Rabu, 15 Juli 2015

PENGKAPLINGAN KEKUASAAN DALAM HMI CABANG KUPANG [Kewaspadaan Dini bagi Calon Kader, Kader, dan Alumni HMI



Fitrahnya manusia merupakan makhluk sosial yang niscaya membutuhkan individu [makhluk] lainnya sebagai patner dalam mewujudkan impian hidupnya. Olehnya, wajar bila harus ada organisasi/komunitas sebagai wadah berkumpul dan berhimpun karena melalui wadah-wadah dimaksudlah manusia dapat menunjukan karya dan abdinya dalam rangka menemukan identitas dan jati dirinya. Pewadahan individu dalam sebuah organisasi berorientasi untuk mencapai suatu tujuan bersama yang dirumuskan dalam kerangka menggapai cita organisasi. Umumnya, rumusan visi dan tujuan sebuah organisasi diharapkan dapat memberikan dampak internal [mengubah pola rasa, pola pikir dan pola tindak para pekerja visi/kader/anggota/pengurusnya], dan dampak eksternal [memberikan manfaat melalaui proses dampak internal bagi komponen di luarnya]. Bilamana dampak internal tidak terwujud dalam aplikasinya berarti telah terjadi penyimpangan tujuan oleh penyelenggara [kader] karena keberadaannya didalam organisasi tersebut tidak mampu memberikan perubahan pada 3 pola dalam dirinya, dan demikian maka untuk mewujudkan dampak eksternal menjadi tidak ber’nilai’ karena keduanya saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. Hematnya, mana mungkin dapat melakukan perubahan besar [diluar/objek] bila tidak mampu melakukan perubahan kecil dalam diri [pribadi] subjek pengubah.
Dimensi lain dari hakekat kehadiran sebuah organisasi juga sebagai ranah persaingan, wahana seleksi, dan demikian maka harus ada yang tersisihkan [kalah ; subjek yang dikuasai] dan pastinya ada pula yang menang [subjek yang menguasai/penguasa]. Realita ini adalah keniscayaan karena dalam persaingan harus ada hasil seleksi yang lulus dan harus ada bagian lainnya yang tersisihkan namun dalam rangka mewujudkan visi dan tujuan organisasi maka satu hal yang patut diperhatikan yaitu ‘ASPEK KUALITAS’ agar mampu menjaga kualitas dari output [dampak intern] dan outcome [dampak ekstern], yang pada akhirnya akan mengangkat marwah organisasi. Tentunya proses pengasahan kualitas harus melalui tahapan seleksi, bukan secara tiba-tiba menyerobot dari luar arena kompetisi [kader bodong]. Sederhananya, agar lolos dari persaingan maka setiap kader harus menyiapkan dirinya, bilamana gagal [tersisihkan/kalah] maka harus dimaknai bahwa yang bersangkutan belum maksimal menyiapkan diri [ada sisi kualitas yang kurang dari competitor yang memenangkannya]. Namun, bila proses pemenangan itu ditempuh dengan metode yang menyimpang dari aturan kompetisi maka suatu ketika, cepat/lambat akan terjadi kecelakaan [penyimpangan] dalam menjalankan visi dan tujuan yang berdampak pada kemunduran indikator keberhasilan organisasi. Kondisi ini telah melanda hampir semua organisasi khususnya yang terjadi di lingkup HMI Cabang Kupang sebagaimana tergambarkan dalam dinamika politik selama proses suksesi Konfercab XXIX HMI Cabang Kupang-2015.
Aspek historis mencatat HMI sebagai organisasi mahasiswa Islam tertua dan terbesar di Indonesia hingga saat ini karena keketatan persaingan hingga melahirkan kader-kader militan yang siap mengabdi dalam lingkungan sosial-kemasyarakatan, namun berbagai riset dan opini menilai telah terjadi kemunduran dalam pemaknaan dan pengaplikasian konsep NDP HMI. Hal ini dimungkinkan karena telah terjadi proses seleksi yang tidak sehat dengan melanggar norma dan etika organisasi yang tercatat dalam AD/ART dan budaya positif yang dibangun para pendahulunya. HMI merupakan organisasi mahasiswa Islam sehingga pra-syarat utama menjadi anggota adalah ‘mereka’ yang benar [terlegitimasi] sebagai mahasiswa, selanjutnya mahasiswa dimaksud harus beragama Islam [kecuali anggota luar biasa yang dikhususkan]. Proses seleksi dan persaingan kemudian menghasilkan pemenang [selaku penguasa/pengurus] untuk menguasai subjek organisasi [anggotanya] dan objek organisasi itu sendiri. Pertanyaannya, dapatkah seseorang yang tidak jelas status kemahasiswaannya diperbolehkan mengikuti kompetisi dalam HMI?, terlebih lagi kompetisi dalam menggapai kekuasaan organisatoris [kepengurusan]. Sederhananya, bagaimana bisa seseorang yang bukan anggota dapat menjadi pengurus dari sebuah organisasi? Ini mungkin saja terjadi dalam organisasi/komunitas yang tidak memiliki aturan main, namun hari ini HMI yang memiliki AD/ART telah dipecundangi atas kepentingan para pihak tertentu.
Patut disyukuri bahwa hingga hari ini HMI masih tetap eksis meskipun berbagai badai menghadang dalam perjuangannya, hal ini dimaknai sebagai dinamika untuk kemajuan HMI. Teorinya, dinamika dapat membesarkan dan mendewasakan para anggota dan pengurusnya namun belum tentu dapat mendorong organisasi menjadi lebih baik. Para senior dan alumni sebagai para pendahulu yang telah membentangkan karpet hijau untuk kelanjutan para penerusnya belajar dan mengabdikan diri dalam himpunan, disinilah titik dimana seorang senior dan/atau alumni patut dihargai dan diapresiasi. Bentangan karpet hijau HMI membolehkan siapapun mahasiswa Islam untuk ikut terlibat sebagai anggota HMI tanpa memandang segmentasi di luar pra-syarat [berstatus mahasiswa dan beragama Islam]. Beralasan proses seleksi, persaingan dan dinamika maka segmentasi kekuatan sub-organis [kubu/gerbong] dibangun sebagai kendaraan untuk mencapai kekuasaan. Hal ini menjadi sehat [halal] bilamana keberadaan sub-organ didasarkan atas visi bersama yang humanis dalam mewujudkan upaya pemenangan, namun menjadi tidak sehat [tidak logis] dan tidak ber-perikemanusiaan bilamana untuk mencapai sebuah kemenangan harus ditempuh dengan doktrin-doktrin yang negatif [menjelek-jelekkan lawan dan membenar-benarkan diri] tanpa mencermin kondisi eksisting dirinya. Hematnya, ‘solidaritas dalam suatu kelompok seringkali dibeli dengan kebencian terhadap kelompok lainnya [Fukuyama]’ sehingga yang terjadi adalah ketidak-sehatan dalam persaingan. Seharusnya yang dikedepankan adalah kompetisi  yang sehat dan berkualitas, mengedepankan nurani dan naluri berpikir, bukannya nafsu atas dasar segmentasi ‘ASAL DAERAH’ dan lainnya.
Kondisi hari ini dalam organisasi HMI sulit untuk melepas kekangan dimaksud karena pola pendekatan selalu mengedepankan pengkaplingan kekuasaan. Kepada para kadernya, para senior dan alumni memberikan doktrin untuk ‘membenci kelompok/kubu’ lainnya, sementara kekurangannya dilebihkan untuk memperoleh simpati dan dukungan. Pola ini dimainkan dengan mengendalikan berbagai ornament persidangan kemudian di klaim sebagai bagian dari dari dinamika. Sekali lagi, bahwa dinamika akan mendewasakan namun bila dinamika tanpa nurani maka sesungguhnya telah mencederai nilai dasar dalam NDP yang dianut HMI sebagai rujukan nilai. Upaya pembunuhan karakter telah terjadi dalam dinamika dimaksud, pembodohan dan pembohongan terhadap legalitas status kemahasiswaan dapat saja dihalalkan untuk menggapai kekuasaan. Kondisi ini sungguh naïf, dan patut menjadi kerisauan bersama seluruh warga himpunan karena bilamana para kader terjebak didalamnya maka akan menjadi duri yang berkepanjangan. Akibatnya, pertikaian dan ketidak sehatan persaingan ini akan berlanjut kelaknya setelah lepas dari himpunan yang hanya akan menunjukan kekerdilan kader dalam bergumul.
Mengakhiri tulisan sederhana ini, perlu diingat bersama bahwa ; HMI tidak disiapkan untuk kelompok tertentu saja, HMI bukan milik segelintir orang saja, HMI tidak dibangun atas alasan kebencian pada sahabat lainnya. HMI dibangun atas persaudaraan ukhwah Islamiyah para mahasiswa yang merasa penting untuk menciptakan insan akademik, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam. Dinamika politik HMI hari ini menunjukan adanya indikasi pengkaplingan kekuasaan dalam HMI dengan menafikkan saudara-saudara dari segmen lain yang ‘mungkin’ lebih banyak memberikan manfaat himpunan. Ibarat sebuah ladang, HMI harus membiarkan seluruh mahasiswa Islam yang mengikuti proses pengkaderan untuk ikut mengabdi didalamnya, jangan ada upaya sistemik dan disengaja untuk menutup ruang dan peluang para kader untuk mengabdi dengan mengenyampingkan aspek kualitas dan aturan organisasi [AD/ART]. Tradisi mengkapling ladang menjadi pemilik area kemudian merekrut segmen lawan [terkalahkan] sebagai pekerja organisasi [anggota pengurus] membuktikan adanya pembudakan ilmiah yang tersistemik dalam tradisi himpunan. Kekhawatirannya, suatu ketika bahkan dan mungkin saja dalam seleksi masuk menjadi anggota HMI akan ada senior/panitia yang bertanya; “DARI MANA ASAL DAERAHMU?”. Sederhanya, katakan saja HMI Cabang […..] yang berada di […..] telah mempekerjakan pekerja HMI yang berasal dari [….]. Bila kondisi ini terjadi maka kiamatlah HMI karena tidak ada warna pembeda dari segmentasi sebagai pengayanya. Sadarilah bahwa persaingan yang tidak sehat hanya akan membunuh [mematikan] bertumbuh-kembangnya syiar Islam di bumi Flobamor dari para pemikir-pemikir himpunan [alumni HMI] di wilayah-wilayah tertentu, sehingga bilamana para aktor yang mendramatisir tradisi negatif ini terus bekerja menganggap lumrah dalam dinamika keber-HMI-an dapat dikategorikan sebagai ‘Dajjal’ yang menghampat syiar Islam. Wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar