Kamis, 09 Juli 2015

Mudik Lebaran



Mudik adalah peristiwa kolosal yang mengharukan, menggembirakan, sekaligus merepotkan. Mengharukan karena dalam konteks ini mudik lebih identik dengan bagian dari perayaan Idul Fitri yang mengandung muatan-muatan sosial dan berlangsung tahun demi tahun. Merepotkan karena kegiatan mudik selalu membawa aktivitas yang melibatkan banyak pihak pada saat bersamaan. Betapa tidak, memindah jutaan orang pada saat yang nyaris bersamaan bukan persoalan gampang. Maka menjadi lumrah ketika pemerintah kedodoran di sana-sini melayani pemudik. Tanpa persiapan yang matang, aktivitas mudik hanya akan merepotkan. Demikian halnya suasana yang akan terjadi didesa asalnya, akan terjadi aktifitas yang lebih ramai dari biasanya sehingga ada kegembiraan tersendiri.
a.    Menelusuri MUDIK
Istilah mudik mulanya diikenal sebagai sebuah kebiasaan kaum pendatang di ibukota (Jakarta) yang melakukan perjalanan pulang kampung asalnya saat hari raya ‘Idul Fitri. Kebiasaan ini kemudian terbawa dan terjadi terus hingga saat ini, tidak hanya oleh pendatang ibu kota melainkan menyebar ke seluruh pelosok tanah air dan tidak hanya sekedar saat momentum ‘Idul Fitri’. Setelah menelusuri istilah “MUDIK” dalam berbagai kamus bahasa asing, tidak ditemukan defenisi dalam penggalan kata khusus. Artinya, mudik memang benar-benar istilah lokal yang dipublikasikan atas kebiasaan yang terjadi. Adapun penerjamahan dalam bahasa asing senantiasa mengikutsertakan penjelasan dalam bahasa Indonesianya sehingga cenderung dimaknai sebagai “kembali ke asal”.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan mudik adalah ‘berlayar ke udik (pedalaman/hulu)’. Mudik yang disinyalir berasal dari kata ‘udik’ (kampung) mendapatkan tambahan huruf ‘m’ sehingga menjadi kembali ke kampung. Pernyataan ini mungkin dapat dibenarkan namun adakah kaidah kebahasaan Melayu dan bahasa Indonesia yang membenarkan penambahan huruf ‘m’ sehingga ‘udik’ (kata benda) berubah menjadi ‘mudik’ (kata kerja)?. Istilah ini ditelusuri sebagai aktifitas para nelayan Badui yang dahulunya melakukan pencarian ke laut (keluar dari teluk) dan kembali ke daratan (kampung halamannya) di bagian hulu/pedalaman
Meminjam Jacob Soemardjo (2009), mudik merupakan tradisi primordial. Jauh sebelum Kerajaan Majapahit berdiri, masyarakat petani Jawa sudah mengenal tradisi mudik. Banyak warga yang merantau pulang kampung karena ingin mengikuti upacara merti desa yang biasanya berlangsung setahun sekali. Sebagian orang juga berpendapat bahwa mudik berasal dari bahawa arab namun sulit untuk ditelusuri asal katanya. Sisi yang lain, istilah ‘MUDIK’ konon dikisahkan dari istilah komunitas suku Jawa yang merantau ke Jakarta lalu kembali ke daerah asalnya. Mudik (MULEH DI SEK = Pulang Sedikit/ Pulang Sekejab) demikian dimaknai sebagai kegiatan pulang kampung yang dilakukan perantau dalam kurun waktu sekejab disela rehat (liburan) dari pekerjaan dalam momentum tertentu. Jika penelusuran demikian dibenarkan, maka Istilah mudik telah mengalami metamorfosa yang cukup jauh dan dapat digunakan oleh siapa pun, dimana pun dan kapan pun namun harus bermuatan ‘PULANG’ ke daerah asal. Dengan demikian, berbeda maknanya jika saat liburan sekelompok (seorang) perantau melakukan tamasya/berwisata untuk beristirahat sekejab karena tidak ada muatan pulang (kecuali ; berlibur ke kampung halaman).
b.    Mudik ; Tradisi Urbanis
Kedua versi yang ditelusuri ternyata sama-sama menggambarkan aktifitas sebagian ummat manusia dalam melakukan kegiatan ‘kembali ke daerah asal’ setelah melewati proses pengembaraan (perantauan). Namun pada pemaknaan pertama yang ditelusuri dari tradisi melayu bersifat dinamis karena kelanjutan aktifitas pasca mudik tidak dilakukan, kecuali pergi lagi mencari nafkah. Artinyal tetap menginap di kampung halaman dan pengembaraan hanya bersifat sementara/musiman dan dilakukan dalam kurun waktu singkat. Sementara makna yang ditelusuri dari tradisi kedua (Jawa), cenderung mengindikasikan bahwa pelaku mudik masih akan kembali ke daerah kota untuk melakukan pencarian lanjutan (melanjutkan bekerja) dan menginap di kota dalam kurun waktu yang relatif lama.
Pembahasan kita bukan pada penelusuran kebenaran faktual dari mana istilah mudik berasal namun pada realitas yang terjadi hari ini bahwa tradisi mudik begitu fenomenal terjadi dimasyarakat Indonesia. Bila harus dimaknai secara luas maka hal ini pun terjadi di negera lainnya namun perbedaannya dinegara lain cenderung pada makna pengembaraan dan tamasya. Tradisi mudik hanya terjadi pada kamu urbanis yang melakukan perpindahan sementara maupun permanen dari desa ke kota dengan berbagai alasan. Alasan yang paling mendasar adalah mencari pekerjaan untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Artinya, kota lebih menjanjikan peluang pekerjaan dibanding wilayah desa.
Bagi kaum urban, mudik lebaran bahkan memiliki makna yang lebih khusus. Ia terkait dengan dampak modernitas yang melahirkan sejumlah penyakit (sindrom). Mudik adalah cara kaum urban menebus penyakit-penyakit modernisme yang boleh jadi bersumber dari biaya ekonomi, sosial, maupun psikologis yang dilahirkan modernitas. Biaya psikologis modernitas, menyitir Theodore Roszak (1995), telah membawa manusia kota pada gejala mekanisasi, regimentasi, dan otomatisasi kepribadian. Lewis Yablonsky (2001) menyebut manusia modern sebagai "robophats", yang telah kehilangan otentisitas dan spontanitas. Sementara Herbert Marcuse melihat manusia modern sebagai "one dimensional man", yang irasional dan telah kehilangan kesadaran kritis-reflektifnya.
Ahli geografi kependudukan menyimpulkan bahwa kota cenderung lebih cepat mengalami proses pembangunan karena ketersediaan fasilitas dan perkembangan informasi-teknologi lebih terjamin. Kota mengalami pergolakan ekonomi 75% lebih cepat dari desa karena aktifitas industrialisasi didukung dengan sumber daya yang memadai (baik manusia maupun teknologinya). Hasilnya, perputaran ekonomi berkembang pesat dan ‘uang’ pun cenderung berputar dalam lingkup wilayah kota saja. Runtunan pemikiran sederhana ini kemudian menyeret para ekonom menggiring sumberdaya yang ada dipedesaan untuk diproses di perkota kemudian tak terbagi secara merata kembali ke desa. Lain halnya dengan para politisi yang cenderung menggalang kekuatan politik dari desa dengan berbagai janji-janji politiknya untuk ‘mensukseskan’ diri dan kelompoknya di kota. Untuk menyenangkan penduduk desa atas janjinya, para politisi mencoba mencurahkan secuil anggaran untuk membangun desa. Alhasil, uang masih saja berkutat di dompet para penduduk perkotaan karena sunat-menyunat anggaran masih terjadi.
Para pemimpin kemudian ramai-ramai mengkampanyekan ‘membangun desa’ karena disana ada keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan. Kebijakan ‘Desa Anggur Merah’ yang dilaksanakan di NTT saat ini, mungkin bagian kecil dari kampanye tersebut namun patut dipertanyakan ketepatan nilai dan fungsi dalam membangun desa. Mungkin sudah mulai terbesit kesadaran bahwa dari sanalah asal peradaban, seluruh kota awalnya adalah desa yang maju dan berkembang lebih cepat dalam berbagai sektor. Wajar saja jika para politisi memanfaatkan desa sebagai lumbung suara konstituen karena hanya bermodalkan beberapa rupiah, suara dapat didulang dan kekuasaan dapat diraih meski kemudian melupakannya kembali.
c.    Mudik ; Moment Silaturahmi
Kebiasaan mudik hanya dilakukan tatkala ada momentum-momentum tertentu seperti saat lebaran tiba. Mudik kemudian mengalami metamorfosa menjadi tradisi pulang kampung pada saat-saat tertentu sehingga aktifitas mudik cenderung monumental. Berlibur saat hari raya maupun tidak hari raya, asalkan pulang ke daerah asal dalam sekejab dapat tergolong mudik. Menurut sosiolog Dr. Munandar Sulaiman, banyak nilai yang terkandung dalam tradisi mudik. Misalnya, selain menjaga silaturahmi dengan kerabat di kampung halaman atau lebih jauh kita akan tetap ingat kepada asal-muasal kita.
Lekatnya budaya yang kental dan akomodatif menyebabkan terasa ada yang lepas bila tidak mudik. Perjumpaan dengan sanak saudara di kampung halaman menjadi peristiwa yang dirindukan. Lebaran atau apapun momentnya, secara sosio-kultural memang khas Indonesia. Sebab, tak cuma fenomena mudik yang ada dalam tradisi tetapi juga (ziarah kubur), bersalaman khusus (keluarga, kerabat, tetangga, dan kenalan), bahkan bertamasya ke berbagai tempat hiburan.
Sosiolog lainnya (Rachmad Dwi Susilo) mengatakan, modernitas telah mengubah tata kehidupan budaya kaum urban secara ekstrem seperti menguatnya semangat ekonomi, yang berdampak pada pola pikirnya yang umumnya materiakistik, pragmatis, hedonis, eksklusif, dan intoleran. Modernitas telah meruntuhkan struktur sosial mapan (relasi sosial yang intim, saling percaya, dan penuh kebersamaan) yang menjadi ciri masyarakat urban. Dalam struktur masyarakat modern, individu disibukkan dengan tanggung jawab terhadap dirinya, sambil melupakan tanggung jawabnya kepada keluarga, karib, kerabat, atau kampung halaman.
Fenomena lain yang terjadi mirip dengan tradisi mudik adalah keinginan beberapa orang yang kembali kampung saat menjelang hajatan politik (Pemilukada). Uniknya, kedatangan ‘mereka’ dengan alasan ingin membangun kampung halaman terkadang hanya sebagai semboyan belaka karena mungkin justru mendatangkan petaka baru yaitu merebut kekuasaan dan mengelolah daerah sebagaimana praktek modernisasi yang terjadi di kota-kota besar. Apapun alasannya, itu adalah hak politik setiap individu namun kita cuma berharap, jika ada yang ingin kembali dan bertarung dalam Pemilukada maka jangan lupa bahwa kearifan lokal, kekayaan budaya dan nilai kerukunan yang menjadi modal kami didaerah dalam menutupi keterbelakangan didaerah.
d.    Mudik ; Pemerataan Ekonomi dan Keadilan
Mudik mampu menembus batas-batas rasionalitas yang di negara lain sukar dipertahankan namun Indonesia telah berhasil memodernisasi mudik menjadi seperti sekarang ini. Pertama, tradisi mudik tidak ada kaitan dengan asas praktis karena tidak ada pemudik yang bisa nyaman sepanjang perjalanan. Meskipun dengan dengan pesawat terbang, tetap harus berjuang sejak dari antre tiket sampai keberangkatan. Ada juga yang mudik dengan kendaraan pribadi dan sepeda motor tentunya tak terelakkan dari antrian panjang dan kemacetan.
Kedua, mudik tidak ada kaitan dengan strata sosial dan pendidikan. Mereka yang kaya, berkuasa, bahkan pejabat sekalipun merasa perlu mudik ke kampung halaman karena bersilaturahmi telah menjadi kebutuhan sosiologis. Sebagian kaum bojuis yang telah berhasil diperantauan dapat memanfaatkan berbagai peluang namun pada sisi lain ada sumberdaya yang lain diuntungkan secara ekonomis dari pemanfaatan tersebut seperti profesi para calo, buruh dan pembantu. Ada pemerataan secara ekonomi karena sebagian besar pemudik akan menikmati berbagai fasilitas dan jasa yang diberikan oleh penduduk pada daerah yang dilintasi pemudik. Omset sebagian usaha jasa perhotelan, restauran, transportasi dan pedagang asongan pun turut menikmati perputaran uang sepanjang jalur mudik.
Ketiga, yang memprihatinkan mudik sering mengabaikan kondisi keuangan pelakunya. Meskipun lekat dengan konsumeris dan pemborosan tetapi tetap keinginan mudik tetap dilakukan. Sesampainya di kampung halaman tentu masih ada serangkaian kegiatan yang harus dibiaya namun ada sebuah kepuasan yaitu bersilaturahmi dengan sanak saudara dan keluarga.
e.    Mudik ; Show Performance
Mudik juga bisa jadi momen “unjuk diri”, ajang dimana bisa menunjukkan eksestensi dan keberhasilan seseorang selama di perantauan kepada masyarakat tempat dia berasal. Maka yang muncul adalah simbol-simbol keberhasilan seperti mobil, alat-alat komunikasi modern, pakaian yang mewah, aksesori, bahkan logat berbahasa yang mempergunakan gaya orang kota. Mudik di era modern cenderung memicu kesenjangan sosial dan ekspos gaya hidup. Mereka cenderung lebih menghargai mereka yang membawa kendaraan, harta benda yang banyak dan “mentereng” ketimbang yang tidak punya apa-apa. Padahal seharusnya hikmah mudik yang terbesar dan dikedepankan, adalah momentum kembali ke fitrah dengan melakukan sungkem dan berbaik-baikan pada orang tua. Karena pertemuan dengan orang tua, kerabat, saudara, sahabat mampu menjadi motivasi/spirit yang luar biasa dalam kelanjutan aktifitas selanjutnya.
Makna lain dari mudik adalah mengembalikan ingatan akan masa lampau yang dapat mendorong orang untuk ingat darimana asalnya. Maraknya praktek korupsi patut diduga disebabkan orang sudah lupa masa lalunya yang dididik dan dibesarkan di desa atau bahkan perilaku dahulunya. Mudik harus dikembalikan pada esensinya mempererat tali silaturahmi dan persaudaraan antara warga kota dan desa yang belakangan ini kian memudar.
Demikian halnya dengan fenomena menjelang Pemilukada, semoga bukan sebuah tipuan untuk mengelabui masyarakat didaerah dengan berbagai simbol-simbil kapitalism. Kita berharap keinginan untuk ikut dalam perhelatan politik didaerah adalah sebuah panggilang nurani yang tulus ingin membangun daerahnya, bukan sebuah keterkejutan karena baru sadar bahwa ‘saya orang kampung’. Mungkin sebagian akan bertanya, selama ini anda dimana?, pertanyaan ini bukan hanya untuk para perantau saja namun bagi penguasa yang ada didaerah pun harus menjawan, kenapa baru sekarang datang menyapa?
f.      Mudik di NTT
Mengakhiri tulisan ini, kami berharap pemerintah (Provinsi/Kab/Kota) patut menjadikan berbagai moment untuk mengelolah tradisi mudik yang tidak hanya terjadi saat lebaran melainkan saat Natal, Paskah maupun liburan umum lainnya. Sebab, secara geografis NTT membutuhkan keragaman alat transportasi yang dalam mudik juga melibatkan sumberdaya lain didaerah jalur mudik. Keinginan untuk kembali membangun desa bukan sebuah trik-politik belaka dengan mengucurkan berbagai bantuan langsung. Potensi SDM di desa (aparatur desa) patut mendapat perhatian khusus berupa tunjangan tambahan sebab merekalah ujung tombang pembangunan.
Bagi sebagian saudara/i yang berniat ingin ‘mudik politik’, siapkanlah bekal sebanyak mungkin karena masyarakat didaerah masih sangat membutuhkan santunan anda yang tertunda selama anda tinggalkan. Jangan kemudian kembali meninggalkan konstituent jika sudah kalah dalam Pemilukada, teruslah merawat konstituen karena persahatan dan kekeluargaan bukan karena dukungan politik namun karena kita bersaudara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar