Fitrahnya
manusia merupakan makhluk sosial yang niscaya membutuhkan individu [makhluk]
lainnya sebagai patner dalam mewujudkan impian hidupnya. Olehnya, wajar bila
harus ada organisasi/komunitas sebagai wadah berkumpul dan berhimpun karena
melalui wadah-wadah dimaksudlah manusia dapat menunjukan karya dan abdinya
dalam rangka menemukan identitas dan jati dirinya. Pewadahan individu dalam
sebuah organisasi berorientasi untuk mencapai suatu tujuan bersama yang
dirumuskan dalam kerangka menggapai cita organisasi. Umumnya, rumusan visi dan
tujuan sebuah organisasi diharapkan dapat memberikan dampak internal [mengubah
pola rasa, pola pikir dan pola tindak para pekerja
visi/kader/anggota/pengurusnya], dan dampak eksternal [memberikan manfaat
melalaui proses dampak internal bagi komponen di luarnya]. Bilamana dampak
internal tidak terwujud dalam aplikasinya berarti telah terjadi penyimpangan
tujuan oleh penyelenggara [kader] karena keberadaannya didalam organisasi
tersebut tidak mampu memberikan perubahan pada 3 pola dalam dirinya, dan
demikian maka untuk mewujudkan dampak eksternal menjadi tidak ber’nilai’ karena
keduanya saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. Hematnya, mana mungkin
dapat melakukan perubahan besar [diluar/objek] bila tidak mampu melakukan perubahan
kecil dalam diri [pribadi] subjek pengubah.
Dimensi lain
dari hakekat kehadiran sebuah organisasi juga sebagai ranah persaingan, wahana
seleksi, dan demikian maka harus ada yang tersisihkan [kalah ; subjek yang
dikuasai] dan pastinya ada pula yang menang [subjek yang menguasai/penguasa].
Realita ini adalah keniscayaan karena dalam persaingan harus ada hasil seleksi
yang lulus dan harus ada bagian lainnya yang tersisihkan namun dalam rangka
mewujudkan visi dan tujuan organisasi maka satu hal yang patut diperhatikan
yaitu ‘ASPEK KUALITAS’ agar mampu menjaga kualitas dari output [dampak intern] dan outcome
[dampak ekstern], yang pada akhirnya akan mengangkat marwah organisasi. Tentunya proses pengasahan kualitas harus
melalui tahapan seleksi, bukan secara tiba-tiba menyerobot dari luar arena
kompetisi [kader bodong]. Sederhananya, agar lolos dari persaingan maka setiap
kader harus menyiapkan dirinya, bilamana gagal [tersisihkan/kalah] maka harus
dimaknai bahwa yang bersangkutan belum maksimal menyiapkan diri [ada sisi
kualitas yang kurang dari competitor yang memenangkannya]. Namun, bila proses
pemenangan itu ditempuh dengan metode yang menyimpang dari aturan kompetisi
maka suatu ketika, cepat/lambat akan terjadi kecelakaan [penyimpangan] dalam
menjalankan visi dan tujuan yang berdampak pada kemunduran indikator
keberhasilan organisasi. Kondisi ini telah melanda hampir semua organisasi
khususnya yang terjadi di lingkup HMI Cabang Kupang sebagaimana tergambarkan
dalam dinamika politik selama proses suksesi Konfercab XXIX HMI Cabang
Kupang-2015.
Aspek
historis mencatat HMI sebagai organisasi mahasiswa Islam tertua dan terbesar di
Indonesia hingga saat ini karena keketatan persaingan hingga melahirkan
kader-kader militan yang siap mengabdi dalam lingkungan sosial-kemasyarakatan,
namun berbagai riset dan opini menilai telah terjadi kemunduran dalam pemaknaan
dan pengaplikasian konsep NDP HMI. Hal ini dimungkinkan karena telah terjadi
proses seleksi yang tidak sehat dengan melanggar norma dan etika organisasi
yang tercatat dalam AD/ART dan budaya positif yang dibangun para pendahulunya.
HMI merupakan organisasi mahasiswa Islam sehingga pra-syarat utama menjadi
anggota adalah ‘mereka’ yang benar [terlegitimasi] sebagai mahasiswa,
selanjutnya mahasiswa dimaksud harus beragama Islam [kecuali anggota luar biasa
yang dikhususkan]. Proses seleksi dan persaingan kemudian menghasilkan pemenang
[selaku penguasa/pengurus] untuk menguasai subjek organisasi [anggotanya] dan
objek organisasi itu sendiri. Pertanyaannya, dapatkah seseorang yang tidak
jelas status kemahasiswaannya diperbolehkan mengikuti kompetisi dalam HMI?,
terlebih lagi kompetisi dalam menggapai kekuasaan organisatoris [kepengurusan].
Sederhananya, bagaimana bisa seseorang yang bukan anggota dapat menjadi pengurus
dari sebuah organisasi? Ini mungkin saja terjadi dalam organisasi/komunitas
yang tidak memiliki aturan main, namun hari ini HMI yang memiliki AD/ART telah
dipecundangi atas kepentingan para pihak tertentu.
Patut
disyukuri bahwa hingga hari ini HMI masih tetap eksis meskipun berbagai badai
menghadang dalam perjuangannya, hal ini dimaknai sebagai dinamika untuk
kemajuan HMI. Teorinya, dinamika dapat membesarkan dan mendewasakan para
anggota dan pengurusnya namun belum tentu dapat mendorong organisasi menjadi lebih
baik. Para senior dan alumni sebagai para pendahulu yang telah membentangkan
karpet hijau untuk kelanjutan para penerusnya belajar dan mengabdikan diri
dalam himpunan, disinilah titik dimana seorang senior dan/atau alumni patut
dihargai dan diapresiasi. Bentangan karpet hijau HMI membolehkan siapapun
mahasiswa Islam untuk ikut terlibat sebagai anggota HMI tanpa memandang
segmentasi di luar pra-syarat [berstatus mahasiswa dan beragama Islam].
Beralasan proses seleksi, persaingan dan dinamika maka segmentasi kekuatan
sub-organis [kubu/gerbong] dibangun sebagai kendaraan untuk mencapai kekuasaan.
Hal ini menjadi sehat [halal] bilamana keberadaan sub-organ didasarkan atas
visi bersama yang humanis dalam mewujudkan upaya pemenangan, namun menjadi
tidak sehat [tidak logis] dan tidak ber-perikemanusiaan bilamana untuk mencapai
sebuah kemenangan harus ditempuh dengan doktrin-doktrin yang negatif
[menjelek-jelekkan lawan dan membenar-benarkan diri] tanpa mencermin kondisi
eksisting dirinya. Hematnya, ‘solidaritas dalam suatu kelompok seringkali
dibeli dengan kebencian terhadap kelompok lainnya [Fukuyama]’ sehingga yang
terjadi adalah ketidak-sehatan dalam persaingan. Seharusnya yang dikedepankan
adalah kompetisi yang sehat dan
berkualitas, mengedepankan nurani dan naluri berpikir, bukannya nafsu atas
dasar segmentasi ‘ASAL DAERAH’ dan lainnya.
Kondisi hari
ini dalam organisasi HMI sulit untuk melepas kekangan dimaksud karena pola
pendekatan selalu mengedepankan pengkaplingan kekuasaan. Kepada para kadernya,
para senior dan alumni memberikan doktrin untuk ‘membenci kelompok/kubu’
lainnya, sementara kekurangannya dilebihkan untuk memperoleh simpati dan
dukungan. Pola ini dimainkan dengan mengendalikan berbagai ornament persidangan
kemudian di klaim sebagai bagian dari dari dinamika. Sekali lagi, bahwa
dinamika akan mendewasakan namun bila dinamika tanpa nurani maka sesungguhnya
telah mencederai nilai dasar dalam NDP yang dianut HMI sebagai rujukan nilai.
Upaya pembunuhan karakter telah terjadi dalam dinamika dimaksud, pembodohan dan
pembohongan terhadap legalitas status kemahasiswaan dapat saja dihalalkan untuk
menggapai kekuasaan. Kondisi ini sungguh naïf, dan patut menjadi kerisauan
bersama seluruh warga himpunan karena bilamana para kader terjebak didalamnya
maka akan menjadi duri yang berkepanjangan. Akibatnya, pertikaian dan ketidak
sehatan persaingan ini akan berlanjut kelaknya setelah lepas dari himpunan yang
hanya akan menunjukan kekerdilan kader dalam bergumul.
Mengakhiri
tulisan sederhana ini, perlu diingat bersama bahwa ; HMI tidak disiapkan untuk
kelompok tertentu saja, HMI bukan milik segelintir orang saja, HMI tidak
dibangun atas alasan kebencian pada sahabat lainnya. HMI dibangun atas
persaudaraan ukhwah Islamiyah para mahasiswa yang merasa penting untuk
menciptakan insan akademik, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam.
Dinamika politik HMI hari ini menunjukan adanya indikasi pengkaplingan kekuasaan
dalam HMI dengan menafikkan saudara-saudara dari segmen lain yang ‘mungkin’ lebih
banyak memberikan manfaat himpunan. Ibarat sebuah ladang, HMI harus membiarkan
seluruh mahasiswa Islam yang mengikuti proses pengkaderan untuk ikut mengabdi
didalamnya, jangan ada upaya sistemik dan disengaja untuk menutup ruang dan
peluang para kader untuk mengabdi dengan mengenyampingkan aspek kualitas dan
aturan organisasi [AD/ART]. Tradisi mengkapling ladang menjadi pemilik area
kemudian merekrut segmen lawan [terkalahkan] sebagai pekerja organisasi
[anggota pengurus] membuktikan adanya pembudakan ilmiah yang tersistemik dalam
tradisi himpunan. Kekhawatirannya, suatu ketika bahkan dan mungkin saja dalam
seleksi masuk menjadi anggota HMI akan ada senior/panitia yang bertanya; “DARI
MANA ASAL DAERAHMU?”. Sederhanya, katakan saja HMI Cabang […..] yang berada di
[…..] telah mempekerjakan pekerja HMI yang berasal dari [….]. Bila kondisi ini
terjadi maka kiamatlah HMI karena tidak ada warna pembeda dari segmentasi
sebagai pengayanya. Sadarilah bahwa persaingan yang tidak sehat hanya akan membunuh
[mematikan] bertumbuh-kembangnya syiar Islam di bumi Flobamor dari para
pemikir-pemikir himpunan [alumni HMI] di wilayah-wilayah tertentu, sehingga
bilamana para aktor yang mendramatisir tradisi negatif ini terus bekerja
menganggap lumrah dalam dinamika keber-HMI-an dapat dikategorikan sebagai
‘Dajjal’ yang menghampat syiar Islam. Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar