A. Berbagai Perspektif Pluralisme Agama
Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan
bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini
adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi karena kita telah
memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama
secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena
pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi
atau bahkan etika dari agama lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama
adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia
mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu
dapat diganti. Berdasarkan keyakinan inilah umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal
keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved
(terlibat). Pandangan
pluralismenya tidak berarti adanya
pertemuan dalam hal keimanan, namun hanya merupakan pengakuan atas
keberadaan agama-agama lain. Pandangan pluralismenya tidak sampai masuk pada
perbincangan tentang kebenaran-kebenaran yang ada di dalam agama lain serta tidak memandang kesalahan-kesalahan
ajaran teologis dari agama lain. Kritik terhadap
agama lain adalah kritik sosial, dalam arti bahwa ia mengritik praktek-praktek
misi atau zending dari agama lain, bukan mengritik berbagai ajaran teologis yang ada di dalam
agama lain.
Beberapa pemikiran diajukan
untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa
semua agama adalah sama. Kedua,
reconception, yaitu menyelami dan
meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya
diambilkan dari pelbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama
merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis
(campuran) itu. Keempat, penggantian, yaitu mengakui bahwa
agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah; dan
berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement
(setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama
yang paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama
yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama
dan agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.[1]
Pemikiran pluralisme Djohan Efendi berangkat dari suatu pemahaman bahwa dakwah tidak boleh bertolak dari pandangan keagamaan yang bersifat mutlak dan statis (menganggap bahwa kebenaran atau keselamatan menjadi klaim satu kelompok). Dari sinilah, dialog merupakan sesuatu yang esensial untuk merangsang keberagamaan kita agar tidak mandeg dan statis.[2] Absolutisme agama akan menimbulkan paksaan atau bentuk kekerasan didalam usaha-usaha dakwah sehingga yang dibutuhkan adalah sikap moderat dan liberal terhadap iman lain sehingga teologi kerukunan akan bisa terwujud.
Islam secara tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam
masalah agama dan keberagamaan. Al-Qur’an menyatakan bahwa “tak ada paksaan dalam agama.”[3] Al Qur’an juga menunjukkan bahwa Allah mempersilahkan siapa saja yang mau beriman atau kufur terhadap-Nya.[4] Islam sama sekali
tidak menafikan agama-agama yang ada dan mengakui eksistensi agama-agama tersebut serta tidak menolak
nilai-nilai ajarannya. Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan
kepercayaan orang lain adalah ajaran agama, disamping itu merupakan sesuatu
yang penting bagi masyarakat majemuk. Membela kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati
agama dan kepercayaan orang lain dianggap sebagai bagian dari kemusliman.[5]
Menurut Nurcholish Madjid, kesamaan-kesamaan yang ada dalam agama-agama bukanlah
sesuatu yang mengejutkan karena semua yang benar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah.
Sementara itu, adanya perbedaan itu hanyalah dalam bentuk-bentuk responsi
khusus tugas seorang Rasul kepada tuntutan zaman dan tempatnya. Menjelasakan
tentang titik temu agama-agama, ada
empat prinsip yang dikemukakan oleh Nurcholish. Pertama, Islam mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah
universal, karena Tuhan telah mengutus Rasul-Nya kepada setiap umat manusia. Kedua, Islam mengajarkan
pandangan tentang kesatuan nubuwwah
(kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan. Ketiga, agama yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan
langsung agama-agama sebelumnya, khususnya yang secara “genealogis” paling dekat ialah agama-agama
Semitik-Abrahamik. Keempat,
umat Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan orang-orang
beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab).[6] Semua prinsip itu mengarah pada ajaran “tidak boleh ada
paksaan dalam agama”.
Nurcholish
menyinggung tentang bagaimana sikap keberagamaan yang benar bahwa sebaik-baik
agama di sisi Allah ialah al-hanîfiyyah
al-samhah, agama yang memiliki semangat kebenaran yang lapang dan
terbuka. Oleh karena itu, umat Islam tidak dilarang untuk berbuat baik dan adil kepada siapapun dari
kalangan bukan Muslim yang tidak menunjukkan permusuhan, baik atas nama agama
atau lainnya, seperti penjajahan, pengusiran dari tempat tinggal dan bentuk
penindasan yang lain.[7]
Sementara
itu, Abdurrahman Wahid menegaskan masalah pluralisme yang menekankan pada pandangan
keterbukaan untuk menemukan kebenaran di mana pun juga.[8] Pluralisme dimaksud adalah dalam bertindak dan berpikir sehingga melahirkan toleransi yang tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan
formal atau pun kepintaran pemikiran secara alamiah, tetapi merupakan persoalan
hati, persoalan perilaku. Gus Dur mengembangkan pandangan anti
eksklusivisme agama. Menurutnya, berbagai peristiwa kerusuhan yang berkedok
agama di beberapa tempat adalah akibat adanya eksklusivisme agama.[9]
Apa yang disampaikan oleh Gus Dur sebenarnya lebih merupakan otokritik bagi umat
Islam sendiri, karena adanya politisasi agama dan pendangkalan agama.
Sementara itu, Alwi Shihab menunjukkan dua komitmen
penting yang harus dipegang oleh dialog, yaitu sikap toleransi dan sikap pluralisme. Toleransi adalah upaya
untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan. Adapun yang dimaksud
dengan pluralisme adalah (1) pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama
dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam
usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam
kebhinekaan. (2) pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme yang menunjuk pada
suatu realita aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi.
(3) konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme karena,
konsekuensi dari paham relativisme agama bahwa doktrin agama apapun harus
dinyatakan benar atau, “semua
agama adalah sama”. Seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan
keunggulannya terhadap pihak lain. (4) pluralisme agama bukanlah sinkretisme,
yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau
sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral
dari agama baru tersebut.[10]
Apabila konsep pluralisme agama hendak diterapkan di
Indonesia, maka ia harus bersyaratkan komitmen yang kokoh terhadap agama
masing-masing. Seorang pluralis, dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama,
tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra
dialognya, tetapi yang terpenting ia harus committed
terhadap agama yang dianutnya. Untuk menghindari relativisme agama maka membudayakan sikap keterbukaan, menerima perbedaan, dan
menghormati kemajemukan agama, dibarengi loyalitas komitmen terhadap agama
masing-masing. [11]
B. Dialog dan Tantangan Umat Beragama
Potensi pecahnya konflik sangatlah besar, sebesar
pemilahan-pemilahan umat manusia ke dalam batas-batas objektif dan subjektif
peradaban. Menurut Samuel P. Huntington, unsur-unsur pembatas objektif adalah
bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, dan lembaga-lembaga. Unsur pembatas
subjektifnya adalah identifikasi dari manusia. Perbedaan antar pembatas itu
adalah nyata dan penting.[12] Klasifikasi tersebut, agama
merupakan salah satu pembatas peradaban
sehingga potensi konflik antar mereka tidak bisa dihindari. Oleh
karena itu, untuk mengantisipasi pecahnya konflik antar umat beragama perlu dikembangkan upaya-upaya
dialog untuk mengeliminir perbedaan-perbedaan pembatas di atas.
Dialog
adalah upaya untuk menjembatani bagaimana benturan bisa dieliminir. Perlu adanya standar yang bisa
diterima semua pihak dan bersifat
universal yang bermuara pada moralitas
internasional atau etika global, yaitu hak asasi manusia, kebebasan, demokrasi,
keadilan dan perdamaian. Hal-hal ini
bersifat universal dan melampaui kepentingan umat tertentu.[13] Standar universal ini memang bukan persoalan mudah,
karena ia adalah gagasan teoritis yang mungkin berbeda dengan
kenyataan-kenyataan di lapangan.
Olehnya diperlukan
suatu pendekatan dan metodologi yang proporsional baik secara intra-agama
maupun antar agama untuk menghindari lahirnya truth claim yang mungkin justru akan memperuncing benturan. Beberapa pemikir Islam Indonesia seperti ; Rasjidi dengan pluralisme agama secara sosiologis,
toleransi agama dan hak asasi manusia, Natsir dengan konsep modus vivendi dan
persaudaraan universal yang penuh dengan nuansa hak-hak asasi manusia dan
kebebasan beragama, Mukti Ali dengan agree
in disagreement, Djohan Effendi dengan dimensi moral dan etisnya,
Abdurrahman Wahid dengan self-kritiknya dan pluralisme dalam bertindak dan
berpikir, Nurcholish Madjid dengan samhah
al-hanîfiyyah-nya, dan Alwi Shihab dengan sikap toleransi dan sikap
pluralisme serta perlunya memahami pesan Tuhan, merupakan upaya untuk mencari
solusi bagaimana umat beragama bisa hidup damai dan harmonis.
Selanjutnya, suatu dialog akan dapat mencapai hasil yang
diharapkan apabila, paling tidak, memenuhi hal-hal berikut ini. Pertama, adanya keterbukaan atau
transparansi. Terbuka berarti mau
mendengarkan semua pihak secara proporsional, adil dan setara. Dialog
bukanlah tempat untuk memenangkan suatu urusan atau perkara, juga bukan tempat untuk menyelundupkan berbagai
“agenda yang tersembunyi” yang tidak diketahui dengan partner dialog.[14] Kedua adalah menyadari adanya
perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan memang merupakan suatu
realitas yang tidak dapat dihindari. Artinya, tidak ada yang berhak menghakimi
atas suatu kebenaran atau tidak ada “truth
claim” dari salah satu pihak. Masing-masing pihak diperlakukan secara sama
dan setara dalam memperbincangkan tentang kebenaran agamanya.[15]
Ketiga adalah sikap kritis, yakni
kritis terhadap sikap eksklusif dan segala kecenderungan untuk meremehkan dan
mendiskreditkan orang lain. Agama bisa berfungsi sebagai kritik, artinya kritik
pada pemahaman dan perilaku umat beragama sendiri[16]. Keempat adalah adanya persamaan. Tiap-tiap pihak hendaknya bebas
berbicara dari hatinya, sekaligus membebaskan dari beban. Suatu dialog hendaknya tidak ada “tangan di atas’ dan “tangan di bawah”,
semuanya harus sama[17]. Kelima, adalah ada kemauan untuk memahami kepercayaan, ritus,
dan simbol agama dalam rangka untuk memahami orang lain secara benar.
Ada berbagai permasalahan
yang dapat menjadi penghambat dialog antar umat beragama, diantaranya ; (1) kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang agama-agama lain
secara benar dan seimbang, akibatnya kurang penghargaan dan muncul sikap saling
curiga yang berlainan. Hal ini akibat
adanya truth claim, atau sesuatu yang
akan mengakibatkan adanya truth claim.[18] (2) Faktor-faktor sosial politik dan trauma akan
konflik-konflik dalam sejarah. (3) Munculnya sekte-sekte keagamaan yang tidak
ada sikap kompromistik dengan memakai ukuran kebenaran hitam-putih. (4) Kesenjangan sosial ekonomi, terkurung dalam ras, etnis
dan golongan tertentu.[19] (5) Masih adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan kepada
orang lain. Atau dengan kata lain, kerukunan yang ada hanyalah kerukunan semu.
(8) Penafsiran tentang misi atau dakwah yang konfrontatif. (9) Ketegangan politik yang melibatkan kelompok
agama.[20]
C. Urgensi Studi Agama
Di tengah umat beragama yang terbiasa melihat dunia hanya
dari perspektif agama mereka secara spesifik sehingga memunculkan
Kristen-sentris dan Islam-sentris (dan lainnya), maka kebutuhan untuk belajar (pluralisme sosial) lebih banyak
tentang agama orang lain adalah sangat penting. Kita perlu mengembangkan kesadaran
konstruktif mengenai “agama-agama lain”. Selain itu, diskusi dan sikap
menerima terhadap masyarakat yang
pluralistik menjadi sesuatu yang sangat
menentukan pada masa-masa mendatang.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian agama (studi
agama) terhadap persoalan-persoalan yang selama ini terabaikan dalam konteks
relasi antar umat beragama. Kajian-kajian itu adalah usaha untuk melakukan
kritisisme situasi sejarah yang seringkali menunjukkan kesalahpahaman antar
umat beragama. Melalui kajian-kajian itu dimungkinkan tidak hanya dapat
menemukan fakta-fakta tetapi juga meneliti fakta-fakta yang berarti pada masa lalu atau berarti pada
masa sekarang. Hendaknya studi agama-agama tidak hanya berkonsentrasi
pada fakta-fakta agama tetapi juga pada hal-hal yang telah diinterpretasikan
oleh pemeluk agama dalam semua varietasnya.
Keperluan yang urgen untuk melakukan studi agama adalah
pada tiga aspek. Pertama, mengkaji sejarah relasi-relasi antar umat
beragama. Kedua, mengkaji
relasi-relasi yang sedang terjadi pada masa sekarang. Ketiga, mengkaji akar-akar konflik antara
komunitas-komunitas beragama dan mencari solusi
yang tepat untuk memecahkan konflik semacam itu. Dalam studi semacam itu
tentu saja diperlukan kontribusi
ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora untuk menghindari
konflik-konflik di masa depan.
Adanya perbedaan agama-agama itu bukan berarti tidak ada
“titik temu” yang dapat melahirkan mutual
understanding dalam bentuk kesatuan yang bersifat sosial, teologis dan etis (moral). Titik temu bukan hanya berarti dimensi eksoteris
(lahiriyah) agama-agama, tetapi juga dimensi esoterisnya (batinnya). Al-Qur’an
sebagai kitab suci kaum muslimin telah berdialog dengan agama-agama lain yang
hadir sebelum datangnya. Pengakuan dan ajakan dialog itu bisa dilihat dalam
surat Ali Imron ayat 64. Dalam masalah dialog dan hubungan antar agama, tawaran
Al-Qur’an adalah teologi inklusif yang ramah, dan menolak eksklusivisme. Al-Qur’an
bersikap positif terhadap agama-agama lain.
D. NTT memilih Budaya sebagai Peretas Perbedaan Agama
Agama
merupakan seperangkat nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan yang sedemikian
indah, mempesona dan komprehensif karena yang diajarkan setiap agama adalah
menjalankan segala bentuk kebaikan dan menolak segala bentuk kejahatan. Secara
humanis, agama juga bercita-cita untuk memanusiakan manusia, memberi makna pada
kehidupan dan berbuat baik pada sesama, melarang tindakan yang membahayakan
orang lain. Nilai-nilai inilah dalam sejarah peradaban kemanusiaan telah
memoles wajah dunia menjadi lebih manusiawi.
Pluralisme
adalah sebagian dari realitas obyektif yang mengakui perbedaan kemudian mencoba
memahami sisi perbedaan. Bagi kelompok yang terlalu berlebihan dalam orientasi
normatif bahkan absolutis, tentu tidak pernah berpikir untuk memberi tempat
bagi klaim kebenaran lainnya. Sikap keras dan ekstrem terhadap pemeluk agama
lain, menunjukan ketidaksiapan pemeluk agama tersebut menghapi kenyataan bahwa ada
perbedaan pada sisi tertentu diantara pemeluk agama, kelompok absolutis ini
hanya tahu bahwa, Tuhan hanya punya satu kebenaran dan kebenaran itu ada pada
mereka, habis tak terbagi. Realitanya, yang memiliki klaim kebenaran itu bukan
hanya mereka tetapi juga orang lain yang memiliki agama yang berbeda sehingga
bagi kelompok ini, realitas dan keyakinan normatif adalah sama karena tidak ada
konformitas dengan norma.
Melalui
obyektifitas pemikiran dan rasionalitas sosial patut diakui realitanya bahwa
dalam tatanan sosial, ada perbedaan dan persamaan. Berpikir kawan atau lawan
hanya menimbulkan egosentrisme dan pembenaran kelompok/diri sendiri dan
menganggap yang lainnya salah. Sepatutnya dalam berbagai perbedaan sosial,
secara objektif dan rasional harus ditemukan permasalahan bersama dan kemudian
dicarikan alternatif penyelesaiannya. Perbedaan bukan untuk dipertengkarkan
namun menjadi indikator perlombaan dan bekerjasama dalam proses transformasi
sosial atau humanis (fastabiqul khairat ;
berlomba-lomba dalam kebaikan). “Sekiranya
Allah menghendaki niscaya Ia menyatukan dalam satu umat, tetapi Allah hendak
menguji kamuatas karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebaikan”.
Keberagaman suku, bahasa, agama dan identitas etnis di Provinsi
NTT kadang dijadikan komoditi politik dalam berbagai hajatan politik karena
sekat dan sekte sosial budaya ini adalah keterwakilan aspirasi politik.
Menjelang hajatan politik PEMILU 2014, issue agama kian menjadi pengendali
politik nasional sehingga patut diwaspadai akan munculnya konflik horizontal.
Nilai, moralitas dan etika politik yang tersirat dalam kebajikan ajaran agama
masing-masing harusnya menjadi modal dalam memenangkan kepentingan politik dan
merebut kekuasaan. Perbedaan agama tidak boleh dijadikan menu dalam
mengadudombakan basis politik kemudian berlaga ibarat pahlawan perdamaian yang
mampu menciptakan keharmonisan dan kerukunan beragama.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan,
(Jakarta : Lappenas, 1981).
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap
Terbuka dalam Beragama (Bandung : Mizan, 1999), cet. VII.
Amin Abdullah, M. , “Etika dan Dialog Antar Agama:
Perspektif Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an. No. 4 Vol.
IV. Th. 1993.
Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama
dalam Dialog “Bebas” Konflik, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), hlm.
259.
Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.),
Ilmu
Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta : INIS, 1992).
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di
Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effeni, Ahmad Wahib dan Abdurrahman
Wahid, pent. Nanang Tahqiq (Jakarta : Paramadina,
1999), cet. I.
Huntington, Samuel P., “Benturan Antar
Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No.
5, Vol.IV Tahun 1993.
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing
Over: Melintasi Batas Agama (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998).
Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling
Berpengaruh dalam Sejarah, terj. Mahbub Djunaedi (Jakarta : Pustaka
Jaya, 1990), cet. XII.
Mukti Ali, A., “Dialog between Muslims and
Christians in Indonesia and its Problems” dalam Al-Jami’ah, No. 4 Th. XI Djuli 1970.
Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan
Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia,
(Jakarta : Balitbang Depag RI, 1998/1999).
Nasir Tamara, M. dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama
dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996).
Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan tentang
Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an,
No.1 Vol.IV, Th. 1993.
Sjalabi, A., Sedjarah dan Kebudajaan Islam
(Djakarta : Djajamurni, 1970).
Sumarthana, Th. dkk. (ed.), Dialog: Kritik dan Identitas Agama.
Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam
Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama (Surabaya :
PT. Bina
Ilmu, t.t.).
Zainul
Abas, “Dialog Agama, Pluralitas Budaya
dan Visi Perdamaian”, dalam Kompas, No. 213 Tahun Ke-32, 31
Januari 1997.
[1]A. Mukti Ali, “Ilmu
Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi”, dalam Burhanuddin Daja dan Herman
Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan
Belanda, (Jakarta : INIS, 1992), hlm. 227-229.
[2]Djohan Effendi, “Dialog
Antar Agama”, hlm. 17.
[3]Q.S.
Al-Baqarah (2) : 156.
[4]Q.S.
Al-Kahfi (18) : 29.
[5]Djohan
Effendi, “Kemusliman dan Kemajemukan”, hlm. 54-55.
[6]Lihat Nurcholish Madjid,
“Hubungan Antar Umat Beragama : Antara Ajaran dan Kenyataan”, dalam W.A.L.
Stokhof (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), (
Jakarta : INIS, 1990), jilid VII, hlm. 108-109.
[7]Q.S. Al-Mumtahanah (60) :
8. Lihat Nurcholish Madjid, “Hubungan Antar Umat Beragama”, hlm. 111.
[8]Abdurrahman Wahid, Muslim
di Tengah Pergumulan, (Jakarta : Lappenas, 1981), hlm. 3.
[9]Abdurrahman Wahid,
“Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama”, dalam Komaruddin Hidayat dan
Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama
(Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 52.
[10]Alwi Shihab, Islam
Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung : Mizan, 1999),
cet. VII, hlm. 41-43.
[12]Samuel P. Huntington,
“Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” dalam Jurnal
Ulumul Qur’an, No. 5, Vol.IV Tahun 1993, hlm. 12.
[13]Lihat Bassam Tibi,
“Moralitas Internasional sebagai Landasan Lintas Budaya”, dalam M. Nasir Tamara
dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban
(Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996), hlm. 163. Lihat juga Parliament of the
World’s Religions, Declaration Toward a Global Ethic (Chicago : t.t.), hlm. 5. Lihat juga Zainul
Abas, “Dialog Agama, Pluralitas Budaya dan Visi Perdamaian”, dalam Kompas,
No. 213 Tahun Ke-32, 31 Januari 1997.
[14] Ibid.
[15]Lihat Tarmizi Thaher,
“Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama-Agama di Indonesia” dalam Mursyid
Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan
Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI,
1998/1999), hlm. 2-3. Lihat juga Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi
Studi Agama-Agama” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama, hlm.
35-36.
[16] Lihat
Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama”, hlm. 42.
[17]Ismail
Raji al-Faruqi (ed.), Trialog Tiga Agama Besar: Yahudi, Kristen,
Islam, alih bahasa Joko Susilo Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Cet. I (Surabaya : Pustaka
Progressif, 1994), hlm. 12.
[18] Hal ini adalah antitesis
dari prasyarat dialog yang mengharuskan adanya saling pemahaman terhadap
berbagai macam agama. Jika masing-masing tidak memahami secara benar terhadap
agama orang lain maka ini akan menjadi
penghambat dialog, karena akan muncul kecurigaan-kecurigaan.
[19]Poin 3 dan 4 lihat A.
Ligoy, CP, “Gereja Indonesia”,
hlm. 131.
[20]Umar
Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju
Dialog dan Kerukunan Antar Agama (Surabaya : PT. Bina Ilmu, t.t.), hlm.
350-351.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar