Minggu, 08 Januari 2017

Penyusunan Naskah Akademik Organisasi Perangkat Daerah Menurut PP Nomor 18 Tahun 2016 di Kabupaten Lembata




Penyusunan Naskah Akademik Organisasi Perangkat Daerah
Menurut PP Nomor 18 Tahun 2016 di Kabupaten Lembata


BAB I
PENDAHULUAN


1.1     LATAR BELAKANG

Dalam alinea keempat, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan tujuan  dibentuknya Negara Republik Indonesia adalahMelindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia,  memajukan kesejateraan umum,  mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.  Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud, maka dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ditentukan bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Lebih lanjut di dalam  Pasal 18 menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kabupaten, yang setiap provinsi dan kabupaten, itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan  undang-undang serta berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, termasuk  berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pikiran  rasional untuk memberikan otonomi kepada daerah,  yang telah dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 ini,  bertujuan untuk mencapai kesejahteraan di tingkat lokal/daerah yang pada akhirnya menopang tercapainya tujuan Negara Republik Indonesia.
Kebijakan Otonomi Daerah/Desentralisasi ini, penting dalam rangka perbaikan manajemen pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan yang terpusat dengan kondisi geografis yang luas dan penduduk yang banyak dan beranekaragam dianggap tidak mampu memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Melalui Desentralisasi rentang kendali tidak terlampau luas dan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan dapat dipenuhi oleh pemerintahan tingkat lokal secara  cepat, tepat, dan murah. Agar pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dapat berjalan  optimal, maka terlebih dahulu perlu diidentifikasi elemen-elemen yang membentuk pemerintahan daerah sebagai suatu entitas pemerintahan, untuk dijadikan dasar melakukan perbaikan, penataan dan juga perubahan mengikuti dinamika kebutuhan yang ada. Elemen dasar dimaksud yaitu urusan pemerintahan, kelembagaan, personil, keuangan, perwakilan daerah, pelayanan publik dan pengawasan. Implementasi dari ketujuh elemen ini sesungguhnya akan berimplikasi pada lahirnya demokratisasi dan kesejahteraan di tingkat lokal. karena itu,  penataan terhadap ketujuh aspek penting ini secara terus menerus akan semakin mendekatkan pada pencapaian tujuan otonomi itu sendiri.
Implementasi dari konsep strategis di atas adalah ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan diikuti dengan peraturan pelaksananya yang memberikan ruang kewenangan bagi daerah untuk melaksanakan urusan di daerah. Sebagaimana diketahui  sejak kemerdekaan Negara Indonesia sampai Orde Baru secara berturut-turut antara lain :  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan sejak reformasi sampai sekarang telah terjadi tiga kali perubahan fundamental dalam Undang-Undang  Pemerintahan Daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999  jo. Undang-Undang Nomor 25  Tahun 1999 tentang  Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan terakhir Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015) sebagai upaya mengakomodasi dinamika kepentingan yang berkembang dalam masyarakat. Adapun substansi pengaturan tersebut meliputi hubungan pemerintah pusat dan daerah, penyelenggaraan pemerintahan daerah, urusan pemerintahan, pembinaan dan pengawasan, penataan daerah, perangkat daerah, keuangan daerah dan juga pengembangan demokrasi lokal. Aspek-aspek inilah yang dianggap penting untuk diatur sehingga penyelenggaraan desentralisasi memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat di daerah.
Satu dari 7 (tujuh) elemen dasar yang perlu dikaji secara mendalam dan komprehensif adalah menyangkut  Perangkat/kelembagaan Daerah. Hal yang mendasari pemikiran bahwa kelembagaan harus dikaji secara mendalam dan komperhensif adalah bahwa kewenangan daerah tidak mungkin dapat dilaksanakan kalau tidak diakomodir dalam kelembagaan daerah. Kelembagaan daerah merupakan wadah atau sarana berlangsungnya penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan daerah tersebut. Kehadiran kelembagaan daerah memberikan kejelasan dalam pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. karena itu, penataan terhadap kelembagaan daerah merupakan bagian penting dalam mendukung pencapaian tujuan otonomi daerah.
Dalam konteks penyelenggaraan Pemerintahan di daerah maka terdapat dua lembaga penting yang membentuk pemerintahan daerah, yaitu: kelembagaan untuk pejabat politik yaitu kelembagaan kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); dan kelembagaan untuk pejabat karir yang terdiri dari perangkat daerah (sekretariat, dinas, badan, dan kecamatan). Kedua kelembagaan ini sejatinya merupakan titik bidik atau fokus dalam upaya penataan dan perbaikan sehingga berjalan dalam koridor penyelenggaraan tugas dan fungsi yang ditetapkan. Terkait dengan kelembagaan politik perbaikan seringkali dilakukan pada pola hubungan antara kepala daerah dan DPRD. Implikasinya pada regulasi yang adapun lebih banyak mengatur tentang bagaimana menemukan hubungan yang harmonis bagi kedua pihak. Selanjutnya, terkait kelembagaan untuk birokrasi, fokus perhatian diarahkan pada beberapa aspek. Hal ini mengingat keberadaan kelembagaan ini selain menjadi pendukung keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah, tetapi juga  wadah bagi ribuan orang yang telah mengorbankan diri untuk bekerja sebagai birokrat. Para pegawai ini telah menjadi intrumen kekuasaan untuk menjalankan roda pemerintahan dan mewujudkan visi dan misi organisasi. Disisi lain penataan kelembagaan harus memperhatikan asas: (1) intensitas Urusan Pemerintahan dan potensi Daerah; (2). efisiensi; (3). efektivitas; (4). pembagian habis tugas; (5). rentang kendali;  (6). tata kerja yang jelas; dan (7). fleksibilitas sehingga mampu memenuhi pencapaian tujuan otonomi daerah. Kompleksitas persoalan yang ada dan banyaknya aspek yang dipertimbangkan, menyebabkan kelembagaan pemerintah daerah  ditetapkan dengan mengacu pada pedoman yang terukur dan kajian argumentasi yang rasional.
Pembenahan perangkat daerah sebagai wadah karir birokrasi di daerah, dapat dimaknai sebagai upaya mendukung semangat reformasi manajemen pemerintahan. Apabila model klasik menempatkan institusi pemerintah sebagai aktor dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka sebagai upaya mengantisipasi berbagai perubahan yang tidak dapat diprediksi dan berlangsung cepat dalam lingkungan sistem politik, dilakukan perbaikan terus menerus menyesuaikan dengan kondisi yang ada.  Perubahan tersebut dapat berlangsung dalam arus global, nasional, maupun lokal. karena itu, reformasi manajemen pemerintahan harus mengakomodasi semua aspek yang ada.
Kaitan dengan hal di atas, sorotan utama penataan kelembagaan pemerintah daerah lebih kepada substansi keberadaan lembaga tersebut dalam kontribusinya untuk pencapaian tujuan otonomi daerah. Sebagai perangkat daerah yang membantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kehadirannya harus mampu memberikan dukungan untuk keberhasilan implementasi program otonomi daerah. Lembaga pemerintah daerah - yang mencakup organisasi, personil, dan ketatalaksanaan -  harus menjadi wadah solutif bagi pencapaian program-program pembangunan di daerah. Organisasi perangkat daerah dimaksud dibentuk guna membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi di daerah, sebagai pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, serta  sebagai unsur pelaksana urusan daerah.
Kehadiran organisasi perangkat daerah secara umum dipandang belum mampu memberikan dukungan  maksimal terkait dengan pelaksanaan program otonomi daerah. Secara normatif pembentukan organisasi perangkat daerah telah mengakomodasi ketentuan yang berlaku, namun dalam kenyataannya, organisasi yang ada justru memberikan beban keuangan bagi daerah. Anggaran lebih banyak dipakai untuk biaya operasional pegawai daripada pelaksanaan pembiayaan urusan itu sendiri atau biaya belanja publik. dibagian lain kehadiran regulasi teknis yang mengharuskan dibentuknya organisasi perangkat daerah sebagai wadah pelaksanaan urusan tertentu menambah beban daerah. Akibatnya organisasi yang dibentuk meskipun tidak banyak memberi kontribusi bagi kepentingan masyarakat tetap dipertahankan dan menghabiskan dana publik.
Semangat pembentukan organisasi perangkat daerah selama ini lebih  mengakomodasi kepentingan penambahan jabatan struktural. Semakin besar organisasi maka semakin besar struktur yang ada sehingga semakin besar peluang seseorang pegawai menduduki jabatan. Kehadiran organisasi yang dibentuk seolah hanya ingin mengakomodasi kepentingan pegawai negeri atau birokrat di daerah.
Sesuai dengan regulasi pembentukan Organisasi, dijelaskan bahwa dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Hal ini dimaksud sebagai tanggung jawab pemerintah melaksanakan fungsi pemerintahan secara maksimal dalam sebuah wadah yang jelas. Tanggung jawab dimaksud menyangkut obyek apa yang diurus dan dukungan apa yang harus dipenuhi seperti anggaran dan sumber daya manusia penyelenggara. Diakui bahwa setiap urusan pemerintahan harus dilaksanakan oleh suatu organisasi perangkat daerah dengan bentuk dan jenis tertentu, sehingga tidak ada urusan yang tersisa atau tidak ditangani. Hal ini juga dipahami bahwa tidak setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri.
Gejala pembengkakan organisasi perangkat daerah yang terjadi  akibat tidak dipakainya filosofi dalam pembentukan organisasi. Beberapa permasalahan tersebut seperti inefisiensi penggunaan sumberdaya, melebarnya rentang kendali dan kurang terintegrasinya penanganan urusan yang seharusnya ditangani satu kesatuan unit menjadi kebeberapa unit organisasi sehingga menimbulkan tumpang tindih pelaksanaan urusan.  Kondisi ini sering menimbulkan konflik kepentingan antara organisasi perangkat Daerah itu sendiri. Adanya rebutan tugas dan fungsi sehingga pelayanan publik menjadi terbengkalai. Pada bagian lain pedoman pembentukan organisasi perangkat daerah yang selama ini menjadi rujukan daerah menata organisasinya, belum mampu mengembangkan semangat otonomi daerah yang memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengembangkan inovasinya berdasarkan visi dan misinya. Pembentukan organisasi pemerintah daerah selama ini didasarkan pada peraturan perundang-undangan (rule driven organization). Banyak organisasi perangkat daerah yang dibentuk tidak dalam posisi sebagai sentral penyelenggaraan visi dan misi pemerintah daerah atau visi daerah. Besaran organisasi yang dibentuk tersebut selama ini hanya berdasarkan perhitungan scoring dan sangat berpengaruh dalam menentukan apakah suatu unit perlu dipertahankan, diubah, atau dihapuskan. Padahal seharusnya pertimbangan untuk membentuk suatu organisasi harus menyangkut pertimbangan-pertimbangan administratif, ekonomi, bahkan politis. Pertimbangan politis disini menyangkut bagaimana sebuah organisasi dibentuk untuk menjalankan tanggungjawab mewujudkan visi dan misi daerah maupun kepala daerah.
Ketidaksinkronan antara besaran organisasi yang dibentuk dengan visi dan misi yang ditetapkan menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan daerah berjalan dalam koridor rutinitas belaka. Tidak mampu membawa perubahan yang mendasar di daerah sesuai perencanaan. Organisasi perangkat daerah yang dibentuk seringkali tidak memberikan konstribusi bagi pengembangan pembangunan daerah. Tambahan faktor lain yang sering diabaikan selama ini dalam rangka penataan kelembagaan perangkat daerah adalah tidak dilakukan pembedaan penentuan secara khusus kriteria kelembagaan bagi daerah kabupaten dan daerah kabupaten. Adanya penyeragaman pola tersebut sehingga organisasi yang dibentuk dengan berbagai pertimbangan subyektifitas birokrat di daerah sehingga terkadang muncul organiasasi yang dibentuk tidak sesuai dengan kebutuhan daerah kabupaten atau kabupaten. Apabila dikaji/diperhatikan karaterisitik unggulan daerah kabupaten tentu berbeda dengan karakterisitk unggulan daerah kabupaten. Oleh karena itu organisasi yang dibentuk dan besarannya pun tentu berbeda pula.
Berdasarkan paparan di atas yang menjelaskan permasalahan-permasalahan dihadapi, maka untuk mewujudkan organisasi perangkat daerah yang ideal perlu dilakukan penataan organisasi yang mampu melaksanakan urusan berdasarkan karakteristik daerah dan kebutuhan masyarakatnya. Hal ini berarti selain memperhatikan faktor-faktor yang diatur dalam undang-undang pemerintahan daerah tetapi juga mengakomodasi faktor lain yang nantinya menjadikan organisasi perangkat daerah sebagai sentral penyelenggaraan otonomi daerah. Organisasi perangkat Daerah diharapkan menjadi organisasi yang mapan dan mampu berperan sebagai wadah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah serta sebagai proses interaksi antara Pemerintah dengan institusi daerah lainnya dan masyarakat secara optimal. Dengan demikian, akan terwujud postur organisasi perangkat Daerah yang proporsional, efektif dan efisien berdasarkan asas: (1) intensitas Urusan Pemerintahan dan potensi Daerah; (2). efisiensi; (3). efektivitas; (4). pembagian habis tugas; (5). rentang kendali;  (6). tata kerja yang jelas; dan (7). fleksibilitas  sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.  Seiring  dengan penggunaan visi dan misi dalam menentukan program organisasi, sudah seharusnya di dalam penyusunan organisasi pemerintah menggunakan prinsip rule and mission driven organization seperti yang disarankan oleh Osborne dan Gaebler (1992) dalam bukunya Reinventing Government.
Kabupaten Lembata sebagai salah satu daerah otonom perlu melakukan kajian secara khusus menyangkut organisasi perangkat daerahnya. Hal ini sebagai bagian dari penataan kelembagaan pemerintah yang mengarah pada model right sizing, yaitu upaya penyederhanaan birokrasi pemerintah yang proposional dan transparan sesuai kebutuhan. Upaya tersebut diharapkan menghasilkan organisasi perangkat daerah yang tidak terlalu besar namun efektif dalam pelaksanaan fungsi pokoknya sesuai dengan semangat pembaharuan fungsi-fungsi pemerintah (reinventing government) dalam rangka mendukung terwujudnya tata pemerintahan daerah yang baik (good local government). Dengan organisasi yang tepat bentuk, tepat fungsi,  dan tepat ukuran sesuai karakterstik dan kebutuhan Kabupaten Lembata sebagai daerah otonom, maka pelayanan publik diharapkan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, sehingga Kabupaten Lembata memiliki daya saing dibandingkan kabupaten-kabupaten lain di Indonesia.
1.2    MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dari pembuatan Rancangan Peraturan Daerah Organisasi Perangkat Daerah adalah  melakukan analisis terhadap kondisi eksisting perangkat daerah Pemerintah Kabupaten Lembata dan menyusun organisasi perangkat daerah sebagai landasan bagi Pemerintah Kabupaten Lembata untuk memperbaiki kinerja kelembagaan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah dengan memperhatikan batasan kewenangan, Sumber Daya Manusia, Keuangan Daerah, Teknologi, Kebutuhan Pelayanan dan Nilai strategis Daerah dan asas yang mendasari pembentukan, yaitu Efisisensi, Efektifitas, Pembagian Tugas Habis, Rentan Kendali, Tata kerja yang jelas, fleksibitas yang mendasari pembentukan suatu organisasi dalam rangka meningkatkan tata kelola kepemerintahan yang baik.
Tujuan, Terbentuknya Organisasi Perangkat Daerah yang Tepat Ukuran, Tepat Bentuk dan Tepat Fungsi,  berbasis Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 sesuai kebutuhan Daerah.





1.3    KELUARAN (OUTPUT)
Evaluasi kelembagaan dalam reformasi birokrasi Pemerintah Kabupaten Lembata dimaksudkan untuk mengidentifikasi permasalahan dan hambatan kinerja kelembagaan dalam usaha meningkatkan mutu pelayanan publik.
Adapun tujuan evaluasi kelembagaan adalah memberikan arahan dan pertimbangan bagi tersusunnya konsep alternatif penataan kelembagaan sesuai tuntutan perkembangan dan tuntutan normatif peraturan perundang-undangan.

1.4     METODE KAJIAN

Kajian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan tailor made, yakni berupaya menyusun desain kelembagaan perangkat daerah dengan melakukan analisis terhadap kondisi eksisting yang ada sekarang serta kebutuhan di masa mendatang. Pengumpulan data yang digunakan meliputi:
1)        Studi literatur dan dokumentasi untuk mengumpulkan data dan bahan berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengaturan kelembagaan perangkat daerah. Selain itu, juga dilakukan pengumpulan data dan bahan berupa hasil kajian yang sudah dilakukan sebelumnya sebagai bahan perbandingan dan pengayaan analisis.
2)        Diskusi dengan Key Informan, yang antara lain, Sekretaris Daerah, Asisten Administasi Umum Sekda, Asisten Administrasi Pemerintahan Sekda, Asisten Perekonomian Sekda, Kepala Dispenda-PKAD, Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah, Inspektur dan Inspektur Pembantu Kabupaten Lembata, Kepala Bagian Organisasi Setda, dan para Kepala Organisasi Perangkat Daerah terkait di Kabupaten/Kota Provinsi NTT.
Data dan bahan yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan menggunakan teknik analisis penghitungan dengan menggunakan kriteria Tipelogi Perangkat Daerah yang diatur di dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor18 Tahun 2016, yang mencakup indikator-indikator sebagai berikut:
a. Kriteria tipelogi Perangkat Daerah untuk menentukan tipe Perangkat Daerah berdasarkan hasil pemetaan urusan pemerintahan dengan variabel:
        1) umum dengan bobot 20% (dua puluh persen); dan
        2) teknis dengan bobot 80% (delapan puluh persen).
b.      Kriteria variabel umum ditetapkan berdasarkan karakteristik Daerah yang terdiri atas indikator:
       1) jumlah penduduk;
       2) luas wilayah; dan
       3) jumlah anggaran pendapatan dan belanja Daerah.
c.   Kriteria variabel teknis ditetapkan  berdasarkan  beban  tugas utama pada setiap Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kabupaten serta fungsi penunjang Urusan Pemerintahan. Ketentuan mengenai perhitungan variabel umum dan teknis tersebut tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016.

Berkaitan dengan hal tersebut, Kementerian Dalam Negeri telah mengembangkan sistem informasi pemetaan Urusan Pemerintahan dan penentuan beban kerja Perangkat Daerah yang dapat diakses melalui internet dengan mengakses situs: fasilitasi.otda.kemendagri.go.id, sehingga seluruh kabupaten/kabupaten dan provinsi lebih mudah dan ada standarisasi dalam mengolah data urusan pemerintahan. Karena itu, dalam kajian ini yang dijadikan acuan utama adalah hasil dari sistem informasi pemetaan urusan pemerintahan dan penetuan beban kerja perangkat daerah yang dikembangkan oleh Kementerian Dalam Negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar