Kamis, 09 Juli 2015

PENTINGNYA RELASI ANTARA AGAMA DALAM PEMBANGUNAN DI NUSA TENGGARA TIMUR (Tantangan dan Harapan)



A. Berbagai Perspektif Pluralisme Agama
Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi karena kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Berdasarkan keyakinan inilah umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Pandangan pluralismenya tidak berarti adanya  pertemuan dalam hal keimanan, namun hanya merupakan pengakuan atas keberadaan agama-agama lain. Pandangan pluralismenya tidak sampai masuk pada perbincangan tentang kebenaran-kebenaran yang ada di dalam agama lain serta tidak memandang kesalahan-kesalahan ajaran teologis dari agama lain. Kritik terhadap agama lain adalah kritik sosial, dalam arti bahwa ia mengritik praktek-praktek misi atau zending dari agama lain, bukan mengritik berbagai ajaran teologis yang ada di dalam agama lain.
Beberapa pemikiran diajukan untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat, penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.[1]

Pemikiran pluralisme Djohan Efendi  berangkat dari suatu pemahaman bahwa dakwah tidak boleh bertolak dari pandangan keagamaan yang bersifat mutlak dan statis (menganggap bahwa kebenaran atau keselamatan menjadi klaim satu kelompok). Dari sinilah, dialog merupakan sesuatu yang esensial untuk merangsang keberagamaan kita agar tidak mandeg dan statis.[2]  Absolutisme agama akan menimbulkan paksaan atau bentuk kekerasan didalam usaha-usaha dakwah sehingga yang  dibutuhkan adalah sikap moderat dan liberal terhadap iman lain sehingga teologi kerukunan akan bisa terwujud.

Islam secara tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan keberagamaan. Al-Qur’an menyatakan bahwa “tak ada paksaan dalam agama.”[3] Al Qur’an juga menunjukkan bahwa Allah mempersilahkan siapa saja yang  mau beriman atau kufur terhadap-Nya.[4]  Islam sama sekali tidak menafikan agama-agama yang ada dan mengakui eksistensi agama-agama tersebut serta tidak menolak nilai-nilai ajarannya. Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain adalah ajaran agama, disamping itu merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat majemuk. Membela kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain dianggap sebagai bagian dari kemusliman.[5] 
Menurut Nurcholish Madjid, kesamaan-kesamaan yang ada dalam agama-agama bukanlah sesuatu yang mengejutkan karena semua yang benar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah. Sementara itu, adanya perbedaan itu hanyalah dalam bentuk-bentuk responsi khusus tugas seorang Rasul kepada tuntutan zaman dan tempatnya. Menjelasakan tentang titik temu agama-agama,  ada empat prinsip yang dikemukakan oleh Nurcholish. Pertama, Islam mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal, karena Tuhan telah mengutus Rasul-Nya kepada setiap umat manusia. Kedua, Islam mengajarkan pandangan tentang kesatuan nubuwwah (kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan. Ketiga, agama yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan langsung agama-agama sebelumnya, khususnya yang secara “genealogis”  paling dekat ialah agama-agama Semitik-Abrahamik. Keempat, umat Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan orang-orang beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab).[6] Semua prinsip itu mengarah pada ajaran “tidak boleh ada paksaan dalam agama”. 
Nurcholish menyinggung tentang bagaimana sikap keberagamaan yang benar bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanîfiyyah al-samhah, agama yang memiliki semangat kebenaran yang lapang dan terbuka. Oleh karena itu, umat Islam tidak dilarang untuk  berbuat baik dan adil kepada siapapun dari kalangan bukan Muslim yang tidak menunjukkan permusuhan, baik atas nama agama atau lainnya, seperti penjajahan, pengusiran dari tempat tinggal dan bentuk penindasan yang lain.[7]
Sementara itu, Abdurrahman Wahid menegaskan masalah pluralisme yang menekankan pada pandangan keterbukaan untuk menemukan kebenaran di mana pun juga.[8] Pluralisme dimaksud adalah dalam bertindak dan berpikir sehingga melahirkan toleransi yang tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan formal atau pun kepintaran pemikiran secara alamiah, tetapi merupakan persoalan hati, persoalan perilaku. Gus Dur mengembangkan pandangan anti eksklusivisme agama. Menurutnya, berbagai peristiwa kerusuhan yang berkedok agama di beberapa tempat adalah akibat adanya eksklusivisme agama.[9] Apa yang disampaikan oleh Gus Dur  sebenarnya lebih merupakan otokritik bagi umat Islam sendiri, karena adanya politisasi agama dan pendangkalan agama.
Sementara itu, Alwi Shihab menunjukkan dua komitmen penting yang harus dipegang oleh dialog, yaitu sikap toleransi dan  sikap pluralisme. Toleransi adalah upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan. Adapun yang dimaksud dengan pluralisme adalah (1) pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan. (2) pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme yang menunjuk pada suatu realita aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. (3) konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme karena, konsekuensi dari paham relativisme agama bahwa doktrin agama apapun harus dinyatakan benar atau, “semua agama adalah sama”. Seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain. (4) pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.[10]  
Apabila konsep pluralisme agama hendak diterapkan di Indonesia, maka ia harus bersyaratkan komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis, dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya, tetapi yang terpenting ia harus committed terhadap agama yang dianutnya. Untuk menghindari relativisme agama maka membudayakan sikap keterbukaan, menerima perbedaan, dan menghormati kemajemukan agama, dibarengi loyalitas komitmen terhadap agama masing-masing. [11]

B. Dialog dan Tantangan Umat Beragama

Potensi pecahnya konflik sangatlah besar, sebesar pemilahan-pemilahan umat manusia ke dalam batas-batas objektif dan subjektif peradaban. Menurut Samuel P. Huntington, unsur-unsur pembatas objektif adalah bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, dan lembaga-lembaga. Unsur pembatas subjektifnya adalah identifikasi dari manusia. Perbedaan antar pembatas itu adalah nyata dan penting.[12] Klasifikasi tersebut, agama merupakan salah satu pembatas peradaban sehingga potensi konflik antar mereka tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi pecahnya konflik antar umat  beragama perlu dikembangkan upaya-upaya dialog untuk mengeliminir perbedaan-perbedaan pembatas di atas.
Dialog adalah upaya untuk menjembatani bagaimana benturan bisa dieliminir. Perlu adanya standar yang bisa diterima semua pihak dan bersifat universal yang bermuara pada moralitas internasional atau etika global, yaitu hak asasi manusia, kebebasan, demokrasi, keadilan dan perdamaian. Hal-hal ini bersifat universal dan melampaui kepentingan umat tertentu.[13] Standar universal ini memang bukan persoalan mudah, karena ia adalah gagasan teoritis yang mungkin berbeda dengan kenyataan-kenyataan di lapangan.
Olehnya diperlukan suatu pendekatan dan metodologi yang proporsional baik secara intra-agama maupun antar agama untuk menghindari lahirnya truth claim yang mungkin justru akan memperuncing benturan. Beberapa pemikir Islam Indonesia seperti ; Rasjidi dengan pluralisme agama secara sosiologis, toleransi agama dan hak asasi manusia, Natsir dengan konsep modus vivendi dan persaudaraan universal yang penuh dengan nuansa hak-hak asasi manusia dan kebebasan beragama, Mukti Ali dengan agree in disagreement, Djohan Effendi dengan dimensi moral dan etisnya, Abdurrahman Wahid dengan self-kritiknya dan pluralisme dalam bertindak dan berpikir, Nurcholish Madjid dengan samhah al-hanîfiyyah-nya, dan Alwi Shihab dengan sikap toleransi dan sikap pluralisme serta perlunya memahami pesan Tuhan, merupakan upaya untuk mencari solusi bagaimana umat beragama bisa hidup damai dan harmonis. 
Selanjutnya, suatu dialog akan dapat mencapai hasil yang diharapkan apabila, paling tidak, memenuhi hal-hal berikut ini. Pertama, adanya keterbukaan atau transparansi. Terbuka berarti mau  mendengarkan semua pihak secara proporsional, adil dan setara. Dialog bukanlah tempat untuk memenangkan suatu urusan atau perkara, juga  bukan tempat untuk menyelundupkan berbagai “agenda yang tersembunyi” yang tidak diketahui dengan partner dialog.[14]  Kedua adalah menyadari adanya perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan memang merupakan suatu realitas yang tidak dapat dihindari. Artinya, tidak ada yang berhak menghakimi atas suatu kebenaran atau tidak ada “truth claim” dari salah satu pihak. Masing-masing pihak diperlakukan secara sama dan setara dalam memperbincangkan tentang kebenaran agamanya.[15]
Ketiga adalah sikap kritis, yakni kritis terhadap sikap eksklusif dan segala kecenderungan untuk meremehkan dan mendiskreditkan orang lain. Agama bisa berfungsi sebagai kritik, artinya kritik pada pemahaman dan perilaku umat beragama sendiri[16]. Keempat adalah adanya persamaan. Tiap-tiap pihak hendaknya bebas berbicara dari hatinya, sekaligus membebaskan dari beban. Suatu dialog hendaknya tidak ada  “tangan di atas’ dan “tangan di bawah”, semuanya harus sama[17]. Kelima, adalah ada kemauan untuk memahami kepercayaan, ritus, dan simbol agama dalam rangka untuk memahami orang lain secara benar.
Ada berbagai permasalahan yang dapat menjadi penghambat dialog antar umat beragama, diantaranya ; (1) kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang agama-agama lain secara benar dan seimbang, akibatnya kurang penghargaan dan muncul sikap saling curiga yang berlainan. Hal ini  akibat adanya truth claim, atau sesuatu yang akan mengakibatkan adanya truth claim.[18] (2) Faktor-faktor sosial politik dan trauma akan konflik-konflik dalam sejarah. (3) Munculnya sekte-sekte keagamaan yang tidak ada sikap kompromistik dengan memakai ukuran kebenaran hitam-putih. (4) Kesenjangan sosial ekonomi, terkurung dalam ras, etnis dan golongan tertentu.[19] (5) Masih adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan kepada orang lain. Atau dengan kata lain, kerukunan yang ada hanyalah kerukunan semu. (8) Penafsiran tentang misi atau dakwah yang konfrontatif.  (9) Ketegangan politik yang melibatkan kelompok agama.[20]

 

C. Urgensi Studi Agama

Di tengah umat beragama yang terbiasa melihat dunia hanya dari perspektif agama mereka secara spesifik sehingga memunculkan Kristen-sentris dan Islam-sentris (dan lainnya), maka kebutuhan untuk belajar (pluralisme sosial) lebih banyak tentang agama orang lain adalah sangat penting. Kita perlu mengembangkan   kesadaran  konstruktif mengenai “agama-agama lain”. Selain itu, diskusi dan sikap menerima terhadap  masyarakat yang pluralistik  menjadi sesuatu yang sangat menentukan pada masa-masa mendatang.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian agama (studi agama) terhadap persoalan-persoalan yang selama ini terabaikan dalam konteks relasi antar umat beragama. Kajian-kajian itu adalah usaha untuk melakukan kritisisme situasi sejarah yang seringkali menunjukkan kesalahpahaman antar umat beragama. Melalui kajian-kajian itu dimungkinkan tidak hanya dapat menemukan fakta-fakta tetapi juga meneliti fakta-fakta  yang berarti pada masa lalu atau berarti pada masa sekarang. Hendaknya  studi agama-agama tidak hanya berkonsentrasi pada fakta-fakta agama tetapi juga pada hal-hal yang telah diinterpretasikan oleh pemeluk agama dalam semua varietasnya.
Keperluan yang urgen untuk melakukan studi agama adalah pada tiga aspek. Pertama,  mengkaji sejarah relasi-relasi antar umat beragama. Kedua, mengkaji relasi-relasi yang sedang terjadi pada masa sekarang. Ketiga, mengkaji akar-akar konflik antara komunitas-komunitas beragama dan mencari solusi  yang tepat untuk memecahkan konflik semacam itu. Dalam studi semacam itu tentu saja diperlukan kontribusi  ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora untuk menghindari konflik-konflik di  masa depan.
Adanya perbedaan agama-agama itu bukan berarti tidak ada “titik temu” yang dapat melahirkan mutual understanding dalam bentuk kesatuan yang bersifat sosial, teologis dan etis (moral). Titik temu bukan hanya berarti dimensi eksoteris (lahiriyah) agama-agama, tetapi juga dimensi esoterisnya (batinnya). Al-Qur’an sebagai kitab suci kaum muslimin telah berdialog dengan agama-agama lain yang hadir sebelum datangnya. Pengakuan dan ajakan dialog itu bisa dilihat dalam surat Ali Imron ayat 64. Dalam masalah dialog dan hubungan antar agama, tawaran Al-Qur’an adalah teologi inklusif yang ramah, dan menolak eksklusivisme. Al-Qur’an bersikap positif terhadap agama-agama lain.

D. NTT memilih Budaya sebagai Peretas Perbedaan Agama
Agama merupakan seperangkat nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan yang sedemikian indah, mempesona dan komprehensif karena yang diajarkan setiap agama adalah menjalankan segala bentuk kebaikan dan menolak segala bentuk kejahatan. Secara humanis, agama juga bercita-cita untuk memanusiakan manusia, memberi makna pada kehidupan dan berbuat baik pada sesama, melarang tindakan yang membahayakan orang lain. Nilai-nilai inilah dalam sejarah peradaban kemanusiaan telah memoles wajah dunia menjadi lebih manusiawi.
Pluralisme adalah sebagian dari realitas obyektif yang mengakui perbedaan kemudian mencoba memahami sisi perbedaan. Bagi kelompok yang terlalu berlebihan dalam orientasi normatif bahkan absolutis, tentu tidak pernah berpikir untuk memberi tempat bagi klaim kebenaran lainnya. Sikap keras dan ekstrem terhadap pemeluk agama lain, menunjukan ketidaksiapan pemeluk agama tersebut menghapi kenyataan bahwa ada perbedaan pada sisi tertentu diantara pemeluk agama, kelompok absolutis ini hanya tahu bahwa, Tuhan hanya punya satu kebenaran dan kebenaran itu ada pada mereka, habis tak terbagi. Realitanya, yang memiliki klaim kebenaran itu bukan hanya mereka tetapi juga orang lain yang memiliki agama yang berbeda sehingga bagi kelompok ini, realitas dan keyakinan normatif adalah sama karena tidak ada konformitas dengan norma.
Melalui obyektifitas pemikiran dan rasionalitas sosial patut diakui realitanya bahwa dalam tatanan sosial, ada perbedaan dan persamaan. Berpikir kawan atau lawan hanya menimbulkan egosentrisme dan pembenaran kelompok/diri sendiri dan menganggap yang lainnya salah. Sepatutnya dalam berbagai perbedaan sosial, secara objektif dan rasional harus ditemukan permasalahan bersama dan kemudian dicarikan alternatif penyelesaiannya. Perbedaan bukan untuk dipertengkarkan namun menjadi indikator perlombaan dan bekerjasama dalam proses transformasi sosial atau humanis (fastabiqul khairat ; berlomba-lomba dalam kebaikan). “Sekiranya Allah menghendaki niscaya Ia menyatukan dalam satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamuatas karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan”.
Keberagaman suku, bahasa, agama dan identitas etnis di Provinsi NTT kadang dijadikan komoditi politik dalam berbagai hajatan politik karena sekat dan sekte sosial budaya ini adalah keterwakilan aspirasi politik. Menjelang hajatan politik PEMILU 2014, issue agama kian menjadi pengendali politik nasional sehingga patut diwaspadai akan munculnya konflik horizontal. Nilai, moralitas dan etika politik yang tersirat dalam kebajikan ajaran agama masing-masing harusnya menjadi modal dalam memenangkan kepentingan politik dan merebut kekuasaan. Perbedaan agama tidak boleh dijadikan menu dalam mengadudombakan basis politik kemudian berlaga ibarat pahlawan perdamaian yang mampu menciptakan keharmonisan dan kerukunan beragama.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan, (Jakarta : Lappenas, 1981).
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung : Mizan, 1999), cet. VII.
Amin Abdullah, M. , “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an. No. 4 Vol. IV. Th. 1993.
Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 259.
Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta : INIS, 1992).
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effeni, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid,  pent. Nanang Tahqiq (Jakarta : Paramadina, 1999), cet. I.
Huntington, Samuel P., “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol.IV Tahun 1993.
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998).
Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. Mahbub Djunaedi (Jakarta : Pustaka Jaya, 1990), cet. XII.
Mukti Ali, A., “Dialog between Muslims and Christians in Indonesia and its Problems” dalam  Al-Jami’ah, No. 4 Th. XI Djuli 1970.
Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI, 1998/1999).
Nasir Tamara, M. dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996).
Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No.1 Vol.IV, Th. 1993.
Sjalabi, A., Sedjarah dan Kebudajaan Islam (Djakarta : Djajamurni, 1970).
Sumarthana, Th. dkk. (ed.), Dialog: Kritik dan Identitas Agama.
Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama (Surabaya : PT. Bina Ilmu, t.t.).
Zainul Abas, “Dialog Agama, Pluralitas Budaya dan Visi Perdamaian”, dalam Kompas, No. 213 Tahun Ke-32, 31 Januari 1997.


[1]A. Mukti Ali, “Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi”, dalam Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta : INIS, 1992), hlm. 227-229.
[2]Djohan Effendi, “Dialog Antar Agama”,  hlm. 17.
[3]Q.S. Al-Baqarah (2) : 156.
[4]Q.S. Al-Kahfi (18) : 29.
[5]Djohan Effendi, “Kemusliman dan Kemajemukan”, hlm. 54-55.
[6]Lihat Nurcholish Madjid, “Hubungan Antar Umat Beragama : Antara Ajaran dan Kenyataan”, dalam W.A.L. Stokhof (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), ( Jakarta : INIS, 1990), jilid VII, hlm. 108-109. 
[7]Q.S. Al-Mumtahanah (60) : 8. Lihat Nurcholish Madjid, “Hubungan Antar Umat Beragama”, hlm. 111.
[8]Abdurrahman Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan, (Jakarta : Lappenas, 1981), hlm. 3.
[9]Abdurrahman Wahid, “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 52.
[10]Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung : Mizan, 1999), cet. VII, hlm. 41-43.
[11]Ibid., hlm. 43.
[12]Samuel P. Huntington, “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol.IV Tahun 1993, hlm. 12.
[13]Lihat Bassam Tibi, “Moralitas Internasional sebagai Landasan Lintas Budaya”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996), hlm. 163. Lihat juga Parliament of the World’s Religions, Declaration Toward a Global Ethic (Chicago : t.t.), hlm. 5. Lihat juga Zainul Abas, “Dialog Agama, Pluralitas Budaya dan Visi Perdamaian”, dalam Kompas, No. 213 Tahun Ke-32, 31 Januari 1997.
[14] Ibid.
[15]Lihat Tarmizi Thaher, “Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama-Agama di Indonesia” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI, 1998/1999), hlm. 2-3. Lihat juga Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama, hlm. 35-36.
[16] Lihat Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama”, hlm. 42.
[17]Ismail Raji al-Faruqi (ed.), Trialog Tiga Agama Besar: Yahudi, Kristen, Islam, alih bahasa Joko Susilo Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Cet. I (Surabaya : Pustaka Progressif, 1994), hlm. 12.
[18] Hal ini adalah antitesis dari prasyarat dialog yang mengharuskan adanya saling pemahaman terhadap berbagai macam agama. Jika masing-masing tidak memahami secara benar terhadap agama orang  lain maka ini akan menjadi penghambat dialog, karena akan muncul kecurigaan-kecurigaan.
[19]Poin 3 dan 4 lihat A. Ligoy, CP, “Gereja Indonesia”, hlm. 131.
[20]Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama (Surabaya : PT. Bina Ilmu, t.t.), hlm. 350-351.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar