Minggu, 08 Januari 2017

Studi Kelayakan Pengembangan Ternak Sapi di Pulau Mules, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai


Studi Kelayakan Pengembangan Ternak Sapi di Pulau Mules, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai





BAB I
PENDAHULUAN




1.1.     Latar Belakang
Percepatan pembangunan nasional sampai ke tingkat pemerintahan yang paling rendah guna meningkatkan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat merupakan salah satu tujuan penerapan otonomi daerah. Dalam penerapan otonomi daerah maka setiap satuan wilayah pemerintahan dapat secara sendiri dan bertanggung jawab mengembangkan seluruh sumber daya dan potensi yang ada bagi kemajuan penduduknya. Dalam rangka pengembangan sumber daya potensial di seluruh wilayah maka pengetahuan tentang keunggulan wilayah, baik keungggulan komparatif (comparative advantage) maupun keunggulan kompetitif (competitive advantage) sangat diperlukan. Keunggulan-keunggulan dimaksud dapat terbaca melalui kondisi berbagai faktor pembentuk lingkungan usaha (business environment), baik itu lingkungan makro (macro environment) maupun lingkungan mikro (micro environment).
Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sub-sektor andalan yang merupakan keunggulan komparatif wilayah adalah sub-sektor peternakan. Sampai kini secara nasional NTT masih termasuk salah satu propinsi yang dijuluki sebagai “gudang ternak”, khususnya ternak besar (sapi, kerbau dan kuda). Selain untuk tujuan mencukupi kebutuhan daging secara lokal/regional, ternak besar asal NTT telah lama diantar-pulaukan ke berbagai propinsi lainnya untuk tujuan yang sama dan sebagai ternak bibit. Perekonomian Provinsi NTT secara sektoral, masih didominasi oleh aktivitas sektor pertanian. Pada triwulan I-2016 sebanyak 41,15% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTT berasal dari sektor pertanian. Apabila dilihat secara lebih khusus lagi, penggerak sektor pertanian ditopang oleh sub sektor tanaman pangan dan sub sektor peternakan. Pertumbuhan sub sektor peternakan pada triwulan II-2015 mencapai 15,35%; year on year, tertinggi di antara sub sektor pertanian lainnya.
Pertumbuhan perdagangan antar pulau keluar ternak sapi potong dari provinsi NTT relatif rendah hanya kurang lebih 0,85% per tahun, akan tetapi nilai pertumbuhan ini masih positip dibanding ternak kerbau, yang mengalami pertumbuhan negatif sebesar -6,15% per tahun. Untuk ternak kuda relatif lebih tinggi sebesar 10,89% per tahun. Jumlah perdagangan antar pulau keluar ternak sapi potong dari NTT biasanya didasarkan pada perhitungan kuota (alokasi) dengan mempertimbangkan struktur populasi, tingkat pertumbuhan dan kebutuhan daging domestik/lokal. Pada kurun waktu 2004-2013 jumlah realisasi ternak sapi potong yang diantar pulaukan rata-rata melebihi alokasi yakni sebesar 126,86%. Tingginya realisasi ini sebagai respon atas permintaan di luar wilayah NTT akibat meningkatnya kebutuhan daging dan juga untuk pengembangan lebih lanjut. Pada tahun 2004 jumlah alokasi sebesar 42.200 ekor sementara permintaan dan realisasi pengiriman mencapai 61.211 ekor. Pada tahun 2013 alokasi ditetapkan sebesar 69.000 ekor, sementara permintaan sedikit lebih rendah sehingga realisasi pengiriman hanya mencapai 60.528 ekor.
Berdasarkan kesamaan tahun ketersediaan data konsumsi daging sapi segar nasional pada tahun 2012 yakni rata-rata konsumsi per kapita per minggu sebanyak 0,007 kg, dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2012 sebanyak 244.775.796 jiwa, maka total konsumsi daging nasional diperkirakan sebanyak 89.098.390 kg. Total ternak sapi potong yang diperdagangkan keluar NTT pada tahun 2012 sebanyak 63.449 ekor dengan prakiraan daging segar yang dapat dihasilkan sebanyak 6.709.732 kg. Dengan mengkoreksi terhadap jumlah konsumsi daging sapi segar penduduk NTT pada tahun 2012 yang diperkirakan sebanyak 1.773.127 kg, maka kontribusi daging sapi segar asal NTT berdasarkan jumlah ternak sapi potong yang dikeluarkan untuk kebutuhan konsumsi nasional diperkirakan sebanyak 7,68%. Nilai ini dari sisi konsumsi daging nasional, merupakan peran penting yang dapat disumbangkan oleh ternak sapi potong asal NTT.
Pemenuhan permintaan daging sapi nasional yang terus meningkat, maka setiap tahun Indonesia harus mengimpor 450.000 ekor sapi, dari Australia dan Selandia Baru. Sisi lainnya, pemerintah ditugaskan untuk mampu memenuhi kebutuhan pangan warganya. Sesuai dengan apa yang dimintakan oleh PP No. 68/2002 bahwa ketahanan pangan bagi rumah tangga tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Kondisi berbeda berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan terlihat bahwa neraca produksi daging sapi nasional pada tahun 2015 diperkirakan hanya memenuhi 64,9% dari proyeksi kebutuhan konsumsi sepanjang tahun ini atau masih ada kekurangan sebesar 135.110 ton (35,1%) dari total kebutuhan daging. Dengan populasi 11,26 juta ekor, produksi daging nasional diperkirakan mencapai 249.925 ton sedangkan kebutuhan konsumsi daging diperkirakan mencapai 385.035 ton.
Berdasarkan informasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin), tercatat setiap tahun masyarakat Indonesia membutuhkan sekitar 350.000 sampai 400.000 ton daging sapi. Jumlah itu setara dengan 1,7-2 juta ekor sapi potong. Dari jumlah tersebut hingga saat ini Indonesia masih mengimpor sekitar 30% daging sapi. Kebijakan impor dilakukan dalam rangka mendukung kekurangan produksi dalam negeri (martinsihombing@bisnis.co.id)
Potensi pasar untuk usaha budidaya sapi potong di Indonesia masih terbuka luas. Bagi Provinsi NTT, yang merupakan salah satu daerah penghasil sapi, peluang tersebut perlu dimanfaatkan. Berdasarkan data BPS NTT [2015], jumlah ternak sapi di NTT paling banyak berada di wilayah Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan karena terhitung berdasarkan data series yang telah dikembangkan beberapa tahun silam.
Sesungguhnya total 544.482 ekor sapi, tercatat 260.406 ekor berada di dua Kabupaten tersebut namun potensi sumberdaya alam dan budaya peternakannya juga hampir sama dengan kegiatan peternakan sapi di Kabupaten Manggarai. Dari gambaran populasi di atas, maka pengkajian dengan lebih terfokus pada wilayah kabupaten potensial merupakan langkah penting, terutama dalam rangka mempercepat kemajuan pembangunan ekonomi wilayah tersebut dengan memacu sumberdaya potensial dalam hal ini pengembangan komoditas ternak sapi potong. Lebih jauh lagi pengkajian ini akan menjadi lebih strategis dengan mengkaji secara lebih terintegrasi, sejak dari proses produksi (aspek hulu) sampai proses pemasaran (hilir).
Lahan pengembangan usaha ternak sapi di Indonesia masih kurang. Peternakan yang dilaksanakan saat ini umumnya hanya dibangun dalam lahan yang sangat terbatas. Padahal Indonesia memiliki lahan baik berupa hutan maupun perkebunan yang cukup luas untuk bias dijadikan sebagai lahan peternakan. Posisi NTT sebagai pemasok utama sapi nasional telah tergeser oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia. Hal ini terjadi karena lambannya perkembangan ternak sapi di NTT. Penurunan populasi yang dilaporkan telah terjadi pada Tahun 1997 hingga 2000 dari 800 ribu menjadi hanya 453 ribu ekor (Littik, 2003)
Penurunan populasi yang terjadi pada kurun waktu tersebut banyak disebabkan oleh meningkatnya laju pengeluaran (off-take) melalui antar pulau maupun peningkatan jumlah ternak yang di potong jauh melampaui kapasitas produksi ternak sapi di daerahini (Jelantik, 2003). Kapasitas produksi selain ditentukan oleh populasi juga ditentukan oleh produktivitasnya. Produktivitas ternak sapi di NTT  sangat rendah yaitu hanya mencapai 9,45% dari total populasi. Beberapa factor yang menyebabkan rendahnya produktivitas ternak sapi antar lain menurunnya angka kelahiran dari 85% mejadi 64% (Wirdahyati 1998; Jelantik 2001; Jelantik dkk, 2003, 2004,2005), rendahnya laju pertumbuhan dan lamanya pencapaian bobot jual.
Kabupaten Manggarai walaupun mempunyai populasi ternak sapi yang cukup tinggi, namun mutu genetik ternak sapi yang ada termasuk relatif tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya di NTT. Hal ini diungkap dari hasil penelitian Manggol dkk. (2007) bahwa ternak sapi Bali yang ada di Kecamatan Satar Mese bermutu genetik tinggi karena kinerja fisik dan produktivitasnya tinggi, sehingga rasional dan tepat bagi kabupaten ini mengembangkan pusat pembibitan ternak sapi apalagi di Pulau tersendiri seperti di Desa Nuca Molas, Pulau Mules di Kecamatan Satar Mese Barat, yang memungkinkan tatakelola breeding dapat diterapkan secara optimal sehingga akan menghasilkan bibit-bibit sapi unggul untuk disebarluaskan kepada masyarakat di Kabupaten Manggarai maupun ke kabupaten lainnya di NTT. Justifikasi lain yang dapat menjadi petimbangan utama untuk dikembangkannya Desa Nuca Molas sebagai salah satu wilayah pengembangan pembibitan ternak sapi Bali khususnya, mengingat keberadaan wilayah tersebut cukup terisolir yang di dilingkupi oleh batas laut sehingga diperkirakan dapat menjadi barrier terhadap invasi berbagai jenis penyakit menular dari luar wilayah seperti brucellosis, anthrax, SE dan lain sebagainya. Demikian juga harapan untuk terciptanya suatu unit atau instalasi pelestraian plasma nutfah khususnya ternak sapi Bali merupaka suatu keniscayaan apabila kawasan tersebut dapat dikelola secara profesional dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip produktivitas, stabilitas dan keberlanjutan. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka kajian ini menjadi penting dan rekevan untuk dilaksanakan.
1.2.  Permasalahan
Kebijakan pembangunan peternakan  nasional pada hakekatnya merupakan upaya nyata untuk mendorong peningkatan produksi dan produktivitas nasional khususnya di bidang peternakan. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa sub sektor peternakan di Indonesia memiliki  potensi yang cukup besar sekaligus prospektif untuk dikembangkan.  Indonesia memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) yang tinggi di bidang peternakan sebagaimana tercermin dari potensi sumber daya ternak dan industri peternakan yang berbasis sumber daya lokal (resources based industries). Akan tetapi bahwa  terlepas dari posisi strategis sub sektor peternakan nasional yang ada, pada dasarnya masih banyak kendala dan tantangan yang dihadapi.  Berbagai permasalahan yang belum dapat diselesaikan antara lain : a) belum terciptanya efisiensi teknis dan ekonomis usaha pada sub sektor pertanian-peternakan; b) kondisi politik, ekonomi dan keamanan yang masih belum kondusif bagi para investor untuk berinvestasi pada sektor pertanian-peternakan; c) kondisi infrastruktur yang tidak memadai; d) kualitas SDM yang relatif rendah, dan e) kurangnya keberpihakan kebijakan pemerintah pada sektor-pertanian-peternakan (Daryanto, 2009).
Kebijakan pembangunan peternakan nasional umumnya masih bersifat top down. Kebijakan seperti ini pada akhirnya akan menyulitkan berbagai pihak, terutama  stakeholder yang terlibat di dalamnya. Untuk itu diperlukan formulasi strategi dan kebijakan yang komprehensif, sistematis, terintegrasi baik vertikal maupun horizontal, berdaya saing, berkelanjutan dan terdesentralisasi. Hal ini dimaksudkan agar terciptanya distribusi arahan wilayah pengembangan baru yang berbasis pada daya dukung wilayah dan masyarakat.   Yusdja dan Ilham (2006) mengatakan bahwa salah satu pendekatan yang dapat dipertimbangkan dan diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan pembangunan peternakan nasional adalah dengan pendekatan lokasi spesifik untuk ternak spesifik. Kebijakan ini ditentukan oleh kearifan lokal, kepadatan ternak, dan dukungan sumberdaya alam. Posisi lokasi tersebut menentukan sumbangan produksi hasil ternak untuk kebutuhan nasional. Manfaat strategis dengan pendekatan ini bahwa program dan permasalahan lebih mudah terlihat (proses induksi) sehingga rumusan program berikutnya untuk lokasi yang lebih luas akan lebih efektif  (proses deduksi). Dengan demikian upaya identifikasi wilayah pengembangan baru di luar Jawa dan berpotensi untuk mendukung pengembangan ternak sapi potong merupakan suatu strategi yang patut didorong pengembangannya secara efisien, efektif dan berkelanjutan.
Provinsi NTT umumnya dan Kabupaten Manggarai khususnya merupakan wilayah pengembangan baru di luar Jawa yang dapat diandalkan untuk dikembangkannya ternak sapi potong sebagai komoditi ekonomi penting dalam menopang percepatan pemenuhan kebutuhan nasional.  Bahkan ketika dipetakan kedalam wujud usaha pengembangan yakni pembibitan (breeding) dan penggemukan (fattening), tampaknya kabupaten Manggarai memiliki potensi yang dapat didorong pengembangannya secara lebih optimal. Hal ini didasarkan pada pemahaman serta pengalaman di banyak wilayah lain di Jawa, bahwa umumnya wilayah dengan potensi pertanian tanaman pangan yang maju sering berkorelasi dengan tingkat perkembangan usaha ternak sapi potong yang lebih baik dibanding dengan wilayah dengan potensi pertanian tanaman pangan yang kurang maju.
Salah satu bagian wilayah kecamatan di Kabupaten Manggarai yang cukup potensial untuk mendukung pengembangan ternak sapi potong adalah kecamatan Satar Mese Barat, dengan Pulau Mules sebagai wilayah sentra pengembangannya. Kondisi tersebut diperkuat dengan kenyataan bahwa wilayah ini merupakan suatu pulau yang terlokalisir bahkan secara aktual memiliki jalur pelindung alamiah berupa laut untuk meredam invasi penyakit ternak menular yang berasal dari luar wilayah. Selain itu juga bahwa uaha ternak sapi potong oleh masyarakat setempat telah merupakan salah satu pilihan usaha di samping usaha kelautan dan perikanan. Untuk itu pertanyaan mendasar yang diajukan dan merupakan permasalahan pokok dalam kajian ini adalah :
1.    Apakah wilayah pulau Mules di Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai cukup potensial untuk dijadikan sebagai kawasan pengembangan ternak sapi potong ?
2.    Apakah potensi sumberdaya alam yang tersedia di wilayah pulau Mules, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai layak untuk dijadikan sebagai kawasan pengembangan usaha pembibitan ternak sapi potong, khususnya ternak sapi Bali ?.
1.3.     Tujuan
Tujuan dari pengkajian ini adalah :
1.      Mengidentifikasi dan menganalisis potensi sumberdaya yang ada dan tersebar di pulau Mules, kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai untuk mendukung pengembangan ternak sapi potong.
2.      Menganalisis kelayakan lokasi khususnya di wilayah desa Pulau Mules, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai yang ditinjau dari aspek potensi fisik, ekonomis, lingkungan dan sosial kelembagaan untuk mendukung  pengembangan unit instalasi pembibitan ternak sapi Bali.

1.4.     Keluaran
Keluaran dari kegiatan pengkajian ini adalah tersedianya dokumen tentang kelayakan pengembangan unit instalasi pembibitan ternak sapi Bali di Desa Nuca Molas, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai yang dapat dijadikan sebagai basis informasi untuk implementasi program pengembangan selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar