1. Peranan
Islam Pasca Kemerdekaan (Orde Lama dan Orde Baru)
Menilik
sejarah pertumbuhan pemikiran Islam di Indonesia pada abad XX, setidaknya
telah lahir tiga generasi cendekiawan muslim. Gerakan pertama adalah mereka yang menjadi pendiri organisai-organisasi
Islam pada masa pergerakan nasional baik organisasi sosial keagamaan maupun
organisasi politik. Di antaranya ada yang tergolong “jurist” tetapi banyak pula yang berpengetahuan luas yang bergerak
dalam tataran pemikiran dan aksi-aksi nyata melalui organisasi yang didirikan
untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat Islam.
Memasuki
era awal kemerdekaan banyak generasi pertama maupun yang kedua yang pada masa pergerakan menjadi pelaku aktif, kebanyakan
terekrut dalam supra struktur politik dan menjadi pelaku politik utama.
Energi mereka sepenuhnya dicurahkan untuk menggerakkan mesin politik
karena kebetulan pada saat yang sama harus berpapasan dengan gelombang
lain yang juga tidak kalah gigihnya menancapkan kukuhnya dalam birokrasi. Olehnya,
corak cendekiawan muslim yang tampil dalam permukaan adalah mereka yang pandai
berpikir, berdiplomasi dan menggerakkan massa. Sejarah parlementeria di tahun
1950-an, jelas menunjukkan bahwa energi cendekiawan dan pemimpim muslim
terkuras untuk berdebat dalam perlemen dan kabinet.
Pada
mulanya persatuan dan kekompakan para elit muslim itu tidak tergoyahkan
oleh desakan dari luar. Interes golongan dapat diendapakan dan
dikalahkan oleh kepentingan yang luas namun bersamaan dengan perputaran zaman
disadari atau tidak, ancaman dari luar itu mampu menggoda elit muslim. Diawali
munculnya faksi meluas menjadi fraksi akhirnya timbul keinginan memisahkan diri
dan bersamaan dengan pemisahan antar kekuatan politik Islam kelompok
tertuntu mencari kekuatan baru sebagai kawan birokrasi. Inilah awal kemunduran
umat Islam dalam panggung politik. Sejak itu kekuatan Islam pecah
berkeping-keping.
Ditambah
dengan kuatnya posisi Bung Karno yang berusaha melakukan koptasi terhadap
berbagai kekuatan “pinggiran” dan disertai pula dengan “kekalahan”
dalam konstituante, kekuatan Islam mulai tergantung pada razim. Independensi
politik telah menjadi obsorditas. Kenyataan seperti ini yang pula yang
mengharuskan umat Islam kembali mendefinisikan pola partisipasi politik mereka
dan pola kepemimpinan yang kondusif. Dengan kata lain iklim politik
zaman demokrasi terpimpin telah sama sekali mengubah orientasi umat
Islam dalam memerankan diri sebagai warga Negara dengan sistem politik yang
kepemimpinannya serba terpusat dan lebih mencerminkn hubungan patron-klien. Akibat diterapkannya
sistem kepemimpinan patron-klien makin memperbanyak fraksi, yakni dengan
munculnya kelompok-kelompok interes yang dengan rela mengorbankan
segala-galanya untuk mendekati pusat kekuasaan. Dikalangan Islam pun beberapa
elit muslim dan kekuatan politik tertentu telah rela mengorbankan apapun
asalkan tidak dikucilkan dari pusat kekuasaan itu. Gejala inilah yang
mengantarkan umat Islam memasuki Era Orde baru.
Kehancuran
orde lama dengan segala kekuatan dan kelemahannya telah memberi peluang bagi
bangsa kita termasuk umat Islam untuk sekali lagi melakukan koreksi terhadap
berbagi kesalahan dalam menata sistem politik yang mendukung terciptanya
cita-cita kemerdekaan. Orde baru dengan tatanan baru sangat berhutang budi pada
umat Islam karena hampir dapat dipastikan tanpa bantuan umat Islam tidak
mungkin PKI dapat dikikis dari bumi persada Indonsia. Dekade 1965-1967,
umat Islam telah mempertaruhkan segala-galanya dalam menumpas musuh
Pancasila hanya dengan isu agama, umat Islam berani berada di barisan terdepan
bersama ABRI dan pelajar-mahasiswa sebagi panggilan jihad untuk menegakkan
kebenaran di bumi nusantara. Pemuka agama Islam dijadikan penggerak untuk
membakar semangat massa dalam menumpas penghianat bangsa. Apa yang diperbuat
umat Islam pada waktu itu tidak didorong oleh motif apapun kecuali demi
tegaknya kebenaran yang didorong oleh panggilan suci yang Islami sehingga
terwujud kestabilan.
Suasana
kesetabilan itu pula yang memungkinkan pemerintah orde baru dapat memanfaatkan
segenap potensi bangsa. Ditambah modal asing untuk melakukan pembangunan secara
berencana. Kegiatan pembangunan ini pula yang telah membuka peluang bagi rakyat
Indonesia untuk menciptakan berbagai sarana dan meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia
sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Namun demikian, harus diingat
bahwa pembangunan yang lebih menitik beratkan pada segi ekonomi atau
materil yang membutuhkan tingkat stabilitas yang tinggi mengundang ABRI lebih
berperan lagi di bidang sosial dan politik sehingga dimungkinkan
oleh doktrin dwi-fungsi ABRI. Dengan kata lain, ABRI makin intensif
menjalankan perana sosial politiknya. Ini memperkecil ruang gerak politik
sipil. Kendatipun secara terselubung kenyataan ini menimbulkan gejolak.
Harapan
untuk kepentingan bersama, disertai persepsi bersama terhadap kondisi
sosial politik pada saat tertentu, menjadi bagian dari sejumlah keadaan
yang dengan dorogan hasrat eksplorasi sosial dan idial dalam skala besar
merupakan pangkal dari munculnya pemuda sebagai kelompok anomis dalam perjalanan
politik di tanah air. Realitas ini tidak berdiri sendiri namun hampir semua
pranata sosial politik, terutama lembaga-lembaga artikulatif mengalami
degradasi fungsi. Di saat itulah sebenarnya rangsangan luar terhadap
pemunculan pemuda sebagai kelompok “anomis” berada pada titik paling
tinggi. Titik singgung dari rangsangan kondisi objektif dengan dengan kondisi
subjektif pemuda inilah sesungguhnya yang mendorong lahirnya sejumlah gerakan
pemuda Islam di tanah air.
Dalam
kerangka pergerakan pemuda Islam, kondisi subjektif harus dilihat dalam
sejumlah dorongan nilai yang disediakan Islam bagi “mereka yang tegak dalam
untuk menyatakan kebenaran serta mencegah kemungkaran” (Q.S 3 :104). Hasrat
eksplorasi sosial dan ideal dalam konteks ini mendapatkan juga sumber dorongan
sekaligus arah dalam wujud kesadaran bahwa “keseluruhan gerak di dalam
kerangka kehidupan hanyalah ditujukan kepada Allah “ (Q.S 6: 162).
Kesadaran inilah yang mendorong lahirnya semangat juang Ormas maupun OKP Islam,
meluruhkan keseluruhan aspek juang dalam kerangka Islam. Meningginya
tingkat kesadaran akan tujuan hidup muslim berbanding terbalik dengan akibat
psikologis yang ditumbuhkan oleh relitas sosial, baik dalam konteks kehidupan
di perguruan tinggi, bagi para mahasiswa, maupun dalam kehidupan di tengah masyrakat.
2.
Hubungan Politik,
Akomodatif, Islam , Negara, Masa Orde Baru
Para
sosiolog teoretisi politik Islam merumuskan beberapa teori tentang hubungan
agama dan negara. Teori-teori tersebut secara garis besar dibedakan menjadi
tiga paradigma pemikiran yaitu paradigma
integralistik (unified paradigm),
paradigma simbiotik (symbiotic paradigm), dan paradigma sekularistik (secularistic paradigm). Bagaimana
hubungan politik yang akomodatif antara Islam dan negara masa orde baru?
Bagaimana relevansi hubungan politik yang akomodatif antara Islam dan negara
masa orde baru dengan tujuan Islam politik di Indonesia?
Islam
yang sejak awal kurun pemerintahan Orde Baru selalu dipinggirkan, pada akhir
1980-an dan 1990-an mulai "dipeluk" oleh negara. Pendukung
"teori akomodasi" memformulasikan empat bentuk "rangkulan"
negara terhadap Islam.
a.
Pertama, akomodasi
struktural, yang ditandai dengan direkrutnya para pemikir dan aktivis Islam
politik ke dalam birokrasi, baik di institusi eksekutif maupun legislatif.
b.
Kedua, akomodasi
legislatif, yaitu disahkannya beberapa peraturan dan undang-undang yang secara
khusus mengatur kehidupan keagamaan umat Islam.
c.
Ketiga, akomodasi kultural
yaitu banyak digunakannya simbol-simbol ke-Islaman seperti sering digunakannya
"bahasa agama" dan idiom-idiom Islam lainnya dalam perbendaharaan
kosa kata instrumen-instrumen politik dan ideologi negara. Seperti pengucapan assalamu'alaikum dalam pidato-pidato
kenegaraan dan diselenggarakannya Festival Istiqlal.
d.
Keempat, akomodasi
infrastruktural seperti dibangunnya masjid di Istana Negara, Yayasan Amal Bakti
Muslim Pancasila, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Kebijakan akomodasi
negara terhadap Islam saat itu sesungguhnya lebih merupakan pembungkaman sikap
oposisi umat Islam yang tergolong vokal. Dengan kalimat lain, kebijakan
akomodasi itu tidak relevan dengan harapan dan tujuan Islam politik di
Indonesia. Kebijakan akomodasi tidak lebih seperti memberi permen pada anak
kecil yang terasa manis tapi cepat atau lambat melemahkan daya cengkeram gigi
anak itu.
Munculnya
partai-partai Islam belakangan ini telah menimbulkan perdebatan tersendiri
kalau bukan masalah kontroversi. Dalam pandangan sementara kalangan, fenomena
itu dinilai sebagai perwujudan dari hadirnya kembali politik Islam, atau yang
secara salah kaprah diistilahkan sebagai "repolitisasi Islam". Penilaian yang pertama bernada positif, karena seperti agama-agama lain, Islam
memang tidak bisa dipisahkan dari politik. Penilaian kedua, jika istilah itu
dipahami secara benar, adalah negatif. Istilah "politisasi"
(terhadapa apa saja) selalu merupakan bagian dari rekayasa yang bersifat pejorative
atau manipulatif. Bisa dibayangkan apa jadinya jika hal tersebut
dikenakan pada sesuatu yang mempunyai sifat ilahiyah (devine) seperti
agama Islam.
Tidak
diketahui secara persis apa yang dimaksud oleh sementara pihak yang melihat
maraknya kehidupan politik Islam dewasa ini sebagai suatu fenomena yang dapat
diberi label repolitisasi Islam. Meskipun demikian, kalau menilik indikator
utama yang digunakan sebagai dasar penilaian itu adalah munculnya sejumlah
partai politik yang menggunakan simbol dan asas Islam atau yang mempunyai
pendukung utama komunitas Islam, maka tidak terlalu salah untuk mengatakan
bahwa yang dimaksud adalah fenomena munculnya kembali kekuatan politik Islam.
Hal yang demikian itu di dalam perjalanannya selalu terbuka kemungkinan untuk
"memolitikkan" bagian-bagian yang menjadi dasar idiologi
partai-partai tersebut.
a.
Makna
Politik Islam
Politik ialah cara
dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang
untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi
kepentingan manusia. (Salim Ali al-Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam
[Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I]). Politik Islam ialah aktivitas politik
sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis
solidaritas berkelompok. Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruh umat
Islam (baca: pemeluk agama Islam). Karena itu, mereka dalam kategori politik
dapat disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme
keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam, dan
istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah perjuangan,
serta wacana politik.
b.
Hakikat
Politik Islam
Politik Islam secara
substansial merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang
melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik
(political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap
perilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Islam, menurut Dr. Taufik
Abdullah, bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan
komunitas spiritual Islam.
c.
Dilema
Politik Islam
Dalam penghadapan
dengan kekuasaan dan negara, politik Islam di Indonesia sering berada pada
posisi delematis karena menyangkut tarik-menarik antara tuntutan untuk
aktualisasi diri secara deferminan sebagai kelompok mayoritas dan kenyataan
kehidupan politik yang tidak selalu kondusif bagi aktualisasi diri tersebut.
Sebagai akibatnya, politik Islam dihadapkan pada beberapa pilihan strategis
yang masing-masing mengandung konsekuensi dalam dirinya, yaitu :
·
Strategi akomodatif
justifikatif terhadap kekuasaan negara yang sering tidak mencerminkan
idealisme Islam dengan konsekuensi menerima penghujatan dari kalangan
"garis keras" umat Islam.
·
Strategi isolatif-oposisional,
yaitu menolak dan memisahkan diri dari kekuasaan negara untuk membangun kekuatn
sendiri, dengan konsekuensi kehilangan faktor pendukungnya, yaitu kekuatan
negara itu sendiri, yang kemudian dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak lain.
·
Strategi integratif-kritis,
yaitu mengintegrasikan diri ke dalam kekuasaan negara, tetapi tetap kritis
terhadap penyelewengan kekuasaan dalam suatu perjuangan dari dalam. Namun,
strategi ini sering berhadapan dengan hegemoni negara itu sendiri, sehingga
efektifitas perjuangannya dipertanyakan.
Salah
satu isu politik yang sering menempatkan kelompok Islam pada posisi dilematis
yang sering dihadapi politik Islam adalah pemosisian Islam vis a vis negara yang berdasarkan Pancasila. Walaupun umat Islam
mempunyai andil yang sangat besar dalam menegakkan negara melalui perjuangan
yang panjang dalam melawan penjajahan dan menegakkan kemerdekaan, namun untuk
mengisi negara merdeka kelompok Islam tidak selalu pada posisi yang menentukan.
Pada awal kemerdekaan, kelompok Islam yang mempunyai andil yang sangat besar
dalam mengganyang PKI dan menegakkan Orde Baru tidak terwakili secara
proporsional pada BPUPKI atau PPKI dan karenanya tidak memperoleh kesempatan
untuk ikut menyelenggarakan roda pemerinthan. Mereka bagaikan "orang yang
mendorong mobil mogok, setelah mobil jalan mereka ditinggal di belakang".
Sekarang
pada era reformasi, gejala demikian mungkin terulang kembali. Peran kelompok
Islam, baik tokoh Islam maupun mahasiswa Islam dalam mendorong gerakan
reformasi sangat besar namun pada perkembangan selanjutnya, gerakan reformasi
tidak selalu berada dalam pengendalian kelompok Islam. Pengendali reformasi dan
kehidupan politik nasional akan berada pada pihak atau kelompok kepentingan
politik yang menguasai sumber-sumber kekuatan politik. Pada masa modern
sekarang ini sumber-sumber kekuatan politik tidak hanya bertumpu pada masa
(M-1), tetapi juga pada materi (M-2), ide (I-1), dan informasi (I-2). Kelompok
politik Islam mungkin mempunyai kekuatan pada M-1 atau I-1, tetapi kurang pada
M-2 dan I-2. Dua yang terakhir justru dimiliki oleh kelompok-kelompok
kepentingan politik lain.
Situasi
dilematis politik Islam sering diperburuk oleh ketidakmampuan untuk keluar dari
dilema itu sendiri. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurang adanya pemaduan
antara semangat politik dan pengetahuan politik. Semangat politik yang tinggi
yang tidak disertai oleh pengetahuan yang luas dan mendalam tentang
perkembangan politik sering mengakibatkan terabainya penguatan taktik dan
strategi politik. Dua hal yang sangat diperlukan dalam politik praktis dan
permainan politik. Dilema politik Islam berpangkal pada masih adanya problem
mendasar dalam kehidupan politik umat Islam. Problema tersebut ada yang
bersifat teologis, seperti menyangkut hubungan agama dan politik dalam Islam.
Tetapi, ada yang bersifat murni politik, yaitu menyangkut strategi perjuangan
politik itu sendiri dalam latar kehidupan politik Indonesia yang kompleks
dengan kelompok-kelompok kepentingan politik majemuk.
d.
Problema
Politik Islam
Selain
problem yang berasal dari dikotomi santri abangan di kalangan umat Islam
(dikotomi ini adalah konsekuensi logis dari proses islamisasi yang tidak merata
di berbagai daerah nusantara serta perbedaan corak tantangan kultural yang
dihadapi), politik Islam juga menghadapi problema yang berkembang dari adanya
kemajemukan di kalangan kelompok Islam itu sendiri. Adalah suatu kenyataan yang
tidak dapat dipungkiri bahwa kelompok politik Islam bukanlah merupakan suatu
kelompok kepentingan tunggal. Hal ini ditandai oleh banyaknya partai-partai
yang bermunculan di kalangan kelompok Islam, baik yang berdasarkan diri pada
idiologi dan simbol keislaman maupun yang berbasis dukungan umat Islam.
Pada
era reformasi dewasa ini terdapat banyak partai Islam atau partai yang berbasis
dukungan umat Islam. Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis
dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan
keragaman kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai tersebut
merupakan buah eforia politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi.
Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi
warga negara untuk berserikat dan berkelompok yang selama 30 tahun telah
terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik.
Pluralisme
politik Islam merupakan refleksi dari pluralisme masyarakat Islam. Sedangkan
pluralisme masyarakat Islam itu sendiri merupakan kensekuensi logis dari proses
islamisasi di sebuah negara kepulauan, yang dari satu tempat ke tempat yang
lain berbeda intensitasnya. Dalam konteks hubungan antardaerah yang tidak mudah
di masa lampau, maka terbuka kemungkinan bagi berkembang kelompok atau
organisasi Islam yang mempunyai ciri-ciri dan jati diri masing-masing. Kelompok
yang kemudian mengkristal menjadi berbagai organisasi ini, selain mempunyai
titik temu pandangan, juga mempunyai dimensi kultural tertentu yang membedakan
dengan kelompok umat Islam lain. Pada tingkat tertentu, komitmen kultural ini
telah mengembangkan rasa solidaritas kelompok di kalangan umat Islam yang
mengalahkan rasa solidaritas keagamaan mereka.
Dimensi
kultural pada berbagai kelompok Islam mengakibatkan mereka sulit bersatu dalam
kehidupan politik. Oleh karena itu, penggabungan partai-partai Islam ke dalam
satu wadah tunggal nyaris menjadi utopia. Eksperimen pada masa Orde Lama
melalui Masyumi, umpamanya, mengalami kegagalan dengan keluarnya NU dari PSII.
Begitu juga eksperimen pada masa Orde Baru melalui fusi beberapa partai Islam:
belum sepenuhnya berhasil mengkristalkan kepentingan unsur-unsur yang bersatu.
Politik
Islam di Indonesia secara umum belum berhasil mencapai efektifitas politik.
Salah satu pangkal efektifitas politik menurut Allan A. Samson adalah
kepemimpinan partai politik belum mampu memfungsikan partai sebagai medium
artikulasi kepentingan politik umat Islam. Terdapat tiga faktor yang
menyebabkan ketidakefektifan politik tadi, dan hal lain dapat juga disebut
sebagai problema politik Islam, yaitu :
·
Adanya
overestimasi. Banyak pimpinan partai Islam tentang kekuatan yang dimilikinya atau
aflikasi politik dari apa yang disebut dengan mitos kemayoritasan.
·
Bersifat
eksternal, yaitu adanya usaha pengrusakan yang disengaja oleh kekuatan politik
luar.
·
Adanya
perbedaan pandangan antara pimpinan partai tentang hubungan keyakinan keagamaan
dan aksi politik.
Di atas semua itu,
problem mendasar poitik Islam adalah kesulitan untuk mewujudkan persatuan, baik
dalam skala antar-partai-partai Islam maupun dalam skala intra-satu partai
Islam. Partai Islam rentan terhadap konflik, dan konflik partai rentan terhadap
rekayasa internal. Berbagai problem tersebut harus mampu diatasi oleh
partai-partai Islam pada era reformasi dewasa ini. Adanya penggabungan secara
menyeluruh mungkin tidak realistis, kecuali mungkin di antara partai-partai
Islam yang berasal dari rumpun yang sama. Alternatif lain yang tersedia adalah
koalisi, sehingga hanya ada beberapa partai Islam saja yang ikut dalam pemilu.
e.
Perubahan
Politik Islam
Berbicara
tentang perkembangan situasi politik dalam negeri menurut perspektif Islam, kita
mengenal setidaknya dua periode yang secara signifikan memberikan pengaruh yang
berbeda, yakni periode pra dan pasca 90-an. Pertama
adalah periode beku yang ditandai dengan ketegangan hubungan antara umat Islam
dengan pemerintah, kedua adalah
pencairan dari yang pertama, yakni ketika pemerintah beruabah haluan dalam
menatap umat Islam dalam setting pembangunan nasional.
Situasi
pra 90-an diakui sarat dengan isu politik yang mempertentangkan umat Islam
dengan pemerintah. Peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Lampung, Komando Jihad,
peledakan Borobudur, dan yang lainnya telah memanaskan situasi.
Peristiwa-peristiwa tersebut, sejak Orde Baru berdiri, mengukuhkan citra
pertentangan antara umat Islam dengan pemerintah. Situasi ini pada gilirannya
menjadikan organisasi Islam tidak berani "tampil" secara lantang
menyuarakan aspirasinya. Tetapi, situasi tersebut berangsur berubah pada pasca
90-an. Angin segar seakan bertiup sejuk ke tubuh umat Islam. ICMI terbentuk,
Soeharto naik haji, jilbab dilegalisasi di sekolah menengah, lolosnya peradilan
agama dan pendidikan nasional yang dinilai menguntungkan, pencabutan SDSB,
pendirian BMI, serta suasana keberislaman kalangan birokrasi yang semakin
kental, dan lain-lain yang menandai era baru: politik akomodasi, umat Islam
yang selama ini dianggap sebagai rival kini tidak lagi. Tumbuh di kalangan
pemerintah dan juga ABRI (pada waktu itu), bahwa pembangunan Indonesia tidak
akan berhasil tanpa menyertakan umat Islam yang mayoritas, umat Islam harus
dianggap sebagai mitra.
Layaknya
bola salju, era akomodasi ini bergulir deras dan cenderung besar, efeknya
terasa, kini bukan tabu lagi umat Islam berbicara tentang aspirasi Islam. Di
kalangan pemerintah juga tampak adanya upaya untuk "menyinggung"
perasaan umat Islam. Demikian terus dalam beberapa tahun terakhir, proses
"islamisasi" seakan berjalan lancar tanpa halangan. Ada dua teori
guna meramalkan masa depan bola salju tadi. Pertama, bahwa kelak bola
salju itu makin besar. Artinya, kesadaran keberislaman makin menyebar dan marak
menyelimuti semua kalangan. Kedua, adalah antitesis yang pertama. Bola
salju tadi memang membesar, tetapi hanya sesaat kemudian pecah berkeping-keping
akibat terlalu kencangnya meluncur atau lemahnya ikatan unsur-unsur pembentuk
bole tersebut. Sebagai kemungkinan alternatif ini bisa terjadi. Yakni, bila
umat Islam terlalu kencang meluncurkannya, sementara ikatan di tubuh umat dan
situasi belum cukup kuat, atau mungkin juga latar belakang ada orang lain yang
sengaja memukul hancur. Bila ini terjadi, kita tidak bisa membayangkan seperti
apa jadinya, dan butuh beberapa waktu lagi untuk mendapatkan keadaan serupa,
dan di era reformasi sampai saat ini (2002) umat Islam dalam berpolitik sudah
terpecah-pecah, itu suatu kenyataan riil yang kita lihat.
Dalam
konteks Islam, perkembangan munculnya partai-partai Islam yang berada di atas
angka 50-an--meskipun kemudian melalui proses verifikasi, hanya 48 partai yang
dinilai layak mengikuti pemilu--telah melahirkan penilaian tersendiri. Yang
paling umum adalah pandangan mengenai munculnya kembali kekuatan politik Islam.
Orang pun kemudian mengingat-ingatnya dengan istilah "repolitisasi Islam",
sesuatu yang bisa menimbulkan konotasi tertentu, mengingat pengalaman Islam
dalam sejarah politik Indonesia. Padahal, kita sebenarnya boleh menanyakan
apakah benar Islam sejatinya pernah berhenti berpolitik? Walaupun dengan itu,
pertanyaan tersebut bukan untuk mengisyaratkan bahwa Islam itu adalah agama
politik.
Meskipun
demikian satu hal yang harus diingat bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah
beragama Islam. Langsung atau tidak langsung, yang demikian itu mempunyai
implikasi politik. Dengan kata lain, kekuatan politik apa pun, lebih-lebih
partai politik, akan sangat memperhitungkan realitas demografis seperti itu.
Artinya, massa Islam bakal diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan politik guna
mencari dukungan. Bak "gadis" yang akan selalu diperebutkan, bagaimana
seharusnya Islam bersikap di tengah polarisasi politik yang tajam ini? Jelas,
ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Seandainya tersedia jawaban pun ia
bukan suatu yang dapat diperebutkan. Artinya, akan tersedia banyak jawaban. Dan
semua itu akan sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh preferensi politik yang
bersangkutan.
Dalam
situasi seperti ini, ada baiknya kita kembali kepada makna beragama. Ada apa
sebenarnya fungsi Islam dalam kehidupan. Seperti telah sering dikemukakan,
agama dapat dilihat sebagai instrumen ilahiyah untuk "memahami"
dunia. Dibandingkan dengan agama-agama lain, Islam paling mudah menerima premis ini. Salah satu alasannya
terletak pada sifat Islam yang omnipresence yang merupakan suatu
pandangan bahwa "di mana-mana" kehadiran Islam hendaknya dijadikan
panduan moral yang benar bagi tindakan tingkah laku manusia. Ada memang yang
mengartikan pandangan seperti ini dalam konteks bahwa Islam merupakan suatu
totalitas. "Apa saja" ada dalam Islam. Seperti firman Allah dalam Al-Qur'an
yang artinya, "Tidak kami tinggal masalah sedikit pun dalam
Al-Qur'an." Lebih dari itu, Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
sosial-ekonomi dan politik. Terutama karena itu, ada yang berpendapat bahwa
Islam itu sebenarnya mencakup negara--sesuatu yang kemudian dirumuskan dalam
jargon "innal Islam dinun wa dawlah".
Kesimpulan
Tidak dipungkiri lagi
politik Islam adalah suatu keharusan dalam sebuah komuniatas Islam yang
majemuk. Tetapi, di sisi lain, ia pun tidak lepas dari dilema-dilema dan
problema-problema yang merupakan konsekuensi dalam dirinya. Untuk mengatasi
hal-hal tersebut, maka diperlukan strategi dan taktik jitu perjuangan politik
dalam latar kehidupan politik Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok
kepentingan politik majemuk.
Lembaga
Pemerintahan yang disebut birokrasi hanyalah elemen pelaksana kebijakan politik
namun sepatutnya ini menjadi posisi strategis dalam proses pengelolaan dan
penyelenggaraan negara. Olehnya, penguatan ideologi politik Islam tidak hanya
menjadi jargon kejuangan ummat dari pelaku politik praktis namun dapat
memposisikan kekuatan lainnya dalam ruang birokratisme. Hal ini agar dalam sisi
pengendali, pengelolan dan evaluasi berjalan sinergis dalam tataran moralitas
ke-Islaman.
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara:
Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta:
Paramadina, 1998;
.........................., Merambah
Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan, 1986;
.........................., Teologi Baru
Politik Islam Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, Yogyakarta: Galang Printika, 2001;
.........................., (Re)
Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung: Mizan Anggota
IKAPI, 2000;
..........................., Demokrasi
dan Agama: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2005.
Bachtiar Harsya W. “ Kaum
Cendekiawan di Indonesia: Suatu Sketsa Sosiologi ”Jakarta : LP3TS, 1983.
Benda, Harry J. “ elit dalam
perspektif sejarah “ :Jakarta: LP3ES, 1981
Rais, Amin, Islam Indonesia Jakarta
: Rjawali pers, 1992
Islam Idiologi, Ir. Ismail Susanto
Etika Agama dalam Membangun Masyarakat
Madani, Prof. Dr. Din
Syamsudin
Wawasan Sistem Politik Islam, Dr. Salim Ali al-Bahnasawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar