Kamis, 09 Juli 2015

BELAJAR DARI PEMULUNG





a.    Pengantar
Pertumbuhan dan perkembangan Kota Kupang dewasa ini telah memicu persoalan baru yang cukup mencemaskan seluruh komponen penghuninya. Pertambahan penduduk yang lebih dominan adalah kelompok urban, datang dan pergi seiring kebersahabatan kota dalam memenuhi kebutuhan perut dan sakunya. Seakan tak peduli kemana arah kota ini akan dihantar, asalkan hari ini bisa makan dan menyisihkan sekelimut suka untuk esok maka mereka akan bertahan hingga kota tak bersahabat lagi.
Pertumbuhan penduduk perkotan di Indonesia (umumnya) mengalami tingkat eskalasi pertumbuhan yang tinggi karena kota adalah pusat pertumbuhan (growth center) dan akan  berlangsung terus dengan percepatan yang tinggi. Peningkatan jumlah penduduk berimplikasi pula pada peningkayan kebutuhan penduduk akan ruang tempat tinggal, ruang tempat beraktivitas ekonomi, sosial, budaya, jasa dan kebutuhan akan energi lainnya. Peningkatan kebutuhan masyarakat perkotaan ikut menggeser status sosialnya sehingga benarlah jika Sandra (2007) mengklaim bahwa status sosial yang lebih tinggi cenderung menghasilkan sampah yang lebih banyak dibanding kelompok masyarakat yang berstatus sosial rendah namun kepadatannya (densitas) lebih rendah.
Salah satu beban yang timbul adalah limbah yang dilihat dari wujudnya, limbah dapat berupa padatan, cairan atau gas, sedangkan sampah (refuse) hanya berupa padatan atau setengah padatan. Pengelolaan masalah sampah yang tidak baik akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang selanjutnya akan mengancam kehudupan manusia itu sendiri. Pertumbuhan kota yang pesat dan pergeseran kearah masyarakat konsumtif menaikkan status sosial serta kemajuan teknologi, sampah menjadi masalah yang serius dan diperlukan penanganan secara saksama secara terintegrasi dengan inovasi-inovasi baru yang lebih memadai.
Berbagai aktifitas dalam pemanfaatan sumberdaya senantiasa menyisihkan sampah dan akan terakumulasi dalam lingkungan, olehnya sangat tergantung pada kemampuan lingkungan untuk mengasimilasinya. Jumlah sampah akan terus bertambah seiring tingkat konsumsi sumberdaya dan tidak sepenuhnya terserap oleh lingkungan. Sampah-sampah yang menumpuk dan berserak di berbagai sudut Kota Kupang mungkin belum memberikan akibat langsung terhadap sanitasi lingkungan sehingga keresahan masyarakat pun belum meruak ke permukaan. Bahkan jika ada keresahan mungkin belum merujuk pada kajian khusus tentang kondisi persampahan dan pengelolaannya di Kota Kupang sehingga seluruh pihak masih boleh berhura ria dalam mengkonsumsi dan membuang sampah seenaknya.
Jika merujuk kajian Roni Kastamanet (2007) yang mensinyalir setiap manusia dalam kehidupannya sehari-hari memproduksi sejumlah sampah dalam bentuk padatan dengan volume antara 3 – 5 liter atau sekitar 1 – 3 kg sampah perhari. Sampah tersebut berbentuk sampah organik (tinja, sisa dapur, sisa makanan) maupun sampah anorganik (kertas, plastik, kaca, logam, dsb). Rasio bahan organik dengan bahan anorganik sampah adalah antara 1 : 3. Jumlah tersebut tidak termasuk cairan (urin dan cairan sanitasi) yang dapat mencapai 50 – 350 liter per hari. Jika realita ini terjadi di Kota Kupang maka butuh kewaspadaan bersama bahwa suatu ketika Kota Kupang akan tercemar meski bukan termasuk area industri.
b.    Pemulung, Pahlawan Lingkungan
Menilik kemajuan Kota Kupang beberapa tahun terakhir mulai diramaikan oleh kehadiran sekelompok komunitas yang biasa disebut ‘KAUM PEMULUNG’ (scanvenger) yang menggantungkan kehidupannya pada sampah yang tidak terpakai penduduk umum lainnya. Profesi PEMULUNG kian menjanjikan seiring dengan hadirnya pengusaha penadah hasil pulungan karena merupakan cara mudah mendapatkan ‘uang’ tanpa harus melegalisir ijazah dan membuat lamaran. Sebagian saudara kita (masyarakat Pribumi/asli NTT) memilih pekerjaan pemulung karena hanya untuk mengais rejeki yang dijanjikan penadah (yang notabene) dari luar NTT. Sementara sesama saudara pribumi lainnya yang setelah mengenyam bangku pendidikan sibuk menulis lamaran untuk dapat bekerja dikantoran terlebih menjadi PNS. Kita tidak berpikir bahwa menjadi pemulung adalah pekerjaan mulia karena ikut menyelamatkan nasib bumi ini bagi anak cucu kita kelaknya.
Masalah sampah sepatutnya menjadi tanggung jawab bersama, bukan harus berharap kinerja Dinas Kebersihan Kota yang memiliki berbagai keterbatasan. Hadirnya pemulung belakangan ini untuk mengambil sampah-sampah anorganik yang masih dapat didaur ulang (recycle) berkonstribusi terhadap kebersihan lingkungan, serta dapat membantu menekan debit sampah. Sikap pasif dan tidak peduli pada masalah sambah kiranya menjadi budaya lokal karena menyerahkan tanggung jawab pengelolaan sampah hanya pada Pemerintah.
Pemulung yang tidak digaji oleh pemerintah tampak begitu semangat mengais sampah-sampah yang berserak diseputar lingkungan kita dan sementara kita hanya memandang sinis atas kerjaannya tanpa ada rasa terima kasih sedikitpun atas jasa-jasanya. Pemulung bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengumpulkan barang-barang bekas yang layak dipakai dan/atau diolah lanjut, sementara sampah lainnya yang tidak terpakai dan tidak dapat diolah lanjut dibiarkan berserak hingga datang petugas kebersihan membereskannya.
c.    Paradigma Persampahan
Dalam rangka menunjang program Kupang Green and Clean maka salah satu strategi yang tempuh adalah penyediaan motor sampah (dan petugasnya) disetiap kelurahan. Motor sampah bertugas mengangkut sampah dari rumah tangga dan diantar ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara) dan kemudian diangkut oleh mobil Dinas Kebersihan menuju TPA (tempat pembuangan akhir). Terlihat sepintas seluruh sampah dapat terangkut jika motor sampah dapat menjangkau ke setiap rumah tangga dan bila setiap rumah tangga dimaksud bersedia mewadahi sampah pada tempat yang layak.
Sulit kiranya pemulung akan mengumpulkan semua jenis sampah yang dihasilkan rumah tangga dan lebih sulit lagi jika petugas motor sampah bersedia mengangkut sampah yang masih berserak di setiap rumah tangga karena paradigma dan wawasan cinta lingkungan tidak terpatri dalam aktifitasnya. Pemulung hanya akan mengumpulkan barang yang dianggap layak karena si-pemulung membutuhkannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara petugas motor sampah hanya akan mengangkut sampah yang sudah diwadahi dan itupun hanya berada disamping jalan (bila terjangkau). Demikian halnya dengan petugas kebersihan kota yang hanya mengangkut sampah didalam TPS saja dan membiarkan sampah disekitarnya berserak karena memang tugas mereka hanya mengangkut sampah di TPS.
Berbagai komponen diatas, baik pemulung, petugas motor sampah dan petugas kebersihan hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonominya tanpa ada dorongan atas sebuah kesadaran bahwa membersihkan lingkungan dari sampah adalah bagian dari upaya menyelamatkan lingkungan dititik tersebut. Bahkan pemerintah-pun bisa dikategorikan melakukan pembersihan hanya untuk menapik kritikan dan keluhan serta mengharapkan pujian agar kelak disanjung rakyatnya. Tak terdengar sebuah program strategis yang digalakkan untuk menyamakan persepsi yang mengubah paradigma berpikir masyarakat umum tentang pengelolaan sampah terpadu berbasis rumah tangga. Olehnya, tak dapat disalahkan bila sikap apatis masyarakat terhadap ketercemaran sampah disekitarnya terus menjadi sebuah budaya karena tak ada kesadaran moral sejak dini bagi generasi pelanjut dalam menjaga lingkungannya sendiri.
Mengurai rantai perjalanan sampah rumah tangga hingga ke TPA diatas, seakan ada sebuah pertalian yang putus yaitu pengumpulan dan pengelompokan sampah pada tingkat rumah tangga. Sebagian masyarakat mungkin telah menyadari hal ini dan mungkin hanya melakukan pembersihan dan pengumpulan pada area rumah tangganya saja, sementara diluar jangkauan rumahnya dibiarkan berserak. Mungkin masyarakat berharap itu adalah tanggung jawab dari petugas kebersihan sementara petugas kebersihan hanya membersihkan area sekitar TPA, lantas siapakah yang bertugas membersihkan dan mengumpulkan sampah di area tersebut?. Berharap datangnya banjirkah?
Berstatus ibukota provinsi dan dalam usia yang sudah relatif tua, Kota Kupang hingga saat ini belum menjalankan sistem pengelolaan sambah terpadu. Pengelolaan profesional tidak hanya sebatas mengumpulkan, mengangkut dan membuang di TPA namun yang terpenting adalah pengolahan (daur ulang) sebelum tahapan pembuangan yang dapat dilakukan ditingkat rumah tangga. Jangankan mengaitkan keteruraian rantai perjalanan sampah diatas namun hal lain lebih penting adalah keberadaan dan ketersediaan TPA yang permanen dan representatif untuk menampung sampah warga Kota Kupang. Topiknya belum tertuju pada optimalisasi peran masyarakat dalam penanganan sampah secara terpadu dan berbasis rumah tangga. Sampah masih dianggap ‘momok yang menjijikkan’ dan tidak bernilai ekonomis sehingga belum juga ada sistem daur ulang (menggunakan ulang/reuse, menggunakan lagi/reutilization, dan mendapatkan bahan dasar kembali/recovery) yang dikelolah secara profesional.
d.     Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu
Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu merupakan suatu sistem yang mengikut sertakan partisipasi masyarakat, ramah lingkungan, hemat energi dan biaya, serta secara produktif dapat meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sistem ini merupakan satu diantara alternatif dengan model konseptual yang dikembangkan adalah dengan menerapkan Sistem Pengelolaan Reaktor Sampah Terpadu (Silarsatu). Silarsatu ini beroperasi dengan cara zero waste system atau sistem pengelolaan sampah tanpa sisa. Sistim ini, sampah relatif habis terurai menjadi kompos yang tidak menimbulkan polusi tanah, perairan dan udara, sedang truk-truk pengangkut sampah dari TPS ke TPA bebannya berkurang dengan cukup banyak, karena ada reaktor-reaktor sampah pengubah sampah menjadi kompos langsung ditempat.
Pengelolaan sampah terpadu dengan Silarsatu didahului dengan studi-studi mendalam dan berlanjut, pendekatan-pendekatan holistik yang bersifat sosial, teknis, ekonomis, serta regulasi pendukung. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator sementara masyarakat dilibatkan secara penuh untuk mengelolah sendiri dan mendapatkan keuntungan ekonomisnya. Lemahnya disiplin masyarakat dalam membuang sampah disinyalir disebabkan lemahnya penerapan sanksi yang telah tertuang dari dalam regulasi dan kebijakan pemerintah. Olehnya, berbagai cara dapat ditempuh untuk menyokong kelemahan ini harus dimulai dari dalam rumah tangga karena sebanyak 58% sampah yang beredar adalah jenis sampah dapur, 14% sampah plastik, 9% sampah kertas dan sisanya adalah jenis sampah kayu, kaca, karet, kulit, kain metal dan pasir. Sementara menurut sumbernya 48 % sampah berasal dari pemukiman dan sisanya berasal dari pasar, jalan, fasilitas umum, perkantoran, indutri dan lainnya.
Membangun kembali kepedulian masyarakat dalam mengelola sampah adalah mengubah corak budaya yang dapat ditempuh melalui lembaga pendidikan, lembaga adat, lembaga kelurahan, lembaga swasta dan lembaga pemerintah.
1.      Lembaga Pendidikan Formal (sekolah/kampus) adalah menjadi ujung tombak dalam pengajaran tentang persampahan dan motor penggerak perubahan nilai anak didik sejak dini. Salah satu program yang saat ini sedang digalakkan oleh Ikatan Geograf Indonesia (IGI) adalah SWALIBA (Sekolah Berwawasan Lingkungan dan Mitigasi Bencana). Berkaitan dengan pengelolaan sampah, metodenya cukup sederhana yaitu memasukkan pengajaran tentang persampahan di dalam bagian kurikulum, membentuk kelompok-kelompok clean up, penyediaan fasilitas tong sampah, menggalakkan lomba kebersihan, pengelolaan kompos sekolah dan penyaluran sampah non-oranik ke pengusaha.
2.      Lembaga adat menjadi wadah efektif karena menggunakan pendekatan sosio-kultural. Khusus di daerah perkotaan, pergeseran peran lembaga adat dapat dilakukan oleh lembaga kelurahan seperti perangkat RT, RW dan LPM. Metode yang diterapkan tak jauh dengan peran lembaga pendidikan namun lembaga pendidikan cenderung pada pembentukan karakter dan wawasan anak sementara lembaga adat dan kelurahan pada tataran aplikatif sesuai realita lapangan.
3.      Lembaga swasta adalah mitra masyarakat dan pemerintah yang dapat berperan sebagai donasi, penyediaan fasilitas insenerator (mesin penghancur sampah) serta usaha pemulung yang dapat menampung/membeli sampah non-organin.
4.      Lembaga pemerintah selaku aparat (pelayan) harus diposisikan sebagai fasilitator dan regulator sehingga domain perannya adalah menfasilitasi dan menggerakkan lembaga lainnya diatas dalam pengelolaan sampah, penyediaan anggaran, penertiban regulasi, dan menciptakan iklim kondusif bagi pihak swasta yang ingin berinfestasi dibidang sampah.
Mengakhiri tulisan ini, maka sepatutnya harus dilakukan re-orientasi peran, tugas dan fungsi dari petugas kebersihan yang mengarah pada tanggung jawab moril menjaga stabilitas lingkungan. Petugas tidak hanya bekerja ‘membersihkan’ lingkungan dan berharap menerima upah berupa gaji. Pemulung juga harus ter-organisir dalam sebuah wadah resmi dan dilakukan re-orientasi agar dalam melakukan aktifitas pengumpulan senantiasa mengedepankan semangat pengendalian lingkungan. Bila memungkinkan, bagi para pemulung harus dilatih secara profesional dan diberikan penghargaan khusus yang setimpal dengan perannya.
Menaruh harapan besar pada Dinas Kebersihan Kota yang memiliki cakupan Tupoksi yang sangat luas hanya akan mengenyampingkan keseriusan pengelolaan sampah di Kota Kupang. Bila memungkinkan maka pengelolaan sampah dapat di motori oleh lembaga khusus yang berbentuk Perusahaan Daerah. Mengapa harus Perusahaan Daerah? Pertimbangannya cukup sederhana karena orientasi pelayanan yang diberikan oleh lembaga pemerintah (Dinas Kebersihan Kota) terkesan birokratif dan menyimpang dari hakekat pelayanannya sebagai aparatur. Kasarnya, nilai pelayanan tergilas oleh paradoks proyek sementara tanggung jawab terhadap keseimbangan lingkungan tidak semestinya dikemas dalam sistem proyek yang cenderung berorientasi kata kunci (ASAL ANGGARANNYA TERSERAP, TIDAK PEDULI APAPUN HASILNYA). Sementara pengelolaan melalui Perusahan Daerah cenderung mengedepankan profesionalisme dalam menjaga stabilitas lingkungan dan berorientasi nilai manfaat dan kegunaan yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. ‘Perusahaan Daerah Persampahan Kota’ kiranya nama yang elok untuk mengorganisir kelompok pemulung serta berbagai program konservatif lainnya.
Semoga Kota Kupang akan menjadi sebuah daerah percontohan di NTT dalam pengelolaan sampah kelaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar