Mudik adalah peristiwa kolosal yang mengharukan, menggembirakan,
sekaligus merepotkan. Mengharukan karena dalam konteks ini mudik lebih identik
dengan bagian dari perayaan Idul Fitri yang mengandung muatan-muatan sosial dan
berlangsung tahun demi tahun. Merepotkan karena kegiatan mudik selalu membawa
aktivitas yang melibatkan banyak pihak pada saat bersamaan. Betapa tidak, memindah
jutaan orang pada saat yang nyaris bersamaan bukan persoalan gampang. Maka
menjadi lumrah ketika pemerintah kedodoran di sana-sini melayani pemudik. Tanpa
persiapan yang matang, aktivitas mudik hanya akan merepotkan. Demikian halnya
suasana yang akan terjadi didesa asalnya, akan terjadi aktifitas yang lebih
ramai dari biasanya sehingga ada kegembiraan tersendiri.
a.
Menelusuri MUDIK
Istilah
mudik mulanya diikenal sebagai sebuah kebiasaan kaum pendatang di ibukota
(Jakarta) yang melakukan perjalanan pulang kampung asalnya saat hari raya ‘Idul
Fitri. Kebiasaan ini kemudian terbawa dan terjadi terus hingga saat ini, tidak
hanya oleh pendatang ibu kota melainkan menyebar ke seluruh pelosok tanah air dan
tidak hanya sekedar saat momentum ‘Idul Fitri’. Setelah menelusuri istilah
“MUDIK” dalam berbagai kamus bahasa asing, tidak ditemukan defenisi dalam
penggalan kata khusus. Artinya, mudik memang benar-benar istilah lokal yang
dipublikasikan atas kebiasaan yang terjadi. Adapun penerjamahan dalam bahasa
asing senantiasa mengikutsertakan penjelasan dalam bahasa Indonesianya sehingga
cenderung dimaknai sebagai “kembali ke asal”.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan mudik adalah ‘berlayar ke udik
(pedalaman/hulu)’. Mudik yang disinyalir berasal dari kata ‘udik’ (kampung)
mendapatkan tambahan huruf ‘m’ sehingga menjadi kembali ke kampung. Pernyataan
ini mungkin dapat dibenarkan namun adakah kaidah kebahasaan Melayu dan bahasa
Indonesia yang membenarkan penambahan huruf ‘m’ sehingga ‘udik’ (kata benda)
berubah menjadi ‘mudik’ (kata kerja)?. Istilah ini ditelusuri sebagai aktifitas
para nelayan Badui yang dahulunya melakukan pencarian ke laut (keluar dari
teluk) dan kembali ke daratan (kampung halamannya) di bagian hulu/pedalaman
Meminjam Jacob Soemardjo (2009), mudik
merupakan tradisi primordial. Jauh sebelum Kerajaan Majapahit berdiri,
masyarakat petani Jawa sudah mengenal tradisi mudik. Banyak warga yang merantau
pulang kampung karena ingin mengikuti upacara merti desa yang biasanya
berlangsung setahun sekali. Sebagian
orang juga berpendapat bahwa mudik berasal dari bahawa arab namun sulit untuk
ditelusuri asal katanya. Sisi yang lain, istilah ‘MUDIK’ konon dikisahkan dari
istilah komunitas suku Jawa yang merantau ke Jakarta lalu kembali ke daerah
asalnya. Mudik (MULEH DI SEK = Pulang Sedikit/ Pulang Sekejab) demikian
dimaknai sebagai kegiatan pulang kampung yang dilakukan perantau dalam kurun
waktu sekejab disela rehat (liburan) dari pekerjaan dalam momentum tertentu.
Jika penelusuran demikian dibenarkan, maka Istilah mudik telah mengalami metamorfosa yang cukup jauh dan dapat
digunakan oleh siapa pun, dimana pun dan kapan pun namun harus bermuatan
‘PULANG’ ke daerah asal. Dengan demikian, berbeda maknanya jika saat liburan
sekelompok (seorang) perantau melakukan tamasya/berwisata untuk beristirahat
sekejab karena tidak ada muatan pulang (kecuali ; berlibur ke kampung halaman).
b.
Mudik ; Tradisi
Urbanis
Kedua
versi yang ditelusuri ternyata sama-sama menggambarkan aktifitas sebagian ummat
manusia dalam melakukan kegiatan ‘kembali ke daerah asal’ setelah melewati
proses pengembaraan (perantauan). Namun pada pemaknaan pertama yang ditelusuri
dari tradisi melayu bersifat dinamis karena kelanjutan aktifitas pasca mudik
tidak dilakukan, kecuali pergi lagi mencari nafkah. Artinyal tetap menginap di
kampung halaman dan pengembaraan hanya bersifat sementara/musiman dan dilakukan
dalam kurun waktu singkat. Sementara makna yang ditelusuri dari tradisi kedua
(Jawa), cenderung mengindikasikan bahwa pelaku mudik masih akan kembali ke
daerah kota untuk melakukan pencarian lanjutan (melanjutkan bekerja) dan
menginap di kota dalam kurun waktu yang relatif lama.
Pembahasan
kita bukan pada penelusuran kebenaran faktual dari mana istilah mudik berasal
namun pada realitas yang terjadi hari ini bahwa tradisi mudik begitu fenomenal
terjadi dimasyarakat Indonesia. Bila harus dimaknai secara luas maka hal ini
pun terjadi di negera lainnya namun perbedaannya dinegara lain cenderung pada
makna pengembaraan dan tamasya. Tradisi mudik hanya terjadi pada kamu urbanis
yang melakukan perpindahan sementara maupun permanen dari desa ke kota dengan
berbagai alasan. Alasan yang paling mendasar adalah mencari pekerjaan untuk
pemenuhan kebutuhan hidup. Artinya, kota lebih menjanjikan peluang pekerjaan
dibanding wilayah desa.
Bagi kaum urban, mudik lebaran bahkan
memiliki makna yang lebih khusus. Ia terkait dengan dampak modernitas yang
melahirkan sejumlah penyakit (sindrom). Mudik adalah cara kaum urban menebus
penyakit-penyakit modernisme yang boleh jadi bersumber dari biaya ekonomi,
sosial, maupun psikologis yang dilahirkan modernitas. Biaya psikologis modernitas, menyitir Theodore Roszak
(1995), telah membawa manusia kota pada gejala mekanisasi, regimentasi, dan
otomatisasi kepribadian. Lewis Yablonsky (2001) menyebut manusia modern sebagai
"robophats", yang telah
kehilangan otentisitas dan spontanitas. Sementara Herbert Marcuse melihat
manusia modern sebagai "one
dimensional man", yang irasional dan telah kehilangan kesadaran
kritis-reflektifnya.
Ahli
geografi kependudukan menyimpulkan bahwa kota cenderung lebih cepat mengalami
proses pembangunan karena ketersediaan fasilitas dan perkembangan informasi-teknologi
lebih terjamin. Kota mengalami pergolakan ekonomi 75% lebih cepat dari desa
karena aktifitas industrialisasi didukung dengan sumber daya yang memadai (baik
manusia maupun teknologinya). Hasilnya, perputaran ekonomi berkembang pesat dan
‘uang’ pun cenderung berputar dalam lingkup wilayah kota saja. Runtunan
pemikiran sederhana ini kemudian menyeret para ekonom menggiring sumberdaya
yang ada dipedesaan untuk diproses di perkota kemudian tak terbagi secara
merata kembali ke desa. Lain halnya dengan para politisi yang cenderung
menggalang kekuatan politik dari desa dengan berbagai janji-janji politiknya
untuk ‘mensukseskan’ diri dan kelompoknya di kota. Untuk menyenangkan penduduk desa
atas janjinya, para politisi mencoba mencurahkan secuil anggaran untuk
membangun desa. Alhasil, uang masih saja berkutat di dompet para penduduk
perkotaan karena sunat-menyunat anggaran masih terjadi.
Para
pemimpin kemudian ramai-ramai mengkampanyekan ‘membangun desa’ karena disana
ada keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan. Kebijakan ‘Desa Anggur Merah’
yang dilaksanakan di NTT saat ini, mungkin bagian kecil dari kampanye tersebut
namun patut dipertanyakan ketepatan nilai dan fungsi dalam membangun desa.
Mungkin sudah mulai terbesit kesadaran bahwa dari sanalah asal peradaban,
seluruh kota awalnya adalah desa yang maju dan berkembang lebih cepat dalam
berbagai sektor. Wajar saja jika para politisi memanfaatkan desa sebagai
lumbung suara konstituen karena hanya bermodalkan beberapa rupiah, suara dapat
didulang dan kekuasaan dapat diraih meski kemudian melupakannya kembali.
c. Mudik
; Moment Silaturahmi
Kebiasaan mudik hanya
dilakukan tatkala ada momentum-momentum tertentu seperti saat lebaran tiba. Mudik
kemudian mengalami metamorfosa menjadi tradisi pulang kampung pada saat-saat
tertentu sehingga aktifitas mudik cenderung monumental. Berlibur saat hari raya
maupun tidak hari raya, asalkan pulang ke daerah asal dalam sekejab dapat
tergolong mudik. Menurut sosiolog
Dr. Munandar Sulaiman, banyak nilai yang terkandung dalam tradisi mudik.
Misalnya, selain menjaga silaturahmi dengan kerabat di kampung halaman atau
lebih jauh kita akan tetap ingat kepada asal-muasal kita.
Lekatnya budaya yang kental dan akomodatif menyebabkan
terasa ada yang lepas bila tidak mudik. Perjumpaan dengan sanak saudara di
kampung halaman menjadi peristiwa yang dirindukan. Lebaran atau apapun
momentnya, secara sosio-kultural memang khas Indonesia. Sebab, tak cuma
fenomena mudik yang ada dalam tradisi tetapi juga (ziarah kubur), bersalaman
khusus (keluarga, kerabat, tetangga, dan kenalan), bahkan bertamasya ke
berbagai tempat hiburan.
Sosiolog lainnya (Rachmad Dwi Susilo) mengatakan, modernitas
telah mengubah tata kehidupan budaya kaum urban secara ekstrem seperti
menguatnya semangat ekonomi, yang berdampak pada pola pikirnya yang umumnya
materiakistik, pragmatis, hedonis, eksklusif, dan intoleran. Modernitas telah
meruntuhkan struktur sosial mapan (relasi sosial yang intim, saling percaya,
dan penuh kebersamaan) yang menjadi ciri masyarakat urban. Dalam struktur
masyarakat modern, individu disibukkan dengan tanggung jawab terhadap dirinya,
sambil melupakan tanggung jawabnya kepada keluarga, karib, kerabat, atau
kampung halaman.
Fenomena lain yang terjadi mirip dengan tradisi mudik
adalah keinginan beberapa orang yang kembali kampung saat menjelang hajatan
politik (Pemilukada). Uniknya, kedatangan ‘mereka’ dengan alasan ingin
membangun kampung halaman terkadang hanya sebagai semboyan belaka karena
mungkin justru mendatangkan petaka baru yaitu merebut kekuasaan dan mengelolah
daerah sebagaimana praktek modernisasi yang terjadi di kota-kota besar. Apapun
alasannya, itu adalah hak politik setiap individu namun kita cuma berharap,
jika ada yang ingin kembali dan bertarung dalam Pemilukada maka jangan lupa bahwa
kearifan lokal, kekayaan budaya dan nilai kerukunan yang menjadi modal kami
didaerah dalam menutupi keterbelakangan didaerah.
d. Mudik
; Pemerataan Ekonomi dan Keadilan
Mudik
mampu menembus batas-batas rasionalitas yang di negara lain sukar dipertahankan namun Indonesia telah berhasil memodernisasi mudik
menjadi seperti sekarang ini. Pertama,
tradisi mudik tidak ada kaitan dengan asas praktis karena tidak ada pemudik yang bisa nyaman sepanjang
perjalanan. Meskipun dengan dengan pesawat terbang, tetap harus berjuang sejak
dari antre tiket sampai keberangkatan. Ada juga yang mudik dengan kendaraan pribadi dan
sepeda motor tentunya tak terelakkan dari antrian panjang dan
kemacetan.
Kedua, mudik tidak ada kaitan dengan strata sosial
dan pendidikan. Mereka yang kaya, berkuasa, bahkan pejabat sekalipun merasa
perlu mudik ke kampung halaman karena bersilaturahmi telah menjadi kebutuhan
sosiologis. Sebagian kaum bojuis yang telah berhasil diperantauan dapat
memanfaatkan berbagai peluang namun pada sisi lain ada sumberdaya yang lain
diuntungkan secara ekonomis dari pemanfaatan tersebut seperti profesi para
calo, buruh dan pembantu. Ada pemerataan secara ekonomi karena sebagian besar
pemudik akan menikmati berbagai fasilitas dan jasa yang diberikan oleh penduduk
pada daerah yang dilintasi pemudik. Omset sebagian usaha jasa perhotelan,
restauran, transportasi dan pedagang asongan pun turut menikmati perputaran
uang sepanjang jalur mudik.
Ketiga, yang memprihatinkan mudik sering
mengabaikan kondisi keuangan pelakunya. Meskipun lekat dengan konsumeris dan
pemborosan tetapi tetap keinginan mudik tetap dilakukan. Sesampainya di kampung
halaman tentu masih ada serangkaian kegiatan yang harus dibiaya namun ada
sebuah kepuasan yaitu bersilaturahmi dengan sanak saudara dan keluarga.
e. Mudik
; Show Performance
Mudik juga bisa jadi
momen “unjuk diri”, ajang dimana bisa menunjukkan eksestensi dan keberhasilan
seseorang selama di perantauan kepada masyarakat tempat dia berasal. Maka yang muncul adalah simbol-simbol
keberhasilan seperti mobil, alat-alat komunikasi modern, pakaian yang mewah,
aksesori, bahkan logat berbahasa yang mempergunakan gaya orang kota. Mudik di
era modern cenderung memicu kesenjangan sosial dan ekspos gaya hidup.
Mereka cenderung lebih menghargai mereka yang membawa kendaraan, harta benda
yang banyak dan “mentereng” ketimbang yang tidak punya apa-apa. Padahal
seharusnya hikmah mudik yang terbesar dan dikedepankan, adalah momentum kembali
ke fitrah dengan melakukan sungkem dan berbaik-baikan pada orang tua. Karena
pertemuan dengan orang tua, kerabat, saudara, sahabat mampu menjadi motivasi/spirit
yang luar biasa dalam kelanjutan aktifitas selanjutnya.
Makna lain dari mudik adalah mengembalikan ingatan akan
masa lampau yang dapat mendorong orang untuk ingat darimana asalnya. Maraknya
praktek korupsi patut diduga disebabkan orang sudah lupa masa lalunya yang
dididik dan dibesarkan di desa atau bahkan perilaku dahulunya. Mudik harus
dikembalikan pada esensinya mempererat tali silaturahmi dan persaudaraan antara
warga kota dan desa yang belakangan ini kian memudar.
Demikian halnya dengan fenomena menjelang Pemilukada,
semoga bukan sebuah tipuan untuk mengelabui masyarakat didaerah dengan berbagai
simbol-simbil kapitalism. Kita berharap keinginan untuk ikut dalam perhelatan
politik didaerah adalah sebuah panggilang nurani yang tulus ingin membangun
daerahnya, bukan sebuah keterkejutan karena baru sadar bahwa ‘saya orang
kampung’. Mungkin sebagian akan bertanya, selama ini anda dimana?, pertanyaan
ini bukan hanya untuk para perantau saja namun bagi penguasa yang ada didaerah
pun harus menjawan, kenapa baru sekarang datang menyapa?
f.
Mudik di NTT
Mengakhiri tulisan
ini, kami berharap pemerintah (Provinsi/Kab/Kota) patut menjadikan berbagai
moment untuk mengelolah tradisi mudik yang tidak hanya terjadi saat lebaran
melainkan saat Natal, Paskah maupun liburan umum lainnya. Sebab, secara
geografis NTT membutuhkan keragaman alat transportasi yang dalam mudik juga
melibatkan sumberdaya lain didaerah jalur mudik. Keinginan untuk kembali
membangun desa bukan sebuah trik-politik belaka dengan mengucurkan berbagai
bantuan langsung. Potensi SDM di desa (aparatur desa) patut mendapat perhatian
khusus berupa tunjangan tambahan sebab merekalah ujung tombang pembangunan.
Bagi sebagian
saudara/i yang berniat ingin ‘mudik politik’, siapkanlah bekal sebanyak mungkin
karena masyarakat didaerah masih sangat membutuhkan santunan anda yang tertunda
selama anda tinggalkan. Jangan kemudian kembali meninggalkan konstituent jika
sudah kalah dalam Pemilukada, teruslah merawat konstituen karena persahatan dan
kekeluargaan bukan karena dukungan politik namun karena kita bersaudara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar