a. Pengantar
Pertumbuhan dan
perkembangan Kota Kupang dewasa ini telah memicu persoalan baru yang cukup mencemaskan
seluruh komponen penghuninya. Pertambahan penduduk yang lebih dominan adalah
kelompok urban, datang dan pergi seiring kebersahabatan kota dalam memenuhi
kebutuhan perut dan sakunya. Seakan tak peduli kemana arah kota ini akan
dihantar, asalkan hari ini bisa makan dan menyisihkan sekelimut suka untuk esok
maka mereka akan bertahan hingga kota tak bersahabat lagi.
Pertumbuhan
penduduk perkotan di Indonesia (umumnya)
mengalami tingkat eskalasi pertumbuhan yang tinggi karena kota adalah
pusat pertumbuhan (growth center) dan akan berlangsung terus dengan percepatan yang tinggi. Peningkatan jumlah
penduduk berimplikasi pula pada peningkayan kebutuhan penduduk akan ruang
tempat tinggal, ruang tempat beraktivitas ekonomi, sosial, budaya, jasa dan
kebutuhan akan energi lainnya. Peningkatan kebutuhan masyarakat perkotaan ikut
menggeser status sosialnya sehingga benarlah jika Sandra (2007) mengklaim bahwa
status sosial yang lebih tinggi cenderung menghasilkan sampah yang lebih banyak
dibanding kelompok masyarakat yang berstatus sosial rendah namun kepadatannya
(densitas) lebih rendah.
Salah
satu beban yang timbul adalah limbah yang dilihat dari wujudnya, limbah dapat berupa
padatan, cairan atau gas, sedangkan sampah (refuse)
hanya berupa padatan atau setengah padatan. Pengelolaan masalah sampah yang
tidak baik akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang
selanjutnya akan mengancam kehudupan manusia itu sendiri. Pertumbuhan kota yang pesat
dan pergeseran kearah masyarakat konsumtif menaikkan status sosial serta kemajuan
teknologi, sampah menjadi masalah yang serius dan diperlukan penanganan secara
saksama secara terintegrasi dengan inovasi-inovasi baru yang lebih memadai.
Berbagai
aktifitas dalam pemanfaatan sumberdaya senantiasa menyisihkan sampah dan akan
terakumulasi dalam lingkungan, olehnya sangat tergantung pada kemampuan
lingkungan untuk mengasimilasinya. Jumlah sampah akan terus bertambah seiring
tingkat konsumsi sumberdaya dan tidak sepenuhnya terserap oleh lingkungan. Sampah-sampah
yang menumpuk dan berserak di berbagai sudut Kota Kupang mungkin belum
memberikan akibat langsung terhadap sanitasi lingkungan sehingga keresahan
masyarakat pun belum meruak ke permukaan. Bahkan jika ada keresahan mungkin
belum merujuk pada kajian khusus tentang kondisi persampahan dan pengelolaannya
di Kota Kupang sehingga seluruh pihak masih boleh berhura ria dalam
mengkonsumsi dan membuang sampah seenaknya.
Jika merujuk
kajian Roni
Kastamanet (2007) yang mensinyalir setiap manusia dalam kehidupannya
sehari-hari memproduksi sejumlah sampah dalam bentuk padatan dengan volume
antara 3 – 5 liter atau sekitar 1 – 3 kg sampah perhari. Sampah tersebut
berbentuk sampah organik (tinja, sisa dapur, sisa makanan) maupun sampah
anorganik (kertas, plastik, kaca, logam, dsb). Rasio bahan organik dengan bahan
anorganik sampah adalah antara 1 : 3. Jumlah tersebut tidak termasuk cairan
(urin dan cairan sanitasi) yang dapat mencapai 50 – 350 liter per hari. Jika
realita ini terjadi di Kota Kupang maka butuh kewaspadaan bersama bahwa suatu
ketika Kota Kupang akan tercemar meski bukan termasuk area industri.
b. Pemulung, Pahlawan Lingkungan
Menilik
kemajuan Kota Kupang beberapa tahun terakhir mulai diramaikan oleh kehadiran
sekelompok komunitas yang biasa disebut ‘KAUM PEMULUNG’ (scanvenger) yang menggantungkan kehidupannya pada sampah yang tidak terpakai penduduk
umum lainnya. Profesi PEMULUNG kian menjanjikan seiring dengan hadirnya pengusaha
penadah hasil pulungan karena merupakan cara mudah mendapatkan ‘uang’ tanpa
harus melegalisir ijazah dan membuat lamaran. Sebagian saudara kita (masyarakat
Pribumi/asli NTT) memilih pekerjaan pemulung karena hanya untuk mengais rejeki
yang dijanjikan penadah (yang notabene) dari luar NTT. Sementara sesama saudara
pribumi lainnya yang setelah mengenyam bangku pendidikan sibuk menulis lamaran
untuk dapat bekerja dikantoran terlebih menjadi PNS. Kita tidak berpikir bahwa
menjadi pemulung adalah pekerjaan mulia karena ikut menyelamatkan nasib bumi
ini bagi anak cucu kita kelaknya.
Masalah sampah sepatutnya
menjadi tanggung jawab bersama, bukan harus berharap kinerja Dinas Kebersihan
Kota yang memiliki berbagai keterbatasan. Hadirnya pemulung belakangan ini
untuk mengambil sampah-sampah anorganik yang masih dapat didaur ulang (recycle) berkonstribusi terhadap
kebersihan lingkungan, serta dapat membantu menekan debit sampah. Sikap pasif
dan tidak peduli pada masalah sambah kiranya menjadi budaya lokal karena
menyerahkan tanggung jawab pengelolaan sampah hanya pada Pemerintah.
Pemulung yang
tidak digaji oleh pemerintah tampak begitu semangat mengais sampah-sampah yang
berserak diseputar lingkungan kita dan sementara kita hanya memandang sinis
atas kerjaannya tanpa ada rasa terima kasih sedikitpun atas jasa-jasanya.
Pemulung bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengumpulkan
barang-barang bekas yang layak dipakai dan/atau diolah lanjut, sementara sampah
lainnya yang tidak terpakai dan tidak dapat diolah lanjut dibiarkan berserak hingga
datang petugas kebersihan membereskannya.
c. Paradigma Persampahan
Dalam rangka
menunjang program Kupang Green and Clean
maka salah satu strategi yang tempuh adalah penyediaan motor sampah (dan
petugasnya) disetiap kelurahan. Motor sampah bertugas mengangkut sampah dari
rumah tangga dan diantar ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara) dan kemudian
diangkut oleh mobil Dinas Kebersihan menuju TPA (tempat pembuangan akhir).
Terlihat sepintas seluruh sampah dapat terangkut jika motor sampah dapat
menjangkau ke setiap rumah tangga dan bila setiap rumah tangga dimaksud
bersedia mewadahi sampah pada tempat yang layak.
Sulit kiranya
pemulung akan mengumpulkan semua jenis sampah yang dihasilkan rumah tangga dan
lebih sulit lagi jika petugas motor sampah bersedia mengangkut sampah yang
masih berserak di setiap rumah tangga karena paradigma dan wawasan cinta
lingkungan tidak terpatri dalam aktifitasnya. Pemulung hanya akan mengumpulkan
barang yang dianggap layak karena si-pemulung membutuhkannya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Sementara petugas motor sampah hanya akan mengangkut sampah
yang sudah diwadahi dan itupun hanya berada disamping jalan (bila terjangkau).
Demikian halnya dengan petugas kebersihan kota yang hanya mengangkut sampah
didalam TPS saja dan membiarkan sampah disekitarnya berserak karena memang
tugas mereka hanya mengangkut sampah di TPS.
Berbagai
komponen diatas, baik pemulung, petugas motor sampah dan petugas kebersihan
hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonominya tanpa ada dorongan atas
sebuah kesadaran bahwa membersihkan lingkungan dari sampah adalah bagian dari
upaya menyelamatkan lingkungan dititik tersebut. Bahkan pemerintah-pun bisa
dikategorikan melakukan pembersihan hanya untuk menapik kritikan dan keluhan
serta mengharapkan pujian agar kelak disanjung rakyatnya. Tak terdengar sebuah
program strategis yang digalakkan untuk menyamakan persepsi yang mengubah paradigma
berpikir masyarakat umum tentang pengelolaan sampah terpadu berbasis rumah
tangga. Olehnya, tak dapat disalahkan bila sikap apatis masyarakat terhadap
ketercemaran sampah disekitarnya terus menjadi sebuah budaya karena tak ada
kesadaran moral sejak dini bagi generasi pelanjut dalam menjaga lingkungannya
sendiri.
Mengurai rantai
perjalanan sampah rumah tangga hingga ke TPA diatas, seakan ada sebuah
pertalian yang putus yaitu pengumpulan dan pengelompokan sampah pada tingkat
rumah tangga. Sebagian masyarakat mungkin telah menyadari hal ini dan mungkin
hanya melakukan pembersihan dan pengumpulan pada area rumah tangganya saja,
sementara diluar jangkauan rumahnya dibiarkan berserak. Mungkin masyarakat
berharap itu adalah tanggung jawab dari petugas kebersihan sementara petugas
kebersihan hanya membersihkan area sekitar TPA, lantas siapakah yang bertugas
membersihkan dan mengumpulkan sampah di area tersebut?. Berharap datangnya
banjirkah?
Berstatus
ibukota provinsi dan dalam usia yang sudah relatif tua, Kota Kupang hingga saat
ini belum menjalankan sistem pengelolaan sambah terpadu. Pengelolaan
profesional tidak hanya sebatas mengumpulkan, mengangkut dan membuang di TPA
namun yang terpenting adalah pengolahan (daur ulang) sebelum tahapan pembuangan
yang dapat dilakukan ditingkat rumah tangga. Jangankan mengaitkan keteruraian
rantai perjalanan sampah diatas namun hal lain lebih penting adalah keberadaan
dan ketersediaan TPA yang permanen dan representatif untuk menampung sampah
warga Kota Kupang. Topiknya belum tertuju pada optimalisasi peran masyarakat
dalam penanganan sampah secara terpadu dan berbasis rumah tangga. Sampah masih
dianggap ‘momok yang menjijikkan’ dan tidak bernilai ekonomis sehingga belum
juga ada sistem daur ulang (menggunakan ulang/reuse, menggunakan lagi/reutilization,
dan mendapatkan bahan dasar kembali/recovery)
yang dikelolah secara profesional.
d.
Sistem Pengelolaan
Sampah Terpadu
Sistem
Pengelolaan Sampah Terpadu merupakan suatu sistem yang mengikut sertakan
partisipasi masyarakat, ramah lingkungan, hemat energi dan biaya, serta secara
produktif dapat meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sistem ini
merupakan satu diantara alternatif dengan model konseptual yang dikembangkan
adalah dengan menerapkan Sistem Pengelolaan Reaktor Sampah Terpadu (Silarsatu).
Silarsatu ini beroperasi dengan cara zero
waste system atau sistem pengelolaan sampah tanpa sisa.
Sistim ini, sampah relatif habis terurai menjadi kompos yang tidak menimbulkan
polusi tanah, perairan dan udara, sedang truk-truk pengangkut sampah dari TPS
ke TPA bebannya berkurang dengan cukup banyak, karena ada reaktor-reaktor
sampah pengubah sampah menjadi kompos langsung ditempat.
Pengelolaan sampah terpadu
dengan Silarsatu didahului dengan studi-studi mendalam dan berlanjut,
pendekatan-pendekatan holistik yang bersifat sosial, teknis, ekonomis, serta regulasi
pendukung. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator
sementara masyarakat dilibatkan secara penuh untuk mengelolah sendiri dan
mendapatkan keuntungan ekonomisnya. Lemahnya disiplin masyarakat dalam membuang sampah disinyalir
disebabkan lemahnya penerapan sanksi yang telah tertuang dari dalam regulasi
dan kebijakan pemerintah. Olehnya, berbagai cara dapat ditempuh untuk menyokong
kelemahan ini harus dimulai dari dalam rumah tangga karena sebanyak 58% sampah
yang beredar adalah jenis sampah dapur, 14% sampah plastik, 9% sampah kertas
dan sisanya adalah jenis sampah kayu, kaca, karet, kulit, kain metal dan pasir.
Sementara menurut sumbernya 48 % sampah berasal dari pemukiman dan sisanya
berasal dari pasar, jalan, fasilitas umum, perkantoran, indutri dan lainnya.
Membangun kembali kepedulian masyarakat dalam mengelola sampah adalah mengubah
corak budaya yang dapat ditempuh melalui lembaga pendidikan, lembaga adat,
lembaga kelurahan, lembaga swasta dan lembaga pemerintah.
1.
Lembaga Pendidikan Formal (sekolah/kampus) adalah menjadi ujung tombak dalam pengajaran tentang
persampahan dan motor penggerak perubahan nilai anak didik sejak dini. Salah
satu program yang saat ini sedang digalakkan oleh Ikatan Geograf Indonesia
(IGI) adalah SWALIBA (Sekolah Berwawasan Lingkungan dan Mitigasi Bencana).
Berkaitan dengan pengelolaan sampah, metodenya cukup sederhana yaitu memasukkan
pengajaran tentang persampahan di dalam bagian kurikulum, membentuk
kelompok-kelompok clean up,
penyediaan fasilitas tong sampah, menggalakkan lomba kebersihan, pengelolaan
kompos sekolah dan penyaluran sampah non-oranik ke pengusaha.
2.
Lembaga adat menjadi wadah efektif karena menggunakan
pendekatan sosio-kultural. Khusus di daerah perkotaan, pergeseran peran lembaga
adat dapat dilakukan oleh lembaga kelurahan seperti perangkat RT, RW dan LPM.
Metode yang diterapkan tak jauh dengan peran lembaga pendidikan namun lembaga
pendidikan cenderung pada pembentukan karakter dan wawasan anak sementara
lembaga adat dan kelurahan pada tataran aplikatif sesuai realita lapangan.
3.
Lembaga swasta adalah mitra masyarakat dan pemerintah
yang dapat berperan sebagai donasi, penyediaan fasilitas insenerator (mesin penghancur sampah) serta usaha pemulung yang
dapat menampung/membeli sampah non-organin.
4.
Lembaga pemerintah selaku aparat (pelayan) harus
diposisikan sebagai fasilitator dan regulator sehingga domain perannya adalah
menfasilitasi dan menggerakkan lembaga lainnya diatas dalam pengelolaan sampah,
penyediaan anggaran, penertiban regulasi, dan menciptakan iklim kondusif bagi
pihak swasta yang ingin berinfestasi dibidang sampah.
Mengakhiri tulisan ini, maka sepatutnya harus dilakukan re-orientasi
peran, tugas dan fungsi dari petugas kebersihan yang mengarah pada tanggung
jawab moril menjaga stabilitas lingkungan. Petugas tidak hanya bekerja
‘membersihkan’ lingkungan dan berharap menerima upah berupa gaji. Pemulung juga
harus ter-organisir dalam sebuah wadah resmi dan dilakukan re-orientasi agar
dalam melakukan aktifitas pengumpulan senantiasa mengedepankan semangat
pengendalian lingkungan. Bila memungkinkan, bagi para pemulung harus dilatih
secara profesional dan diberikan penghargaan khusus yang setimpal dengan perannya.
Menaruh harapan besar pada Dinas Kebersihan Kota yang memiliki cakupan
Tupoksi yang sangat luas hanya akan mengenyampingkan keseriusan pengelolaan
sampah di Kota Kupang. Bila memungkinkan maka pengelolaan sampah dapat di
motori oleh lembaga khusus yang berbentuk Perusahaan Daerah. Mengapa harus
Perusahaan Daerah? Pertimbangannya cukup sederhana karena orientasi pelayanan
yang diberikan oleh lembaga pemerintah (Dinas Kebersihan Kota) terkesan
birokratif dan menyimpang dari hakekat pelayanannya sebagai aparatur. Kasarnya,
nilai pelayanan tergilas oleh paradoks proyek sementara tanggung jawab terhadap
keseimbangan lingkungan tidak semestinya dikemas dalam sistem proyek yang
cenderung berorientasi kata kunci (ASAL ANGGARANNYA TERSERAP, TIDAK PEDULI
APAPUN HASILNYA). Sementara pengelolaan melalui Perusahan Daerah cenderung
mengedepankan profesionalisme dalam menjaga stabilitas lingkungan dan
berorientasi nilai manfaat dan kegunaan yang dapat dirasakan langsung oleh
masyarakat. ‘Perusahaan Daerah Persampahan Kota’ kiranya nama yang elok untuk
mengorganisir kelompok pemulung serta berbagai program konservatif lainnya.
Semoga Kota Kupang akan menjadi sebuah daerah percontohan di NTT dalam
pengelolaan sampah kelaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar