Minggu, 08 Januari 2017

KOMPETENSI GURU, SEBUAH KENISCAYAAN



KOMPETENSI GURU,
SEBUAH KENISCAYAAN

Hamza H. Wulakada


Guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Tuntutan peran guru tersebut diperkuat dengan pencanangan “Guru sebagai Profesi” sebagaimana UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Menurut UU No.14 Tahun 2005 pasal 1 (ayat 1), guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Makna profesional dalam undang-undang tersebut adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Guru profesional sebagaimana dinyatakan dalam UU No.14 Tahun 2005 pasal 10 wajib memiliki kualifikasi akademik, sertifikat pendidik dan kompetensi yang meliputi ranah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi tersebut menjadi jati diri guru profesional sehingga harus dipelihara dan dikembangkan secara terus menerus agar guru tersebut senantiasa mampu menciptakan proses pembelajaran yang efektif. Pembelajaran yang efektif akan menghasilkan lulusan satuan pendidikan yang berkualitas, yakni insan Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan YME, unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki jiwa estetis, etis, berbudi pekerti luhur, dan berkepribadian.
Menurut Suyanto dan Jihad (2013) secara umum ada tiga tugas guru sebagai profesi, yakni mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup, mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan untuk kehidupan siswa.  Sedangkan menurut UU No.14 Tahun 2015 pada pasal 1 (ayat 1), tugas utama guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Berbagai tugas dimaksud kemudian peran guru sebagaimana di kemukakan oleh Soedidardjo [2013] diantaranya guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, pelatih, penasehat, model, pribadi, pendorong kreatifitas, pekerja rutin dan evaluator.
Mengingat tugas dan peran guru yang begitu kompleks, maka untuk melaksanakannya diperlukan sejumlah kompetensi sebagai bagian dari profesionalisme guru. Kompetensi dalam bahasa Inggris antara lain bermakna “competence (n) is being competen, ability (to do the work)”  bahwa kompetensi itu pada dasarnya menunjukkan kepada kecakapan atau kemampuan untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan (Saud:2010:44).
McLeod (dalam Suyanto dan Jihad, 2013:1) mendefinisikan kompetensi sebagai perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan.  Menurut UU No.14 Tahun 2005 pasal 1 (ayat 10), kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, dinyatakan bahwa kompetensi guru terdiri dari empat ranah kompetensi, yakni ranah kompetensi pedagogik, ranah kompetensi kepribadian, ranah kompetensi sosial dan ranah kompetensi profesional. Ranah kompetensi pedagogik terdiri dari 10 (sepuluh) kompetensi yakni: (1) menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual; (2) menguasai teori belajar dan prinsip pembelajaran yang mendidik;  (3) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu; (4) menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang mendidik; (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik; (6) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki; (7) berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik; (8) menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar; (9) memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran; (10) melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Sedangkan ranah kompetensi kepribadian meliputi 5 (lima) kompetensi yakni:  (1) bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia; (2) menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (3) menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa; (4) menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri; (5) menjunjung tinggi kode etik profesi guru.  Adapun ranah kompetensi sosial mencakup 4 (empat) kompetensi yakni:  (1) bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi; (2) berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat; (3) beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya; (4) berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
Sementara ranah kompetensi profesional terdiri dari 5 (lima) kompetensi yakni:    (1) menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu; (2) menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu; (3) mengembangkan materi pembelajaran yang diampuh secara kreatif; (4) mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif; (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri. Secara keseluruhan ada 24 (dua puluh empat) kompetensi yang dipersyaratkan untuk dikuasai guru dalam pengelolaan pembelajaran.
Kondisi eksisting menunjukah bahwa total guru peserta UKG tahun 2012 sebanyak 17.257. Hasil UKG yang dilaksanakan secara online berada di bawah rata-rata nasional. Hal ini diketahui melalui perhitungan rata-rata dari masing-masing tingkat pendidikan dibandingkan dengan nilai rata-rata nasional per tingkat pendidikan tersebut. Setingkat TK, nilai rata-rata NTT yakni 42,02, sementara rata-rata nasional 45,86 dan menempatkan NTT berada di urutan ke-22 dari 33 provinsi di  Indonesia. Untuk tingkat SD, NTT memperoleh nilai rata-rata yakni 37,95.  Rata-rata nasional 42,6  dan secara nasional NTT menempati urutan 28 dari 33 provinsi. Sedangkan untuk SMP, nilai rata-rata 43,40 dengan rata-rata nasional 49,57  dan berada di urutan 28. Sementara tingkat SMA, nilai rata-rata 41,56 berada di bawah rata-rata nasional 46,76. Sedangkan SMK, nilai rata-rata 43,19 dengan rata-rata nasional 47,79 dan NTT menempati urutan 27 dari 33 provinsi [LPMP NTT, 2013].
Kondisi ini kemudian diintervensi dengan berbagai kebijakan nasional maupun lokal melalui berbagai kebijakan penganggaran, dukungan regulasi dan politis. Berjalan dua tahun kemudian [2013 ke 2015], LPMP merilis bahwa hasil analisis sementara UKG secara nasional memprosisikan Provinsi NTT pada urutan ke 23 dari 34 provinsi se-Indonesia dengan nilai UKG pada tahun 2015 sebesar 47,07. Hasil rata-rata UKG tiap jenjangnnya berturut turut untuk guru TK paling tinggi rata -ratanya diikuti guru SMA, guru SMK, Guru SMP, Guru SD dan paling akhir guru SLB. Sedangkan dari sisi usia, nilai tertinggi dicapai pada guru dengan kelompok usia 30 tahun sampai 41 tahun. sedangkan kelompok usai 41 tahun sampai 50 tahun dan 51 tahun sampai 56 tahun mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingginya nilai UKG berkorelasi positif dengan kemampuan menggunakan perangkat teknologi [IT], bila asumsi yang terbangun adalah partisipasi dan kemampuan teknokratik guru berusia muda lebih tinggi dibanding guru seniornya.
Kondisi ini dapat diduga bahwa rendahnya kompetensi guru disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; (1) diklat yang diikuti oleh guru selama ini tidak didahului dengan analisis kebutuhan diklat sehingga materi yang disampaikan dalam diklat tersebut tidak berbasis kebutuhan, dalam arti bahwa materi diklat tidak menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh guru;  (2) tidak dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap guru-guru alumni diklat untuk melihat implementasi hasil diklat sebagai dasar untuk melakukan pembinaan lebih lanjut; (3) upaya peningkatan kompetensi guru selama ini tidak dilakukan secara berkelanjutan, sehingga kompetensi guru tidak terpelihara dan dikembangkan dengan baik; (4) belum semua guru memperoleh kesempatan yang sama untuk mengikuti diklat, sementara KKG dan MGMP sebagai wadah pembinaan guru tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh guru untuk meningkatkan kompetensinya;
Selanjutnya penyebab selanjutnya, adalah; (5) tidak adanya penilaian kinerja terhadap guru secara komprehensif dan berkelanjutan untuk dijadikan dasar dalam mempromosikan guru tersebut, baik untuk diangkat menjadi kepala sekolah maupun untuk kenaikan pangkat/jabatan sehingga tidak ada tantangan bagi guru untuk meningkatkan kompetensinya;  (6) kurangnya komitmen guru dalam menjalankan tugas, hal ini dibuktikan dengan banyaknya guru yang tidak membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau hanya mengcopy RPP dari guru/sekolah lain, tidak melakukan analisis hasil belajar siswa, tidak melakukan pembelajaran remedial dan/atau pengayaan, dan sebagainya; (7) belum berkembangnya budaya membaca di kalangan guru.
Terlepas dari dugaan faktoral dimaksud, hal mendasar tentang instrumen pengukuran kompetensi guru cenderung mengedepankan penggunaan perangkat teknologi [komputerais]. Sementara target indikatornya terdiri dari empat ranah kompetensi, yakni ranah kompetensi pedagogik, ranah kompetensi kepribadian, ranah kompetensi sosial dan ranah kompetensi profesional  tidak disiapkan instrumen yang dijadikan tolok ukur nilai UKG. Hal lainnya yang tidak tampak dipermukaan dalam faktor yang menghambat meningkatnya nilai total dan rata adalah partisipasi publik dalam memberikan nilai terhadap guru dan mendukung keberlangsungan kegiatan kependidikan. Seiring dengan kondisi ini, otoritas pengelolaan jenjang pendidikan setingkat SMA/MA/SMK juga telah dialihkan tanggung jawab pengelolaannya kepada provinsi. Hal inilah akan menambah sederet beban yang harus ditanggung guru karena fungsi pengawasan dan pengendalian kualitas guru tidak terkontrol secara publis bagi kelompok masyarakat sekitarnya.
Berbagai kasus melibatkan guru sebagai pelaku kriminalisasi pemikiran dan bahkan fisik namun tidak diimbangi dengan upaya mendorong tanggung jawab masyarakat dalam mendidik anak didiknya. Masalahnya adalah kompetensi guru yang sedang diupayakan terus meningkat justru tidak ditopang oleh peningkatan peran sosial kemasyarakatan untuk mendorong peserta didik agar terus meningkatkan kapasitasnya. Kondisi ini yang patut diwaspadai agar tidak salah dalam mengambil tindakan dan kebijakan di tingkat daerah dalam mencapai target secara nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar