KOMPETENSI GURU,
SEBUAH KENISCAYAAN
Hamza H. Wulakada
Guru sebagai ujung tombak pelaksanaan
pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa. Tuntutan peran guru tersebut diperkuat dengan pencanangan “Guru sebagai
Profesi” sebagaimana UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Menurut
UU No.14 Tahun 2005 pasal 1 (ayat 1), guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Makna profesional dalam undang-undang tersebut
adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang
memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Guru profesional sebagaimana dinyatakan dalam UU No.14 Tahun 2005 pasal 10
wajib memiliki kualifikasi akademik, sertifikat pendidik dan kompetensi yang
meliputi ranah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial,
dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kompetensi tersebut menjadi jati diri guru profesional sehingga harus
dipelihara dan dikembangkan secara terus menerus agar guru tersebut senantiasa
mampu menciptakan proses pembelajaran yang efektif. Pembelajaran yang efektif
akan menghasilkan lulusan satuan pendidikan yang berkualitas, yakni insan
Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan YME, unggul dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi, memiliki jiwa estetis, etis, berbudi pekerti luhur, dan
berkepribadian.
Menurut Suyanto dan Jihad (2013) secara umum
ada tiga tugas guru sebagai profesi, yakni mendidik, mengajar, dan melatih.
Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup, mengajar
berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, melatih berarti
mengembangkan keterampilan-keterampilan untuk kehidupan siswa. Sedangkan menurut UU No.14 Tahun 2015 pada
pasal 1 (ayat 1), tugas utama guru adalah mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Berbagai tugas
dimaksud kemudian peran guru sebagaimana di kemukakan oleh Soedidardjo [2013]
diantaranya guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, pelatih,
penasehat, model, pribadi, pendorong kreatifitas, pekerja rutin dan evaluator.
Mengingat tugas dan peran guru yang begitu
kompleks, maka untuk melaksanakannya diperlukan sejumlah kompetensi sebagai
bagian dari profesionalisme guru. Kompetensi dalam bahasa Inggris antara lain
bermakna “competence (n) is being competen, ability (to do the work)” bahwa kompetensi itu pada dasarnya
menunjukkan kepada kecakapan atau kemampuan untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan
(Saud:2010:44).
McLeod (dalam Suyanto dan Jihad, 2013:1)
mendefinisikan kompetensi sebagai perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan
yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Menurut UU No.14 Tahun 2005 pasal 1 (ayat
10), kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang
harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan
tugas keprofesionalan.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru, dinyatakan bahwa kompetensi guru terdiri dari empat ranah
kompetensi, yakni ranah kompetensi pedagogik, ranah kompetensi kepribadian,
ranah kompetensi sosial dan ranah kompetensi profesional. Ranah kompetensi
pedagogik terdiri dari 10 (sepuluh) kompetensi yakni: (1) menguasai karakteristik
peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan
intelektual; (2) menguasai teori belajar dan prinsip pembelajaran yang
mendidik; (3) mengembangkan kurikulum
yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu; (4) menyelenggarakan
kegiatan pembelajaran yang mendidik; (5) memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang
mendidik; (6) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki; (7) berkomunikasi secara
efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik; (8) menyelenggarakan
penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar; (9) memanfaatkan hasil
penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran; (10) melakukan tindakan
reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Sedangkan ranah kompetensi kepribadian meliputi
5 (lima) kompetensi yakni: (1) bertindak
sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia;
(2) menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan
bagi peserta didik dan masyarakat; (3) menampilkan diri sebagai pribadi yang
mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa; (4) menunjukkan etos kerja,
tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri;
(5) menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
Adapun ranah kompetensi sosial mencakup 4 (empat) kompetensi yakni: (1) bersikap inklusif, bertindak objektif,
serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras,
kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi; (2)
berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik,
tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat; (3) beradaptasi di tempat
bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial
budaya; (4) berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain
secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
Sementara ranah kompetensi profesional terdiri
dari 5 (lima) kompetensi yakni: (1)
menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata
pelajaran yang diampu; (2) menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar
mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu; (3) mengembangkan materi
pembelajaran yang diampuh secara kreatif; (4) mengembangkan keprofesionalan
secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif; (5) memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
Secara keseluruhan ada 24 (dua puluh empat) kompetensi yang dipersyaratkan
untuk dikuasai guru dalam pengelolaan pembelajaran.
Kondisi eksisting menunjukah bahwa total guru
peserta UKG tahun 2012 sebanyak 17.257. Hasil UKG yang dilaksanakan secara
online berada di bawah rata-rata nasional. Hal ini diketahui melalui perhitungan
rata-rata dari masing-masing tingkat pendidikan dibandingkan dengan nilai
rata-rata nasional per tingkat pendidikan tersebut. Setingkat TK, nilai
rata-rata NTT yakni 42,02, sementara rata-rata nasional 45,86 dan menempatkan
NTT berada di urutan ke-22 dari 33 provinsi di Indonesia. Untuk tingkat
SD, NTT memperoleh nilai rata-rata yakni 37,95. Rata-rata nasional
42,6 dan secara nasional NTT menempati urutan 28 dari 33 provinsi.
Sedangkan untuk SMP, nilai rata-rata 43,40 dengan rata-rata nasional
49,57 dan berada di urutan 28. Sementara tingkat SMA, nilai rata-rata
41,56 berada di bawah rata-rata nasional 46,76. Sedangkan SMK, nilai rata-rata
43,19 dengan rata-rata nasional 47,79 dan NTT menempati urutan 27 dari 33
provinsi [LPMP NTT, 2013].
Kondisi ini kemudian diintervensi dengan berbagai kebijakan
nasional maupun lokal melalui berbagai kebijakan penganggaran, dukungan
regulasi dan politis. Berjalan dua tahun kemudian [2013 ke 2015], LPMP merilis
bahwa hasil
analisis sementara UKG secara nasional memprosisikan Provinsi NTT pada urutan
ke 23 dari 34 provinsi se-Indonesia dengan nilai UKG pada tahun 2015 sebesar
47,07. Hasil rata-rata UKG tiap jenjangnnya berturut turut untuk guru TK paling
tinggi rata -ratanya diikuti guru SMA, guru SMK, Guru SMP, Guru SD dan paling akhir guru SLB. Sedangkan dari
sisi usia, nilai tertinggi dicapai pada guru dengan kelompok usia 30 tahun
sampai 41 tahun. sedangkan kelompok usai 41 tahun sampai 50 tahun dan 51 tahun
sampai 56 tahun mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingginya
nilai UKG berkorelasi positif dengan kemampuan menggunakan perangkat teknologi
[IT], bila asumsi yang terbangun adalah partisipasi dan kemampuan teknokratik
guru berusia muda lebih tinggi dibanding guru seniornya.
Kondisi ini dapat diduga bahwa rendahnya
kompetensi guru disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; (1) diklat yang
diikuti oleh guru selama ini tidak didahului dengan analisis kebutuhan diklat
sehingga materi yang disampaikan dalam diklat tersebut tidak berbasis
kebutuhan, dalam arti bahwa materi diklat tidak menyelesaikan permasalahan yang
dialami oleh guru; (2) tidak dilakukan
monitoring dan evaluasi terhadap guru-guru alumni diklat untuk melihat implementasi
hasil diklat sebagai dasar untuk melakukan pembinaan lebih lanjut; (3) upaya
peningkatan kompetensi guru selama ini tidak dilakukan secara berkelanjutan,
sehingga kompetensi guru tidak terpelihara dan dikembangkan dengan baik; (4)
belum semua guru memperoleh kesempatan yang sama untuk mengikuti diklat,
sementara KKG dan MGMP sebagai wadah pembinaan guru tidak dimanfaatkan secara
maksimal oleh guru untuk meningkatkan kompetensinya;
Selanjutnya penyebab selanjutnya, adalah; (5)
tidak adanya penilaian kinerja terhadap guru secara komprehensif dan
berkelanjutan untuk dijadikan dasar dalam mempromosikan guru tersebut, baik
untuk diangkat menjadi kepala sekolah maupun untuk kenaikan pangkat/jabatan
sehingga tidak ada tantangan bagi guru untuk meningkatkan kompetensinya; (6) kurangnya komitmen guru dalam menjalankan
tugas, hal ini dibuktikan dengan banyaknya guru yang tidak membuat Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau hanya mengcopy RPP dari guru/sekolah lain,
tidak melakukan analisis hasil belajar siswa, tidak melakukan pembelajaran
remedial dan/atau pengayaan, dan sebagainya; (7) belum berkembangnya budaya
membaca di kalangan guru.
Terlepas dari dugaan faktoral dimaksud, hal
mendasar tentang instrumen pengukuran kompetensi guru cenderung mengedepankan
penggunaan perangkat teknologi [komputerais]. Sementara target indikatornya
terdiri dari empat ranah kompetensi, yakni ranah kompetensi pedagogik, ranah
kompetensi kepribadian, ranah kompetensi sosial dan ranah kompetensi
profesional tidak disiapkan instrumen
yang dijadikan tolok ukur nilai UKG. Hal lainnya yang tidak tampak dipermukaan
dalam faktor yang menghambat meningkatnya nilai total dan rata adalah
partisipasi publik dalam memberikan nilai terhadap guru dan mendukung
keberlangsungan kegiatan kependidikan. Seiring dengan kondisi ini, otoritas
pengelolaan jenjang pendidikan setingkat SMA/MA/SMK juga telah dialihkan
tanggung jawab pengelolaannya kepada provinsi. Hal inilah akan menambah sederet
beban yang harus ditanggung guru karena fungsi pengawasan dan pengendalian
kualitas guru tidak terkontrol secara publis bagi kelompok masyarakat
sekitarnya.
Berbagai kasus melibatkan guru sebagai pelaku
kriminalisasi pemikiran dan bahkan fisik namun tidak diimbangi dengan upaya
mendorong tanggung jawab masyarakat dalam mendidik anak didiknya. Masalahnya
adalah kompetensi guru yang sedang diupayakan terus meningkat justru tidak
ditopang oleh peningkatan peran sosial kemasyarakatan untuk mendorong peserta
didik agar terus meningkatkan kapasitasnya. Kondisi ini yang patut diwaspadai
agar tidak salah dalam mengambil tindakan dan kebijakan di tingkat daerah dalam
mencapai target secara nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar