Studi Kelayakan Pengembangan Ternak Sapi di Pulau Mules, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Percepatan pembangunan nasional sampai ke tingkat
pemerintahan yang paling rendah guna meningkatkan kesejahteraan seluruh anggota
masyarakat merupakan salah satu tujuan penerapan otonomi daerah. Dalam
penerapan otonomi daerah maka setiap satuan wilayah pemerintahan dapat secara
sendiri dan bertanggung jawab mengembangkan seluruh sumber daya dan potensi
yang ada bagi kemajuan penduduknya. Dalam rangka pengembangan sumber daya
potensial di seluruh wilayah maka pengetahuan tentang keunggulan wilayah, baik
keungggulan komparatif (comparative
advantage) maupun keunggulan kompetitif (competitive advantage) sangat diperlukan. Keunggulan-keunggulan
dimaksud dapat terbaca melalui kondisi berbagai faktor pembentuk lingkungan usaha
(business environment), baik itu
lingkungan makro (macro environment)
maupun lingkungan mikro (micro
environment).
Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT),
sub-sektor andalan yang merupakan keunggulan komparatif wilayah adalah
sub-sektor peternakan. Sampai kini secara nasional NTT masih termasuk salah
satu propinsi yang dijuluki sebagai “gudang
ternak”, khususnya ternak besar (sapi, kerbau dan kuda). Selain untuk
tujuan mencukupi kebutuhan daging secara lokal/regional, ternak besar asal NTT
telah lama diantar-pulaukan ke berbagai propinsi lainnya untuk tujuan yang sama
dan sebagai ternak bibit. Perekonomian
Provinsi NTT secara sektoral, masih didominasi oleh aktivitas sektor pertanian.
Pada triwulan I-2016 sebanyak 41,15% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTT
berasal dari sektor pertanian. Apabila dilihat secara lebih khusus lagi,
penggerak sektor pertanian ditopang oleh sub sektor tanaman pangan dan sub
sektor peternakan. Pertumbuhan sub sektor peternakan pada triwulan II-2015
mencapai 15,35%; year on year,
tertinggi di antara sub sektor pertanian lainnya.
Pertumbuhan perdagangan antar
pulau keluar ternak sapi potong dari provinsi NTT relatif rendah hanya kurang
lebih 0,85% per tahun, akan tetapi nilai pertumbuhan ini masih positip
dibanding ternak kerbau, yang mengalami pertumbuhan negatif sebesar -6,15% per
tahun. Untuk ternak kuda relatif lebih tinggi sebesar 10,89% per tahun. Jumlah
perdagangan antar pulau keluar ternak sapi potong dari NTT biasanya didasarkan
pada perhitungan kuota (alokasi) dengan mempertimbangkan struktur populasi,
tingkat pertumbuhan dan kebutuhan daging domestik/lokal. Pada kurun waktu
2004-2013 jumlah realisasi ternak sapi potong yang diantar pulaukan rata-rata
melebihi alokasi yakni sebesar 126,86%. Tingginya realisasi ini sebagai respon
atas permintaan di luar wilayah NTT akibat meningkatnya kebutuhan daging dan
juga untuk pengembangan lebih lanjut. Pada tahun 2004 jumlah alokasi sebesar
42.200 ekor sementara permintaan dan realisasi pengiriman mencapai 61.211 ekor.
Pada tahun 2013 alokasi ditetapkan sebesar 69.000 ekor, sementara permintaan
sedikit lebih rendah sehingga realisasi pengiriman hanya mencapai 60.528 ekor.
Berdasarkan kesamaan tahun
ketersediaan data konsumsi daging sapi segar nasional pada tahun 2012 yakni rata-rata
konsumsi per kapita per minggu sebanyak 0,007 kg, dengan jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 2012 sebanyak 244.775.796 jiwa, maka total konsumsi daging
nasional diperkirakan sebanyak 89.098.390 kg. Total ternak sapi potong yang
diperdagangkan keluar NTT pada tahun 2012 sebanyak 63.449 ekor dengan prakiraan
daging segar yang dapat dihasilkan sebanyak 6.709.732 kg. Dengan mengkoreksi
terhadap jumlah konsumsi daging sapi segar penduduk NTT pada tahun 2012 yang
diperkirakan sebanyak 1.773.127 kg, maka kontribusi daging sapi segar asal NTT
berdasarkan jumlah ternak sapi potong yang dikeluarkan untuk kebutuhan konsumsi
nasional diperkirakan sebanyak 7,68%. Nilai ini dari sisi konsumsi daging
nasional, merupakan peran penting yang dapat disumbangkan oleh ternak sapi
potong asal NTT.
Pemenuhan permintaan daging sapi nasional yang terus meningkat, maka
setiap tahun Indonesia harus mengimpor 450.000 ekor sapi, dari Australia dan
Selandia Baru. Sisi lainnya, pemerintah ditugaskan untuk mampu memenuhi
kebutuhan pangan warganya. Sesuai dengan apa yang dimintakan oleh PP No.
68/2002 bahwa ketahanan pangan bagi rumah tangga tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Kondisi berbeda berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan terlihat bahwa
neraca produksi daging sapi nasional pada tahun 2015 diperkirakan hanya
memenuhi 64,9% dari proyeksi kebutuhan konsumsi sepanjang tahun ini atau masih
ada kekurangan sebesar 135.110 ton (35,1%) dari total kebutuhan daging. Dengan
populasi 11,26 juta ekor, produksi daging nasional diperkirakan mencapai
249.925 ton sedangkan kebutuhan konsumsi daging diperkirakan mencapai 385.035
ton.
Berdasarkan informasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin), tercatat setiap
tahun masyarakat Indonesia membutuhkan sekitar 350.000 sampai 400.000 ton
daging sapi. Jumlah itu setara dengan 1,7-2 juta ekor sapi potong. Dari jumlah
tersebut hingga saat ini Indonesia masih mengimpor sekitar 30% daging sapi.
Kebijakan impor dilakukan dalam rangka mendukung kekurangan produksi dalam
negeri (martinsihombing@bisnis.co.id)
Potensi pasar untuk usaha budidaya sapi potong di Indonesia masih
terbuka luas. Bagi Provinsi NTT, yang merupakan salah satu daerah penghasil
sapi, peluang tersebut perlu dimanfaatkan. Berdasarkan data BPS NTT [2015],
jumlah ternak sapi di NTT paling banyak berada di wilayah Kabupaten Kupang dan
Timor Tengah Selatan karena terhitung berdasarkan data series yang telah
dikembangkan beberapa tahun silam.
Sesungguhnya total 544.482 ekor sapi, tercatat 260.406 ekor berada di
dua Kabupaten tersebut namun potensi sumberdaya alam dan budaya peternakannya
juga hampir sama dengan kegiatan peternakan sapi di Kabupaten Manggarai. Dari
gambaran populasi di atas, maka pengkajian dengan lebih terfokus pada wilayah
kabupaten potensial merupakan langkah penting, terutama dalam rangka
mempercepat kemajuan pembangunan ekonomi wilayah tersebut dengan memacu
sumberdaya potensial dalam hal ini pengembangan komoditas ternak sapi potong.
Lebih jauh lagi pengkajian ini akan menjadi lebih strategis dengan mengkaji
secara lebih terintegrasi, sejak dari proses produksi (aspek hulu) sampai
proses pemasaran (hilir).
Lahan pengembangan usaha
ternak sapi di Indonesia masih kurang. Peternakan yang dilaksanakan saat ini
umumnya hanya dibangun dalam lahan yang sangat terbatas. Padahal Indonesia
memiliki lahan baik berupa hutan maupun perkebunan yang cukup luas untuk bias
dijadikan sebagai lahan peternakan. Posisi NTT sebagai pemasok utama sapi nasional
telah tergeser oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia. Hal ini terjadi karena
lambannya perkembangan ternak sapi di NTT. Penurunan populasi yang dilaporkan
telah terjadi pada Tahun 1997 hingga 2000 dari 800 ribu menjadi hanya 453 ribu
ekor (Littik, 2003)
Penurunan populasi yang terjadi pada kurun waktu tersebut banyak
disebabkan oleh meningkatnya laju pengeluaran (off-take) melalui antar pulau maupun peningkatan jumlah ternak yang
di potong jauh melampaui kapasitas produksi ternak sapi di daerahini (Jelantik,
2003). Kapasitas produksi selain ditentukan oleh populasi juga ditentukan oleh
produktivitasnya. Produktivitas ternak sapi di NTT sangat rendah yaitu hanya mencapai 9,45% dari
total populasi. Beberapa factor yang menyebabkan rendahnya produktivitas ternak
sapi antar lain menurunnya angka kelahiran dari 85% mejadi 64%
(Wirdahyati 1998; Jelantik 2001; Jelantik dkk, 2003, 2004,2005), rendahnya
laju pertumbuhan dan lamanya pencapaian bobot jual.
Kabupaten Manggarai walaupun mempunyai populasi ternak sapi yang cukup
tinggi, namun mutu genetik ternak sapi yang ada termasuk relatif tinggi
dibandingkan dengan kabupaten lainnya di NTT. Hal ini diungkap dari hasil
penelitian Manggol dkk. (2007) bahwa ternak sapi Bali yang ada di Kecamatan
Satar Mese bermutu genetik tinggi karena kinerja fisik dan produktivitasnya
tinggi, sehingga rasional dan tepat bagi kabupaten ini mengembangkan pusat
pembibitan ternak sapi apalagi di Pulau tersendiri seperti di Desa Nuca Molas,
Pulau Mules di Kecamatan Satar Mese Barat, yang memungkinkan tatakelola breeding dapat diterapkan secara optimal
sehingga akan menghasilkan bibit-bibit sapi unggul untuk disebarluaskan kepada
masyarakat di Kabupaten Manggarai maupun ke kabupaten lainnya di NTT.
Justifikasi lain yang dapat menjadi petimbangan utama untuk dikembangkannya
Desa Nuca Molas sebagai salah satu wilayah pengembangan pembibitan ternak sapi
Bali khususnya, mengingat keberadaan wilayah tersebut cukup terisolir yang di
dilingkupi oleh batas laut sehingga diperkirakan dapat menjadi barrier terhadap invasi berbagai jenis
penyakit menular dari luar wilayah seperti brucellosis, anthrax, SE dan lain
sebagainya. Demikian juga harapan untuk terciptanya suatu unit atau instalasi
pelestraian plasma nutfah khususnya ternak sapi Bali merupaka suatu keniscayaan
apabila kawasan tersebut dapat dikelola secara profesional dengan tetap
mengedepankan prinsip-prinsip produktivitas, stabilitas dan keberlanjutan.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka kajian ini menjadi penting dan
rekevan untuk dilaksanakan.
1.2. Permasalahan
Kebijakan pembangunan peternakan nasional pada hakekatnya merupakan upaya
nyata untuk mendorong peningkatan produksi dan produktivitas nasional khususnya
di bidang peternakan. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa sub sektor
peternakan di Indonesia memiliki potensi
yang cukup besar sekaligus prospektif untuk dikembangkan. Indonesia memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) yang tinggi di
bidang peternakan sebagaimana tercermin dari potensi sumber daya ternak dan
industri peternakan yang berbasis sumber daya lokal (resources based industries). Akan tetapi bahwa terlepas dari posisi strategis sub sektor
peternakan nasional yang ada, pada dasarnya masih banyak kendala dan tantangan
yang dihadapi. Berbagai permasalahan
yang belum dapat diselesaikan antara lain : a) belum terciptanya efisiensi
teknis dan ekonomis usaha pada sub sektor pertanian-peternakan; b) kondisi
politik, ekonomi dan keamanan yang masih belum kondusif bagi para investor untuk
berinvestasi pada sektor pertanian-peternakan; c) kondisi infrastruktur yang
tidak memadai; d) kualitas SDM yang relatif rendah, dan e) kurangnya
keberpihakan kebijakan pemerintah pada sektor-pertanian-peternakan (Daryanto, 2009).
Kebijakan pembangunan peternakan nasional umumnya masih bersifat top
down. Kebijakan seperti ini pada akhirnya akan menyulitkan berbagai pihak,
terutama stakeholder yang
terlibat di dalamnya. Untuk itu diperlukan formulasi strategi dan kebijakan
yang komprehensif, sistematis, terintegrasi baik vertikal maupun horizontal,
berdaya saing, berkelanjutan dan terdesentralisasi. Hal ini dimaksudkan agar
terciptanya distribusi arahan wilayah pengembangan baru yang berbasis pada daya
dukung wilayah dan masyarakat. Yusdja
dan Ilham (2006) mengatakan bahwa salah satu pendekatan yang dapat
dipertimbangkan dan diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan
pembangunan peternakan nasional adalah dengan pendekatan lokasi spesifik untuk
ternak spesifik. Kebijakan ini ditentukan oleh kearifan lokal, kepadatan
ternak, dan dukungan sumberdaya alam. Posisi lokasi tersebut menentukan
sumbangan produksi hasil ternak untuk kebutuhan nasional. Manfaat strategis
dengan pendekatan ini bahwa program dan permasalahan lebih mudah terlihat
(proses induksi) sehingga rumusan program berikutnya untuk lokasi yang lebih
luas akan lebih efektif (proses
deduksi). Dengan demikian upaya identifikasi wilayah pengembangan baru di luar
Jawa dan berpotensi untuk mendukung pengembangan ternak sapi potong merupakan
suatu strategi yang patut didorong pengembangannya secara efisien, efektif dan
berkelanjutan.
Provinsi NTT umumnya dan Kabupaten Manggarai khususnya merupakan wilayah
pengembangan baru di luar Jawa yang dapat diandalkan untuk dikembangkannya
ternak sapi potong sebagai komoditi ekonomi penting dalam menopang percepatan
pemenuhan kebutuhan nasional. Bahkan
ketika dipetakan kedalam wujud usaha pengembangan yakni pembibitan (breeding) dan penggemukan (fattening), tampaknya kabupaten
Manggarai memiliki potensi yang dapat didorong pengembangannya secara lebih
optimal. Hal ini didasarkan pada pemahaman serta pengalaman di banyak wilayah
lain di Jawa, bahwa umumnya wilayah dengan potensi pertanian tanaman pangan
yang maju sering berkorelasi dengan tingkat perkembangan usaha ternak sapi
potong yang lebih baik dibanding dengan wilayah dengan potensi pertanian
tanaman pangan yang kurang maju.
Salah satu bagian wilayah kecamatan di Kabupaten Manggarai yang cukup
potensial untuk mendukung pengembangan ternak sapi potong adalah kecamatan
Satar Mese Barat, dengan Pulau Mules sebagai wilayah sentra pengembangannya. Kondisi
tersebut diperkuat dengan kenyataan bahwa wilayah ini merupakan suatu pulau
yang terlokalisir bahkan secara aktual memiliki jalur pelindung alamiah berupa
laut untuk meredam invasi penyakit ternak menular yang berasal dari luar
wilayah. Selain itu juga bahwa uaha ternak sapi potong oleh masyarakat setempat
telah merupakan salah satu pilihan usaha di samping usaha kelautan dan
perikanan. Untuk itu pertanyaan mendasar yang diajukan dan merupakan
permasalahan pokok dalam kajian ini adalah :
1.
Apakah wilayah pulau Mules di Kecamatan Satar Mese
Barat, Kabupaten Manggarai cukup potensial untuk dijadikan sebagai kawasan
pengembangan ternak sapi potong ?
2.
Apakah potensi sumberdaya alam yang tersedia di
wilayah pulau Mules, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai layak
untuk dijadikan sebagai kawasan pengembangan usaha pembibitan ternak sapi
potong, khususnya ternak sapi Bali ?.
1.3.
Tujuan
Tujuan dari pengkajian ini adalah :
1.
Mengidentifikasi
dan menganalisis
potensi sumberdaya yang ada dan tersebar di pulau Mules, kecamatan Satar Mese
Barat, Kabupaten Manggarai untuk mendukung pengembangan ternak sapi potong.
2.
Menganalisis kelayakan lokasi khususnya di wilayah
desa Pulau Mules, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai yang ditinjau
dari aspek potensi fisik, ekonomis, lingkungan dan sosial kelembagaan untuk mendukung
pengembangan unit instalasi pembibitan
ternak sapi Bali.
1.4.
Keluaran
Keluaran dari kegiatan pengkajian
ini adalah tersedianya dokumen tentang kelayakan pengembangan unit instalasi pembibitan
ternak sapi Bali di Desa Nuca Molas, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten
Manggarai yang dapat dijadikan sebagai basis informasi untuk implementasi
program pengembangan selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar