Kamis, 03 Mei 2018

Studi Pendirian PT di Manggarai Timur

Ringkasan Hasil Studi Kelayakan Pendirian PT di Kab. Manggarai Timur

Pendidikan berkait erat dengan kebangkitan ekonomi nasional karena mampu melahirkan SDM berkualitas, yakni yang memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi. Pendidikan Tinggi berperan menghasilkan lulusan yang kreatif dan inovatif dengan keterampilan khusus yang dibutuhkan dalam berbagai sektor ekonomi, memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi, sehingga mampu untuk terus memperbaharui struktur ekonomi dan sosial yang relevan dengan perubahan dunia.  PT berperan dalam meningkatkan jumlah dan mutu penelitian yang memungkinkan suatu negara untuk memilih, menyerap, dan menciptakan pengetahuan baru secara lebih cepat dan efisien dibanding yang ada sekarang.
Menghadirkan sebuah Perguruan Tinggi di Kabupaten Manggarai Timur bisa menjadi solusi  untuk menjawab kondisi kekinian maupun menghadapi persaingan kedepannya. Merujuk kondisi potensi lokal dan tuntutan persaingan kedepannya maka kehadiran PT menjadi prioritas dan menjadi komitmen Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas HAK masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang layak. Analisis SWOT merekomendasikan bahwa mendayagunakan seluruh kekuatan dan peluang yang tersedia untuk mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan tinggi yang  berbasis STEM di bidang pertanian dalam pengertian yang luas untuk  peningkatan SDM guna mendorong produktifitas dan pertumbuhan ekonomi wilayah.
Berbagai faktor yang menjadi pertimbangan dalam merekomendasikan pemilihan jenis dan bentuk kelembagaan serta program studi yang akan dibangun berdasarkan pertimbangan; kondisi eksisting sosial budaya, yuridis formal, potensi sumberdaya alam, kemampuan daerah, kebutuhan masyarakat, daya saing, prospek pasar kerja dan peluang keberlanjutan di Kabupaten Mnggarai Timur. Berdasarkan berbagai pertimbangan diatas maka maka dinyatakan Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur dengan segenap dukungan dari stakeholder-nya; LAYAK mendirikan [membentuk] perguruan tinggi berbentuk INSTITUT di wilayah Kabupaten Manggarai Timur.
Jenis rumpun ilmu diharapkan berupa ilmu TERAPAN dengan JENIS PENDIDIKAN TINGGI berupa AKADEMI DAN VOKASI. Sedangkan JENIS PROGRAM yang diharapkan adalah DIPLOMA III [D3] & SARJANA TERAPAN [S.—Tr] dengan SPESIFIKASI PEMINATAN DALAM KELOMPOK ILMU TERAPAN berupa SAINS DAN TEKNOLOGI PERTANIAN. Bentuk Perguruan Tinggi yang direkomendasikan adalah berbentuk Instituk dengan focus pada STEM sehingga penamaannya menjadi INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI PERTANIAN. Terdapat 15 [lima belas] program studi yang dikelompokkan dalam 4 [empat] fakultas, yaitu;
[1]  Fakultas Sains dan Teknologi Pertanian, dengan jenis program studi; [1] Teknologi Produksi Tanaman Hortikultura, [2] Teknologi Produksi Tanaman Pangan, [3] Teknologi Hasil Perkebunan, [4] Agribisnis Pangan, [5] Teknologi Mekanisasi Pertanian, [6] Pengelolaan hasil hutan, dan [7] Ekowisata.
[2]  Fakultas Sains dan Teknologi Peternakan, dengan jenis program studi; [1] Teknologi produksi ternak, [2] Teknologi pakan ternak, dan [3] Teknologi pengolahan hasil ternak.
[3]  Fakultas Sains dan Teknologi Perikanan, dengan jenis program studi; [1] Pengolahan dan Penyimpanan hasil perikanan, dan [2] Teknologi Kelautan.
[4]  Fakultas Sains dan Informatika, dengan jenis program studi; [1] Matematika, [2] Teknologi Informasi, dan [3] Ilmu Komputer.
Pemerintah daerah dan segenap stakeholder terkait segera melakukan rencana tindak lanjut yaitu; [1] Penguatan Komitmen segenap Stakeholder [Sosekbud], [2] Pengawalan Kebijakan dan Dukungan Politik [advokasi dan lokakarya], [3] Konsolidasi Pembentukan Lembaga Badan Pengelola [Penguatan jika sudah ada], [4] Penyiapan Penganggaran, [5] Pembentukan Tim Pendiri, [6] Persiapan Teknis dan Administratif Kelembagaan PT [Prakondisi], [7] Penyusunan Dokumen Persyaratan [Kelengkapan] Perizinan, [8] Proses [dan Pengawalan] Perizinan, dan [9] Pendirian, Peluncuran dan Pelaksanaan Perkuliahan

Pengantar Disertasi


KATA PENGANTAR


Naskah ini disajikan untuk memenuhi persyaratan Doktor pada Program Doktor Ilmu Lingkungan (PDIL), Program Pascasarjana Universitas Brawijaya (PPs UB). Peneliti telah melalui proses ujian kualifikasi dengan topik “Dimensi Epistimologi Burung Garuda sebagai Lambang Negara Indonesia (Tinjauan Filsafat Lingkungan)”, namun cakupan epistimologi terlampau sempit dan mengenyampingkan dimensi ontologis dan aksiologis yang juga merupakan dimensi utama dalam kajian filsafat. Topik ini kemudian mengalami perbaikan menjadi proposal disertasi dengan judul “DIMENSI FILSAFAT LINGKUNGAN BURUNG GARUDA SEBAGAI SIMBOL KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA INDONESIA”. Selanjutnya peneliti melalui proses panjang dalam menjajaki berbagai bidang keilmuan hingga menghasilkan naskah disertasi berikut yang siap dipertanggung- jawabkan.
Kajian filosofis dalam naskah berikut mungkin tergolong hal baru karena dalam proses penelitian disertasi cenderung menggunakan metode kualitatif, namun bukan tidak layak untuk dijadikan sebuah topik penelitian. Topik penelitian ini mungkin sekilas menjadi bahan cemoohan kaum akademis karena memang hadirnya permasalah Burung Garuda dalam tulisan ini berangkat dari kerisauan penulis yang melahirkan beragam pertanyaan. Objek Burung Garuda bagi bangsa dan masyarakat Indonesia merupakan objek sakral yang dikultuskan sebagai simbol negara. Keberadaanya sudah terdoktrinisasi secara terstruktur dan bekerja secara turun-temurun dalam alam berpikir semua generasi bangsa Indonesia, tanpa ada penjelasan ilmiah tentang hubungan filosofis antara objek Burung Garuda, susunan kalimat kelima sila Pancasila dan karakteristik (sosial-budaya) ke-Indonesia-an.
Setiap kali menyanyikan lagu nasional “Burung Garuda” atau  lagu “Garuda di Dadaku”, seorang anak bangsa seakan terhipnotis oleh kata-kata dan suasana kebathinan yang sakral dan penuh hikmat melebihi kekhusukan seorang penganut agama dalam beribadah pada Sang Penciptanya. Sungguh ironis bila penghayatan atas lagu tersebut begitu khidmah hingga meneteskan airmata sementara dalam tatanan aksiologis masih banyak ditemukan berbagai ketimpangan dan ketidak-adilan yang terjadi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Pertanyaannya, apakah setiap anak bangsa telah memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang dilambangkan oleh burung garuda?. Penelitian ini akan menelusuri proses hadirnya burung garuda sebagai lambang negara dalam perspektif historikal, kemudian mengkaji makna ke-Indonesia-an dalam objek burung garuda.
Dinamika kebangsaan yang tengah terjadi akhir-akhir ini terus menggoyahkan nyali nasionalisme anak bangsa dan mengancam integrasi bangsa Indonesia. Terkhusus soal ideologi bangsa Indonesia [Pancasila] yang secara paralel dapat dihubungkan dengan objek Burung Garuda sebagai simbol ke-Indonesia-an karena pada dadanya tersematkan 5 [lima] objek makna dari kelima sila Pancasila. Berbagai literatur sejarah maupun produk karya ilmiah lainnya belum menyajikan relevansi yang ilmiah dan akurat soal keterkaitan antar deretan kata-kata dari kelima sila Pancasila, Burung Garuda dan karakteristik [sosial-budaya] ke-Indonesia-an. Konstruksi berpikir yang dibangun hanya menghubungkan keterkaitan antara teks Pancasila dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia [NKRI] tanpa memposisikan Burung Garuda sebagai objek yang menyimboli kedua unsur dimaksud. Sementara tinjauan teoritik dari pendekatan semiotik mengisyaratkan adanya posisi strategis sebuah simbol atau lambang dalam pemaknaannya serta pengaplikasiannya. Hal inilah menjadi fokus kajian yang dilakukan dalam penelitian dan penulisan naskah disertasi berikut.
Topik ini semakin menarik karena sudut pandang keilmuan yang dirujuk adalah Kajian Lingkungan dan Pembangunan sehingga dapat memotret dari sudut pandang falsafah lingkungan, dimana objek kajiannya adalah Burung Garuda yang merupakan sejenis makhluk hidup dalam sebuah ekosistem. Pendekatan ilmu pembangunannnya adalah dalam rangka membangun kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang masih tertawan krisis multi-dimensi, khususnya perihal moralitas kebangsaan yang tercermin dalam moral dan perilaku anak-anak bangsanya. Rasanya sulit diterima secara ilmiah karena topik ini jauh dari tradisi intelektual yang biasa dilakukan dalam pendekatan kajian lingkungan fisik, namun penyaji patut berkemauan keras dalam sebuah misi doktoral ingin menghasilkan sebuah kajian ilmiah yang bermanfaat bagi segenap komponen bangsa Indonesia.
Penulis telah mengelaborasikan berbagai pendekatan keilmuan dalam tulisan ini, yaitu; pendekatan historikal, pendekatan simbolik, pendekatan mitologi, pendekatan morfologi-fisiologi dan pendekatan sosiologi lingkungan. Luaran (outcome) dari penelitan ini menghasilkan sebuah desain pembelajaran yang tepat tentang burung garuda dalam perspektif ilmu lingkungan dan pembangunan bagi segenap masyarakat Indonesia diberbagai tingkatan pendidikan. Penyaji berharap akan menemukan hal baru yang dapat diadopsi dalam desain pembelajaran tentang burung garuda sebagai lambang negara Indonesia dan dapat memberikan perubahan paradigma yang lebih bermartabat dalam pembangunan kualitas sumberdaya manusia Indonesia.
Mengakhiri pengantar ini, penulis ingin mengutip ayat Al Qur’an Surat Ar-Ruum (41) yang menjadi landasan teologis sekaligus sebagai rujukan utama dalam pelaksanaan penelitian ini.



Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Bahwa segala bentuk kerusakan yang terjadi didunia adalah akibat aktifitas manusia sehingga manusialah yang patut melakukan perbaikan dan pelestarian terhadap lingkungannya karena kelebihan nilai dan nafsu membangun peradaban [berpikir dan berkarya] yang dianugerahkan kepadanya. Semoga disertasi berikut mendapat sambutan positif dari berbagai pihak untuk dikoreksi hingga mendekati titik kesempurnaan agar bermanfaat bagi nusa dan bangsa Indonesia serta mendapatkan ridlo dari Allah SWT.

Kartu Nama


Profil Hamza


Ringkasan Disertasi


RINGKASAN

HAMZA H. WULAKADA, NIM: 137150100111012, Program Doktor Ilmu Lingkungan, Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang, Malang,  Maret 2018, “Dimensi Filsafat Lingkungan Burung Garuda Sebagai Simbol Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara Indonesia, Promotor: Prof. Dr. Abdul Hakim.M.Si, Ko-Promotor: Prof. Dr. Ir. Sugiyanto, MS dan Prof. Dr. Isrok, SH., M.Hum.
Tinjauan ekologis terhadap keberadaan Burung Garuda sebagai lambang negara Indonesia penting untuk dikaji karena realitasnya terjadi krisis multidimensi yang melanda berbagai komponan bangsa. Filsafah hidup Burung Garuda belum dikaitkan secara metodologis dengan filsafat Pancasila sehingga ideologi bangsa tidak termanivestasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penelitian ini bertujuan untuk; 1) Menganalisa proses sejarah memilih Burung Garuda sebagai lambang negara, 2) Menganalisa pemaknaan publik terhadap Burung Garuda dalam tinjauan mitologi, semiotik dan lingkungan empirik, 3) Menganalisa relevansi Burung Garuda dengan falsafah Pancasila, 4) Menyusun desain pembelajaran yang efektif tentang filsafat hidup Burung Garuda bagi pelajar dan mahasiswa.
Teori yang dirujuk diantaranya; historiografi, mitos-ritual, morfologi-fisiologi dan interaksi simbolik. Perolehan data melalui studi kepustakaan [sekunder] serta observasi lapangan dan diskusi terbatas yang melibatkan narasumber ahli berkompeten [primer] sehingga menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Fokus penelitiannya tertuju pada jenis burung yang diidentikan sebagai burung garuda untuk memperhatikan pola adaptasinya terhadap lingkungan kemudian diilustrasikan menggunakan pendekatan semiotik dan dikonsepsikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia.
Sejarahnya burung garuda adalah mitos kepercayaan Hindu yang diadopsi dari perkembangan peradaban bangsa, dijadikan lambang negara pasca proklamasi kemerdekaan kemudian dikonsensuskan secara terbatas dalam dinamika kebangsaan. Proses pemilihannya dimulai dengan tahapan persiapan kepanitiaan, perancangan, legitimasi, sosialisasi dan peneguhan. Konsensus dilakukan untuk mendapatkan pengakuan publik dengan mengubah substansi bentuk aslinya sehingga menghasilkan sosok Garuda Pancasila dari dimensi mitos menjadi elang rajawali.
Unsur kebaharuannya terletak pada dimensi pemaknaan lambang negara yang sebelumnya merupakan bagian dari objek mitologi, memiliki kemiripan jenis dan bentuk [pendekatan morfologi-fisiologi] dengan burung elang rajawali. Realitasnya kini belum ada pembuktian otentik yang mematenkan hak cipta lambang Negara Indonesia sehingga penting untuk dilakukan langkah hukum untuk menentukan objek empirik dari garuda yaitu elang rajawali menjadi makhluk penjelmaan garuda. Memaknai simbol lambang Negara Garuda Pancasila menjadi penting karena tanpa pemberian makna terhadap objek-objek budaya yang telah diwariskan satu generasi sebelumnya, maka karya-karya yang dihasilkan akan hilang dalam peradaban manusia kelaknya.
Lambang negara Garuda Pancasila dapat dimaknai melalui berbagai pendekatan yaitu makna konotatif (mitos) dan makna denotatif (visual) terutama merujuk pada objek empirik elang rajawali sehingga dimensi filsafat dapat merasionalkan makna dan nilai ke-Indonesia-an dalam lambang negara. Rekomendasi teoritiknya adalah; [1] nilai kebenaran sejarah bersifat relatif tergantung kekuasaan yang mengendalikannya, [2] konsensus dapat saja tidak menjangkau ruang publik seutuhnya dalam waktu seketika karena berbagai pertimbangan situasional, [3] paradigma mitologi yang dikultuskan dapat dihilangkan nilai keyakinannya dengan memunculkan objek rasional baru yang dilakukan secara massif dan sistematis, dan [4] interaksi simbolik yang seharusnya mewakili identitas pengguna simbol ternyata tidak sepenuhnya berlaku untuk objek komunal kecuali adanya kesepakatan baru yang bersifat universal. Oleh karena hidup harus bermakna maka peneguhan falsafah elang rajawali menjadi objek rasional yang efektif dijelaskan kepada peserta didik agar memahami, meyakini dan mengamalkan Pancasila melalui kebanggan terhadap lambang garuda.

Kata Kunci : Burung Garuda, Mitos, Histori, Morfologi, Interaksi Simbolik


SUMMARY

HAMZA H. WULAKADA, NIM: 137150100111012, Doctoral Program of Environmental Science, Post Graduate, Brawijaya University of Malang, March 2018, ‘Dimensions Of Environmental Philosophy Of Garuda As A Symbol Of The Life Of A Nation and A Country Indonesia. Promotor: Prof. Dr. Abdul Hakim.M.Si, Co-Promotor: Prof. Dr. Ir. Sugiyanto, MS and Prof. Dr. Isrok, SH., M.Hum.
Ecological review against the existence of Garuda Indonesia as crucial to studied because reality was a multidimensional crisis that hit the nation's various komponan. Garuda philosophy of life has not been associated with a methodological basis of the philosophy of Pancasila such that the ideology of the nation are not termanivestasikan in the life of nation and State. This research aims to; 1) Analyzes the historical process of selecting Bird Garuda as a symbol of the country, 2) Analyzes public definition of the Garuda in mythology, semiotik and environment, 3) Analyze the empirical relevance of Garuda Pancasila philosophy, with 4) Putting together an effective learning about design philosophy of life Bird Garuda for students.

The theory that is referred to among others; historiography, the myth-ritual-Physiology, morphology and symbolic interaction. Acquisition of data through the study of librarianship (secondary) as well as the observation field and limited discussion involving experts competent interviewees [primary] so using qualitative descriptive analysis. His research focus is fixed on the diidentikan of birds as the bird garuda to pay attention to the pattern of his adaptation to the environment then illustrated using semiotik approach and to conception of social culture conditions with the community Indonesian.

History of the mythical bird garuda is adopted from Hindu civilization Nations, post-war State emblem proclamation of independence then to concessions are limited in the dynamics of the national anthem. Election process begins with the preparation of the Committee stages, designing, legitimacy, socializing and edification. Consensus is done to get the public recognition by changing the substance of his original form so that it produces a figure of mythical dimensions of Garuda Pancasila became a hawk eagle.

The element of novelty lies in the definition of the dimension of a coat of arms which was formerly part of the mythological objects, has a resemblance of the type and form of (morphological approach-Physiology) with hawk Eagle. Reality is now no authentic proofs patent copyright coat of arms of Indonesia so it's important to do a legal step to determine the empirical object from the garuda Eagle Eagle into a creature that is the incarnation of garuda. Interpret the symbols in the coat of arms of Garuda Pancasila becomes important because without granting meaning against cultural objects that have been passed down a generation before, then the resulting works will be lost in the human civilization in the future.

Coat of arms of Garuda Pancasila can meant through various approaches, namely the meaning of the konotatif (myths) and in denotative meaning (visual) primarily refers to the Eagle the Eagle the empirical object so that the dimension of philosophy can rationalise the meaning and sense of value Indonesia in the coat of arms. The recommendation is teoritiknya; [1] the value of historical truth are relative depending on the powers that control it, [2] consensus may not reach out to the whole public space in time instantly due to various considerations circumstantial, [3] a mythological paradigm is processed the cult can be eliminated with his values gave rise to a new rational objects made in the massif and systematic, and symbolic interaction [4] which is supposed to represent a user identity symbol turns out to be not entirely true for objects communal except when a new agreement is universal. Because life should be meaningful so philosophical edification Eagles hawks become the object of effective rational explained to the students in order to understand, believe and practise through the heartland of Pancasila against garuda emblem.

Key words: Bird Garuda, Myth, History, Morphology, Symbolic Interaction


GENEOLOGI PERADABAN FUTSAL ALA LAMAKERA

Sebelumnya, maaf saya tidak begitu pandai merangkai kata indah seperti Paman Guru Dr. Umar Bethan atau senior&yunior lainnya tapi biarlah melepas peluh malam ini dengan sederet rasa kesyukuran. Alhamdulillah malam ini berkesempatan bersama keluarga bisa silaturahmi dengan keluarga besar Lamakera di Kota Kupang, kami menyambangi sebuah hajatan fenomenal, olahraga Futsal yang mungkin tidak asing bagi pegiat si kulit bundar. Entah siapa yang menginisiasi perhelatan akbar ini, bagi saya ini adalah sebuah tradisi unik yang terjadi di zaman generasi neo. Tatkala ancaman individualistik melunturkan temali kekerabatan dengan indikasi anak-anak yang hampir lupa garis temurunnya, sekelompok kecil kaum peradaban asal turunan sebuah kampung di ujung Pulau Solor bernama Lamakera yang bermukim di Kota Kupang memilih untuk lapangan futsal sebagai medium kekerabatan. Bergumul dalam momentum itu para sesepuh yang sudah manula sampai generasi besutan abad 21, mereka membaur hampir tak terbilang. Ini baru pertama terjadi di Kota Kupang, sekampung kecil yang sudah lama bermigrasi namun dapat dengan mudah merunut garis genetiknya. Dahsyad Lamakera.

Maaf, saya tidak tahu persis berapa data jumlah anggota komunitas Lamakera yang kini bermukim di Kota Kupang namun diperkirakan kampung asalnya Lamakera hanya berkisar kurang dari 10.000 jiwa disana. Sebagian besarnya telah beranak-pinak di rantauan dan berbaur dalam dinamika peradaban bersama komunitas lainnya. Saya salah satunya yang sempat merasakan halusnya sentuhan tangan mereka kaum pelaut unggul, meski tak mengalir darah tapi dogma sebagai perantau saya banyak belajar dari mereka. Topografi kampung asalnya [Lamakera] berada di kaki bukit yang sungguh tidak memungkinkan anak adam bisa lincah bermain bola di atas bebatuan tajam tapi toh sedari dulu tetap saja ada generasinya yang menjadi bintang lapangan hijau, entah apa musababnya tapi konon katanya itu adalah bakat genetik. Mereka, gen Lamakera bukan hanya sebatas itu [bola] sejarahnya tapi lebih jauh dari itu, beliau-beliau adalah para ilmuwan cerdas, orator handal, pemimpin tangguh dan qori’ nan fasih di atas mimbar mushobaqah. Berharap suatu ketika ada saya dapatkan data tentang segudang prestasi anak gen Lamakera di berbagai bidang urusan yang tersebar di muka bumi Allah. Meski jauh mereka merantau, tetap saja pertalian budaya menarik mereka tetap rekat dan kembali menyatu.  

Saya hampir saja dinobatkan sebagai putra asli dari sana tapi masih ada nama belakang yang tersemat sehingga ketahuan bukan anak keturunan komunitas suku di Lamakera. Kuat dugaan mungkin dalam kelok sejarahnya, ada pertalian darah yang telah memautkannya sehingga dengan mudah saya membaur dalam kemesraan komunitas peradaban ini. Patron politik serta faksum entitas pun terintis kala pergumulan dalam dinamika bersama orang-orang hebat asal Lamakera. Walhasil, ikhtiar berumah tanggapun saya labuhkan ke puteri Lamakera sehingga malam ini saya menjadi pemain ‘naturalisasi’ salah satu suku di Lamakera. Jauh sebelum itu, sekali lagi saya harus jujur bahwa asin airnya telah mengalirkan denyut juang menjadi sang juara. Olehnya, secara pribadi turut berbangga pernah merasakan doktrin kejuangan yang pernah tergagas dalam proses karier. Terima kasih Lamakera, Kampung Peradaban yang tak luntur dikekang zaman. Bersyukur Pernah di Takdirkan Bersama