geografisnya yang berkepulauan maka pemetaan wilayah jajahan juga sering
mengalami perubahan. Akibatnya, pola pemukiman masyarakat dan persebaran
agama-pun dapat ditelusuri melalui realita populasi keberanutan masyarakat pada
agama tertentu hari ini.
Badan
Pusat Statistik NTT (2009), mensinyalir populasi penduduk NTT saat ini
berjumlah 4.534.319 jiwa yang tersebar di 20
Kabupaten dan 1 Kota. Secara geografis, luas daratan NTT adalah 47.349,9
Km2 yang tersebar pada 566 pulau (42 pulau
dihuni dan 524 pulau tidak dihuni).
Terkadang
ada yang beradegium bahwa NTT adalah miniatur Indonesia karena keberagaman
suku, bahasa dan agama. Jauh sebelum diperkenalkan agama oleh para peziarah dan
penjajah, manusia (masyarakat leluhur) NTT yang terdiri dari berbagai suku
telah hidup menuruti identitas kebudayaannya. Bahkan hingga kini, masih ada
sekelompok masyarakat pada beberapa daerah di NTT yang tidak menganut agama
apapun (atheism) dan terus menjaga tradisi kulturalnya. Hal ini menunjukan
bahwa ketersebaran agama sejak dahulu belum merasuk hingga lapisan terendah
khususnya bagi masyarakat di daerah terpencil.
Adegium
diatas juga sungguh beralasan karena distribusi persebaran agama jika ditilik
dari latar belakang sejarah dan budaya maka hal domain faktor penjajahan
menjadi sangat kecil. Artinya, kepatuhan terhadap sistem kebudayaan yang
terorganisir hingga pada hak ber-agama sangat tergantung pada tokoh adatnya.
Teridentifikasi dan dapat dipastikan bahwa hampir pada berbagai penggalan
wilayah menganut agama yang berbeda-beda mengikuti anutan agama yang dianut
para pendahulu (leluhurnya). Bahwa terdapat pembauran penganutan agama, ini
disebabkan karena komunikasi sosial budaya melalui perkawinan dan pertemanan sehingga
tidak jarang dalam sebuah suku (bahkan RT) terdapat beberapa agama yang dianut
anggotanya.
Berdasarkan
data yang diperoleh dari Kanwil Departemen Agama Propinsi NTT, pada tahun 2008
penduduk NTT paling banyak memeluk agama Kristen Katholik 55,30 persen, yang
terkonsentrasi di TTU, Belu dan seluruh daratan Flores dan Lembata. Pemeluk
terbanyak berikutnya adalah agama Kristen Protestan (34,32 persen) yang
terkonsentrasi di pulau Sumba, Kabupaten Kupang, TTS, Alor, dan Kota Kupang. Sedangkan pemeluk agama Islam sebanyak 8,05
persen, Hindu 0,21 persen, dan lainnya 2,12 persen. Jumlah tempat ibadah untuk
gereja Katholik (termasuk kapela) di seluruh NTT sebanyak 2.642 buah, gereja
Protestan 5.692 buah, masjid (termasuk mushola) 931 buah, pura 28 buah dan
vihara 1 buah yang terletak di Kota Kupang.
Dominasi
penduduk yang beragama Kristen Protestan sangat jelas dilihat dari
daerah-daerah bekas jajahan Belanda yang tidak terjamah oleh bangsa Portugis. Sedangkan
penganut agama Kristen Katholik cenderung berada dalam kekangan sejarah daerah
yang pernah dijajah Bangsa Portugis. Sementara daerah penyebaran Islam mudah
teridentifikasi di daerah pesisir karena di-syiarkan oleh para kaum pedagang
dari daerah Sulawesi dan Maluku. Persebaran agama lainnya seperti Hindu dan
Budha sementara teridentifikasi melalui persebaran distribusi normal oleh kaum
pendatang yang menjalankan aktifitas di NTT.
Oleh
karena peleburan nilai-nilai budaya dan agama yang sebegitu kentalnya maka
konflik akan lebih mudah terjadi dan akan lebih mudah diminimalisir/dihindari
karena ruang komunikasi sosial dapat terjadi melalui pendekatan agama, budaya
dan sukuisme. Masalah kemudian muncul dengan berbagai kepentingan politik dan
ekonomi yang menjadikan objek ‘SUKU’ dan ‘AGAMA’ sebagai wahana perbincangan
politik ‘PRIMORDIALISME’. Bahkan pada sisi yang lain, masalah FANATISME dan
RADIKALISME memang terjadi sebagai upaya menjaga dan mempertegas identitas
keyakinan namun metode dan gejala yang dipraktekkan melebihi nilai-nilai dasar
yang diajarkan kitab suci masing-masing (yang asli tentunya).
B. Fanatisme
dan Radikalisme; Apakah ada dalam ISLAM ?
Pascatragedi 11 September 2001,
terlebih pascabom Bali I dan bom Bali II dan beberapa tragedi kemanusiaan
lainnya, opini publik kian kuat mengarah kepada sekelompok Islam radikal
sebagai pelaku utamanya. Tentu, mayoritas umat Islam menolak opini tersebut.
Apalagi, opini itu cenderung ‘menuduh’ bahwa Islam identik dengan radikalisme.
Fenomena radikalisme sebenarnya tidak hanya terjadi pada masyarakat Islam,
namun seluruh agama yang ada berpotensi menghadapi persoalan radikalisme.
Penyebabnya adalah fanatisme dan kemutlakan yang dapat mendorong munculnya
sikap keberagamaan radikal.
Fanatisme yang berlebihan
menyebabkan tumbuh suburnya radikalisme karena ketika orang berbeda pendapat
akan dianggap sebagai musuhnya baik seagama maupun berbeda agama. Aksi-aksi
radikal yang mengatasnamakan agama telah memberi gambaran buram tentang agama.
Hal ini dikarenakan pengetahuan agama yang tidak luas, kurang terdidik dalam
agama sehingga merasa paling tahu sendiri tentang agamanya merupakan sebab
timbulnya radikalisme dalam beragama.
Radikalisme boleh jadi tidak akan
berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat bila hanya sampai pada tataran
ilmu atau filosofi. Pasalnya, pada tingkatan itu tidak sampai membuat kerusakan
di muka bumi ini. Tetapi, ketika telah sampai pada tataran perbuatan, biasanya
radikalisme ini akan berakhir dengan anarkis. Salah satu karakter penting
radikalisme agama adalah penekanan pada sikap literal terhadap doktrin agama.
Agar pemahaman literal memiliki otoritas yang kuat, radikalisme agama
melembagakan kepemimpinan agama yang tunggal, monolotik yang cenderung
otoriter. Karena itu, kalangan luar memahami radikalisme dalam konotasi yang
pejoratif. Radikalisme disamakan dengan sikap antirasional, antimodern,
antiilmu pengetahuan, eksklusif, tidak toleran, dan lain sebagainya.
Radikalisme pada umumnya juga timbul
adanya jurang kesenjangan antara kelompok kaya yang maju dengan kelompok miskin
yang terbelakang. Radikalisme agama seharusnya tidak perlu timbul jika ada kesadaran
bahwa agama itu sudah dari sananya berbeda, jadi tak bisa dirukunkan. Yang
harus dibentuk adalah kerukunan antarumat beragama, bukan kerukunan antar
agama.
Membaca jejak pendapat Litbang
Kompas edisi Senin 9 Mei 2011 tentang Jalan Memupus Radikalisme dengan menunjukan
bahwa tumbuhsuburnya gerakan radikalisme agama ini diakibat ; Pertama, Lemahnya penegakan hukum
mencapai 28,0%; Kedua, Rendahnya
tingkat pendidikan dan lapangan kerja mencapai 25,2 %; Ketiga, Lemahnya pemahaman ideologi Pancasila mencapai 14,6%; Keempat, Kurangnya dialog antarumat
beragama mencapai 13,9%; Kelima,
Kurangnya pemahaman agama mencapai 4,9%; Keenam,
Ketidakpuasan terhadap pemerintah mencapai 2,3%; Ketujuh, Kesenjangan ekonomi mencapai 1,6%; Kedelapan, Lainnya mencapai 3,1%; Kesembilan, Tidak tahu/tidak jawab mencapai 6,4%.
Ahmad Syafii Maarif dalam kata
pengantar buku Pray to Kill menuliskan “Islam dan Bahaya Radikalisme Beragama”
mengingatkan bahwa dalam sejarah peradaban umat manusia, radikalisme agama pada
umumnya berujung pada atau dengan kegagalan. Apalagi jika filosofi yang
digunakan adalah kebencian dan fanatisme. Pendukung radikalisme agama tampaknya
tidak mempunyai modal untuk menawarkan perdamaian dan kesejahteraan. Napas yang
sesak karena berbagai hantaman sejarah yang datang bertubi-tubi telah
menempatkan sebagaian muslim dalam posisi tragis tetapi tak berdaya. Oleh sebab
itu mereka menempuh jalan pintas berupa self-defeanting
(menghancurkan diri sendiri) atas nama agama yang dipahami dalam suasana jiwa
yang sangat rentan dan tertekan.
Istilah
radikalisme Islam berasal dari pers barat untuk menunjuk gerakan Islam garis
keras (ekstrim, fundamentalis, militan). Istilah fundamentalisme dan
radikalisme dalam perspektif Barat sering dikaitkan dengan sikap ekstrim,
kolot, stagnasi, konservatid, anti-Barat, dan keras dalam mempertahankan pendapat
bahkan dengan kekerasan fisik. Penggunaan istilah radikalisme atau
fundamentalisme bagi umat Islam sebenarnya tidak tepat karena gerakan
radikalisme itu tidak terjadi di setiap negeri Muslim dan tidak dapat
ditimpakan kepada Islam. Radikalisme merupakan gerakan yang dilakukan oleh
individu atau kelompok yang dirugikan oleh fenomena sosio-politik dan
sosiohistoris.
Gejala
praktek kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam itu, secara
historis-sosiologis, lebih tepat sebagai gejala sosial-politik ketimbang gejala
keagamaan meskipun dengan mengibarkan panji-panji keagamaan. Label Islam untuk
menyebut gerakan fundamentalis sangat menyenangkan bagi pers Barat ketimbang
label Tamil di Srilangka, militan Hindu di India, IRA (kelompok bersenjata Irlandia
Utara), militan Yahudi sayap kanan, sekte kebatinan di Jepang ataupun bahkan
musuh lamanya, komunis-marxis yang tidak jarang menggunakan jalan kekerasan
sebagai solusi penyelesaian masalah. Karena terlalu mengkaitkan kata-kata
radikalisme, fundamentalis atau gerakan militan dengan Islam maka seringkali media
Barat mengabaikan perkembangan praktek kekerasan yang ditopang keyakinan
keagamaan yang dilakukan oleh kalangan non-Islam ataupun yang ditopang oleh
ideologi ‘kiri’. Pertanyaannya, APAKAH FANATISME
AGAMA YANG MELAHIRKAN RADIKALISME HANYA TERJADI DALAM ISLAM?.
C.
Fanatisme Melahirkan
Radikalisme
Dalam dunia politik,
radikalisme dapat dipahami sebagai suatu pemikiran atau suatu tindakan revolusioner
yang langsung bersentuhan dengan “akar-akar” (Lain: radix, radices) suatu persoalan
dalam kehidupan suatu negara, yang ingin dicabut seluruhnya dan “pohon”-nya ditumbangkan.
Ini yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai makar, yang dalam KBBI (edisi
tiga) didefinisikan sebagai “perbuatan atau usaha menjatuhkan pemerintah yang
sah”.
Dr. Ioanes Rakhmat (2011), berpendapat bahwa dalam
pandangan dunia keagamaan yang totalitarian (= menyatukan agama dengan
politik), radikalisme religius menggiring orang beragama ke dalam suatu tindak
kekerasan fisik, yang bertujuan makar, yakni menggulingkan suatu pemerintahan
yang sah (yang dinilai sekular atau condong sekular) dan menggantikannya dengan
suatu bentuk pemerintahan teokratis (=Allah sebagai pemerintah, lewat wakilnya
di dunia yang dilantik-Nya) atau pemerintahan nomokratis (hukum-hukum Allah
dalam suatu agama menjadi UUD suatu negara).
Radikalisme religius
juga berarti fanatisme atau ekstrimisme atau fundamentalisme, yang tidak
bersifat totalitarian mutlak, namun juga bisa bermuara pada kekerasan, baik
kekerasan fisik (physical violence),
maupun kekerasan wacana verbal (discourse/verbal
violence). Kekerasan wacana ini muncul ketika seorang yang fanatik dengan
agamanya sendiri menyerang agama-agama lain dengan membabibuta dengan maksud
menjatuhkan agamaagama lain itu, melalui ucapan-ucapannya, khotbah-khotbahnya,
ajaran-ajarannya, atau tulisan-tulisannya yang tidak memiliki landasan akademik
sama sekali, tetapi merupakan proganda-propaganda atau kampanye-kampanye
“hitam” (black campaign) yang diarahkan kepada agama-agama lain yang tidak
disukainya. Kekerasan wacana dari radikalisme religius kerap memicu kekerasan
fisik yang dilakukan pihak umat beragama yang merasa diserang.
Jika pemahaman
tentang FANATISME dan RADIKALISME didudukan dalam konteks demikian, pertanyaannya
; FANATISME
AGAMA YANG MELAHIRKAN RADIKALISME HANYA TERJADI DALAM ISLAM?. Jawabannya akan disimak dalam penjelasan selanjutnya.
D.
Potret Fanatisme dan
Radikalisme Agama di NTT
Merujuk
sajian data statistik dari BPS NTT (2009) terlihat perbandingan kuantitaif pemeluk
agama dan distribusi keberadaan rumah ibadah yang ‘TIDAK SEHAT’. Akurasi dan
kebenaran faktual data statistik ini patut dipertanyakan ; apakah instrumen
sensus yang tidak akurat ataukah metodologi yang tidak ilmiah ataukah
objektifitas tenaga sensus yang kurang profesional ataukan ada interfensi lain
dalam penyajian data dimaksud (data lihat
lampiran).
Pertanyaan
tentang data ini patut menjadi acuan dimulainya pembahasan tentang Radikalisme
Agama di NTT karena merujuk dari datalah berbagai kebijakan politik diambil,
keberpihakan kepentingan diprioritaskan, besaran anggaran dialokasikan, kucuran
perhatian diberikan. Bahkan berdasarkan data pula-lah DISKRIMINASI itu muncul
antar ‘MAYOR-MINOR’ dan konflik dimulai karena adanya ketidak-jujuran dan dalam
penyajian informasi sehingga ketimpangan keadilan itu ada dan BENAR-BENAR ADA.
Jika
harus berkesimpulan bahwa radikalisme religius juga berarti ekstrimisme yang
bermuara pada kekerasan, baik kekerasan fisik (physical violence), maupun kekerasan wacana verbal (discourse/verbal violence) maka realita
yang terjadi di NTT saat ini perlu dikategorikan dalam sebuah ‘kekerasan
moral’ karena tengah terjadi DISKRIMINASI
terhadap agama tertentu. Kekerasan moral secara tidak sadar telah menggerogoti
semangat kebhinekaan di NTT dan justru menjadi bom waktu karena sistem
pergerakannya terselubung dibalik berbagai ketidak-adilan sistem perpolitikan.
Tatkala hal ini diwacanakan maka argumentasi yang dibangun adalah ; “COBALAH
TENGOK KE BELAHAN BUMI NUSANTARA LAINNYA, ADA JUGA DISKRIMINASI DISANA YANG
TERJADI PADA KAMI”. Lagi-lagi diskriminasi data dan informasi yang mengarah
pada simpulan MAYOR-MINOR (terdepan-terbelakang; terbanyak-tersedikit;
termaju-tertinggal).
Data kuantitatif sering
dijadikan komoditi politik yang dikemas dalam issue-issue primordial saat
hajatan politik diselenggarakan. Dalam distribusi kader dalam birokrasi yang
sepatutnya mempertimbangkan profesionalisme, kualitas dan kapasitas
dikesampingkan dengan menggunakan pertimbangan eselonering,
keseimbangan/perimbangan, penjenjangan (kaderisasi). Jika demikian maka
pengelolaan sistem pemerintah yang merupakan persekongkolan kelompok biroratif
dan yudikatif dapat berjalan leluasa dan keberpihakan
kepentingan diprioritaskan, besaran anggaran dialokasikan, kucuran perhatian
diberikan secara sepihak dengan alasan merujuk data.
E. Masalah
Faktual seputar Fanatisme dan Radikalisme Agama di NTT
Pengantar pokok masalah
sebagaimana disajikan dalam bagian ‘D’ adalah bersifat umum, dalam kaitan
dengan Fokus Bahasan dalam makalah ini maka akan ditampilkan beberapa contoh
Radikalisme Agama di NTT, berikut ;
1.
Konflik pendirian
rumah ibadah dan penyiaran agama di NTT
Meskipun ada keraguan pada
data BPS NTT namun harus dirujuk karena belum ada data pembanding yang
dilakukan secara ilmiah lainnya. Seyogyanya lembaga Islam (dalam hal ini MUI
NTT) memiliki data pembanding namun berbagai informasi dan hasil obserfasi
sementara dapat dijadikan bahan pembanding data yang ada. Sesuai data, jumlah (%) pemeluk, jumlah tempat ibadah dan perbandingan
distribusi penganut pada masing-masing tempat ibadah tersaji dalam tabel
berikut ;
No
|
Agama
|
Jmlh (jiwa)
|
%
|
Tempat Ibadah
|
Perbandingan
|
1
|
Islam
|
365.012,68
|
8,05
|
931
|
392
|
2
|
K. Protestan
|
1.556.178,28
|
34,32
|
5692
|
273
|
3
|
K. Katholik
|
2.507.478,41
|
55,3
|
2642
|
949
|
4
|
Hindu
|
9.522,07
|
0,21
|
28
|
340
|
5
|
Budha
|
453,43
|
0,01
|
1
|
453
|
6
|
lainnya
|
96.127,56
|
2,12
|
||
Jumlah
|
4.534.772,43
|
100,01
|
Sumber ; BPS NTT 2009 (diolah ;
Hamza)
Hasil olahan data pada tabel diatas
menunjukan perbedaan dengan akumulasi jumlah penduduk yang tersaji dalam NTT
Dalam Angka 2009 sebanyak 4.534.319 (selisih ; 453,43 jiwa lebih banyak dari
data faktual). Apakah ini standar error dalam perhitungan statistik ataukah
adanya interfensi faktor ‘X’ ?. Selanjutnya, data yang cukup mencolok adalah
perbandingan ummat Kristen Katholik dengan jumlah gereja (kapela) katholik
sebanyak 949 jiwa/gereja sedangkan kristen protestan 273 jiwa/gereja. Sementara
agama Islam, Hindu dan Budha tergolong masih rasional dengan kisaran 300 s/d
400 jiwa per tempat ibadah.
Hal ini memang bukan menjadi rujukan
utama efektifitas dan efisiensi pelayanan keagamaan dan kenyamanan menjalankan
ibadah ummat beragamanya. Harus diakui bahwa banyak pula keberadaan rumah
ibadah tidak dioptimalkan pemeluknya sebagai sarana ibadah sehingga terkesan
mubazzir (pemborosan). Dimungkinkan semakin banyak rumah ibadah yang tersebar
maka efisiensi dan efektifitas pelayanan lebih terjamin namun bisa juga sebaliknya
tergantung pemanfaatan variabel sarana keagamaan lainnya seperti lembaga
pendidikan, lembaga ekonomi, lembaga kesehatan dan lembaga kemasyarakatan yang
berlatar belakang agama. Namun kejanggalan muncul jika keinginan memperbanyak
membangun tempat ibadah karena alasan konflik internal dalam pelayanan bahkan
masalah pengelolaan manajemen rumah ibadah yang kurang dipercaya (untuk mencari
keuntungan ekonomis).
Terlepas dari berbagai
argumentasi dan simpulan tersebut, adalah fakta yang terjadi dilapangan bahwa
telah terjadi diskriminasi dalam pemberian izin pembangunan rumah ibadah (agama
tertentu) meski berbagai syarat telah terpenuhi. Kasus yang terjadi sebulan
terakhir di Kota Kupang, pembangunan masjid di Kelurahan Batuplat yang sudah
memenuhi berbagai persyaratan namun masih ada sekelompok kecil masyarakat yang
menganulirnya. Proses pemenuhan persyaratan berupa IMB, dukungan masyarakat dan
rekomendasi dari FKUB setempat sebelumnya telah melalui berbagai pencekalan
namun dengan merujuk regulasi yang ada masjid ini telah diperbolehkan berdiri.
Alhasil, masih ada sekelompok pemuda yang dipolitisir untuk menolak
keberadaanya. Kasus ini merupakan contoh kecil sejarah kelam dari kesulitan
proses pembangunan rumah ibadah di NTT (baru di Kota Kupang, apalagi di
Kabupaten yang tidak terjangkau interfensi publik) tentu upaya penolakan lebih
kuat. Dicurigai seperti adanya arahan secara sistematis bahwa ‘dimana masjid
didirikan, disekitarnya harus ada gereja’, hal ini terbukti bahwa setiap masjid
berjarang + 500 M pasti didirikan gereja meskipun pada desa/kelurahan
tersebut tidak memiliki ummat kristiani mencapai 40 orang (sesuai aturan).
Rumah ibadah (baca ; masjid)
adalah titik sentral syiar Islam dimulai, proses pembangunannya dipersulit.
Artinya, ada upaya sistematis dalam mengkerdilkan semangat dakwah ummat Islam
bagi pemeluknya. Masalah lain berlanjut pada lembaga pendukung lainnya seperti
pendirian dan penyelenggaraan lembaga pendidikan (MI, MTs, MA, Pondok Pesantren
dan IAIN), lembaga ekonomi (BMT, koperasi syari’ah), lembaga kemasyarakatan
(OKP, OSMA dan Yayasan) yang berlatar belakang Islam. Proses pendiriannya
dipersulit dan dalam penyelenggaraannya juga tidak dilibatkan secara maksimal
(kurang diperhatikan). Terlebih peningkatan SDM cenderung ‘menomor-duakan’
individu yang memeluk agama tertentu. Sumber penolakan teridentifikasi
dilakukan oleh individu yang melembaga dalam lembaga pemerintah, tokoh
masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda yang berlatar belakang agama tertentu.
Bagaimana mungkin syiar Islam (Rahmatil lil ‘Alamin) dapat diejawantahkan jika
variabel pendukung tidak didukung oleh kebijakan.
2.
Pemakaman non
katholik dan non protestan di NTT
Peleburan agama, suku dan
budaya di NTT memang sudah membaur dalam satu kesatuan namun kasus pemindahan
agama (pemurtadan) secara paksa maupun terselubung terus terjadi secara
sistematis. Penyebabnya adalah faktor ekonomi, pendidikan dan metode
‘kawin-mawin’. Taksiran sementara bisa terjadi pemurtadan rata-rata 1 s/d 3
jiwa perhari dengan berbagai metode pendekatan yang dilakukan. Kasus ini adalah
pemurtadan mutlak (tersertifikasi), belum terkategori pergeseran nilai
ke-Islaman dalam pemahaman dan pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya.
Ketidakjelasan proses
kepemelukan agama berikutnya menimbulkan masalah tatkala individu yang
bersangkutan (yang melakukan pemindahan agama) meninggal (wafat) kemudian
dilakukan penguburan. Apakah mengikuti mekanisme agama asalnya ataukah agama
yang tersertifikasi?. Beberapa kasus di NTT telah terjadi, seperti seorang muallaf
(dewasa) yang telah bersertifikat Islam kemudian meninggal namun oleh pihak
keluarga memaksakan untuk dilakukan penguburan mengikuti agama asalnya (bukan
Islam). Kasus; seorang istri (murtad) yang diterlantarkan suaminya kemudian
cerai dan masuk kembali Islam kemudian meninggal, oleh suaminya dipaksakan
untuk dikuburkan menurut agama suaminya.
Perdebatan terbuka sering
terjadi antara tokoh agama dan lembaga agama hanya mempersoalkan dikuburkan
sesuai anjuran agama tertentu. Islam tidak memaksakan secara personal tapi dari
pihak agama diluar Islam secara kelembagaan memberikan advokasi kepada keluarga
untuk memaksakan kehendak dikuburkan mengikuti ritual agama bukan Islam. Sangat
jelas intervensi agama secara kelembagaan bukan secara individual dan hal ini
di’amini’ oleh Pemerintah.
3.
Pengaruh Katholik dan
Protestan dalam kebijakan pemerintah
Bahasan tentang hal ini
sekilas telah digambarkan sebelumnya bahwa dominasi kedua agama tersebut
dirasakan cukup kuat dalam struktur pemerintah karena alasan MAYORITAS. Sebelum
bicarakan soal kebijakan, patut dikoreksi terdahulu soal pengelola kebijakan
(eksekutif dan legislatif). Intervensi agama dirasakan cukup kuat dalam proses
awal perekrutan aparatur negara (penerimaan CPNSD), pendistribusian tugas dan
tanggung jawab selama proses pengkaderan di lembaga pemerintahan, promosi dan
jenjang eselonering serta distribusi jabatan strategis. Hal ini didasarkan atas
latar belakang agama bukan pertimbangan kualitas, kualifikasi dan potensi.
Bahkan beberapa kasus yang terjadi adalah terjadi pemaksaan memeluk agama
tertentu (keluar dari Islam; Murtad) supaya lulus dan dipromosikan mendapatkan
jabatan stategis.
Selanjutnya soal pemilihan
wakil rakyat ke lembaga legislatif juga ditemukan ketimpangan, penggelembungan
suara yang diambil dari caleg yang beragama Islam (baik dari Partai Islam
maupun partai nasionalis), penetapan hak suara yang tidak akomodatif. Tidak
diakuinya hak suara sebagian dari ummat Islam (kaum pendatang; Jawa, Sumatra,
Bugis, dll) dalam pemilihan legislatif maupun kepala daerah berimbas pada tidak
adanya suara untuk CALEG/ kandidat (beragama Islam) lantar menurunkan nilai
jual komunitas Islam.
Berikut diskriminasi dalam
pendistribusian kebijakan seperti bantuan pemerintah dan alokasi anggaran kepada
basis ummat Islam, ketersediaan sarana umum (listrik, air, jalan) pada daerah
mayoritas Islam, perhatian pada lembaga pendidikan Islam (swasta), prioritas
kepentingan kelompok (Ormas/OKP) Islam, pelayanan kesehatan yang
diterlantarkan, pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir yang dominan ummat
Islam. Hal yang paling jelas adalah dialihkannya arah kebijakan pembangunan
yang cenderung tidak memberdayakan potensi kelautan hanya karena umumnya
pengelolaan laut cenderung dekat dengan masyarakat pesisir yang dominan banyak
ummat Islamnya.
4.
Pendatang non
katholik dan non protestan di NTT
Akurasi data statistik
sekalilagi perlu dikoreksi karena peningkatan persentase kaum urban terbesar
setelah urban lokal (antar kabupaten) adalah urban lintas provinsi yang lebih
banyak adalah kaum pendatang dari suku Jawa, Sunda, Padang, Madura dan Bugis
(95 % beragama Islam). Perilaku urban tidak teridentifikasi dalam data
statistik sehingga interensi kebijakan pemerintah juga tidak ditujukan kepada
komunias pendatang ini. Sementara secara realistis harus diakui bahwa
pergerakan ekonomi kecil dan menengah diseluruh pelosok NTT khususnya di
Ibukota Kabupaten/Kota dan Kecamatan didominasi oleh kaum pendatang yang
melakukan perniagaan.
Beberapa diskriminasi
teridentifikasi seperti ; dipersulitnya mendapatkan kartu identitas (KTP, KK,
Keterangan Domisili, Akte Kelahiran, dll) serta pemberian izin usaha bagi kaum
pendatang. Kasus lain yang digerakkan secara sistematis adalah penempatan
tempat penjualan daging babi dan anjing (maupun warung masakan daging anjing
dan babi) berada disekitar warung makan padang, jawa, madura dan bugis. Hal ini
mengakibatkan menurunnya jumlah pengunjung ke warung makan tersebut.
F. Belajar
dari Tragedi 30 September 1998
Masyarakat
muslim Kota Kupang dan sekitarnya akan selalu mengingat kenestapaan kejadian +
13 tahun silam tersebut. Kejadian pengrusakan dan pembakaran masjid, mushollah,
fasilitas umum milik ummat Islam, rumah-orang Islam dan tempat usaha milik
orang Islam di Kota Kupang yang lebih dikenal dengan istilah Kerusuhan Kupang
’98. Eksodus masyarakat ex. Tim-tim yang sebagiannya juga muslim (keturunan arab dan pendatang) masih dalam
proses rehabilitasi sosial. Masyarakat Kota Kupang sementara melakukan
rehabilitasi sosial paska referendum yang terjadi pada Tim-tim lantar sebuah
kejadian yang direncanakan dengan kedok pawai keagamaan berganti menjadi
kerusuhan.
Diprakarsai
oleh beberapa ORMAS dan OKP Katholik dan Protestan, melakukan kebaktian dan
pawai merespons kejadian kerusuhan Ketapang. Pihak keamanan dan Pemda seakan
telah membangun kesepakatan dengan pihak Gereja dan pemukanya untuk sengaja
menghadirkan massa dan melakukan pengrusakan serta pembakaran segala sesuai
yang bernuansa Islam. Meski demikian, masyarkat Muslim Kota Kupang tidak gentar
menghadapinya dengan memberikan pertahanan yang terpusat pada tempat Ibadah
(masjid). Kerusakan diperkirakan sangat variatif namun kerugian mencapai
Rp.
Paska
kerusuhan Kupang tersebut baru seluruh masyarakat dan pemerintah Kota Kupang
dan Provinsi NTT terbuka matanya bahwa hidup rukun dan damai itu penting
adanya. Bagaimanapun sedikitnya kaum muslim, mereka turut menentukan
keseimbangan kehidupan sosial kemasyarakatan. Kehidupan ekonomi khususnya menengah
kebawah terasa mati karena hampir 90% aktifitas ekonomi menengah dan kecil
dikuasai oleh orang Islam (komunitas Jawa, Bugis, Padang, Arab, Madura) yang
semuanya merasa teranncam dan meninggalkan Kupang. Sampai saat ini, tak ada
satu pihak pun yang jujur mengakui kesalahan atas kejadian ini dan tak ada yang
mengaku terlibat dalam kejadian ini. Lantas siapakah yang melakukan pengrusakan
dan pembakaran tersebut?
G. Penutup
Berbagai argumen,
data dan informasi seputar kasus fanatisme dan radikalisme agama yang terjadi
di NTT. Kasus faktual yang dikedepankan belum termasuk kekerasan
wacana verbal (discourse/verbal violence)
yang fanatik dengan agamanya sendiri menyerang dan mencorang nilai agama Islam melalui
ucapan-ucapannya, khotbah-khotbahnya, ajaran-ajarannya, atau tulisan-tulisannya
yang tidak memiliki landasan akademik, tetapi merupakan proganda-propaganda
atau kampanye-kampanye “hitam” (black
campaign) yang diarahkan kepada agama Islam. Kekerasan wacana dari
radikalisme religius kerap ditujukan kepada agama Islam dengan berbagai
cemoohan dan umpatan lisan baik langsung maupun tidak langsung juga melalui
tulisan (coretan) ditempat umum, selebaran gelap dan berbagai cara lainnya.
Sungguh ini adalah sebuah radikalisme agama yang menggeser nilai dan
moral agama tertentu dalam menjalankan perintahnya. Besar harapan mendapatkan
perhatian dari berbagai pihak untuk penegakan nilai-nilai keadilan dalam
kehidupan bermasyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar