Kamis, 09 Juli 2015

ISLAM, POLITIK DAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA



1.    Peranan Islam Pasca Kemerdekaan (Orde Lama dan Orde Baru)
Menilik sejarah pertumbuhan pemikiran Islam di Indonesia pada abad XX, setidaknya telah lahir tiga generasi cendekiawan muslim. Gerakan pertama adalah mereka yang menjadi pendiri organisai-organisasi Islam pada masa pergerakan nasional baik organisasi sosial keagamaan maupun organisasi politik. Di antaranya ada yang tergolong “jurist” tetapi banyak pula yang berpengetahuan luas yang bergerak dalam tataran pemikiran dan aksi-aksi nyata melalui organisasi yang didirikan untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat Islam.
Memasuki era awal kemerdekaan banyak generasi pertama maupun yang kedua yang pada masa pergerakan menjadi pelaku aktif, kebanyakan terekrut dalam supra struktur politik dan menjadi pelaku politik utama.  Energi mereka sepenuhnya dicurahkan untuk  menggerakkan mesin politik karena kebetulan pada saat yang sama harus  berpapasan dengan gelombang lain yang juga tidak kalah gigihnya menancapkan kukuhnya dalam birokrasi. Olehnya, corak cendekiawan muslim yang tampil dalam permukaan adalah mereka yang pandai berpikir, berdiplomasi dan menggerakkan massa. Sejarah parlementeria di tahun 1950-an, jelas menunjukkan bahwa energi cendekiawan dan pemimpim muslim terkuras untuk berdebat dalam perlemen dan kabinet.
Pada mulanya persatuan dan kekompakan para elit muslim itu tidak tergoyahkan oleh desakan dari luar. Interes  golongan dapat  diendapakan dan dikalahkan oleh kepentingan yang luas namun bersamaan dengan perputaran zaman disadari atau tidak, ancaman dari luar itu mampu menggoda elit muslim. Diawali munculnya faksi meluas menjadi fraksi akhirnya timbul keinginan memisahkan diri dan bersamaan dengan pemisahan antar kekuatan  politik Islam kelompok tertuntu mencari kekuatan baru sebagai kawan birokrasi. Inilah awal kemunduran umat Islam dalam panggung politik.  Sejak itu kekuatan Islam pecah berkeping-keping.
Ditambah dengan kuatnya posisi Bung Karno yang berusaha melakukan koptasi terhadap berbagai kekuatan “pinggiran” dan disertai pula dengan “kekalahan”  dalam konstituante, kekuatan Islam mulai tergantung pada razim. Independensi politik telah menjadi obsorditas. Kenyataan seperti ini yang pula yang mengharuskan umat Islam kembali mendefinisikan pola partisipasi politik mereka dan pola kepemimpinan yang kondusif. Dengan kata lain iklim politik zaman  demokrasi terpimpin telah sama sekali mengubah orientasi umat Islam dalam memerankan diri sebagai warga Negara dengan sistem politik yang kepemimpinannya serba terpusat dan lebih mencerminkn hubungan patron-klien. Akibat diterapkannya sistem kepemimpinan patron-klien makin memperbanyak fraksi, yakni dengan munculnya kelompok-kelompok interes yang dengan rela mengorbankan segala-galanya untuk mendekati pusat kekuasaan. Dikalangan Islam pun beberapa elit muslim dan kekuatan politik tertentu telah rela mengorbankan apapun asalkan tidak dikucilkan dari pusat kekuasaan itu. Gejala inilah yang mengantarkan umat Islam memasuki Era Orde baru.
Kehancuran orde lama dengan segala kekuatan dan kelemahannya telah memberi peluang bagi bangsa kita termasuk umat Islam untuk sekali lagi melakukan koreksi terhadap berbagi kesalahan dalam menata sistem politik yang mendukung terciptanya cita-cita kemerdekaan. Orde baru dengan tatanan baru sangat berhutang budi pada umat Islam karena hampir dapat dipastikan tanpa bantuan umat Islam tidak mungkin PKI dapat dikikis dari bumi persada Indonsia. Dekade 1965-1967, umat   Islam telah mempertaruhkan segala-galanya dalam menumpas musuh Pancasila hanya dengan isu agama, umat Islam berani berada di barisan terdepan bersama ABRI dan pelajar-mahasiswa sebagi panggilan jihad untuk menegakkan kebenaran di bumi nusantara. Pemuka agama Islam dijadikan penggerak untuk membakar semangat massa dalam menumpas penghianat bangsa. Apa yang diperbuat umat Islam pada waktu itu tidak didorong oleh motif apapun kecuali demi tegaknya kebenaran yang didorong oleh panggilan suci yang Islami sehingga terwujud kestabilan.
Suasana kesetabilan itu pula yang memungkinkan pemerintah orde baru dapat memanfaatkan segenap potensi bangsa. Ditambah modal asing untuk melakukan pembangunan secara berencana. Kegiatan pembangunan ini pula yang telah membuka peluang bagi rakyat Indonesia untuk menciptakan berbagai sarana dan meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Namun demikian, harus diingat bahwa pembangunan yang lebih menitik beratkan pada segi  ekonomi atau materil yang membutuhkan tingkat stabilitas yang tinggi mengundang ABRI lebih berperan lagi di bidang sosial dan politik sehingga dimungkinkan oleh  doktrin dwi-fungsi ABRI. Dengan kata lain, ABRI makin intensif menjalankan perana sosial politiknya. Ini memperkecil ruang gerak politik sipil. Kendatipun secara terselubung kenyataan ini menimbulkan gejolak.
Harapan untuk kepentingan bersama, disertai persepsi  bersama terhadap kondisi sosial politik pada saat tertentu, menjadi bagian dari sejumlah keadaan yang dengan dorogan hasrat eksplorasi sosial dan idial dalam skala besar merupakan pangkal dari munculnya pemuda sebagai kelompok anomis dalam perjalanan politik di tanah air. Realitas ini tidak berdiri sendiri namun hampir semua pranata sosial politik,  terutama lembaga-lembaga artikulatif mengalami degradasi fungsi.  Di saat itulah sebenarnya rangsangan luar terhadap pemunculan pemuda sebagai kelompok “anomis” berada pada titik paling tinggi. Titik singgung dari rangsangan kondisi objektif dengan dengan kondisi subjektif pemuda inilah sesungguhnya yang mendorong lahirnya sejumlah gerakan pemuda Islam di tanah air.
Dalam kerangka pergerakan pemuda Islam, kondisi subjektif harus dilihat dalam sejumlah dorongan nilai yang disediakan Islam bagi “mereka yang tegak dalam untuk menyatakan kebenaran serta mencegah kemungkaran” (Q.S 3 :104). Hasrat eksplorasi sosial dan ideal dalam konteks ini mendapatkan juga sumber dorongan sekaligus arah dalam wujud kesadaran bahwa “keseluruhan gerak di dalam kerangka kehidupan hanyalah ditujukan kepada Allah “ (Q.S 6: 162). Kesadaran inilah yang mendorong lahirnya semangat juang Ormas maupun OKP Islam, meluruhkan keseluruhan  aspek juang dalam kerangka Islam. Meningginya tingkat kesadaran akan tujuan hidup muslim berbanding terbalik dengan akibat psikologis yang ditumbuhkan oleh relitas sosial, baik dalam konteks kehidupan di perguruan tinggi, bagi para mahasiswa, maupun dalam kehidupan di tengah masyrakat.
2.    Hubungan Politik, Akomodatif, Islam , Negara, Masa Orde Baru
Para sosiolog teoretisi politik Islam merumuskan beberapa teori tentang hubungan agama dan negara. Teori-teori tersebut secara garis besar dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran yaitu paradigma integralistik (unified paradigm), paradigma simbiotik (symbiotic paradigm), dan paradigma sekularistik (secularistic paradigm). Bagaimana hubungan politik yang akomodatif antara Islam dan negara masa orde baru? Bagaimana relevansi hubungan politik yang akomodatif antara Islam dan negara masa orde baru dengan tujuan Islam politik di Indonesia?
Islam yang sejak awal kurun pemerintahan Orde Baru selalu dipinggirkan, pada akhir 1980-an dan 1990-an mulai "dipeluk" oleh negara. Pendukung "teori akomodasi" memformulasikan empat bentuk "rangkulan" negara terhadap Islam.
a.     Pertama, akomodasi struktural, yang ditandai dengan direkrutnya para pemikir dan aktivis Islam politik ke dalam birokrasi, baik di institusi eksekutif maupun legislatif.
b.     Kedua, akomodasi legislatif, yaitu disahkannya beberapa peraturan dan undang-undang yang secara khusus mengatur kehidupan keagamaan umat Islam.
c.     Ketiga, akomodasi kultural yaitu banyak digunakannya simbol-simbol ke-Islaman seperti sering digunakannya "bahasa agama" dan idiom-idiom Islam lainnya dalam perbendaharaan kosa kata instrumen-instrumen politik dan ideologi negara. Seperti pengucapan assalamu'alaikum dalam pidato-pidato kenegaraan dan diselenggarakannya Festival Istiqlal.
d.     Keempat, akomodasi infrastruktural seperti dibangunnya masjid di Istana Negara, Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Kebijakan akomodasi negara terhadap Islam saat itu sesungguhnya lebih merupakan pembungkaman sikap oposisi umat Islam yang tergolong vokal. Dengan kalimat lain, kebijakan akomodasi itu tidak relevan dengan harapan dan tujuan Islam politik di Indonesia. Kebijakan akomodasi tidak lebih seperti memberi permen pada anak kecil yang terasa manis tapi cepat atau lambat melemahkan daya cengkeram gigi anak itu.

Munculnya partai-partai Islam belakangan ini telah menimbulkan perdebatan tersendiri kalau bukan masalah kontroversi. Dalam pandangan sementara kalangan, fenomena itu dinilai sebagai perwujudan dari hadirnya kembali politik Islam, atau yang secara salah kaprah diistilahkan sebagai "repolitisasi Islam". Penilaian yang pertama bernada positif, karena seperti agama-agama lain, Islam memang tidak bisa dipisahkan dari politik. Penilaian kedua, jika istilah itu dipahami secara benar, adalah negatif. Istilah "politisasi" (terhadapa apa saja) selalu merupakan bagian dari rekayasa yang bersifat pejorative atau manipulatif. Bisa dibayangkan apa jadinya jika hal tersebut dikenakan pada sesuatu yang mempunyai sifat ilahiyah (devine) seperti agama Islam. 
Tidak diketahui secara persis apa yang dimaksud oleh sementara pihak yang melihat maraknya kehidupan politik Islam dewasa ini sebagai suatu fenomena yang dapat diberi label repolitisasi Islam. Meskipun demikian, kalau menilik indikator utama yang digunakan sebagai dasar penilaian itu adalah munculnya sejumlah partai politik yang menggunakan simbol dan asas Islam atau yang mempunyai pendukung utama komunitas Islam, maka tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa yang dimaksud adalah fenomena munculnya kembali kekuatan politik Islam. Hal yang demikian itu di dalam perjalanannya selalu terbuka kemungkinan untuk "memolitikkan" bagian-bagian yang menjadi dasar idiologi partai-partai tersebut.
a.    Makna Politik Islam
Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. (Salim Ali al-Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam [Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I]). Politik Islam ialah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruh umat Islam (baca: pemeluk agama Islam). Karena itu, mereka dalam kategori politik dapat disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam, dan istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah perjuangan, serta wacana politik.
b.    Hakikat Politik Islam
Politik Islam secara substansial merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap perilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Islam, menurut Dr. Taufik Abdullah, bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.
c.    Dilema Politik Islam
Dalam penghadapan dengan kekuasaan dan negara, politik Islam di Indonesia sering berada pada posisi delematis karena menyangkut tarik-menarik antara tuntutan untuk aktualisasi diri secara deferminan sebagai kelompok mayoritas dan kenyataan kehidupan politik yang tidak selalu kondusif bagi aktualisasi diri tersebut. Sebagai akibatnya, politik Islam dihadapkan pada beberapa pilihan strategis yang masing-masing mengandung konsekuensi dalam dirinya, yaitu :
·         Strategi akomodatif justifikatif terhadap kekuasaan negara yang sering tidak mencerminkan idealisme Islam dengan konsekuensi menerima penghujatan dari kalangan "garis keras" umat Islam.
·         Strategi isolatif-oposisional, yaitu menolak dan memisahkan diri dari kekuasaan negara untuk membangun kekuatn sendiri, dengan konsekuensi kehilangan faktor pendukungnya, yaitu kekuatan negara itu sendiri, yang kemudian dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak lain.
·         Strategi integratif-kritis, yaitu mengintegrasikan diri ke dalam kekuasaan negara, tetapi tetap kritis terhadap penyelewengan kekuasaan dalam suatu perjuangan dari dalam. Namun, strategi ini sering berhadapan dengan hegemoni negara itu sendiri, sehingga efektifitas perjuangannya dipertanyakan.
Salah satu isu politik yang sering menempatkan kelompok Islam pada posisi dilematis yang sering dihadapi politik Islam adalah pemosisian Islam vis a vis negara yang berdasarkan Pancasila. Walaupun umat Islam mempunyai andil yang sangat besar dalam menegakkan negara melalui perjuangan yang panjang dalam melawan penjajahan dan menegakkan kemerdekaan, namun untuk mengisi negara merdeka kelompok Islam tidak selalu pada posisi yang menentukan. Pada awal kemerdekaan, kelompok Islam yang mempunyai andil yang sangat besar dalam mengganyang PKI dan menegakkan Orde Baru tidak terwakili secara proporsional pada BPUPKI atau PPKI dan karenanya tidak memperoleh kesempatan untuk ikut menyelenggarakan roda pemerinthan. Mereka bagaikan "orang yang mendorong mobil mogok, setelah mobil jalan mereka ditinggal di belakang".
Sekarang pada era reformasi, gejala demikian mungkin terulang kembali. Peran kelompok Islam, baik tokoh Islam maupun mahasiswa Islam dalam mendorong gerakan reformasi sangat besar namun pada perkembangan selanjutnya, gerakan reformasi tidak selalu berada dalam pengendalian kelompok Islam. Pengendali reformasi dan kehidupan politik nasional akan berada pada pihak atau kelompok kepentingan politik yang menguasai sumber-sumber kekuatan politik. Pada masa modern sekarang ini sumber-sumber kekuatan politik tidak hanya bertumpu pada masa (M-1), tetapi juga pada materi (M-2), ide (I-1), dan informasi (I-2). Kelompok politik Islam mungkin mempunyai kekuatan pada M-1 atau I-1, tetapi kurang pada M-2 dan I-2. Dua yang terakhir justru dimiliki oleh kelompok-kelompok kepentingan politik lain.
Situasi dilematis politik Islam sering diperburuk oleh ketidakmampuan untuk keluar dari dilema itu sendiri. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurang adanya pemaduan antara semangat politik dan pengetahuan politik. Semangat politik yang tinggi yang tidak disertai oleh pengetahuan yang luas dan mendalam tentang perkembangan politik sering mengakibatkan terabainya penguatan taktik dan strategi politik. Dua hal yang sangat diperlukan dalam politik praktis dan permainan politik. Dilema politik Islam berpangkal pada masih adanya problem mendasar dalam kehidupan politik umat Islam. Problema tersebut ada yang bersifat teologis, seperti menyangkut hubungan agama dan politik dalam Islam. Tetapi, ada yang bersifat murni politik, yaitu menyangkut strategi perjuangan politik itu sendiri dalam latar kehidupan politik Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik majemuk.
d.    Problema Politik Islam
Selain problem yang berasal dari dikotomi santri abangan di kalangan umat Islam (dikotomi ini adalah konsekuensi logis dari proses islamisasi yang tidak merata di berbagai daerah nusantara serta perbedaan corak tantangan kultural yang dihadapi), politik Islam juga menghadapi problema yang berkembang dari adanya kemajemukan di kalangan kelompok Islam itu sendiri. Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa kelompok politik Islam bukanlah merupakan suatu kelompok kepentingan tunggal. Hal ini ditandai oleh banyaknya partai-partai yang bermunculan di kalangan kelompok Islam, baik yang berdasarkan diri pada idiologi dan simbol keislaman maupun yang berbasis dukungan umat Islam.
Pada era reformasi dewasa ini terdapat banyak partai Islam atau partai yang berbasis dukungan umat Islam. Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan keragaman kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai tersebut merupakan buah eforia politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi warga negara untuk berserikat dan berkelompok yang selama 30 tahun telah terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik.
Pluralisme politik Islam merupakan refleksi dari pluralisme masyarakat Islam. Sedangkan pluralisme masyarakat Islam itu sendiri merupakan kensekuensi logis dari proses islamisasi di sebuah negara kepulauan, yang dari satu tempat ke tempat yang lain berbeda intensitasnya. Dalam konteks hubungan antardaerah yang tidak mudah di masa lampau, maka terbuka kemungkinan bagi berkembang kelompok atau organisasi Islam yang mempunyai ciri-ciri dan jati diri masing-masing. Kelompok yang kemudian mengkristal menjadi berbagai organisasi ini, selain mempunyai titik temu pandangan, juga mempunyai dimensi kultural tertentu yang membedakan dengan kelompok umat Islam lain. Pada tingkat tertentu, komitmen kultural ini telah mengembangkan rasa solidaritas kelompok di kalangan umat Islam yang mengalahkan rasa solidaritas keagamaan mereka.
Dimensi kultural pada berbagai kelompok Islam mengakibatkan mereka sulit bersatu dalam kehidupan politik. Oleh karena itu, penggabungan partai-partai Islam ke dalam satu wadah tunggal nyaris menjadi utopia. Eksperimen pada masa Orde Lama melalui Masyumi, umpamanya, mengalami kegagalan dengan keluarnya NU dari PSII. Begitu juga eksperimen pada masa Orde Baru melalui fusi beberapa partai Islam: belum sepenuhnya berhasil mengkristalkan kepentingan unsur-unsur yang bersatu.
Politik Islam di Indonesia secara umum belum berhasil mencapai efektifitas politik. Salah satu pangkal efektifitas politik menurut Allan A. Samson adalah kepemimpinan partai politik belum mampu memfungsikan partai sebagai medium artikulasi kepentingan politik umat Islam. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan ketidakefektifan politik tadi, dan hal lain dapat juga disebut sebagai problema politik Islam, yaitu :
·         Adanya overestimasi. Banyak pimpinan partai Islam tentang kekuatan yang dimilikinya atau aflikasi politik dari apa yang disebut dengan mitos kemayoritasan.
·         Bersifat eksternal, yaitu adanya usaha pengrusakan yang disengaja oleh kekuatan politik luar.
·         Adanya perbedaan pandangan antara pimpinan partai tentang hubungan keyakinan keagamaan dan aksi politik.

Di atas semua itu, problem mendasar poitik Islam adalah kesulitan untuk mewujudkan persatuan, baik dalam skala antar-partai-partai Islam maupun dalam skala intra-satu partai Islam. Partai Islam rentan terhadap konflik, dan konflik partai rentan terhadap rekayasa internal. Berbagai problem tersebut harus mampu diatasi oleh partai-partai Islam pada era reformasi dewasa ini. Adanya penggabungan secara menyeluruh mungkin tidak realistis, kecuali mungkin di antara partai-partai Islam yang berasal dari rumpun yang sama. Alternatif lain yang tersedia adalah koalisi, sehingga hanya ada beberapa partai Islam saja yang ikut dalam pemilu.

e.    Perubahan Politik Islam
Berbicara tentang perkembangan situasi politik dalam negeri menurut perspektif Islam, kita mengenal setidaknya dua periode yang secara signifikan memberikan pengaruh yang berbeda, yakni periode pra dan pasca 90-an. Pertama adalah periode beku yang ditandai dengan ketegangan hubungan antara umat Islam dengan pemerintah, kedua adalah pencairan dari yang pertama, yakni ketika pemerintah beruabah haluan dalam menatap umat Islam dalam setting pembangunan nasional.
Situasi pra 90-an diakui sarat dengan isu politik yang mempertentangkan umat Islam dengan pemerintah. Peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Lampung, Komando Jihad, peledakan Borobudur, dan yang lainnya telah memanaskan situasi. Peristiwa-peristiwa tersebut, sejak Orde Baru berdiri, mengukuhkan citra pertentangan antara umat Islam dengan pemerintah. Situasi ini pada gilirannya menjadikan organisasi Islam tidak berani "tampil" secara lantang menyuarakan aspirasinya. Tetapi, situasi tersebut berangsur berubah pada pasca 90-an. Angin segar seakan bertiup sejuk ke tubuh umat Islam. ICMI terbentuk, Soeharto naik haji, jilbab dilegalisasi di sekolah menengah, lolosnya peradilan agama dan pendidikan nasional yang dinilai menguntungkan, pencabutan SDSB, pendirian BMI, serta suasana keberislaman kalangan birokrasi yang semakin kental, dan lain-lain yang menandai era baru: politik akomodasi, umat Islam yang selama ini dianggap sebagai rival kini tidak lagi. Tumbuh di kalangan pemerintah dan juga ABRI (pada waktu itu), bahwa pembangunan Indonesia tidak akan berhasil tanpa menyertakan umat Islam yang mayoritas, umat Islam harus dianggap sebagai mitra.
Layaknya bola salju, era akomodasi ini bergulir deras dan cenderung besar, efeknya terasa, kini bukan tabu lagi umat Islam berbicara tentang aspirasi Islam. Di kalangan pemerintah juga tampak adanya upaya untuk "menyinggung" perasaan umat Islam. Demikian terus dalam beberapa tahun terakhir, proses "islamisasi" seakan berjalan lancar tanpa halangan. Ada dua teori guna meramalkan masa depan bola salju tadi. Pertama, bahwa kelak bola salju itu makin besar. Artinya, kesadaran keberislaman makin menyebar dan marak menyelimuti semua kalangan. Kedua, adalah antitesis yang pertama. Bola salju tadi memang membesar, tetapi hanya sesaat kemudian pecah berkeping-keping akibat terlalu kencangnya meluncur atau lemahnya ikatan unsur-unsur pembentuk bole tersebut. Sebagai kemungkinan alternatif ini bisa terjadi. Yakni, bila umat Islam terlalu kencang meluncurkannya, sementara ikatan di tubuh umat dan situasi belum cukup kuat, atau mungkin juga latar belakang ada orang lain yang sengaja memukul hancur. Bila ini terjadi, kita tidak bisa membayangkan seperti apa jadinya, dan butuh beberapa waktu lagi untuk mendapatkan keadaan serupa, dan di era reformasi sampai saat ini (2002) umat Islam dalam berpolitik sudah terpecah-pecah, itu suatu kenyataan riil yang kita lihat.
Dalam konteks Islam, perkembangan munculnya partai-partai Islam yang berada di atas angka 50-an--meskipun kemudian melalui proses verifikasi, hanya 48 partai yang dinilai layak mengikuti pemilu--telah melahirkan penilaian tersendiri. Yang paling umum adalah pandangan mengenai munculnya kembali kekuatan politik Islam. Orang pun kemudian mengingat-ingatnya dengan istilah "repolitisasi Islam", sesuatu yang bisa menimbulkan konotasi tertentu, mengingat pengalaman Islam dalam sejarah politik Indonesia. Padahal, kita sebenarnya boleh menanyakan apakah benar Islam sejatinya pernah berhenti berpolitik? Walaupun dengan itu, pertanyaan tersebut bukan untuk mengisyaratkan bahwa Islam itu adalah agama politik.
Meskipun demikian satu hal yang harus diingat bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Langsung atau tidak langsung, yang demikian itu mempunyai implikasi politik. Dengan kata lain, kekuatan politik apa pun, lebih-lebih partai politik, akan sangat memperhitungkan realitas demografis seperti itu. Artinya, massa Islam bakal diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan politik guna mencari dukungan. Bak "gadis" yang akan selalu diperebutkan, bagaimana seharusnya Islam bersikap di tengah polarisasi politik yang tajam ini? Jelas, ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Seandainya tersedia jawaban pun ia bukan suatu yang dapat diperebutkan. Artinya, akan tersedia banyak jawaban. Dan semua itu akan sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh preferensi politik yang bersangkutan.
Dalam situasi seperti ini, ada baiknya kita kembali kepada makna beragama. Ada apa sebenarnya fungsi Islam dalam kehidupan. Seperti telah sering dikemukakan, agama dapat dilihat sebagai instrumen ilahiyah untuk "memahami" dunia. Dibandingkan dengan agama-agama lain, Islam paling mudah menerima premis ini. Salah satu alasannya terletak pada sifat Islam yang omnipresence yang merupakan suatu pandangan bahwa "di mana-mana" kehadiran Islam hendaknya dijadikan panduan moral yang benar bagi tindakan tingkah laku manusia. Ada memang yang mengartikan pandangan seperti ini dalam konteks bahwa Islam merupakan suatu totalitas. "Apa saja" ada dalam Islam. Seperti firman Allah dalam Al-Qur'an yang artinya, "Tidak kami tinggal masalah sedikit pun dalam Al-Qur'an." Lebih dari itu, Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Terutama karena itu, ada yang berpendapat bahwa Islam itu sebenarnya mencakup negara--sesuatu yang kemudian dirumuskan dalam jargon "innal Islam dinun wa dawlah".


Kesimpulan

Tidak dipungkiri lagi politik Islam adalah suatu keharusan dalam sebuah komuniatas Islam yang majemuk. Tetapi, di sisi lain, ia pun tidak lepas dari dilema-dilema dan problema-problema yang merupakan konsekuensi dalam dirinya. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, maka diperlukan strategi dan taktik jitu perjuangan politik dalam latar kehidupan politik Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik majemuk.
Lembaga Pemerintahan yang disebut birokrasi hanyalah elemen pelaksana kebijakan politik namun sepatutnya ini menjadi posisi strategis dalam proses pengelolaan dan penyelenggaraan negara. Olehnya, penguatan ideologi politik Islam tidak hanya menjadi jargon kejuangan ummat dari pelaku politik praktis namun dapat memposisikan kekuatan lainnya dalam ruang birokratisme. Hal ini agar dalam sisi pengendali, pengelolan dan evaluasi berjalan sinergis dalam tataran moralitas ke-Islaman.


Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998;
.........................., Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan, 1986;
.........................., Teologi Baru Politik Islam Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, Yogyakarta:  Galang Printika, 2001;
.........................., (Re) Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 2000;
..........................., Demokrasi dan Agama: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2005.
Bachtiar Harsya W. “ Kaum Cendekiawan di Indonesia: Suatu Sketsa Sosiologi ”Jakarta : LP3TS, 1983.
Benda, Harry J. “ elit dalam perspektif sejarah “ :Jakarta: LP3ES, 1981
Rais, Amin, Islam Indonesia Jakarta : Rjawali pers, 1992
Islam Idiologi, Ir. Ismail Susanto
Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Prof. Dr. Din Syamsudin
Wawasan Sistem Politik Islam, Dr. Salim Ali al-Bahnasawi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar