Senin, 08 Agustus 2016

Pilot Project PTSP UNTUK MENDORONG PENINGKATAN PELAYANAN PERIZINAN

REFORMULASI SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN MODEL GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA [GBHN]

REFORMULASI SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
DENGAN MODEL GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA [GBHN] *)
Hamza H. Wulakada **)

Ringkasan


Pendahuluan

Perubahan signifikan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia di berbagai aspek dan dimensi pasca runtuhnya rezim Orde Baru, termasuk perubahan struktur dan fungsi kelembagaan Negara merupakan salah satunya masalah karena beberapa lembaga tinggi masih dicarikan format baru untuk pengembangan tugas, fungsi dan perannya dalam pembangunan nasional. Perubahan mendasar juga terjadi dalam proses penyelenggaraan pembangunan nasional dalam rangka mencapai tujuan Negara seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar [UUD] 1945.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah salah satu lembaga yang mengalami perubahan mendasar dalam hal kedudukan, fungsi dan perannya pasca amandemen UUD 1945. Sebelum amandemen, MPR merupakan lembaga tertinggi Negara dengan kewenangannya menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Pasca amandemen, kedudukan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara, tetapi berkedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga Negara lainnya, dan fungsinya pun terbatas pada satu kewenangan rutin yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan umum, selebihnya merupakan kewenangan insidental MPR, seperti memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD, mengubah dan menetapkan UUD serta kewenangan insidental lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 Perubahan. Dengan demikian, perubahan UUD 1945 telah membuat MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara yang superior seperti pada masa Orde Baru, akan tetapi justru sebaliknya, menjadi sangat lemah dan inferior dibandingkan dengan lembaga-lembaga Negara lainnya yang lebih jelas kedudukan, fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen. Tugas rutin MPR nyaris hanya sekali dalam lima tahun, yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan umum.
Perubahan mendasar juga menyangkut keberadaan GBHN. Pada masa Orde Baru, GBHN merupakan pedoman untuk Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Jika Presiden tidak mengikuti atau melanggar GBHN, maka MPR dapat memberhentikan Presiden. Sejak era reformasi, eksistensi GBHN tidak ada lagi sebagai konsekuensi perubahan UUD 1945. Konsekuensinya adalah adanya perubahan mendasar pada system penyelenggaraan pembangunan. Sebagai penggantinya, maka sebagai pedoman penyelenggaraan pembangunan adalah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) selama 20 tahun sebagaimana dituangkan dalam UU No 17 Tahun 2007, sebagai amanat dari Pasal 13 ayat (1) UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) . RPJPN ini menjadi rujukan pembangunan lima tahunan yang disebut dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN): RPJMN I Tahun 2005-2009, RPJMN II Tahun 2010-2014, RPJMN III Tahun 2015-2019, dan RPJMN IV Tahun 2020-2024. Dokumen perencanaan pembangunan ini tidak lagi menjadi kewenangan MPR, melinkan kewenangan bersama antara DPR RI dan Presiden RI.

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional [SPPN]
SPPN merupakan salah satu konsekuensi adanya perubahan radikal dalam pengaturan ketatanegaraan pasca reformasi. Secara normative, sulit untuk tidak mengakui bahwa SPPN sebagaimana sudah diatur dalam UU No 25 Tahun 2004 sudah cukup ideal. Adopsi pendekatan politik, teknokratik, partisipatif dan perpaduan pendekatan top down dan bottom up, merupakan beberapa alasan kuat untuk mendukung argumentasi tersebut. Implikasinya, menjadikan SPPN merupakan sebuah system perencanaan pembangunan yang integrative, yang menyanjikan keterpaduan proses pembangunan nasional, pembangunan daerah maupun pembangunan antar daerah, dengan melibatkan multi-stakeholder. Perbandingan dengan system perencanaan pembangunan sebelumnya, yang diatur dalam Permendagri No 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Daerah (P5D), SPPN paling tidak dari perspektif normative menjanjikan proses perencanaan pembangunan yang lebih baik. Pada masanya, meski di sisi proses dan tahapan, P5D hampir sama dengan SPPN (Sjaifudian 2003), namun pada kenyataannya P5D merupakan proses perencanaan pembangunan yang sangat top-down (Usui & Alisjahbana 2003; Hidajat &Antlov 2004). Selain itu, stakeholders yang terlibat dalam SPPM lebih banyak dan mencakup berbagai kalangan masyarakat.
Persoalan klasik yang dihadapi adalah tidak adanya jaminan kepastian bahwa apa yang telah dikonstruksi secara ideal dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan SPPN maupun RPJPN itu dilaksanakan secara konsisten oleh pemangku kepentingan terkait. Sampai saat ini, tidak ada mekanisme yang jelas untuk menilai apakah dokumen-dokumen perencanaan yang dibuat sebagai tindak lanjut dari RPJPN, seperti di level nasional, RPJMN, Renstra Kementerian/Lembaga, Rencana Kerja Pemerintah, Rencana Kerja Kementerian, dan di level daerah, RPJMD, Renstra SKPD, RKPD, Renja SKPD, memang sudah merujuk kepada RPJP kecuali program Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah [EKPD] yang dilakukan oleh Bappenas. Apalagi jika mengingat adanya keterlibatan mekanisme penjabaran visi dan misi Presiden/Kepala Daerah terpilih, potensi gap dengan RPJP menjadi lebih besar. Pada akhirnya, banyak pihak yang menilai bahwa proses pembangunan seolah berjalan sendiri-sendiri dan menjadi tidak berpola. Kondisi ini dapat dikatakan hampir tidak terjadi pada era sebelumnya, ketika GBHN merupakan rujukan utama proses perencanaan pembangunan baik di level nasional maupun di daerah.
Kondisi demikian, bukan berarti bahwa SPPN dan RPJP menjadi tidak lebih unggul dibandingkan dengan system perencanaan sebelumnya. Secara normative, SPPN dan RPJP dilaksanakan secara terintegrasi, sinkron dan sistematis. Persoalannya mendasar adalah lebih kepada konsistensi dan sinergi dari berbagai dokumen perencanaan lanjutan sebagai turunan dari RPJP Nasional sebagai “induknya” dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan itu sendiri sesuai dengan yang diamanatkan oleh konstitusi. Kondisi ini ke depan akan semakin parah jika tidak ada mekanisme evaluasi yang jelas untuk menilai sinergitas berbagai dokumen perencanaan pembangunan beserta pelaksanaannya, baik di level nasional maupun daerah.
Berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN, diamanatkan 5 (lima) tujuan pelaksanaan sistem perencanaan pembangunan nasional, yaitu : (1) untuk mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan, (2) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antardaerah, antarruang, antarwaktu, dan antarfungsi pemerintah, serta antara pusat dan daerah, (3) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan, (4) mengoptimalkan partisipasi masyarakat, dan (5) menjamin tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Langkah selanjutnya, untuk menjamin agar pelaksanaan Strategi Pembangunan Nasional dapat dilihat tingkat keberhasilannya maka disusunlah Sasaran Pokok Pembanguan Nasional yang termuat dalam RPJMN [untuk 5 periode dalam RPJPN] yang terdiri dari indikator-indikator dengan berbagai klasifikasi Sasaran Pokok Pembangunan Nasional.
Untuk menjamin agar strategi pembangunan dapat dilaksanakan dengan baik perlu adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antardaerah, antarruang, antarwaktu, dan antarfungsi pemerintah, serta antara pusat dan daerah. Dalam rangka sinergitas perencanaan antara pusat dan daerah perlu adanya sinkronisasi pada dokumen perencanaan, dimana pemerintah daerah dalam menyusun dokumen perencanaannya harus berpedoman kepada dokumen perencanaan pemerintah pusat. Khusus untuk perencanaan jangka menengah (5 tahun), berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, dalam Pasal 263 ayat (3) disebutkan, RPJMD merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang memuat tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan, pembangunan Daerah dan keuangan Daerah, serta program Perangkat Daerah dan lintas Perangkat Daerah yang disertai dengan kerangka pendanaan bersifat indikatif untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang disusun dengan berpedoman pada RPJPD dan RPJMN [keterkaitan antar dokumen perencanaan terjelaskan dalam bagan terlampit].
Selain itu, pada Perpres Nomor 2 Tahun 2015 dalam Pasal 2 ayat (3) disebutkan, RPJM Nasional sebagai bahan penyusunan dan penyesuaian RPJM Daerah dengan memperhatikan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah dalam mencapai sasaran Nasional yang termuat dalam RPJM Nasional.  Selain itu, dengan adanya paradigma baru dalam perencanaan pembangunan dimana seluruh proses perencanaan harus berdasarkan holistik-tematik, integratif, dan spasial diperlukan suatu pendekatan baru dalam pelaksanaan evaluasi. Adapun pengertian dari pendekatan tersebut diantaranya adalah:
·         Holistik-tematik, Untuk mencapai sasaran prioritas nasional, perlu koordinasi multi Kementerian/ Lembaga/Daerah.
·         Integratif, Pencapaian sasaran prioritas nasional perlu dilakukan secara terintegrasi dari berbagai sektor pembangunan dan jenjang pemerintahan.
·         Spasial, Perlu sinkronisasi lokasi pembangunan untuk meningkatkan manfaat dan daya ungkit pembangunan yang dirasakan oleh masyarakat.

Untuk menjaga pembangunan berjalan sesuai dengan koridor perencanaan perlu dilaksanakan evaluasi. Proses evaluasi ini dilaksanakan mulai dari tahap penyusunan perencanaan sampai dengan akhir pelaksanaan kegiatan. Dalam rangka pelaksanaan evaluasi terhadap penyusunan dokumen perencanaan dan sehubungan dengan pelaksanaan Pilkada serentak pada tahun 2015, perlu dilakukan evaluasi terhadap rancangan RPJMD untuk menjaga kualitas serta keselarasan dokumen RPJMD.
Perbandingan Persoalan SPPN dan GBHN
Persoalannya adalah instrumen evaluasi dimaksud direncanakan oleh Pemerintah, di evaluasi olehnya [meskipun melibatkan elemen Perguruan Tinggi] dan tidak di pertanggung-jawabkan secara langsung kepada DPR dalam pentahapan yang periodik. DPR hanya diberikan ‘ruang bebas’ untuk melakukan fungsi pengawasan tanpa ada sistem yang jelas dalam mengevaluasi, jika kapasitas dan kualitas personal Anggota DPR tidak mampu melakukan evaluasi secara sistemik maka fungsi pengawasan menjadi tidak ideal dilakukan. Sementara peran MPR yang selevel dengan lembaga tinggi negara lainnya menjadi tidak maksimal, khususnya DPD [Dewan Perwakilan Daerah] yang domain konstituennya lebih representatif mewakili masyarakat daerah sehingga isu dan permasalahan di daerah menjadi tidak terekam dalam proses evaluasi.
Sisi lainnya dibandingkan dengan sistem perencanaan pembangunan sebelumnya, yang diatur dalam Permendagri No 9 Tahun 1982 tentang P5D, SPPN paling tidak dari perspektif normative menjanjikan proses perencanaan pembangunan yang lebih baik. Pada masanya, meski di sisi proses dan tahapan, P5D hampir sama dengan SPPN, namun pada kenyataannya P5D merupakan proses perencanaan pembangunan yang sangat top-down dan stakeholders yang terlibat dalam SPPM lebih banyak dan mencakup berbagai kalangan masyarakat.
Pertanyaannya, masih perlukan model GBHN diterapkan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional saat ini?. Pertimbangan perlu bila fungsi merencanakan melibatkan berbagai elemen [termasuk DPR dan MPR] sebab aspirasi dalam demokrasi tersalur melalui lembaga politik dimaksud. Pemerintah dalam kegiatan perencanaan dokumen telah melibatkan lembaga politik [DPR/DPRD] namun fungsi pengawasan dibiarkan bebas tanpa ada model pengawasan yang ideal sehingga yang terjadi adalah penilaian keberhasilan tanpa merujuk instrumen dan dindikator perencanaan.
Solusi yang ditawarkan  adalah adanya mekanisme perencanaan yang normatif dan akademik antar lembaga tinggi negara, disiapkan pedoman pengawasan dan standarisasi evaluasi sesuai metodologis sehingga penilaian keberhasilan harus rasional dan terukur. Diskusi hari ini untuk kembali menggunakan model GBHN jangan sampai hanya sekedar mengembalikan peran dan fungsi MPR dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional namun juga harus disiapkan mekanisme dan sistem pengawasan, evaluasi dan pengendalian yang sistemik, terstruktur dan metodologis agar tidak ada ketimpangan dalam menilai keberhasilan atau kegagalan. Penyakit para birokrat dan lembaga politik adalah ketimpangan penilaian hanya atas dasar keuntungan, kepentingan dan keberpihakan yang sifatnya politis, tidak memperhatikan pertimbangan rasionalitas dan kepentingan masyarakat. Semoga kedepan akan lebih baik dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, sekaligus pengawasan [evaluasi] dan pengendaliannya dengan melibatkan seluruh elemen politik dan non politik.






*) disajikan dalam RDP Senator Syafrudin Atasoge, S.Pd, M.Pd di Kupang, 4 Juni 2016
**) Dosen dan Peneliti di UNDANA
OUT LINE BUKU

Pengantar Penulis
Alhamdulillahhi robbil’alamin, segala pujian hanya bagi Allah SWT atas segala Rahmat, Rahim serta keridloaan-Nya sehingga tulisan ini dapat terselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan selalu pada junjungan Rosulullah SAW atas kehadirannya menghantarkan Islam bagi kita sekalian dalam menapaki lajur keabdian kita sebagai hamba Allah. Amien.
Kemerdekaan berkumpul, berpikir ...
Kutipan surat Ash Shofh [

Buku ini tersusun atas keresahan personal kami saat mengamati degradasi mission HMI yang banyak di-soal-kan para pendahulu bahwa kondisi HMI saat ini sangat dipengaruhi oleh pola pengkaderan yang dimiliki. Terkadang kita mendengar keluhan para senior [alumni HMI] membanding-bandingkan HMI masa mereka dan HMI hari ini, saya berada pada pilihan yang tidak ilmiah karena perbedaan [kemajuan-kemunduran, baik-buruk] setiap fase kepemimpinan tentunya juga dipengaruhi oleh berbagai aspek, terkhusus kemampuan manajemen pemimpinnya. Para pemikir muda HMI seperti ----- juga mensintesa kondisi kekinian juga diakibatkan karena faktor eksternal yaitu ketidakmampuan HMI secara kelembagaan menghadapi dinamika dan persaingan eksternal. Beberapa lainnya berpendapat bahwa --- Pola Pengkaderan sudah tidak lagi mampu mengakomodir tuntutan pasar, atau sederhananya dibahasakan bahwa Pola Pengkaderan HMI hari ini seharusnya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan kadernya sesaat berjalannya jenjang pengkaderan di HMI, juga diharapkan mampu membekas dalam pola pikir dan pola tindak kadernya setelah tidak ber-HMI lagi.
Saya pada posisi mengamini semua simpulan dimaksud namun pada sisi lain, saya cenderung tidak sepakat dengan beberapa senior yang cenderung mengkritisi kondisi Pengkaderan HMI hari ini tanpa menyuplai solusi konstruktif untuk perbaikannya. Keresahan saya beberapa kali menyaksikan pola pengkaderan di internal HMI Cabang Kupang, kemudian follow up dari jenjang pengkaderan hingga pada kondisi para alumni muda yang berada dalam persimpangan didalam komunitas sosial barunya membuat saya bertanya.... ”apakah mereka tidak disiapkan seperti dulu HMI menyiapkan kami”. Simpulan sementara masih tetap berkutat sekitar faktor kemampuan individual karena pola pengkaderan HMI secara nasional relatif telah  mengalami berbagai kemajuan [perbaikan]. Merujuk dari berbagai pengalaman pribadi kami dalam memberikan pendampingan [pelatihan] dengan berbagai pihak maka saya berniat untuk mencurahkan sedikit pengalaman ini agar publik HMI dan KAHMI bisa membantu menyempurnakannya, dan kelaknya akan menjadi suatu solusi kongkrit dalam menopang pola pengkaderan yang kini telah digunakan dalam HMI.
Akhirnya, ucapan terima kasih saya sampaikan pada berbagai pihak yang telah berkenan mengkontribusikan ide dan pemikirannya, dalam bentuk tulisan maupun lisan, moril maupun material. Keikhlasan pengorbanan para pihak adalah bukti kecintaan kita bersama dalam menata organisasi kebanggaan kita ini demi terwujudnya 5 [lima] kualitas insan cita yang tertuang dalam tujuan HMI. Permohonan maaf atas ketidak sempurnaan tulisan ini, olehnya usul saran dan kritik yang bersifat konstruktif dari berbagai pihak sangat diharapkan agar tulisan ini mampu memberikan perubahan mandasar dalam pola pengkaderan HMI maupun sebagai refleksi bersama membangun komunitas hijau-hitam yang kian membaik.
Wabillahi Taufiq Wal Hidayah, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuhu.

Kupang, ____ Pebruari 2016

ISLAM, POLITIK DAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA

ISLAM, POLITIK DAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA
Oleh : A. P. Kosso

DISUSUN OLEH ; HAMZA H. WULAKADA

1.    Peranan Islam Pasca Kemerdekaan (Orde Lama dan Orde Baru)
Menilik sejarah pertumbuhan pemikiran Islam di Indonesia pada abad XX, setidaknya telah lahir tiga generasi cendekiawan muslim. Gerakan pertama adalah mereka yang menjadi pendiri organisai-organisasi Islam pada masa pergerakan nasional baik organisasi sosial keagamaan maupun organisasi politik. Di antaranya ada yang tergolong “jurist” tetapi banyak pula yang berpengetahuan luas yang bergerak dalam tataran pemikiran dan aksi-aksi nyata melalui organisasi yang didirikan untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat Islam.
Memasuki era awal kemerdekaan banyak generasi pertama maupun yang kedua yang pada masa pergerakan menjadi pelaku aktif, kebanyakan terekrut dalam supra struktur politik dan menjadi pelaku politik utama.  Energi mereka sepenuhnya dicurahkan untuk  menggerakkan mesin politik karena kebetulan pada saat yang sama harus  berpapasan dengan gelombang lain yang juga tidak kalah gigihnya menancapkan kukuhnya dalam birokrasi. Olehnya, corak cendekiawan muslim yang tampil dalam permukaan adalah mereka yang pandai berpikir, berdiplomasi dan menggerakkan massa. Sejarah parlementeria di tahun 1950-an, jelas menunjukkan bahwa energi cendekiawan dan pemimpim muslim terkuras untuk berdebat dalam perlemen dan kabinet.
Pada mulanya persatuan dan kekompakan para elit muslim itu tidak tergoyahkan oleh desakan dari luar. Interes  golongan dapat  diendapakan dan dikalahkan oleh kepentingan yang luas namun bersamaan dengan perputaran zaman disadari atau tidak, ancaman dari luar itu mampu menggoda elit muslim. Diawali munculnya faksi meluas menjadi fraksi akhirnya timbul keinginan memisahkan diri dan bersamaan dengan pemisahan antar kekuatan  politik Islam kelompok tertuntu mencari kekuatan baru sebagai kawan birokrasi. Inilah awal kemunduran umat Islam dalam panggung politik.  Sejak itu kekuatan Islam pecah berkeping-keping.
Ditambah dengan kuatnya posisi Bung Karno yang berusaha melakukan koptasi terhadap berbagai kekuatan “pinggiran” dan disertai pula dengan “kekalahan”  dalam konstituante, kekuatan Islam mulai tergantung pada razim. Independensi politik telah menjadi obsorditas. Kenyataan seperti ini yang pula yang mengharuskan umat Islam kembali mendefinisikan pola partisipasi politik mereka dan pola kepemimpinan yang kondusif. Dengan kata lain iklim politik zaman  demokrasi terpimpin telah sama sekali mengubah orientasi umat Islam dalam memerankan diri sebagai warga Negara dengan sistem politik yang kepemimpinannya serba terpusat dan lebih mencerminkn hubungan patron-klien. Akibat diterapkannya sistem kepemimpinan patron-klien makin memperbanyak fraksi, yakni dengan munculnya kelompok-kelompok interes yang dengan rela mengorbankan segala-galanya untuk mendekati pusat kekuasaan. Dikalangan Islam pun beberapa elit muslim dan kekuatan politik tertentu telah rela mengorbankan apapun asalkan tidak dikucilkan dari pusat kekuasaan itu. Gejala inilah yang mengantarkan umat Islam memasuki Era Orde baru.
Kehancuran orde lama dengan segala kekuatan dan kelemahannya telah memberi peluang bagi bangsa kita termasuk umat Islam untuk sekali lagi melakukan koreksi terhadap berbagi kesalahan dalam menata sistem politik yang mendukung terciptanya cita-cita kemerdekaan. Orde baru dengan tatanan baru sangat berhutang budi pada umat Islam karena hampir dapat dipastikan tanpa bantuan umat Islam tidak mungkin PKI dapat dikikis dari bumi persada Indonsia. Dekade 1965-1967, umat   Islam telah mempertaruhkan segala-galanya dalam menumpas musuh Pancasila hanya dengan isu agama, umat Islam berani berada di barisan terdepan bersama ABRI dan pelajar-mahasiswa sebagi panggilan jihad untuk menegakkan kebenaran di bumi nusantara. Pemuka agama Islam dijadikan penggerak untuk membakar semangat massa dalam menumpas penghianat bangsa. Apa yang diperbuat umat Islam pada waktu itu tidak didorong oleh motif apapun kecuali demi tegaknya kebenaran yang didorong oleh panggilan suci yang Islami sehingga terwujud kestabilan.
Suasana kesetabilan itu pula yang memungkinkan pemerintah orde baru dapat memanfaatkan segenap potensi bangsa. Ditambah modal asing untuk melakukan pembangunan secara berencana. Kegiatan pembangunan ini pula yang telah membuka peluang bagi rakyat Indonesia untuk menciptakan berbagai sarana dan meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Namun demikian, harus diingat bahwa pembangunan yang lebih menitik beratkan pada segi  ekonomi atau materil yang membutuhkan tingkat stabilitas yang tinggi mengundang ABRI lebih berperan lagi di bidang sosial dan politik sehingga dimungkinkan oleh  doktrin dwi-fungsi ABRI. Dengan kata lain, ABRI makin intensif menjalankan perana sosial politiknya. Ini memperkecil ruang gerak politik sipil. Kendatipun secara terselubung kenyataan ini menimbulkan gejolak.
Harapan untuk kepentingan bersama, disertai persepsi  bersama terhadap kondisi sosial politik pada saat tertentu, menjadi bagian dari sejumlah keadaan yang dengan dorogan hasrat eksplorasi sosial dan idial dalam skala besar merupakan pangkal dari munculnya pemuda sebagai kelompok anomis dalam perjalanan politik di tanah air. Realitas ini tidak berdiri sendiri namun hampir semua pranata sosial politik,  terutama lembaga-lembaga artikulatif mengalami degradasi fungsi.  Di saat itulah sebenarnya rangsangan luar terhadap pemunculan pemuda sebagai kelompok “anomis” berada pada titik paling tinggi. Titik singgung dari rangsangan kondisi objektif dengan dengan kondisi subjektif pemuda inilah sesungguhnya yang mendorong lahirnya sejumlah gerakan pemuda Islam di tanah air.
Dalam kerangka pergerakan pemuda Islam, kondisi subjektif harus dilihat dalam sejumlah dorongan nilai yang disediakan Islam bagi “mereka yang tegak dalam untuk menyatakan kebenaran serta mencegah kemungkaran” (Q.S 3 :104). Hasrat eksplorasi sosial dan ideal dalam konteks ini mendapatkan juga sumber dorongan sekaligus arah dalam wujud kesadaran bahwa “keseluruhan gerak di dalam kerangka kehidupan hanyalah ditujukan kepada Allah “ (Q.S 6: 162). Kesadaran inilah yang mendorong lahirnya semangat juang Ormas maupun OKP Islam, meluruhkan keseluruhan  aspek juang dalam kerangka Islam. Meningginya tingkat kesadaran akan tujuan hidup muslim berbanding terbalik dengan akibat psikologis yang ditumbuhkan oleh relitas sosial, baik dalam konteks kehidupan di perguruan tinggi, bagi para mahasiswa, maupun dalam kehidupan di tengah masyrakat.
2.    Hubungan Politik, Akomodatif, Islam , Negara, Masa Orde Baru
Para sosiolog teoretisi politik Islam merumuskan beberapa teori tentang hubungan agama dan negara. Teori-teori tersebut secara garis besar dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran yaitu paradigma integralistik (unified paradigm), paradigma simbiotik (symbiotic paradigm), dan paradigma sekularistik (secularistic paradigm). Bagaimana hubungan politik yang akomodatif antara Islam dan negara masa orde baru? Bagaimana relevansi hubungan politik yang akomodatif antara Islam dan negara masa orde baru dengan tujuan Islam politik di Indonesia?
Islam yang sejak awal kurun pemerintahan Orde Baru selalu dipinggirkan, pada akhir 1980-an dan 1990-an mulai "dipeluk" oleh negara. Pendukung "teori akomodasi" memformulasikan empat bentuk "rangkulan" negara terhadap Islam.
a.     Pertama, akomodasi struktural, yang ditandai dengan direkrutnya para pemikir dan aktivis Islam politik ke dalam birokrasi, baik di institusi eksekutif maupun legislatif.
b.     Kedua, akomodasi legislatif, yaitu disahkannya beberapa peraturan dan undang-undang yang secara khusus mengatur kehidupan keagamaan umat Islam.
c.     Ketiga, akomodasi kultural yaitu banyak digunakannya simbol-simbol ke-Islaman seperti sering digunakannya "bahasa agama" dan idiom-idiom Islam lainnya dalam perbendaharaan kosa kata instrumen-instrumen politik dan ideologi negara. Seperti pengucapan assalamu'alaikum dalam pidato-pidato kenegaraan dan diselenggarakannya Festival Istiqlal.
d.     Keempat, akomodasi infrastruktural seperti dibangunnya masjid di Istana Negara, Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Kebijakan akomodasi negara terhadap Islam saat itu sesungguhnya lebih merupakan pembungkaman sikap oposisi umat Islam yang tergolong vokal. Dengan kalimat lain, kebijakan akomodasi itu tidak relevan dengan harapan dan tujuan Islam politik di Indonesia. Kebijakan akomodasi tidak lebih seperti memberi permen pada anak kecil yang terasa manis tapi cepat atau lambat melemahkan daya cengkeram gigi anak itu.

Munculnya partai-partai Islam belakangan ini telah menimbulkan perdebatan tersendiri kalau bukan masalah kontroversi. Dalam pandangan sementara kalangan, fenomena itu dinilai sebagai perwujudan dari hadirnya kembali politik Islam, atau yang secara salah kaprah diistilahkan sebagai "repolitisasi Islam". Penilaian yang pertama bernada positif, karena seperti agama-agama lain, Islam memang tidak bisa dipisahkan dari politik. Penilaian kedua, jika istilah itu dipahami secara benar, adalah negatif. Istilah "politisasi" (terhadapa apa saja) selalu merupakan bagian dari rekayasa yang bersifat pejorative atau manipulatif. Bisa dibayangkan apa jadinya jika hal tersebut dikenakan pada sesuatu yang mempunyai sifat ilahiyah (devine) seperti agama Islam. 
Tidak diketahui secara persis apa yang dimaksud oleh sementara pihak yang melihat maraknya kehidupan politik Islam dewasa ini sebagai suatu fenomena yang dapat diberi label repolitisasi Islam. Meskipun demikian, kalau menilik indikator utama yang digunakan sebagai dasar penilaian itu adalah munculnya sejumlah partai politik yang menggunakan simbol dan asas Islam atau yang mempunyai pendukung utama komunitas Islam, maka tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa yang dimaksud adalah fenomena munculnya kembali kekuatan politik Islam. Hal yang demikian itu di dalam perjalanannya selalu terbuka kemungkinan untuk "memolitikkan" bagian-bagian yang menjadi dasar idiologi partai-partai tersebut.
a.    Makna Politik Islam
Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. (Salim Ali al-Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam [Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I]). Politik Islam ialah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruh umat Islam (baca: pemeluk agama Islam). Karena itu, mereka dalam kategori politik dapat disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam, dan istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah perjuangan, serta wacana politik.
b.    Hakikat Politik Islam
Politik Islam secara substansial merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap perilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Islam, menurut Dr. Taufik Abdullah, bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.
c.    Dilema Politik Islam
Dalam penghadapan dengan kekuasaan dan negara, politik Islam di Indonesia sering berada pada posisi delematis karena menyangkut tarik-menarik antara tuntutan untuk aktualisasi diri secara deferminan sebagai kelompok mayoritas dan kenyataan kehidupan politik yang tidak selalu kondusif bagi aktualisasi diri tersebut. Sebagai akibatnya, politik Islam dihadapkan pada beberapa pilihan strategis yang masing-masing mengandung konsekuensi dalam dirinya, yaitu :
·         Strategi akomodatif justifikatif terhadap kekuasaan negara yang sering tidak mencerminkan idealisme Islam dengan konsekuensi menerima penghujatan dari kalangan "garis keras" umat Islam.
·         Strategi isolatif-oposisional, yaitu menolak dan memisahkan diri dari kekuasaan negara untuk membangun kekuatn sendiri, dengan konsekuensi kehilangan faktor pendukungnya, yaitu kekuatan negara itu sendiri, yang kemudian dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak lain.
·         Strategi integratif-kritis, yaitu mengintegrasikan diri ke dalam kekuasaan negara, tetapi tetap kritis terhadap penyelewengan kekuasaan dalam suatu perjuangan dari dalam. Namun, strategi ini sering berhadapan dengan hegemoni negara itu sendiri, sehingga efektifitas perjuangannya dipertanyakan.
Salah satu isu politik yang sering menempatkan kelompok Islam pada posisi dilematis yang sering dihadapi politik Islam adalah pemosisian Islam vis a vis negara yang berdasarkan Pancasila. Walaupun umat Islam mempunyai andil yang sangat besar dalam menegakkan negara melalui perjuangan yang panjang dalam melawan penjajahan dan menegakkan kemerdekaan, namun untuk mengisi negara merdeka kelompok Islam tidak selalu pada posisi yang menentukan. Pada awal kemerdekaan, kelompok Islam yang mempunyai andil yang sangat besar dalam mengganyang PKI dan menegakkan Orde Baru tidak terwakili secara proporsional pada BPUPKI atau PPKI dan karenanya tidak memperoleh kesempatan untuk ikut menyelenggarakan roda pemerinthan. Mereka bagaikan "orang yang mendorong mobil mogok, setelah mobil jalan mereka ditinggal di belakang".
Sekarang pada era reformasi, gejala demikian mungkin terulang kembali. Peran kelompok Islam, baik tokoh Islam maupun mahasiswa Islam dalam mendorong gerakan reformasi sangat besar namun pada perkembangan selanjutnya, gerakan reformasi tidak selalu berada dalam pengendalian kelompok Islam. Pengendali reformasi dan kehidupan politik nasional akan berada pada pihak atau kelompok kepentingan politik yang menguasai sumber-sumber kekuatan politik. Pada masa modern sekarang ini sumber-sumber kekuatan politik tidak hanya bertumpu pada masa (M-1), tetapi juga pada materi (M-2), ide (I-1), dan informasi (I-2). Kelompok politik Islam mungkin mempunyai kekuatan pada M-1 atau I-1, tetapi kurang pada M-2 dan I-2. Dua yang terakhir justru dimiliki oleh kelompok-kelompok kepentingan politik lain.
Situasi dilematis politik Islam sering diperburuk oleh ketidakmampuan untuk keluar dari dilema itu sendiri. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurang adanya pemaduan antara semangat politik dan pengetahuan politik. Semangat politik yang tinggi yang tidak disertai oleh pengetahuan yang luas dan mendalam tentang perkembangan politik sering mengakibatkan terabainya penguatan taktik dan strategi politik. Dua hal yang sangat diperlukan dalam politik praktis dan permainan politik. Dilema politik Islam berpangkal pada masih adanya problem mendasar dalam kehidupan politik umat Islam. Problema tersebut ada yang bersifat teologis, seperti menyangkut hubungan agama dan politik dalam Islam. Tetapi, ada yang bersifat murni politik, yaitu menyangkut strategi perjuangan politik itu sendiri dalam latar kehidupan politik Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik majemuk.
d.    Problema Politik Islam
Selain problem yang berasal dari dikotomi santri abangan di kalangan umat Islam (dikotomi ini adalah konsekuensi logis dari proses islamisasi yang tidak merata di berbagai daerah nusantara serta perbedaan corak tantangan kultural yang dihadapi), politik Islam juga menghadapi problema yang berkembang dari adanya kemajemukan di kalangan kelompok Islam itu sendiri. Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa kelompok politik Islam bukanlah merupakan suatu kelompok kepentingan tunggal. Hal ini ditandai oleh banyaknya partai-partai yang bermunculan di kalangan kelompok Islam, baik yang berdasarkan diri pada idiologi dan simbol keislaman maupun yang berbasis dukungan umat Islam.
Pada era reformasi dewasa ini terdapat banyak partai Islam atau partai yang berbasis dukungan umat Islam. Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan keragaman kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai tersebut merupakan buah eforia politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi warga negara untuk berserikat dan berkelompok yang selama 30 tahun telah terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik.
Pluralisme politik Islam merupakan refleksi dari pluralisme masyarakat Islam. Sedangkan pluralisme masyarakat Islam itu sendiri merupakan kensekuensi logis dari proses islamisasi di sebuah negara kepulauan, yang dari satu tempat ke tempat yang lain berbeda intensitasnya. Dalam konteks hubungan antardaerah yang tidak mudah di masa lampau, maka terbuka kemungkinan bagi berkembang kelompok atau organisasi Islam yang mempunyai ciri-ciri dan jati diri masing-masing. Kelompok yang kemudian mengkristal menjadi berbagai organisasi ini, selain mempunyai titik temu pandangan, juga mempunyai dimensi kultural tertentu yang membedakan dengan kelompok umat Islam lain. Pada tingkat tertentu, komitmen kultural ini telah mengembangkan rasa solidaritas kelompok di kalangan umat Islam yang mengalahkan rasa solidaritas keagamaan mereka.
Dimensi kultural pada berbagai kelompok Islam mengakibatkan mereka sulit bersatu dalam kehidupan politik. Oleh karena itu, penggabungan partai-partai Islam ke dalam satu wadah tunggal nyaris menjadi utopia. Eksperimen pada masa Orde Lama melalui Masyumi, umpamanya, mengalami kegagalan dengan keluarnya NU dari PSII. Begitu juga eksperimen pada masa Orde Baru melalui fusi beberapa partai Islam: belum sepenuhnya berhasil mengkristalkan kepentingan unsur-unsur yang bersatu.
Politik Islam di Indonesia secara umum belum berhasil mencapai efektifitas politik. Salah satu pangkal efektifitas politik menurut Allan A. Samson adalah kepemimpinan partai politik belum mampu memfungsikan partai sebagai medium artikulasi kepentingan politik umat Islam. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan ketidakefektifan politik tadi, dan hal lain dapat juga disebut sebagai problema politik Islam, yaitu :
·         Adanya overestimasi. Banyak pimpinan partai Islam tentang kekuatan yang dimilikinya atau aflikasi politik dari apa yang disebut dengan mitos kemayoritasan.
·         Bersifat eksternal, yaitu adanya usaha pengrusakan yang disengaja oleh kekuatan politik luar.
·         Adanya perbedaan pandangan antara pimpinan partai tentang hubungan keyakinan keagamaan dan aksi politik.

Di atas semua itu, problem mendasar poitik Islam adalah kesulitan untuk mewujudkan persatuan, baik dalam skala antar-partai-partai Islam maupun dalam skala intra-satu partai Islam. Partai Islam rentan terhadap konflik, dan konflik partai rentan terhadap rekayasa internal. Berbagai problem tersebut harus mampu diatasi oleh partai-partai Islam pada era reformasi dewasa ini. Adanya penggabungan secara menyeluruh mungkin tidak realistis, kecuali mungkin di antara partai-partai Islam yang berasal dari rumpun yang sama. Alternatif lain yang tersedia adalah koalisi, sehingga hanya ada beberapa partai Islam saja yang ikut dalam pemilu.

e.    Perubahan Politik Islam
Berbicara tentang perkembangan situasi politik dalam negeri menurut perspektif Islam, kita mengenal setidaknya dua periode yang secara signifikan memberikan pengaruh yang berbeda, yakni periode pra dan pasca 90-an. Pertama adalah periode beku yang ditandai dengan ketegangan hubungan antara umat Islam dengan pemerintah, kedua adalah pencairan dari yang pertama, yakni ketika pemerintah beruabah haluan dalam menatap umat Islam dalam setting pembangunan nasional.
Situasi pra 90-an diakui sarat dengan isu politik yang mempertentangkan umat Islam dengan pemerintah. Peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Lampung, Komando Jihad, peledakan Borobudur, dan yang lainnya telah memanaskan situasi. Peristiwa-peristiwa tersebut, sejak Orde Baru berdiri, mengukuhkan citra pertentangan antara umat Islam dengan pemerintah. Situasi ini pada gilirannya menjadikan organisasi Islam tidak berani "tampil" secara lantang menyuarakan aspirasinya. Tetapi, situasi tersebut berangsur berubah pada pasca 90-an. Angin segar seakan bertiup sejuk ke tubuh umat Islam. ICMI terbentuk, Soeharto naik haji, jilbab dilegalisasi di sekolah menengah, lolosnya peradilan agama dan pendidikan nasional yang dinilai menguntungkan, pencabutan SDSB, pendirian BMI, serta suasana keberislaman kalangan birokrasi yang semakin kental, dan lain-lain yang menandai era baru: politik akomodasi, umat Islam yang selama ini dianggap sebagai rival kini tidak lagi. Tumbuh di kalangan pemerintah dan juga ABRI (pada waktu itu), bahwa pembangunan Indonesia tidak akan berhasil tanpa menyertakan umat Islam yang mayoritas, umat Islam harus dianggap sebagai mitra.
Layaknya bola salju, era akomodasi ini bergulir deras dan cenderung besar, efeknya terasa, kini bukan tabu lagi umat Islam berbicara tentang aspirasi Islam. Di kalangan pemerintah juga tampak adanya upaya untuk "menyinggung" perasaan umat Islam. Demikian terus dalam beberapa tahun terakhir, proses "islamisasi" seakan berjalan lancar tanpa halangan. Ada dua teori guna meramalkan masa depan bola salju tadi. Pertama, bahwa kelak bola salju itu makin besar. Artinya, kesadaran keberislaman makin menyebar dan marak menyelimuti semua kalangan. Kedua, adalah antitesis yang pertama. Bola salju tadi memang membesar, tetapi hanya sesaat kemudian pecah berkeping-keping akibat terlalu kencangnya meluncur atau lemahnya ikatan unsur-unsur pembentuk bole tersebut. Sebagai kemungkinan alternatif ini bisa terjadi. Yakni, bila umat Islam terlalu kencang meluncurkannya, sementara ikatan di tubuh umat dan situasi belum cukup kuat, atau mungkin juga latar belakang ada orang lain yang sengaja memukul hancur. Bila ini terjadi, kita tidak bisa membayangkan seperti apa jadinya, dan butuh beberapa waktu lagi untuk mendapatkan keadaan serupa, dan di era reformasi sampai saat ini (2002) umat Islam dalam berpolitik sudah terpecah-pecah, itu suatu kenyataan riil yang kita lihat.
Dalam konteks Islam, perkembangan munculnya partai-partai Islam yang berada di atas angka 50-an--meskipun kemudian melalui proses verifikasi, hanya 48 partai yang dinilai layak mengikuti pemilu--telah melahirkan penilaian tersendiri. Yang paling umum adalah pandangan mengenai munculnya kembali kekuatan politik Islam. Orang pun kemudian mengingat-ingatnya dengan istilah "repolitisasi Islam", sesuatu yang bisa menimbulkan konotasi tertentu, mengingat pengalaman Islam dalam sejarah politik Indonesia. Padahal, kita sebenarnya boleh menanyakan apakah benar Islam sejatinya pernah berhenti berpolitik? Walaupun dengan itu, pertanyaan tersebut bukan untuk mengisyaratkan bahwa Islam itu adalah agama politik.
Meskipun demikian satu hal yang harus diingat bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Langsung atau tidak langsung, yang demikian itu mempunyai implikasi politik. Dengan kata lain, kekuatan politik apa pun, lebih-lebih partai politik, akan sangat memperhitungkan realitas demografis seperti itu. Artinya, massa Islam bakal diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan politik guna mencari dukungan. Bak "gadis" yang akan selalu diperebutkan, bagaimana seharusnya Islam bersikap di tengah polarisasi politik yang tajam ini? Jelas, ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Seandainya tersedia jawaban pun ia bukan suatu yang dapat diperebutkan. Artinya, akan tersedia banyak jawaban. Dan semua itu akan sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh preferensi politik yang bersangkutan.
Dalam situasi seperti ini, ada baiknya kita kembali kepada makna beragama. Ada apa sebenarnya fungsi Islam dalam kehidupan. Seperti telah sering dikemukakan, agama dapat dilihat sebagai instrumen ilahiyah untuk "memahami" dunia. Dibandingkan dengan agama-agama lain, Islam paling mudah menerima premis ini. Salah satu alasannya terletak pada sifat Islam yang omnipresence yang merupakan suatu pandangan bahwa "di mana-mana" kehadiran Islam hendaknya dijadikan panduan moral yang benar bagi tindakan tingkah laku manusia. Ada memang yang mengartikan pandangan seperti ini dalam konteks bahwa Islam merupakan suatu totalitas. "Apa saja" ada dalam Islam. Seperti firman Allah dalam Al-Qur'an yang artinya, "Tidak kami tinggal masalah sedikit pun dalam Al-Qur'an." Lebih dari itu, Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Terutama karena itu, ada yang berpendapat bahwa Islam itu sebenarnya mencakup negara--sesuatu yang kemudian dirumuskan dalam jargon "innal Islam dinun wa dawlah".











Kesimpulan

Tidak dipungkiri lagi politik Islam adalah suatu keharusan dalam sebuah komuniatas Islam yang majemuk. Tetapi, di sisi lain, ia pun tidak lepas dari dilema-dilema dan problema-problema yang merupakan konsekuensi dalam dirinya. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, maka diperlukan strategi dan taktik jitu perjuangan politik dalam latar kehidupan politik Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik majemuk.
Lembaga Pemerintahan yang disebut birokrasi hanyalah elemen pelaksana kebijakan politik namun sepatutnya ini menjadi posisi strategis dalam proses pengelolaan dan penyelenggaraan negara. Olehnya, penguatan ideologi politik Islam tidak hanya menjadi jargon kejuangan ummat dari pelaku politik praktis namun dapat memposisikan kekuatan lainnya dalam ruang birokratisme. Hal ini agar dalam sisi pengendali, pengelolan dan evaluasi berjalan sinergis dalam tataran moralitas ke-Islaman.



*) Islam, Politik dan Pemerintahan di Indonesia ; disajikan pada ..............................

**) Ahmad Priyadi Kosso ;
Ketua Umum MUI Kabupaten Rote Ndao
Kepala SMP Negeri 1 Pantai Baru










Referensi:

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998;
.........................., Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan, 1986;
.........................., Teologi Baru Politik Islam Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, Yogyakarta:  Galang Printika, 2001;
.........................., (Re) Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 2000;
..........................., Demokrasi dan Agama: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2005.
Bachtiar Harsya W. “ Kaum Cendekiawan di Indonesia: Suatu Sketsa Sosiologi ”Jakarta : LP3TS, 1983.
Benda, Harry J. “ elit dalam perspektif sejarah “ :Jakarta: LP3ES, 1981
Rais, Amin, Islam Indonesia Jakarta : Rjawali pers, 1992
Islam Idiologi, Ir. Ismail Susanto
Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Prof. Dr. Din Syamsudin
Wawasan Sistem Politik Islam, Dr. Salim Ali al-Bahnasawi 

TERORISME DAN KEARIFAN LOKAL

OPTIMALISASI PERAN TOKOH AGAMA DALAM PENCEGAHAN TERORISME DI DAERAH MELALUI PENDEKATAN AGAMA DAN PENDIDIKAN
Drs. H. Abdulkadir Makarim

disusun oleh : HAMZA H. WULAKADA

Pengantar
Teroris merupan klimaks dari radikalisme yang merupakan paham dan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam semua agama dan budaya masyarakat. terutama masyarakat Indonesia. Terorisme di era modern dipicu oleh berbagai macam faktor, seperti faktor politik, ekonomi, ideologi, dan akibat kolonialisme modern dan globalisasi. Berdasarkan laporan Patterns of Global Terrorism tahun 2000, yang dikeluarkan oleh Pemerintah AS, gerakan terorisme yang bermotif agama dan ideologilah yang paling banyak terjadi. Pertanyaannya, mengapa persoalan terorisme berdasarkan ideologi keagamaan menjadi sangat popular? Hal itu karena agama merupakan salah satu dari sekian banyak identitas yang mampu membuat sentimen personal bahkan komunal sehingga masyarakat bersedia berbuat apa saja untuk membela agama. Pada titik inilah persoalan ideologi keagamaan sering menjadi titik tolak dalam menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi pelbagai persoalan dalam realitas kehidupan.
Berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, politik, agama dan identitas memang dapat menimbuhkan gerakan terorganisir yang dapat terlibat dalam terorisme, akan tetapi kondisi tersebut tidak lantas menjamin dilakukannya kekerasan. Persoalan kerentanan sosial, ekonomi, rasa kehilangan peluang politik dan ekspresi identitas menjadi kekhususan dalam keagamaan, seperti ibadah dan ritual. Untuk dapat terjadi kekerasan biasanya harus digabungkan dengan faktor-faktor lain, seperti doktrin ideologi yang ditanamkan oleh pemimpin kharismatik, pengembangan sistem rekruitmen yang efektif, dan organisasi yang mapan. Terorisme dari hal itu pada akhirnya memang disadari dapat muncul akibat doktrin dan pemahaman agama secara radikal, meskipun pada dasarnya semua agama membawa misi kebaikan. Oleh sebab itu, menjadi hal yang urgen untuk sebuah aktivitas atau program deradikalisasi agama dikerjakan di Indonesia, yang pendudukanya mayoritas beragama Islam (mencapai 87 %) dari total penduduk Indonesia 240 juta jiwa.
Agama (Islam) sebagai pembawa misi ketuhanan berusaha menciptakan maslahah, perdamaian, persatuan, keadilan, kesetaraan, dan menumpas semua bentuk kezhaliman termasuk teror. Terlebih teror yang dilakukan dengan mengatasnamakan agama [jihad], membela Tuhan dan embel-embel agama lainnya. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin melindungi umat manusia secara mutlak, tanpa melihat latar belakang ideologi, etnis dan bangsa. Gagasan tentang perdamaian melalui agama Islam, sebenarnya sebuah gagasan yang hendak menurunkan nilai-nilai kedamaian dalam Islam dalam praktek hidup sehari-hari. Hanya saja semua terletak pada para penganutnya, terutama para pemimpin agama apakah bersedia untuk mengumandangkan perdamaian ataukah akan mengumandangkan peperangan atas nama agama.
Pemahaman yang picik malah akan mereduksi tujuan, visi dan misi Islam sebagai agama cinta dan perdamaian. Egoisme beragama untuk mendapatkan predikat mujahid yang syahid, egoisme untuk mendapatkan surga yang diyakini dan direalisasikan dengan tindakan destruktif dapat mengorbankan perdamaian, mencabik rajutan persatuan dan kerukunan umat. Gagasan damai dengan sendirinya akan memupuk adanya kesejahteraan hidup dan keselamatan di muka bumi sebab semua itu merupakan cita-cita yang tertuang secara substansial dan faktual dalam teks keislaman. Terkadang gagasan yang sangat mendalam tentang misi perdamaian dari agama-agama [terutama agama Ibrahim], seakan-akan tertutup oleh gagasan kekerasan yang hanya sempalan dari agama-agama.
Terlepas dari indahnya ajaran agama bahwa salah satu faktor terorisme adalah karena motivasi agama, yaitu karena proses radikalisasi agama dan interpretasi serta pemahaman keagamaan yang kurang tepat dan keras yang pada gilirannya melahirkan sosok muslim fundamentalis yang cenderung ekstrem terhadap kelompok lain dan menganggap orang lain yang berbeda sebagai musuh sekalipun satu agama, apalagi berbeda agama. Teks-teks agama ditafsirkan secara atomistik, parsial-monolitik (monolithic-partial), sehingga menimbulkan pandangan yang sempit dalam beragama. Kebenaran agama menjadi komoditas yang dapat dimonopoli,. ayat-ayat suci dijadikan justifikasi untuk melakukan tindakan radikal dan kekerasan dengan alasan untuk menegakkan kalimat Tuhan di muka bumi ini, aksi radikalisme inilah yang sering mengarah kearah aksi teror.
Gagasan tentang deradikalisasi agama perlu ditempuh sebagai salah satu cara penanggulangan terorisme yang bersifat non violence [bukan kekerasan] melalui cara represif, proses hukum, penangkapan, penyidangan dan eksekusi dirasa kurang efektif, karena cara tersebut kurang menyentuh pada akar permasalahan yang sesungguhnya. Cara represif dengan pendekatan militeristik seperti penangkapan dan bahkan penembakan pelaku teror merupakan langkah memotong aksi terror dari tengah yang dianggap oleh banyak pihak tidak efektif. Para pelaku teror ternyata tidak juga menghentikan kekerasan, bahkan karena alasan membalaskan dendam saudaranya yang telah dieksekusi mati oleh aparat keamanan, alasan penahanan yang tidak sesuai prosedur, dan berbagai jenis tindakan negara atas mereka yang dituduh dan tertangkap menjadi teroris, maka kekerasan pun bermunculan dengan kekerasan baru. Kekerasan yang dibalas dengan kekerasan, dalam teori resolusi konflik, memang akan memunculkan kekerasan baru. Oleh karenanya dicari metode lain untuk menghentikan berbagai macam tindakan terorisme dalam pendekatan agama dan pendidikan.

Teror Vs Jihad dalam Perspektif Islam
Islam adalah asal kata perintah dari dari ‘salama’ [keselamatan è selamatkanlah] adalah rahmat li al’alamin,  yaitu agama yang membawa perdamaian bagi seluruh alam. Sejarah Islam mencatat perkembangan Islam selalu disampaikan dengan damai, meskipun telah terjadi peperangan dalam ekspansi keruangan namun itu terjadi dalam rangka melawan rezim dan dilakukan dalam tata aturan peperangan yang diatur khusus. Ajakan untuk merealisasikan kebenaran dan perdamaian diperintahkan melalui jalan ber’jihad’ agar manusia keluar dari kegelapan [kebodohan dan penindasan] menuju cahaya kedamaian.
Islam mensyari’atkan agar jihad untuk mewujudkan kedamaian dilakukan dengan harta, jiwa dan raga. Jihad fi sabilillah [berjuang di jalan Allah] dalam pemahaman sebenarnya tidaklah identik dengan kekerasan, anarkisme, perang brutal, pengeboman, dan teror yang dilakukan perorangan maupun kelompok. Fatwa MUI [No. 3/2004] tentang Terorisme mempertimbangkan bahwa tindakan terorisme terjadi karena beberapa persepsi: sebagian menganggapnya sebagai ajaran agama Islam dan karena itu, ajaran agama Islam dan umat Islam harus diwaspadai; sedang sebagian yang lain menganggapnya sebagai jihad yang diajarkan oleh Islam; dan karenanya harus dilaksanakan walaupun harus dengan menanggung resiko terhadap harta dan jiwa sendiri maupun orang lain. Para teroris seharusnya mengimani firman Allah dalam Q.S. Al Ma’idah [32-33], An Nisa’ [29-30], yang di fahami dengan kondisi sosial budaya di tengah masyarakat saat ini. Beberapa cuplikan ayat dan hadits dimaksud, diantaranya;
1.       QS. Al Maidah; ...Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan  di muka bumi maka seakan-akan ia telah membuhn manusia seluruhnya... [32]. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar” [33]
2.       An Nisa’; ...Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kamu [29]. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar dan dianiaya maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah [30].
3.       Hadits Rosulullah SAW ; Barangsiapa mengacungkan senjata tajam kepada saudaranya maka Malaikat akan melaknatnya sehingga ia berhenti [HR. Muslim]
Memperhatikan bahwa terorisme telah memenuhi unsur tindak pidana [jarimah] hirabah dalam khasanah fiqih Islam maka para fuqaha mendefinisikannya sebagai “orang yang mengangkat senjata melawan banyak orang dan menakut-nakuti mereka [menimbulkan rasa takut di kalangan masyarakat]”. Definisi ini kemudian membedakan pengertian tentang terorisme dan jihad, yaitu;
Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well organized), bersifat trans-nasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiskrimatif).
 
Jihad mengandung dua pengertian;
1.       Segala usaha dan upaya sekuat tenaga serta kesediaan untuk menanggung kesulitan di dalam memerangi dan menahan agresi musuh dalam segala bentuknya. Jihad dalam pengertian ini juga disebut al-qital atau al-harb.
2.       Segala upaya yang sungguh-sungguh dan berkelan jutan untuk menjaga dan meninggikan agama Allah (li i’laai kalimatillah).
 
 











Perbedaan Terorisme dengan Jihad
Terorisme
Jihad
1.       Sifatnya merusak (ifsad) dan anarkhis / chaos (faudha).
1.       Sifatnya melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara peperangan
2.      Tujuannya untuk menciptakan rasa takut dan/atau menghancurkan pihak lain
2.       Tujuannya menegakkan agama Allah dan / atau membela hak-hak pihak yang terzhalimi
3.       Dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas
3.      Dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syari’at dengan sasaran musuh yang sudah jelas

Merujuk definisi dan perbedaan dimaksud maka MUI menetapkan hukum melakukan teror adalah haram, baik dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun Negara; sementara hukum melakukan jihad adalah wajib. Sisi lainnya, para redikalis harusnya membedakan bom bunuh diri sebagai ‘amaliyah al istisyad yaitu; Orang yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri sementara pelaku ‘amaliyah al-istisyhad mempersembahkan dirinya sebagai korban demi agama dan umatnya. Orang yang bunuh diri adalah orang yang pesimis atas dirinya dan atas ketentuan Allah sedangkan pelaku ‘amaliyah al- Istisyhad adalah manusia yang seluruh cita-citanya tertuju untuk mencari rahmat dan keridhaan Allah SWT.
Bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan keputusasaan (al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri (ihlak an-nafs), baik dilakukan di daerah damai (dar al-shulh/dar al-salam /dar al-da’wah) maupun di daerah perang (dar al harb). ‘Amaliyah al-Istisyhad (tindakan mencari kesyahidan) dibolehkan karena merupakan bagian dari jihad binnafsi yang dilakukan di daerah perang (dar al-harb) atau dalam keadaan perang dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut (irhab) dan kerugian yang lebih besar di pihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan terbunuhnya diri sendiri.

Pendidikan Deradikalisme dan Peran Pemuka Agama dan Pendidik
Persoalan terorisme tidak mudah diurai, apalagi dituntaskan sampai keakarnya sehingga diibaratkan; ketika satu teroris berhasil dimatikan oleh polisi, 1000 yang lain muncul. Indonesia seperti tidak pernah kehabisan stok teroris, mereka terus ada di sekitar kita. Adanya jaringan baru menjadi bukti bahwa teroris belum gagal bahkan telah meraih kemenangan dari sisi lain, yakni kemenangan wacana [gagasan dan ideologis]. Asumsinya sederhana, tatkala penguburan para pelaku bom bunuh diri disiarkan massa media [televisi], sebagian masyarakat mempelakukan dan menganggapnya sebagai pahlawan [pembela] Islam. Hal ini artinya, paham redikalisme agama telah kuat dan mengakar, mengaburkan nilai-nilai ideologi Pancasila karena dalam prakteknya nilai-nilai ideologi Pancasila dianggap gagal mewujudkan keadilan dan tersandera oleh praktek liberalis dan komunism.
Para teroris selalu menyalahkan bukan hanya agama lain, tapi juga penganut mainstream dalam agamanya (Islam) karena dianggap telah sesat karena berkolaborasi dengan Barat, terutama Amerika. Bom bunuh diri adalah tindakan yang sah menurut keyakinan para teroris, sebagaimana pernah dituturkan Imam Samudra. Jadi adalah kejahatan yang mengerikan ketika para teroris sudah membajak agama dan menjadikan perjuangannya seolah-olah selaras dan tidak bertentangan dengan agama yang dianutnya. Bahkan tindakan kekerasan lewat bom dianggap sebagai bentuk perjuangan yang mulia. Inilah tugas pendidikan Islam yang bisa dikatakan sangat berat memberikan perspektif lain tentang jihad dan pahlawan Islam itu seperti apa sebab pertarungan wacana Islam demikian terbuka.
Pemuka agama seharusnya tidak sekedar beralibi bahwa ‘teror tidak berhubungan dengan agama’ belaka, namun juga harus peka dan massif menguatkan pemahaman ummatnya bahwa penafsiran [pemahaman] keagamaan yang ekstrim dan radikal hanya akan menjebak penganutnya saling berperang. Memberikan keteladanan dan menyerukan kebajikan dengan senantiasa berbuat baik pada siapa dan apapun menjadi jargon dalam setiap kampanye, khutbah, ceramah dan siraman rohaninya. Menyimak alasan dan penyebab terjadinya teror di Indonesia [bahkan seluruh dunia], hanya karena kebencian yang teramat besar pada ‘barat [Amerika]’ beserta jaringannya yang tidak menguntungkan agama [ideologi] tertentu dengan kebijakan dan strateginya menguasai dunia.
Tumbuhnya benih-benih radikalisme berasal dari pergumulan kelompok, doktrin ideologis dan bahkan dunia pendidikan sehingga yang harus di perbaharui adalah menyimak kembali materi pergumulan, bagaimana cara penyampaian dan apa tujuan dorongan ideologis dimaksud. Pengetahuan keagamaan kita cenderung “hanya pada tataran pengetahuan beribadah dan bukan pengamalan beribadah”. Ketika gerakan terorisme mengusung jihad ofensif di dalam memahaminya, misalnya melalui suicide bombing, teror dengan kekerasan dan sebagainya, maka tentu harus diajarkan tentang makna jihad secara memadai. Pengertian jihad yang moderat yakni bekerja keras untuk mencapai tujuan yang sangat baik terutama untuk kemaslahatan umat. Sehingga janganlah jihad tersebut dihapus dari mata ajaran karena konotasinya yang disalahartikan. Namun, justru harus ada upaya yang memadai untuk memberikan penjelasan secara memadai. Tentu saja juga harus ada seorang guru atau ustadh atau dosen yang bias menjelaskan tentang makna jihad yang bernuansa rahmatan lil alamin. Makanya, para pendidikpun perlu diseleksi secara memadai agar tidak mengajarkan Islam atau agama apapun sesuai dengan konsepsi kaum radikalis, demikian pula yang menjadi tugas para ulama dan pemuka agama.
Anak didik dan generasi penerus harus diperkuat nilai-nilai kemanusiaan yang toleran dan berempati sosial,  bukan hanya memaksakan muatan ilmu praktis dan teknologi. Para orang tua murid cenderung memilih sekolah elit dengan berbagai fasilitas kenyamanan, tenaga pendidik yang berkualitas serta kurikulum yang terjamin, ketimbang pilihan menyekolahkan di sekolah ‘pinggiran’ yang digumuli anak-anak yatim dan orang miskin. Anak-anak seharusnya dilatih merasakan, menikmati dan berempati sosial dengan hidup dan berkembang bersama kohesifitas sosial yang terbelakang agar sadar dan mengerti akan kondisi sosial kemasyarakatan.
Hal ini bukan berarti tidak baik menyekolahkan anak ke sekolah favorit dan disarankan untuk sekolah bersama ‘orang pinggiran’ namun point pentingnya adalah; kurikulum dan sistem pendidikan di Indonesia harus selaras dengan nilai ‘kemanusiaan yang adil dan beradab serta berkeadilan sosial’. Anak-anak kaum borjuis tidak boleh dimanjakan dengan kemewahan duniawi dan melupakan sisi sosial lain yang tertinggal jauh, sekat perbedaan harus dipersempit agar tidak terjadi kecemburuan antar sesama anak, generasi penerus bangsa. Hematnya, yang tertinggal harus didorong lebih cepat mencapai titik kesejahteraan dan yang telah berlebihan harus menyeimbangi polaritas sosial kemasyarakatannya. Sisi lainnya, lembaga keagamaan bersama para tokoh agamanya, dakwah yang disampaikan kepada masyarakat dengan metode yangan “galak” dan memaksa hanya akan menjauhkan mereka dari agama bukan semakin mendekatkan mereka yang masih belum mentaati semua ajaran Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.
Beberapa aspek dan pendekatan yang perlu dipertimbangkan dalam menangkal terorisme secara menyeluruh, yaitu;. Pertama, aspek ideologis karena akar terorisme adalah pemahaman ideologi yang salah, maka perhatian aparat tidak boleh hanya tertuju pada bentuk terornya saja. Kedua, aspek regulasi karena untuk memberantas terorisme tentu perlu aturan yang cukup agar aparat bisa bergerak di lapangan dengan langkah-langkah yang terukur, tangan sampai langkah yang dilakukan aparat justru dinilai melanggar HAM. Ketiga, aspek political will dari Negara  untuk menggerakkan semua elemen bangsa Indonesia dalam rangka melakukan penanganan terorisme secara terpadu. Terpadu artinya tidak bias hanya mengandalkan aparat keamanan seperti polisi, tetapi sekaligus melibatkan dunia pendidikan dari tingkat menengah sampai perguruan tinggi; sebab seperti kita ketahui belakangan aktivitas teroris dan radikalisasi yang berbasiskan agama bergerak di institusi pendidikan, baik lembaga pendidikan berlatar belakang keagamaan maupun tidak. Pelestarian nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang toleran antar sesama sahabatnya terancam punah karena gelombang globalisasi, mempersempit jarak pemisah antar si kaya dan si miskin, antar penguasa dan yang dikuasai, antar raja dengan hambanya; adalah solusi bijak dalam pendekatan sosial budaya dan keagamaan.