Jumat, 01 September 2017

HAJI, KESEMPURNAAN IMAN [2]



HAJI, KESEMPURNAAN IMAN
TUKANG ROTI NAIK HAJI [Part 2]
Cerita pada part 1 sebelumnya mungkin terlalu panjang, ya… karena benar-benar iseng dan lagi sangat ingin bercerita meluapkan kegundahan hati. Maaf jika terlalu berlebihan dan sangat subjektif, jujur saya hanya ingin mengisahkan perjalanan ritual keimanan kedua orang tua kami yang mungkin para pembaca juga mengalaminya. Izinkan kami melanjutkan cerita ini hingga keduanya selesai menunaikan kewajiban menyempurnakan standar rukun imannya.

Tradisi Ritualis Menjelang Berhaji
Sudah lebih dari seminggu keduanya tinggalkan Kupang bersama rombongan, beberapa hari sebelumnya si anak sempat disibukkan karena sang Ibu harus ngantri lebih dari 8 jam hanya untuk mendapatkan jawaban dari dokter bahwa ‘jantungnya masih bagus, sepertinya paru nya yang harus di ronsen. Minggu depan ibu datang lagi ya’ bersama selebar oretan di kertas kontrol.  Si mantu yang dengan sabar menahan lapar menyapanya mengajak pulang dan menuruti perintah dokter, lantas suaminya di telepon untuk menjemput. Si ibu harus di pastikan bahwa bukan bandrol pita merah yang dikenakan kelak berangkat haji, ya jikapun kuning tak masalah agar tak risaukan semua yang di tinggalkan. Si mantu sempatkan singga di resepsionis untuk memastikan jadwal control berikutnya sementara si ibu langsung menuju parkiran hampiri anaknya yang sibuk dengan kepulan asap rokoknya. “Abang, lapar ni. Carikan makanan yu’ dan merekapun meluncur ke swalayan terdekat, senjapun berlalu hingga Calya merah memarkir di garasi rumah. Lelah tapi di ikhlaskan hingga ada jawaban lemak di tubuh Emma’ tak membuatnya berbandrol pita merah.
Demikian pekan berikutnya hingga 3 kali kunjungan dilalui masih tetap yang sama sehingga sang Bapak memutuskan untuk jalani saja toh bukan penyakit manular sehingga tak usah di risaukan. Sang anak protes, itu standar dan harus dijalani hingga rekomendasi dokter di dapat agar layanan keterangan kesehatan dijaminkan dalam perjalanan ibadahnya. Hingga menjelang keberangkatan, persiapan di rumah anaknya biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Suasana sedikit ramai dan gaduh karena beberapa keluarga dari kampung datang ingin melepas kepergian keduanya, syukurlah rumah menjadi ramai karena jika tidak rumah sang bungsu yang jauh dari jangkauan tetangga akan sepi meski hari keberangkatan tinggal sehari.
Sebelumnya pada 2 pekan berjalan, si anak mendapatkan beberapa undangan tasyukuran keberangkatan haji beberapa kerabat kenalannya di Kota Kupang, ya sekedar do’a mauludan yang mentradisi meski masih harus di pertanyakan garis sunnahnya. Beberapa orang menanyakan kabar keberangkatan si bapak dan ibu pada anaknya dan kapan ni ‘baca do’anya?’. Sang anak memelas, tidak ada acara gituan, hanya ngaji-ngaji saja dan memperbanyak zikir di kelima waktu sholat sambil menstabilkan intensitas gerak agar otot-otot kedua orang tua siap bertamasya bersama jutaan ummat di tanah suci. Masih menumpuk tu undangan tasyakuran di meja kerjanya lantas sang sulung menyela, ‘adinda… ada baiknya kita do’a kecil-kecilan saja juga baik biar sang bapak dan ibu juga terhibur, bahwa kita turut mendukung keberangkatannya’. Sang adik cuek, dia memang mantan santri tapi tidak terlalu respek jika itu bukan sunnah, jika hanya tradisi ya cobalah kita memulai tradisi yang berbeda. Perdebatan antara kakak beradik sempat terjadi namun akhirnya demi sebuah penguatan dalam kondisi sang Ibu yang demikian, si bungsu pun mengalah dan dibuatkanlah baca do’a kecil-kecilan.
Paginya menjelang malam acara baca do’a di helatkan di rumah si dosen yang masih dalam tahapan renovasi, para ibu dan anak-anak perempuannya sudah disibukkan dengan urusan dapur. Ada saja yang kurang, entah bumbu ataupun garam harus bolak balik ke pasar dan kios agar sempurna hidangan malam nanti disantap para hadirin. Dalam intensitas padatnya kegiatan kadang tensi kesabaran tidak terkendali hingga bisa terjadi salipan emosi antar sesama petugas rumahan, dan itu yang tidak diinginkan oleh si bungsu. Jika ingin memberikan penguatan spiritual sekaligus penghiburan sebaiknya membuat suasana yang penuh canda tawa dan khusu’kan bersujud menengadah di sela sholat, bukan sibuk ngurusi piring dan sendok hingga kadang si bungsu berkecut dahi. Ah, sudahlah ini tradisi penghiburan sekaligus penguatan bagi sang calon haji. Sisi lainnya para keluarga juga berdoa bersama agar diberikan kekuatan menjalani ibadah, semoga sang bapak dan istrinya terhibur hingga kembalinya dari tanah suci dalam lindungan Allah.
Sorenya menjelang baca doa malam, si bungsu baru jujur pada sulungnya. Tata, selain itu alasan tadi, ada juga alasan lainnya hingga keberatan dibuatkan baca doanya. Sang Paman malah pengen do’a ini dibuat di rumahnya dan ingin sekali sang Paman yang juga adik kandung dari si Ibu agar kakaknya yang hanya putus SMP itu berangkat ke tanah suci harus keluar dari rumahnya. Ya, kebetulan rombong hajinya dari Kupang, bukan dari Lembata sehingga Paman menawarkan agar seluruh rangkaian acara keberangkatan dihelatkan disana. Sebenarnya tidak masalah dan sah-sah saja karena kebetulan si Paman yang dituakan di rantauan tapi si bungsu kukuh karena ini ritual keagamaan harus di pilah dengan ritual tradisi adat. Olehnya sekalian saja tradisi itu coba dienyahkan yang penting substansi penghiburan dan doa harap penyertaan di cetuskan.
Sang Paman yang juga satu-satunya guru besar [Profesor] komunikasi di NTT dengan lebih dari 20an buku telah ditulisnya, berharap tradisi itu ingin terjadi di rumahnya. Bagi pembaca mungkin anggap biasa saja, si adik ingin tunjukan rasa sayangnya pada sang kaka [si Ibu] namun ‘mungkin’ bagi si Paman, inilah kesempatan Komunikasi Lintas Budaya yang ada dalam beberapa bukunya itu diempiriskan. Beliau selain ingin membuktikan rasa sayangnya pada si kaka dan iparnya, bisa juga ingin tunjukan pada yang lain bahwa inilah cara berkomunikasi lintas agama dalam lingkar satu budaya bertalikan darah. YA,… BUDAYA MENJELANG DAN SESUDAH BERHAJI. Sayangnya seluruh niat baiknya terurungkan hanya karena prinsip si bungsu yang kukuh tak perlu ada acara-acaraan, biarkan berjalan alami seperti kisah Ibrahim AS mengajak Ismail AS mengunjungi Makkah. Sucinya tanah suci harus dimulai dari sucinya hati para calon haji menjelang keberangkatan, sesuci hati yang saling mengasihi dan tanpa iri dengki dalam keluarga, sesuci kasih sayang para ibu pada anak-anak mereka yang ditinggalkan, sesuci hati Siti Hajar yang ikhlaskan anaknya untuk di Qurbankan. Ah, perdebatan disudahi dan malam pun tetap berlangsung baca do’a dalam lingkaran keluarga terdekat. Sang Paman sempatkan hadir meski waktu sudah larut karena berbagai kesibukan akademis dan sosialnya diluar sana. Terima kasih Paman, ponakan memohon maaf atas kelancangan ini. Jika dalam tradisi adatnya, si ponakan [sang anak] sudah kena pinalti dari Sang Paman karena menantang tapi sesama kaum pemikir harus rasional bertindak dan itulah yang diajarkan sang Paman; BOLEH SALAH TAPI TIDAK BOLEH BOHONG.
Satu hal yang mungkin para pembaca harus ketahui, si bungsu sadar bahwa ini adalah rangkaian ritual agama sehingga berbagai atribut dan instrument harus di prakondisikan untuk lebih khusu’ menjalaninya. Soal kenyamanan sang bapak dan sang ibu menjalani rangkaian sehingga instrument peribadatan itu disiapkan secara saksama dalam kondisi yang tidak ada rasa kekakuan atau pun keraguan. Secara kebetulan sang Paman yang professor dan penulis terkenal itu adalah Ketua Sinode di salah satu Gereja Katholik terbesar di Kupang, tentunya dalam konteks sosiologis budaya adalah sisi yang sangat positif namun ada sisi lain dalam kekhusu’an beribadah mungkin masih ada ganjalan yang tidak dapat diungkapkan sehingga sang bapak dan si ibupun keberatan untuk dibuatkan di rumah adiknya. Inilah sisi lain sang Profesor ingin mengajarkan kepada semuanya bahwa BERHAJI bukan sekedar ritual PERIBADATAN VERTIKAL namun juga wahana berinteraksi social agar hubungan horizontal sang calon haji juga dinikmati oleh komunitas sosialnya. Bahwa sang kakak [dari Profesor] yang kebetulan muallaf akan berhaji, berbeda keyakinan spiritual dengannya namun pertalian gen dan darah tidak terpisahkan oleh keyakinan mereka, maka rasa ber-hak juga dimiliki sang Paman. Bukan hanya sang Paman, semua keluarga yang Nasrani di kampung dan dimanapun, mereka juga merasa memiliki si Ibu yang tak tamat bersekolah … Tata Agus, Mama Agus, Oma Agus; ya Fatmawati [AGUSTINA] Liliweri, itulah sapaan pada si Tukang Roti oleh keluarga dekatnya.
Hari keberangkatanpun tiba, hiruk pikik suasana rumah dari paginya sudah terlihat. Janji berkumpul pagi bersama rombongan pun di batalkan, si bungsu lebih memilih mengistirahatkan kedua orang tuanya agar lebih nyaman dan fress dalam penerbangan siang nanti. Bukan soal gugup tak bisa memasang sabuk pengaman yang akan dialami sang ibu dan dinginnya ruang cabin pesawat yang dirisaukan sang bapak namun gemuruh suasana para pengantar selama perjalanan berombongan yang akan melelahkan bathin keduanya. Olehnya si anak memilih mengantar langsung ke Bandar yang jaraknya tak seberapa jauh dari rumah, semoga membuat keduanya lebih nyaman karena suasananya biasa-biasa saja tidak seperti rumah lain yang juga sedang melepas kepergian calon haji [hanya beberapa literan airmata.. hahaha]. Tiba di Bandara El Tari, hampir tak ada rongga antar manusia karena sedemikian padatnya para pengantar jama’ah. Al hasil, si bungsu pun ikhlas melepas kepergian kedua orang tuanya tanpa harus berpamitan, tak ada cium tangan dan labaian tangan. Rombongan pengantar pun bergegas pulang selepas keduanya ada diruang tunggu bandara, sang Paman dan Bibi baru datang dan memaksa bertemu kedua calon haji. Siang itu si professor terpaksa menerobos blockade petugas bandara hanya ingin memeluk si Ibu, kakaknya yang menggantikan ibu mereka sejak professor masih kecil. Semoga pelukan adik professor yang juga ex-frater bisa membuatnya kuat dalam perjalanan dan khusu’ menjalani semua ritual.
Sempat transit 2 hari di Surabaya, masih aktif telpon-telponan saling mengabari dengan berbagai keluh kesah dan cerita lucu penuh hikmah. Dari si ibu yang di tinggali bapak karena sibuk sebagai ketua rombongan, hingga jaket si bapak yang tertinggal di Kupang. Kabar masih di kirimkan via bantuan jaringan telkomsel, akhirnya pesawat ke tanah suci menghantarkan mereka tiba disana dan kabarpun kabur hingga tulisan ini dimuat. Sekali saja di hari ketiga sms dari si bapak masuk ke hp si bungsu, minta dibelikan pulsa dan si bungsu berpesan sebelum dikirimkan pulsa, “Bapak dan Mama konsen saja ibadahnya, kabari jika ada sesuatu yang urgen dan darurat. Kami doakan semoga lancar ibadahnya”. Sejak itu, belum ada lagi ada kabar dari keduanya, bahkan kemarin dan besok adalah hari ulang tahun keduanya. Ucapan telah di lantunkan via SMS dan WA tapi belum juga ada kabarnya, Ya Allah … berikanlah hidayah dan kuasa-Mu yang menjadi hak keduanya pada momentum ini, yang kebetulan keduanya ada di Baitullah. Semoga berkah semua ikhtiarnya… SELAMAT ULANG TAHUN ke-69 buat Ayahan dan ke-62 buat Ibunda tercinta yang di tanah suci.
Bersambung ke Part-3

BERHAJI, KESEMPURNAAN IMAN



HAJI, KESEMPURNAAN IMAN
Tukang Roti Naik Haji, sebuah Cerpen ringan
[Part 1]
Ngajinya cukup dulu ya, Nene Ibu mau ramas adonan dulu. Jangan lupa besok datang lebih sedu ya”, demikian pekikan si ustadzah guru ngaji dibalik sekat dapurnya hingga anak mengajipun membubarkan diri seketika setelah menyalami dan menciup tangan ustadzah yang sudah penuh dengan adonan terigu. Demikian kesibukan si ibu renta berbobot 95Kg kala magrib menjemput di sebuah perkampungan transmigrasi lokal Kabupaten Lembata. Daster lusuh kiriman menantunya yang di tanah keresidenan Solo sudah hampir setahun selalu rutin membalut gumpalan lemak di badan yang kian membengkak. Sesekali diganti daster lainnya yang dari Kupang berkombinasi penutup kepala dari menantu yang di Lamahora untuk menyembunyikan kriting rambut yang kian memutih. Si Ibu yang tak beralas kaki masih lincah melintasi setiap bilik rumahnya yang berukuran sedang untuk mencari bibit roti dan sisa terigu hasil ngutang di toko Ako Ming Lewoleba.
Sejenak suasana menjelang magrib tampak hening, dari kejauahan terdengar suara sang muazin kumandangkan azan magrib. Suara itu tak lain adalah sang suami tercinta yang hampir 42 tahun setia menemaninya. Sang Bapak yang berjenggot putih panjang rupanya bertugas sebagai Imam, muazin sekaligus ma’mum di surau dekat rumahnya karena hanya magrib seorang diri sehingga harus pula memecah keheningan senja dengan kumandangan azan. Suaranya sedikit gemetar tak berirama seperti lontai langkah kakinya yang kian redup menjalani kehidupan, azan sengaja dijadikan cara untuk menyudahi aktifitas duniawi penghuni kompleks perumahan namun tak ada satu pun datang menemani magribnya.
Selepas magrib, si bapak masih lanjut tertegun dibelakang mihrab mendengungkan lafadz kalimatullah. Seakan memohon pada Allah untuk diberikan ma’mum yang banyak agar ada teman nya diskusi melanjutkan rencana rehabilitasi suraunya menjadi masjid. Penduduk desa yang sebagian besarnya adalah nelayan, mereka masih asyik menikmati kopi sambil menyiapkan perbekalan untuk kembali melaut malam itu. Dan waktu isya pun tiba, si Bapak masih menyendiri bergegas menunaikan 4 raka’at isya-nya. Selapas salam bapak pun segera membereskan perlengkapa, memadamkan lampu dan menutup rapat pintu masjid untuk pergi kembali menemui sang kekasih hati, ustadzah Fatma. Namun belum juga sampai di rumah, sang Bapak disambangi salah satu penduduk yang mengajaknya pergi menengok anaknya yang tengah sakit tak terdeteksi. Maklum, si Bapak juga mantan guru yang dibekali keahlian mantri serta kelebihan non-medis dengan beberapa mantra ayat al Qur’an. Si Bapak pun nurut karena keibaan meski keahlian lamanya sebagai mantri pernah membuatnya nyaris tersekap dibalik jeruji besi namun mantra-nya semakin sakti maka kadang penduduknya menyapa Mbah Dukun.
Waktu isya berlalu hingga senyap menjemput malam dalam kegelapan kampong mukiman kaum urbanis, penduduknya tergolong kelompok rural yang dipaksakan lebih moderat namun tetap saja paradigmanya tradisional. Pembauran budaya Lamaholot, Bajo, Kedang dan beberapa komunitas etnis kecil lainnya dalam kawasan pemukiman migran seakan lengkap menjemput perubahan namun tetap saja perilaku masyarakatnya masih bersahabat sebagaimana kala Si Bapak bertugas dahulu akhir tahun 1978-an. Si Bapak sempat menjadi guru bantu di SDN Waijarang hingga tugas menjemput dan beberapa kali berpindah ke seputaran wilayah Kabupaten Flotim [kala itu; sekarang Lembata]. Muridnya yang dulu bengal kini tengah meminang anak bahkan ada yang sedang menanti cucu hingga kerentaannya menyaingi sang guru yang di akhir masa pensiunnya kembali ke kampung asal bertugas sebagai Kepala Sekolah. Kini Si Bapak Akhmad telah mengemban amanah baru sebagai imam masjid di pemukiman Waijarang sekaligus dipercayakan sebagai Ketua BPD Desa Waijarang. Entah apa yang membuatnya kembali menikmati masa senjanya di kampung Waijarang, mungkin inilah yang dikatakan proses penakdiran.
Si Bapak dan istrinya yang seorang muallaf, telah menjalani lama proses berumah tangga hingga dikaruniai 4 anak kandung, seorang anak tiri dan dua orang anak piaraan yang diasuh sejak lahir. Selapas Bapak meninggalkan Waijarang dan pindah ke Dolulolong [Desa di Lembata sekarang], si Ibu melahirkan 2 orang putra dan seorang putrid hingga melengkapi sang putra sulung yang dilahirkan di akhir masa abdi tahap I bersama komunitas Bajo di Waijarang. Sang Bapak juga dikaruinai seorang anak dari istri keduanya, tetap akur dan damai dalam perdebatan regulasi sebagai abdi Negara namun itu dijalaninya bersama. Hingga hadirlah seorang anak perempuan yatim yang kini tengah menyiapkan diri untuk berwisuda di UMK Kupang, masih tetap seperti dulu si Bapak dengan letihnya masih menyisihkan hasil keringatnya untuk si Yatim meski telah berkeluarga. Si Bapak juga masih bertanggung jawab atas anak Yatim kedua di tempat tugas lamanya setelah Dolulolong yaitu Tanawerang, kini juga telah berada pada akhir masa studi keserjanaan. Kedua anak piaranya nyaris tak memposisikan si Bapak dan si Ibu sebagai orang tua asuh sesusu namun lebih disayang melebihi anak kandungnya yang kini juga menjadi pendidik.
Si Bapak memang multi talenta, menjadi tukang batu-kayu-besi bahkan tukang jahit dan suntik. Berkebun, mengembala kambing dan memelihara ayam masih menjadi rutinitas keseharian si Bapak kala kesenjangan hari. Sementara si Ibu masih setia pada adonan roti beserta ragam makanan lainnya yang disediakan bagi jajanan sekolahan, itu cukup menguras waktu dan tenaga hingga kadang jatuh sakit. Iya, itu kenikmatan tiada taranya kala senja menjemput mereka berdua masih setia menua sambil menatap jejeran foto sarjana semua anak-anaknya. Kadang beberapa cucu di Lewoleba menemani kesehariannya, sekedar mengalihkan kesibukan lain pada rutinitas diatas. Keduanya sudah berulang kali diingatkan untuk istirahat saja karena anak-anaknya sudah menikah bahkan sukses dengan ragam masa depannya namun tetap saja si Bapak dan si Ibu tetap bekerja. Hingga kini mereka masih seperti dulu.
Kembali bercerita tentang malam itu, si Bapak kembali ke rumah dan ibu telah setia dengan segelas kopi hitam panas. Rupanya sudah ada tamu menunggu di rumah, ada bapak-bapak beserta istri dari kampung sebelah datang bersilaturahmi sambil membawa sebotol air mineral untuk diberikan air do’a pada anak mereka yang kecelakaan motor siang tadi. Si Bapak belum sempat menyedot kopinya dan langsung melayani ‘pasien’ nya, kemudian sedikit basa basi bercerita hingga larut menjemput. Lelah hari itu dan mereka berduapun menuju peraduan untuk berselancar menjajaki senyam malam perkampungan. Baru saja si Bapak beranjak ke kamar tidur, si Ibu sudah mendengkurkan ngoroknya pertanda betapa lelahnya hari ini, sekejab telpon genggamnya bordering. Sebuah panggilan dari anaknya yang sedang menyelesaikan studi doktoralnya di Malang, sang Dosen menyapa salam dan sedikit basa basi menanyakan kabar. “Baik anak, sehat anak, semuanya Alhamdulillah senantiasa dirahmati Allah. Kalian baik-baiklah di rantau”, begitu nasihat si Bapak.
Sang Dosen ingin mendengarkan keluh kesah ibunya hari ini namun sayangnya sudah ada disinggasana mimpi, di balik telepon terdengar keras suara dengkuran ibu. “Bapak, tolong bangunkan Mama. Ini ada sesuatu yang ingin ananda sampaikan bersamaan pada Bapak dan Mama”, begitu permintaan sang anak yang dosen. Ibu pun bangun tertatih menuju ruang keluarga yang sudah padam pijarnya, “eeee Amo, narabone?” sapa si Ibu dalam bahasa Kedang. “Bapak dan Mama, begini… [suara tertatih nyaris menangis] setelah ini tolong sholat sunnah diakhiri dengan sujud syukur. Niatkan untuk mensyukuri nikmat Allah atas segalanya. Alhamdulillah Mama dan Bapak di undang Allah untuk memenuhi panggilannya ke tanah suci, izinkan ananda menyapa Bapak dan Mama sebagai Aba Haji dan Ibu Hajjah”. Demikian suara pelan dan khas si anak mengabari, sontak airmata si Ibu pun mengalir membanjiri lempem pipinya dan si Bapak langsung bertanya mengapa?. Spiker diaktifkan dan sang anak menyapa, “Assalamu’alaikum Pak Haji Akhmad”. Bapak reflex dan sujud syukur. Alhamdulillah Mama dan Bapak di undang ke tanah suci untuk menyempurnakan imannya. Berhaji bagi yang mampu adalah rukun iman kelima dari lima rukun Islam yang diajarkan.
Hari-hari berikutnya dengan kegembiraan bersiap menyambut datangnya jadwal dan lima tahun masa menunggu telah terlewati, kini saatnya menyiapkan lahir dan bathin untuk kesempurnaan iman berkunjung ke tanah suci. Allahu akbar, subhanallah wal hamdulillah. Si ustadzah yang cerewet dan si Bapak yang hanya memutih jenggot panjangnya kini tengah bergabung bersama kloter 66 Embarkasi Surabaya sebagai jama’ah haji pada musim haji 1438 H. Semoga nikmat menjalani kesempurnaan iman, diberikan kekuatan untuk menyandang haji mabrur dan selamat kembali menjadi pewarta kebajikan bagi seisi alam. Engkau guru dan engkau pengabdi, jadilah hamba yang senantiasa tawaddu’, bersahaja dan sederhana sebagaimana yang engkau teladani pada anak cucu kalian berdua. Selamat berhaji Bapak dan Mama, do’akan kami pun menyusul pada undangan selanjutnya.
[Part 1; Bersambung]