Kamis, 09 Juli 2015

POTRET FANATISME DAN RADIKALISME AGAMA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR



A.   Pengantar
Keberagaman agama di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat terpegantung dengan perjalanan sejarah penjajahan dimasa lampau. Mengikuti catatan kelam seputar daerah jajahan, rupanya NTT termasuk salah satu daerah yang mengalami dekadensi kekuasaan para penjajah yang cukup beragam dan bervariatif. Mengingat kondisi geografisnya yang berkepulauan maka pemetaan wilayah jajahan juga sering mengalami perubahan. Akibatnya, pola pemukiman masyarakat dan persebaran agama-pun dapat ditelusuri melalui realita populasi keberanutan masyarakat pada agama tertentu hari ini.
Badan Pusat Statistik NTT (2009), mensinyalir populasi penduduk NTT saat ini berjumlah 4.534.319 jiwa yang tersebar di 20 Kabupaten dan 1 Kota. Secara geografis, luas daratan NTT adalah 47.349,9 Km2 yang tersebar pada 566 pulau (42 pulau dihuni dan 524 pulau tidak dihuni).
Terkadang ada yang beradegium bahwa NTT adalah miniatur Indonesia karena keberagaman suku, bahasa dan agama. Jauh sebelum diperkenalkan agama oleh para peziarah dan penjajah, manusia (masyarakat leluhur) NTT yang terdiri dari berbagai suku telah hidup menuruti identitas kebudayaannya. Bahkan hingga kini, masih ada sekelompok masyarakat pada beberapa daerah di NTT yang tidak menganut agama apapun (atheism) dan terus menjaga tradisi kulturalnya. Hal ini menunjukan bahwa ketersebaran agama sejak dahulu belum merasuk hingga lapisan terendah khususnya bagi masyarakat di daerah terpencil.
Adegium diatas juga sungguh beralasan karena distribusi persebaran agama jika ditilik dari latar belakang sejarah dan budaya maka hal domain faktor penjajahan menjadi sangat kecil. Artinya, kepatuhan terhadap sistem kebudayaan yang terorganisir hingga pada hak ber-agama sangat tergantung pada tokoh adatnya. Teridentifikasi dan dapat dipastikan bahwa hampir pada berbagai penggalan wilayah menganut agama yang berbeda-beda mengikuti anutan agama yang dianut para pendahulu (leluhurnya). Bahwa terdapat pembauran penganutan agama, ini disebabkan karena komunikasi sosial budaya melalui perkawinan dan pertemanan sehingga tidak jarang dalam sebuah suku (bahkan RT) terdapat beberapa agama yang dianut anggotanya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kanwil Departemen Agama Propinsi NTT, pada tahun 2008 penduduk NTT paling banyak memeluk agama Kristen Katholik 55,30 persen, yang terkonsentrasi di TTU, Belu dan seluruh daratan Flores dan Lembata. Pemeluk terbanyak berikutnya adalah agama Kristen Protestan (34,32 persen) yang terkonsentrasi di pulau Sumba, Kabupaten Kupang, TTS, Alor, dan Kota Kupang.  Sedangkan pemeluk agama Islam sebanyak 8,05 persen, Hindu 0,21 persen, dan lainnya 2,12 persen. Jumlah tempat ibadah untuk gereja Katholik (termasuk kapela) di seluruh NTT sebanyak 2.642 buah, gereja Protestan 5.692 buah, masjid (termasuk mushola) 931 buah, pura 28 buah dan vihara 1 buah yang terletak di Kota Kupang.
Dominasi penduduk yang beragama Kristen Protestan sangat jelas dilihat dari daerah-daerah bekas jajahan Belanda yang tidak terjamah oleh bangsa Portugis. Sedangkan penganut agama Kristen Katholik cenderung berada dalam kekangan sejarah daerah yang pernah dijajah Bangsa Portugis. Sementara daerah penyebaran Islam mudah teridentifikasi di daerah pesisir karena di-syiarkan oleh para kaum pedagang dari daerah Sulawesi dan Maluku. Persebaran agama lainnya seperti Hindu dan Budha sementara teridentifikasi melalui persebaran distribusi normal oleh kaum pendatang yang menjalankan aktifitas di NTT.
Oleh karena peleburan nilai-nilai budaya dan agama yang sebegitu kentalnya maka konflik akan lebih mudah terjadi dan akan lebih mudah diminimalisir/dihindari karena ruang komunikasi sosial dapat terjadi melalui pendekatan agama, budaya dan sukuisme. Masalah kemudian muncul dengan berbagai kepentingan politik dan ekonomi yang menjadikan objek ‘SUKU’ dan ‘AGAMA’ sebagai wahana perbincangan politik ‘PRIMORDIALISME’. Bahkan pada sisi yang lain, masalah FANATISME dan RADIKALISME memang terjadi sebagai upaya menjaga dan mempertegas identitas keyakinan namun metode dan gejala yang dipraktekkan melebihi nilai-nilai dasar yang diajarkan kitab suci masing-masing (yang asli tentunya).

B.    Fanatisme dan Radikalisme; Apakah ada dalam ISLAM ?
Pascatragedi 11 September 2001, terlebih pascabom Bali I dan bom Bali II dan beberapa tragedi kemanusiaan lainnya, opini publik kian kuat mengarah kepada sekelompok Islam radikal sebagai pelaku utamanya. Tentu, mayoritas umat Islam menolak opini tersebut. Apalagi, opini itu cenderung ‘menuduh’ bahwa Islam identik dengan radikalisme. Fenomena radikalisme sebenarnya tidak hanya terjadi pada masyarakat Islam, namun seluruh agama yang ada berpotensi menghadapi persoalan radikalisme. Penyebabnya adalah fanatisme dan kemutlakan yang dapat mendorong munculnya sikap keberagamaan radikal.
Fanatisme yang berlebihan menyebabkan tumbuh suburnya radikalisme karena ketika orang berbeda pendapat akan dianggap sebagai musuhnya baik seagama maupun berbeda agama. Aksi-aksi radikal yang mengatasnamakan agama telah memberi gambaran buram tentang agama. Hal ini dikarenakan pengetahuan agama yang tidak luas, kurang terdidik dalam agama sehingga merasa paling tahu sendiri tentang agamanya merupakan sebab timbulnya radikalisme dalam beragama.
Radikalisme boleh jadi tidak akan berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat bila hanya sampai pada tataran ilmu atau filosofi. Pasalnya, pada tingkatan itu tidak sampai membuat kerusakan di muka bumi ini. Tetapi, ketika telah sampai pada tataran perbuatan, biasanya radikalisme ini akan berakhir dengan anarkis. Salah satu karakter penting radikalisme agama adalah penekanan pada sikap literal terhadap doktrin agama. Agar pemahaman literal memiliki otoritas yang kuat, radikalisme agama melembagakan kepemimpinan agama yang tunggal, monolotik yang cenderung otoriter. Karena itu, kalangan luar memahami radikalisme dalam konotasi yang pejoratif. Radikalisme disamakan dengan sikap antirasional, antimodern, antiilmu pengetahuan, eksklusif, tidak toleran, dan lain sebagainya.
Radikalisme pada umumnya juga timbul adanya jurang kesenjangan antara kelompok kaya yang maju dengan kelompok miskin yang terbelakang. Radikalisme agama seharusnya tidak perlu timbul jika ada kesadaran bahwa agama itu sudah dari sananya berbeda, jadi tak bisa dirukunkan. Yang harus dibentuk adalah kerukunan antarumat beragama, bukan kerukunan antar agama.
Membaca jejak pendapat Litbang Kompas edisi Senin 9 Mei 2011 tentang Jalan Memupus Radikalisme dengan menunjukan bahwa tumbuhsuburnya gerakan radikalisme agama ini diakibat ; Pertama, Lemahnya penegakan hukum mencapai 28,0%; Kedua, Rendahnya tingkat pendidikan dan lapangan kerja mencapai 25,2 %; Ketiga, Lemahnya pemahaman ideologi Pancasila mencapai 14,6%; Keempat, Kurangnya dialog antarumat beragama mencapai 13,9%; Kelima, Kurangnya pemahaman agama mencapai 4,9%; Keenam, Ketidakpuasan terhadap pemerintah mencapai 2,3%; Ketujuh, Kesenjangan ekonomi mencapai 1,6%; Kedelapan, Lainnya mencapai 3,1%; Kesembilan, Tidak tahu/tidak jawab mencapai 6,4%.
Ahmad Syafii Maarif dalam kata pengantar buku Pray to Kill menuliskan “Islam dan Bahaya Radikalisme Beragama” mengingatkan bahwa dalam sejarah peradaban umat manusia, radikalisme agama pada umumnya berujung pada atau dengan kegagalan. Apalagi jika filosofi yang digunakan adalah kebencian dan fanatisme. Pendukung radikalisme agama tampaknya tidak mempunyai modal untuk menawarkan perdamaian dan kesejahteraan. Napas yang sesak karena berbagai hantaman sejarah yang datang bertubi-tubi telah menempatkan sebagaian muslim dalam posisi tragis tetapi tak berdaya. Oleh sebab itu mereka menempuh jalan pintas berupa self-defeanting (menghancurkan diri sendiri) atas nama agama yang dipahami dalam suasana jiwa yang sangat rentan dan tertekan.
Istilah radikalisme Islam berasal dari pers barat untuk menunjuk gerakan Islam garis keras (ekstrim, fundamentalis, militan). Istilah fundamentalisme dan radikalisme dalam perspektif Barat sering dikaitkan dengan sikap ekstrim, kolot, stagnasi, konservatid, anti-Barat, dan keras dalam mempertahankan pendapat bahkan dengan kekerasan fisik. Penggunaan istilah radikalisme atau fundamentalisme bagi umat Islam sebenarnya tidak tepat karena gerakan radikalisme itu tidak terjadi di setiap negeri Muslim dan tidak dapat ditimpakan kepada Islam. Radikalisme merupakan gerakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang dirugikan oleh fenomena sosio-politik dan sosiohistoris.
Gejala praktek kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam itu, secara historis-sosiologis, lebih tepat sebagai gejala sosial-politik ketimbang gejala keagamaan meskipun dengan mengibarkan panji-panji keagamaan. Label Islam untuk menyebut gerakan fundamentalis sangat menyenangkan bagi pers Barat ketimbang label Tamil di Srilangka, militan Hindu di India, IRA (kelompok bersenjata Irlandia Utara), militan Yahudi sayap kanan, sekte kebatinan di Jepang ataupun bahkan musuh lamanya, komunis-marxis yang tidak jarang menggunakan jalan kekerasan sebagai solusi penyelesaian masalah. Karena terlalu mengkaitkan kata-kata radikalisme, fundamentalis atau gerakan militan dengan Islam maka seringkali media Barat mengabaikan perkembangan praktek kekerasan yang ditopang keyakinan keagamaan yang dilakukan oleh kalangan non-Islam ataupun yang ditopang oleh ideologi ‘kiri’. Pertanyaannya, APAKAH FANATISME AGAMA YANG MELAHIRKAN RADIKALISME HANYA TERJADI DALAM ISLAM?.
C.   Fanatisme Melahirkan Radikalisme
Dalam dunia politik, radikalisme dapat dipahami sebagai suatu pemikiran atau suatu tindakan revolusioner yang langsung bersentuhan dengan “akar-akar” (Lain: radix, radices) suatu persoalan dalam kehidupan suatu negara, yang ingin dicabut seluruhnya dan “pohon”-nya ditumbangkan. Ini yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai makar, yang dalam KBBI (edisi tiga) didefinisikan sebagai “perbuatan atau usaha menjatuhkan pemerintah yang sah”.
Dr. Ioanes Rakhmat (2011), berpendapat bahwa dalam pandangan dunia keagamaan yang totalitarian (= menyatukan agama dengan politik), radikalisme religius menggiring orang beragama ke dalam suatu tindak kekerasan fisik, yang bertujuan makar, yakni menggulingkan suatu pemerintahan yang sah (yang dinilai sekular atau condong sekular) dan menggantikannya dengan suatu bentuk pemerintahan teokratis (=Allah sebagai pemerintah, lewat wakilnya di dunia yang dilantik-Nya) atau pemerintahan nomokratis (hukum-hukum Allah dalam suatu agama menjadi UUD suatu negara).
Radikalisme religius juga berarti fanatisme atau ekstrimisme atau fundamentalisme, yang tidak bersifat totalitarian mutlak, namun juga bisa bermuara pada kekerasan, baik kekerasan fisik (physical violence), maupun kekerasan wacana verbal (discourse/verbal violence). Kekerasan wacana ini muncul ketika seorang yang fanatik dengan agamanya sendiri menyerang agama-agama lain dengan membabibuta dengan maksud menjatuhkan agamaagama lain itu, melalui ucapan-ucapannya, khotbah-khotbahnya, ajaran-ajarannya, atau tulisan-tulisannya yang tidak memiliki landasan akademik sama sekali, tetapi merupakan proganda-propaganda atau kampanye-kampanye “hitam” (black campaign) yang diarahkan kepada agama-agama lain yang tidak disukainya. Kekerasan wacana dari radikalisme religius kerap memicu kekerasan fisik yang dilakukan pihak umat beragama yang merasa diserang.
Jika pemahaman tentang FANATISME dan RADIKALISME didudukan dalam konteks demikian, pertanyaannya ; FANATISME AGAMA YANG MELAHIRKAN RADIKALISME HANYA TERJADI DALAM ISLAM?. Jawabannya akan disimak dalam penjelasan selanjutnya.
D.   Potret Fanatisme dan Radikalisme Agama di NTT
Merujuk sajian data statistik dari BPS NTT (2009) terlihat perbandingan kuantitaif pemeluk agama dan distribusi keberadaan rumah ibadah yang ‘TIDAK SEHAT’. Akurasi dan kebenaran faktual data statistik ini patut dipertanyakan ; apakah instrumen sensus yang tidak akurat ataukah metodologi yang tidak ilmiah ataukah objektifitas tenaga sensus yang kurang profesional ataukan ada interfensi lain dalam penyajian data dimaksud (data lihat lampiran).
Pertanyaan tentang data ini patut menjadi acuan dimulainya pembahasan tentang Radikalisme Agama di NTT karena merujuk dari datalah berbagai kebijakan politik diambil, keberpihakan kepentingan diprioritaskan, besaran anggaran dialokasikan, kucuran perhatian diberikan. Bahkan berdasarkan data pula-lah DISKRIMINASI itu muncul antar ‘MAYOR-MINOR’ dan konflik dimulai karena adanya ketidak-jujuran dan dalam penyajian informasi sehingga ketimpangan keadilan itu ada dan BENAR-BENAR ADA.
Jika harus berkesimpulan bahwa radikalisme religius juga berarti ekstrimisme yang bermuara pada kekerasan, baik kekerasan fisik (physical violence), maupun kekerasan wacana verbal (discourse/verbal violence) maka realita yang terjadi di NTT saat ini perlu dikategorikan dalam sebuah  kekerasan moral’ karena tengah terjadi DISKRIMINASI terhadap agama tertentu. Kekerasan moral secara tidak sadar telah menggerogoti semangat kebhinekaan di NTT dan justru menjadi bom waktu karena sistem pergerakannya terselubung dibalik berbagai ketidak-adilan sistem perpolitikan. Tatkala hal ini diwacanakan maka argumentasi yang dibangun adalah ; “COBALAH TENGOK KE BELAHAN BUMI NUSANTARA LAINNYA, ADA JUGA DISKRIMINASI DISANA YANG TERJADI PADA KAMI”. Lagi-lagi diskriminasi data dan informasi yang mengarah pada simpulan MAYOR-MINOR (terdepan-terbelakang; terbanyak-tersedikit; termaju-tertinggal).
Data kuantitatif sering dijadikan komoditi politik yang dikemas dalam issue-issue primordial saat hajatan politik diselenggarakan. Dalam distribusi kader dalam birokrasi yang sepatutnya mempertimbangkan profesionalisme, kualitas dan kapasitas dikesampingkan dengan menggunakan pertimbangan eselonering, keseimbangan/perimbangan, penjenjangan (kaderisasi). Jika demikian maka pengelolaan sistem pemerintah yang merupakan persekongkolan kelompok biroratif dan yudikatif dapat berjalan leluasa dan keberpihakan kepentingan diprioritaskan, besaran anggaran dialokasikan, kucuran perhatian diberikan secara sepihak dengan alasan merujuk data.
E.    Masalah Faktual seputar Fanatisme dan Radikalisme Agama di NTT
Pengantar pokok masalah sebagaimana disajikan dalam bagian ‘D’ adalah bersifat umum, dalam kaitan dengan Fokus Bahasan dalam makalah ini maka akan ditampilkan beberapa contoh Radikalisme Agama di NTT, berikut ;
1.    Konflik pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama di NTT
Meskipun ada keraguan pada data BPS NTT namun harus dirujuk karena belum ada data pembanding yang dilakukan secara ilmiah lainnya. Seyogyanya lembaga Islam (dalam hal ini MUI NTT) memiliki data pembanding namun berbagai informasi dan hasil obserfasi sementara dapat dijadikan bahan pembanding data yang ada. Sesuai data, jumlah (%) pemeluk, jumlah tempat ibadah dan perbandingan distribusi penganut pada masing-masing tempat ibadah tersaji dalam tabel berikut ;
No
Agama
Jmlh (jiwa)
%
Tempat Ibadah
Perbandingan
1
Islam
   365.012,68
8,05
931
               392
2
K. Protestan
1.556.178,28
34,32
5692
               273
3
K. Katholik
2.507.478,41
55,3
2642
               949
4
Hindu
       9.522,07
0,21
28
               340
5
Budha
          453,43
0,01
1
               453
6
lainnya
     96.127,56
2,12


Jumlah
4.534.772,43
100,01


Sumber ; BPS NTT 2009 (diolah ; Hamza)

Hasil olahan data pada tabel diatas menunjukan perbedaan dengan akumulasi jumlah penduduk yang tersaji dalam NTT Dalam Angka 2009 sebanyak 4.534.319 (selisih ; 453,43 jiwa lebih banyak dari data faktual). Apakah ini standar error dalam perhitungan statistik ataukah adanya interfensi faktor ‘X’ ?. Selanjutnya, data yang cukup mencolok adalah perbandingan ummat Kristen Katholik dengan jumlah gereja (kapela) katholik sebanyak 949 jiwa/gereja sedangkan kristen protestan 273 jiwa/gereja. Sementara agama Islam, Hindu dan Budha tergolong masih rasional dengan kisaran 300 s/d 400 jiwa per tempat ibadah.
Hal ini memang bukan menjadi rujukan utama efektifitas dan efisiensi pelayanan keagamaan dan kenyamanan menjalankan ibadah ummat beragamanya. Harus diakui bahwa banyak pula keberadaan rumah ibadah tidak dioptimalkan pemeluknya sebagai sarana ibadah sehingga terkesan mubazzir (pemborosan). Dimungkinkan semakin banyak rumah ibadah yang tersebar maka efisiensi dan efektifitas pelayanan lebih terjamin namun bisa juga sebaliknya tergantung pemanfaatan variabel sarana keagamaan lainnya seperti lembaga pendidikan, lembaga ekonomi, lembaga kesehatan dan lembaga kemasyarakatan yang berlatar belakang agama. Namun kejanggalan muncul jika keinginan memperbanyak membangun tempat ibadah karena alasan konflik internal dalam pelayanan bahkan masalah pengelolaan manajemen rumah ibadah yang kurang dipercaya (untuk mencari keuntungan ekonomis).
Terlepas dari berbagai argumentasi dan simpulan tersebut, adalah fakta yang terjadi dilapangan bahwa telah terjadi diskriminasi dalam pemberian izin pembangunan rumah ibadah (agama tertentu) meski berbagai syarat telah terpenuhi. Kasus yang terjadi sebulan terakhir di Kota Kupang, pembangunan masjid di Kelurahan Batuplat yang sudah memenuhi berbagai persyaratan namun masih ada sekelompok kecil masyarakat yang menganulirnya. Proses pemenuhan persyaratan berupa IMB, dukungan masyarakat dan rekomendasi dari FKUB setempat sebelumnya telah melalui berbagai pencekalan namun dengan merujuk regulasi yang ada masjid ini telah diperbolehkan berdiri. Alhasil, masih ada sekelompok pemuda yang dipolitisir untuk menolak keberadaanya. Kasus ini merupakan contoh kecil sejarah kelam dari kesulitan proses pembangunan rumah ibadah di NTT (baru di Kota Kupang, apalagi di Kabupaten yang tidak terjangkau interfensi publik) tentu upaya penolakan lebih kuat. Dicurigai seperti adanya arahan secara sistematis bahwa ‘dimana masjid didirikan, disekitarnya harus ada gereja’, hal ini terbukti bahwa setiap masjid berjarang + 500 M pasti didirikan gereja meskipun pada desa/kelurahan tersebut tidak memiliki ummat kristiani mencapai 40 orang (sesuai aturan).
Rumah ibadah (baca ; masjid) adalah titik sentral syiar Islam dimulai, proses pembangunannya dipersulit. Artinya, ada upaya sistematis dalam mengkerdilkan semangat dakwah ummat Islam bagi pemeluknya. Masalah lain berlanjut pada lembaga pendukung lainnya seperti pendirian dan penyelenggaraan lembaga pendidikan (MI, MTs, MA, Pondok Pesantren dan IAIN), lembaga ekonomi (BMT, koperasi syari’ah), lembaga kemasyarakatan (OKP, OSMA dan Yayasan) yang berlatar belakang Islam. Proses pendiriannya dipersulit dan dalam penyelenggaraannya juga tidak dilibatkan secara maksimal (kurang diperhatikan). Terlebih peningkatan SDM cenderung ‘menomor-duakan’ individu yang memeluk agama tertentu. Sumber penolakan teridentifikasi dilakukan oleh individu yang melembaga dalam lembaga pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda yang berlatar belakang agama tertentu. Bagaimana mungkin syiar Islam (Rahmatil lil ‘Alamin) dapat diejawantahkan jika variabel pendukung tidak didukung oleh kebijakan.

2.    Pemakaman non katholik dan non protestan di NTT
Peleburan agama, suku dan budaya di NTT memang sudah membaur dalam satu kesatuan namun kasus pemindahan agama (pemurtadan) secara paksa maupun terselubung terus terjadi secara sistematis. Penyebabnya adalah faktor ekonomi, pendidikan dan metode ‘kawin-mawin’. Taksiran sementara bisa terjadi pemurtadan rata-rata 1 s/d 3 jiwa perhari dengan berbagai metode pendekatan yang dilakukan. Kasus ini adalah pemurtadan mutlak (tersertifikasi), belum terkategori pergeseran nilai ke-Islaman dalam pemahaman dan pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya.
Ketidakjelasan proses kepemelukan agama berikutnya menimbulkan masalah tatkala individu yang bersangkutan (yang melakukan pemindahan agama) meninggal (wafat) kemudian dilakukan penguburan. Apakah mengikuti mekanisme agama asalnya ataukah agama yang tersertifikasi?. Beberapa kasus di NTT telah terjadi, seperti seorang muallaf (dewasa) yang telah bersertifikat Islam kemudian meninggal namun oleh pihak keluarga memaksakan untuk dilakukan penguburan mengikuti agama asalnya (bukan Islam). Kasus; seorang istri (murtad) yang diterlantarkan suaminya kemudian cerai dan masuk kembali Islam kemudian meninggal, oleh suaminya dipaksakan untuk dikuburkan menurut agama suaminya.
Perdebatan terbuka sering terjadi antara tokoh agama dan lembaga agama hanya mempersoalkan dikuburkan sesuai anjuran agama tertentu. Islam tidak memaksakan secara personal tapi dari pihak agama diluar Islam secara kelembagaan memberikan advokasi kepada keluarga untuk memaksakan kehendak dikuburkan mengikuti ritual agama bukan Islam. Sangat jelas intervensi agama secara kelembagaan bukan secara individual dan hal ini di’amini’ oleh Pemerintah.

3.    Pengaruh Katholik dan Protestan dalam kebijakan pemerintah
Bahasan tentang hal ini sekilas telah digambarkan sebelumnya bahwa dominasi kedua agama tersebut dirasakan cukup kuat dalam struktur pemerintah karena alasan MAYORITAS. Sebelum bicarakan soal kebijakan, patut dikoreksi terdahulu soal pengelola kebijakan (eksekutif dan legislatif). Intervensi agama dirasakan cukup kuat dalam proses awal perekrutan aparatur negara (penerimaan CPNSD), pendistribusian tugas dan tanggung jawab selama proses pengkaderan di lembaga pemerintahan, promosi dan jenjang eselonering serta distribusi jabatan strategis. Hal ini didasarkan atas latar belakang agama bukan pertimbangan kualitas, kualifikasi dan potensi. Bahkan beberapa kasus yang terjadi adalah terjadi pemaksaan memeluk agama tertentu (keluar dari Islam; Murtad) supaya lulus dan dipromosikan mendapatkan jabatan stategis.
Selanjutnya soal pemilihan wakil rakyat ke lembaga legislatif juga ditemukan ketimpangan, penggelembungan suara yang diambil dari caleg yang beragama Islam (baik dari Partai Islam maupun partai nasionalis), penetapan hak suara yang tidak akomodatif. Tidak diakuinya hak suara sebagian dari ummat Islam (kaum pendatang; Jawa, Sumatra, Bugis, dll) dalam pemilihan legislatif maupun kepala daerah berimbas pada tidak adanya suara untuk CALEG/ kandidat (beragama Islam) lantar menurunkan nilai jual komunitas Islam.
Berikut diskriminasi dalam pendistribusian kebijakan seperti bantuan pemerintah dan alokasi anggaran kepada basis ummat Islam, ketersediaan sarana umum (listrik, air, jalan) pada daerah mayoritas Islam, perhatian pada lembaga pendidikan Islam (swasta), prioritas kepentingan kelompok (Ormas/OKP) Islam, pelayanan kesehatan yang diterlantarkan, pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir yang dominan ummat Islam. Hal yang paling jelas adalah dialihkannya arah kebijakan pembangunan yang cenderung tidak memberdayakan potensi kelautan hanya karena umumnya pengelolaan laut cenderung dekat dengan masyarakat pesisir yang dominan banyak ummat Islamnya.

4.    Pendatang non katholik dan non protestan di NTT
Akurasi data statistik sekalilagi perlu dikoreksi karena peningkatan persentase kaum urban terbesar setelah urban lokal (antar kabupaten) adalah urban lintas provinsi yang lebih banyak adalah kaum pendatang dari suku Jawa, Sunda, Padang, Madura dan Bugis (95 % beragama Islam). Perilaku urban tidak teridentifikasi dalam data statistik sehingga interensi kebijakan pemerintah juga tidak ditujukan kepada komunias pendatang ini. Sementara secara realistis harus diakui bahwa pergerakan ekonomi kecil dan menengah diseluruh pelosok NTT khususnya di Ibukota Kabupaten/Kota dan Kecamatan didominasi oleh kaum pendatang yang melakukan perniagaan.
Beberapa diskriminasi teridentifikasi seperti ; dipersulitnya mendapatkan kartu identitas (KTP, KK, Keterangan Domisili, Akte Kelahiran, dll) serta pemberian izin usaha bagi kaum pendatang. Kasus lain yang digerakkan secara sistematis adalah penempatan tempat penjualan daging babi dan anjing (maupun warung masakan daging anjing dan babi) berada disekitar warung makan padang, jawa, madura dan bugis. Hal ini mengakibatkan menurunnya jumlah pengunjung ke warung makan tersebut.

F.     Belajar dari Tragedi 30 September 1998
Masyarakat muslim Kota Kupang dan sekitarnya akan selalu mengingat kenestapaan kejadian + 13 tahun silam tersebut. Kejadian pengrusakan dan pembakaran masjid, mushollah, fasilitas umum milik ummat Islam, rumah-orang Islam dan tempat usaha milik orang Islam di Kota Kupang yang lebih dikenal dengan istilah Kerusuhan Kupang ’98. Eksodus masyarakat ex. Tim-tim yang sebagiannya juga muslim  (keturunan arab dan pendatang) masih dalam proses rehabilitasi sosial. Masyarakat Kota Kupang sementara melakukan rehabilitasi sosial paska referendum yang terjadi pada Tim-tim lantar sebuah kejadian yang direncanakan dengan kedok pawai keagamaan berganti menjadi kerusuhan.
Diprakarsai oleh beberapa ORMAS dan OKP Katholik dan Protestan, melakukan kebaktian dan pawai merespons kejadian kerusuhan Ketapang. Pihak keamanan dan Pemda seakan telah membangun kesepakatan dengan pihak Gereja dan pemukanya untuk sengaja menghadirkan massa dan melakukan pengrusakan serta pembakaran segala sesuai yang bernuansa Islam. Meski demikian, masyarkat Muslim Kota Kupang tidak gentar menghadapinya dengan memberikan pertahanan yang terpusat pada tempat Ibadah (masjid). Kerusakan diperkirakan sangat variatif namun kerugian mencapai Rp.                   
Paska kerusuhan Kupang tersebut baru seluruh masyarakat dan pemerintah Kota Kupang dan Provinsi NTT terbuka matanya bahwa hidup rukun dan damai itu penting adanya. Bagaimanapun sedikitnya kaum muslim, mereka turut menentukan keseimbangan kehidupan sosial kemasyarakatan. Kehidupan ekonomi khususnya menengah kebawah terasa mati karena hampir 90% aktifitas ekonomi menengah dan kecil dikuasai oleh orang Islam (komunitas Jawa, Bugis, Padang, Arab, Madura) yang semuanya merasa teranncam dan meninggalkan Kupang. Sampai saat ini, tak ada satu pihak pun yang jujur mengakui kesalahan atas kejadian ini dan tak ada yang mengaku terlibat dalam kejadian ini. Lantas siapakah yang melakukan pengrusakan dan pembakaran tersebut?

G.   Penutup
Berbagai argumen, data dan informasi seputar kasus fanatisme dan radikalisme agama yang terjadi di NTT. Kasus faktual yang dikedepankan belum termasuk kekerasan wacana verbal (discourse/verbal violence) yang fanatik dengan agamanya sendiri menyerang dan mencorang nilai agama Islam melalui ucapan-ucapannya, khotbah-khotbahnya, ajaran-ajarannya, atau tulisan-tulisannya yang tidak memiliki landasan akademik, tetapi merupakan proganda-propaganda atau kampanye-kampanye “hitam” (black campaign) yang diarahkan kepada agama Islam. Kekerasan wacana dari radikalisme religius kerap ditujukan kepada agama Islam dengan berbagai cemoohan dan umpatan lisan baik langsung maupun tidak langsung juga melalui tulisan (coretan) ditempat umum, selebaran gelap dan berbagai cara lainnya.
Sungguh ini adalah sebuah radikalisme agama yang menggeser nilai dan moral agama tertentu dalam menjalankan perintahnya. Besar harapan mendapatkan perhatian dari berbagai pihak untuk penegakan nilai-nilai keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar