Minggu, 16 Agustus 2020

Covid Mewisudai Kita

 http://www.kitanusantara.com/2020/06/covid-mewisudai-kita_30.html


Covid Mewisudai Kita

Sebuah pemandangan yang hampir sama kala kita memasuki ruang tamu sebuah rumah adalah jejeran foto yang terbingkai rapi. 
Sekedar membalut kenangan berbagai kisah, foto-foto dimaksud juga sebagai pertanda keterikatan emosi si pemilik rumah dengan sederet kenangan yang pernah terlewati.
Umumnya foto pernikahan si pemilik rumah serta elegansi postur keakuan sang pemiliki, namun ada 1 jenis foto yang lebih membanggakan pemiliki rumah yaitu foto wisuda.
Kala pajangan foto wisuda terpajang di rumah mewah, itu biasa. Pantas saja, mereka orang berada jadi lumrahlah jika mampu menyekolahkan anaknya hingga sarjana. 
Foto bertoga dirumah mentereng itu sebagai pertanda kedigdayaan orang-orang berilmu, jika foto itu dicopot atau tak terpajang, maka sekilas kita masih mendapat aura kedigdayaan sosial karena bentuk fisik rumahnya mengangkat derajat nilai si penghuni didalamnya. 
Berbeda dengan rumah gubuk, beratapkan pelepah daun lontar, berdinding bambu dan berlantaikan alas tanah. Sipemilik gubuk itu hanya memiliki kebanggaan pada pajangan foto itu, ya foto wisuda itu.
Dahulunya mereka berbangga dengan sederet foto yang latarnya mobil mewah di rantauan tapi kini mereka lebih elegan memajang foto orang wisuda, terlebih orang tua si pemiliki rumah. 
Dia akan bangga dan percaya diri dengan pajangan foto anaknya yang diwisuda di kota. Entalah, si tua renta itu mengerti apa itu wisuda? Entalah bagaimana prosesnya hingga anaknya difoto mengenakan jubah kebesaran yang disebut toga itu. Ternaif, mungkin si orang tua pemiliki rumah gubuk hanya tahu anaknya orang sekolahan. Dia bahkan mungkin tak tahu anaknya itu sarjana ilmu apa, yang dia tahu hanya jubah hitam penyingkap masa kegelapan. 
Sekedar apa kesarjanaan saja tak tahu, apalagi mengetahui apa isi dalam kepalanya si anak. Seolah tak kalah saing dengan pemilik rumah mewah, itulah harta termahal yang dia miliki sehingga pantaslah jika memajangnya rapi dideretan foto lusuh bagian depan rumahnya.
Sebagai peneliti, saya sering masuk-keluar kampung mewawancarai responden untuk urusan riset. Pengalaman itu mungkin juga pembaca alami ditempatnya masing-masing, atau bahkan dalam proses lainnya pernah menjumpainya. 
Silahkan saja periksa ruang tamu anda, foto apa yang bangga terpajang. Jika ada foto wisudanya berarti kita semirip dengan orang tua saya yang bangga memajang foto anak-anaknya diruang tamu. Pernah saya meminta untuk tidak dipajang namun kata si Bapak, itulah buah keringat yang bisa kami banggakan, itulah bukti jerih payah dari sakit dan deritanya. 
Bukan pajangan emas dan berlian, itulah kemilau ilmu pengetahuan yang menerangi masa senja kami. Tak pelak, meskipun anaknya masih pengangguran, itu tetap rapi terpajang sembari berdoa, semoga ilmunya yang tersembunyi dibalik jubah kebesaran itu segera tersingkap dan bermanfaat untuk orang lain. Disitulah kebanggaan datang dan letih terbayarkan. 
Foto wisuda itu hanyalah simbol kedigdayaan ilmu pengetahuan yang meretas sekat sosial-ekonomi, dengan foto kesarjanaan itulah peradaban dibangun. Dan orang tua kita bangga anaknya bisa menjadi bagian dari pelaku peradaban.
Jika mengutip klasifikasi simbol peradaban oleh Mikael Foucault dalam bukunya Madness and Civilization [2002] yang tak hanya memandang berbagai ornament bersejarah seperti candi, stupa, masjid, gereja dan peninggalan lainnya sebagai simbol peradaban tapi juga berbagai kemajuan termasuk keterkaitan antara orang gila dengan rumah sakit jiwa sebagai kemajuan peradaban. Bagian bawah buku ini tertulis “Buku ini dimiliki orang-orang yang menjadi saksi bagaimana ilmu pengetahuan yang terampil menggunakan sejarah untuk menggambarkan, memperkaya dan mendalami jejak-jejak baru bagi pemikiran dan pengalaman”. Foucault menemukan bahwa pada zaman Renaissance, kegilaan dan penalaran memiliki hubungan relasi namun pada zaman klasik (1650-1800), dialog antara kegilaan dan penalaran mengalami pembungkaman. Keduanya dilaksanakan dalam bahasa yang berbeda, dan akhirnya bermuara pada penaklukan kegilaan oleh penalaran. 
Kegilaan adalah kebebasan imaginasi, dan masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam zaman renaissance. Tetapi perlahan kegilaan menjadi sesuatu yang asing dan disungkirkan dari kehidupan yang harus dijiwai kelogisan. “Kegilaan ditaklukkan oleh kewarasan” itulah bagian penting Faucault mendeskripsikan tata nilai perkembangan peradaban. Saya bolehlah menambahkan deretan foto wisuda dirumah-rumah itu adalah bagian dari simbol peradaban yang mempengaruhi tatanan nilai dan semangat juang untuk keluar dari kebodohan.
Kini anak-anak PAUD pun sudah dibiasakan wisuda dengan simbol toga hitam berderet warna ceria, hanya sekedar menyemangati proses lanjut anak-anak bangsa untuk terus menderet pajangan foto wisuda di tingkat berikutnya. 
Tak tahu bagaimana kedepannya, asalkan ada simbol yang menguatkan masa depannya, dan disitulah peradaban mulai kuat terbangun.
"Mengutip pendatap Fahroji [2015] dalam bukunya ’Pejuang Gelar’ yang menyoroti lamanya kuliahan, mahalnya biaya kuliah dan realitas banyaknya sarjana yang menjadi pengangguran pasca diwisuda. Fahroji tak banyak bercerita soal wisuda, yang dia soroti adalah bagaimana membayar lunas semua pengorbanan hingga capaian gelar kesarjanaan dengan kiat bisnis kala menghadapi masa pelik pasca wisuda". Wikipedia memaknai graduation sebagai commencement convocation or invocation [dimulainya pertemuan atau doa], karena moment itulah etape kelulusan dari sebuah proses panjang lalu diberikan gelar atas kelulusan proses dimaksud lalu doa dan harapan teruraikan. Selanjutnya apakah kita termasuk kelompok yang just a way of celebrating mediocrity setelah upacara wisuda lantas mencari pelataran elit untuk difoto lalu dipajang diruang tamu ataukah termasuk kelompok yang memajang segenap prestasi dihati kaum pinggiran yang mengharapkan ilmu kita kelak akan berguna? Itu terserah pilihan anda.
Mengamati proses wisuda, tradisi upacara wisuda di Inggris biasanya hanya untuk tingkat universitas, sementara di Amerika Serikat dan beberapa negara lain pada pendidikan sekolah menengah juga sudah dilakukan wisuda. 
Bahkan di Indonesia [kekinian], hanya menamatkan PAUD pun sudah diselenggarakan wisuda lalu berpesta di restoran mewah. Swedia berorientasi pada produk penelitian, namun di Zimbabwe bahkan pada upacaranya melibatkan para pembesar, dan demikian hal-nya di Indonesia. Minimal dalam kesempatan itu ada cermin yang dapat dipantulkan, ada transaksi sumber daya yang ingin dikolaborasikan sehingga ‘para pembesar dan penguasa’ dilibatkan dalam proses upacaranya. Tradisi wisuda ini mulai dikenalkan sejak abad kedua belas oleh universitas pertama di Eropa, upacara dimaksud lalu diberikan lisensi, bergelar [degree] dan kelulusan [graduate yang berasal dari kata gradus]. Kini kita menjadikannya sebagai moment pemberian lisensi kesarjanaan setelah proses panjang perkuliahan itu dilalui.
Yang pasti, jika memaknai tali kuncir yang ada pada topi sebagai bagian dari kelengkapan wisudawan/i maka kita akan paham bahwa ada nilai falsafah dibalik pemindahan tali kuncir itu. Terkait atribut wisuda, saya mulai mengutip tulisan Cut Mutiawati [2016] menceritakan bahwa toga [tego/penutup bahasa latin] berasal dari jenis jubah yang dikenakan oleh pribumi Italia [bangsa Etruskan, 1200 SM]. 
Seiring perkembangnya, atribut sejenis toga menjadi busana orang romawi berupa sehelai mantel wol tebal yang dianggap sebagai satu-satunya busana yang pantas dikenakan bila berada diluar ruangan. Dan kekinian dimodifikasi seperti jubah sebagai pakaian kebesaran, terlebih makna hitam yang melekat pada toga. 
Memang warna hitam sering diidentikan dengan perihal mistis serta kegelapan, dan sebaliknya warna putih sebagai perlambang kecerahan serta keindahan. Makna dibalik hitamnya warna toga menyimbolkan keberhasilan seorang mahasiswa menaklukkan [mengalahkan] kegelapan [kebodohan] dengan ilmu pengetahuan yang diperolehnya selama berkuliah. 
Pertanyaannya, apakah para sarjana yang bangga mengenakan toga dan terpajang fotonya diruang tamu itu memiliki kecerdasan hingga menggapai kesuksesan lebih dari seorang Susi Pudjiastuti [Menteri Kelautan dan Perikanan RI 2014-2019] yang hanya bermodalkan ijazah SMP? Bukan hanya Ibu Susi, masih banyak lagi profil orang sukses yang tidak mengandalkan gelar kesarjanaan, silahkan para sarjana menghikmahinya sendiri.
Perseginya topi yang digunakan wisudawan/I saat diwisuda melambangkan konfigurasi pemikiran seorang sarjana yang dituntut memandang segala persoalan [masalah] dari berbagai sudut pandang. Paradigma berpikirnya harus ilmiah dan metodologis, tidak hanya melihat sekasat mata lalu menghakimi salah atau benar atas sebuah masalah yang dihadapkan padanya. Pada topi itu pula disematkan seutas kuncir tali yang pada saat pengukuhannya akan dipindahkan dari bagian kiri ke bagian kanan. 
Seremoni memindahkan kuncir tali toga dimaksud menandakan pemanfaatan bagian otak pada manusia. Semulanya sewaktu berkuliah seorang mahasiswa cenderung menggunakan otak kirinya [hard skills] lalu dipindahkan pasca berwisuda agar seorang sarjana mampu juga memanfaatkan otak kanannya untuk urusan soft skills.
Hardskill oleh Aprito dan Jacob [2014] hanyalah kemampuan teknis yang meliputi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta jenis keterampilan lainnya terkait bidang ilmu yang ditekuni. Hardskill berhubungan dengan IQ dan membutuhkan kinerja otak kiri yang baik namun untuk pengembangannya dibutuhkan softskill yang baik. Sementara softskill adalah suatu perkembangan dari emotional quotient yang terasah dari kemampuan bersosialisasi dan berhubungan dengan objek lain. 
Cara pengembangannya melalui penyaluran bakat, hobby maupun karakter seseorang sehingga perpaduan keseimbangan antara soft dan hard kekinian menjadi sebuah tuntutan. 
Bila dikampus kita sering menjumpai beberapa teman yang kesehariannya kurang pergaulan dan hanya berteman dengan buku [diistilahkan kutu buku], itulah ciri awalnya. Tapi saya mengamini beberapa teman sejenis itu sebagai bagian dari penyaluran hobinya membaca, dan ingin menguatkan bakatnya sebagai penulis. 
Namun jika dalam interaksi sosialnya lemah maka itulah sisi buruk batasan kerja antara otak kiri dan otak kanan. Untuk mendalami bahasan tentang otak kiri dan otak kanan, silahkan menyimak bukunya Daniel H. Pink [2019] yang arasnya mengarah pada kebutuhan generasi masa depan. 
Daniel berpendapat bahwa masa depan kini milik orang dengan pemikiran yang sepenuhnya berbeda. Era yang didominasi oleh ‘otak kiri’, dan era informasi yang dihasilkannya, kini telah bergeser ke dunia baru, di mana kemampuan artistik dan holistik ‘otak kanan’-lah yang menentukan siapa yang sukses dan siapa yang gagal.
Ya, semacam tidak adanya kepedulian sosial dalam melihat ketimpangan yang terjadi disekitarnya, seolah tak empati dengan hak orang miskin yang ditindas penguasa, seolah tak peduli dengan arogansi penguasa memploroti uang rakyat, dan seterusnya. 
Kepedulian sosial itu mungkin hanya dibangun dari kebiasaan mengasah nilai dari sebuah interaksi sosial, bukan habis dibaca tapi dilanjutkan dengan diskusi. Tidak habis didiskusi tapi dilanjutkan dengan aksi, dan jiwa itu hanya terbangun melalui gemblengan organisasi. 
Teman-teman yang biasa tergolong kutu buku memang malas bergabung dalam sebuah organisasi. Yang dipikirkannya hanyalah cepat wisuda dengan IPK tertinggi mencapai predikat summa cumlaude, dan itulah orang-orang yang hanya pikir akan dirinya sendiri. Dalam berbagai diskusi dengan aktifis mahasiswa, saya mengkritisi kebijakan kampus yang membatasi ruang gerak mahasiswa untuk terlibat dalam organisasi eksternal kampus. 
Bahkan ada semacam ancaman jika ada mahasiswa yang demo mengkritisi kebijakan kampusnya, atau kebijakan pemerintah dan lainnya. Sekarang dengan kebijakan Kampus Merdeka oleh Mas Menteri Kemendikbud sekilas hanya berorientasi pada kemampuan mahasiswa memasuki dunia kerja. Saya berharap juga konsep pemagangan yang hanya mengarah pada organisasi profit juga diberikan kesempatan untuk terlibat aktif dalam organisasi kemahasiswaan atau organisasi kepemudaan yang non-profit. Bagian itulah mahasiswa ditantang kemandiriannya, dibentuk jiwa kepedulian sosialnya, digembleng jiwa kepemimpinannya.
Beberapa paragraph diatas mungkin belum menyentuh pada pilihan judul tulisan ini sehingga berikut saya mengerucut pada pilihan judul tulisan ini. 
Secara kebetulan hari ini kampus saya [Universitas Nusa Cendana] untuk pertama kalinya menyelenggarakan wisuda secara daring [dalam jaringan], dan saya berkesempatan mengikuti prosesinya sebagai Sektetaris Dewan Pengawas BLU Undana. Semulanya mendengar rencana kepanitiaan melaksanakan wisuda secara daring, timbul pasimis sebagian orang karena harus bergeser dari kebiasaan evoria kebahagiaan, tapi saya coba optimis di tengah penerapan New-Norm oleh Undana. 
Minimal lingkungan rumah saya yang dikelilingi kos-kosan mahasiswa disekitar kampus dapat terasa nyaman dimalam setelah siangnya wisuda. Itu harapan awal saja karena biasanya selepas wisuda siangnya, wisudawan tak lagi memahami betapa kelam masa depannya sebagaimana makna tali kuncir tadi tapi terlampiaskan dalam atraksi hedonism [pesta dan mabuk-mabukan]. Dugaan itu mendekati kenyataan bahwa malam ini saat sedang menyelesaikan tulisan ini, tak terdengar sedikitpun dentuman bunyi musik disekitar kos-kosan sebagai pertanda adanya pesta wisuda siang tadi. Ya, itu awal yang baik tapi semoga besok kita tidak mendengar berita ada kecelakaan motor yang korbannya adalah sarjana yang baru wisuda kemarin akibat mabuk saat mengendarai motor.
Bukan sekedar itu sebenarnya, saya terinspirasi dari penggalan kata Rektor Undana [Prof. Ir. Fred L. Benu, M.Si., Ph.D] tatkala memberikan pengantar sebelum pemindahan tali kuncir di topi wisudawan oleh orang tua/wali wisudawan di tempat masing-masing. Kira-kiran demikian penggalannya; “… kami menyadari menyadari sepenuhnya, bahwa keberhasilan studi para wisudawan hari ini, bukan semata-mata kerja keras Rektor beserta seluruh jajaran di lingkungan Universitas Nusa Cendana. Kami menyadari bahwa keberhasilan ini juga merupakan bagian dari pengorbanan dan kerja keras para orang tua dan wali. Pengorbanan baik secara meteril [dukungan secara materil], dukungan dalam doa setiap saat. Karena itu untuk mengukuhkan para wisudawan hari ini, saya Rektor Universitas Nusa Cendana; MENDELEGASIKAN KEWENANGAN DAN KEHORMATAN kepada orang tua wali, untuk dan atas nama Rektor Universitas Nusa Cendana, memindahkan tali kuncir wisudawan … sebagai tanda pengukuhan”. Pernyataan ini silahkan disimak dalam link https://youtu.be/_lxZ2WmJJhU menit ke-76. Saya ingin membahas khusus diakhir tulisan ini.
Adapula sambutan belia sekedar menceritakan tentang penerapan NewNorm di lingkungan Undana, dan itu saya menilai biasa-biasa saja. 
Yang menarik adalah dari pernyataan diatas, ada point penting dari pernyataan itu; [1] kesadaran tanggung jawab dalam menyukseskan pendidikan generasi bangsa, antara institusi pendidikan dan orang tua/wali. Include didalamnya bentukan lingkungan diluar kampus. 
Mengapa orang memilih sekolah ke Malang, Jogja, Bandung atau Makassar? Selain kemajuan kampusnya tapi yang paling penting adalah dukungan lingkungan diluar kampus yang membentuk seorang mahasiswa bisa mengelaborasikan otak kiri dan kanan secara bersamaan. [2] Pengorbanan material maupun immaterial, ini saya sambungkan dengan tradisi memajang foto wisuda diruang tamu yang telah terurai di awal. Keringat yang terkucur dan darah yang ditumpahkan para orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya, disertai doa tulus hanya dengan harapan anaknya bisa jadi ‘orang’. Apa makna kata ‘orang’ dalam konteks ini? Orang adalah manusia yang berperi kemanusiaan, adil dan beradab serta bermanfaat untuk nusa dan bangsa. Saya sering guyon pada beberapa teman-teman yang genit menggoda saya terjun ke dunia politik, bahwa menjadi guru itu predikat yang mulia dan memuliakan banyak orang. Kelak seorang guru wafatpun, anak atau bahkan cucunya masih disapa … itu anak guru X. Itulah kemudian mengkonfrontir istilah Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Sementara seorang politisi, silahkan anda mendefinisikannya sendiri.
Point penting berikutnya, [3]. Rektor mendelegasikan kewenangan dan kehormatan kepada orang tua wali untuk memindahkan tali kuncir. Wao, bagian ini sangat dahsyad. 
Kampus sebagai wahana peradaban bangsa yang didalamnya secara struktural dipimpin oleh seorang Rektor [terlepas dari wacana rencana profesionalis manajemen struktural di kampus yang akan dilelang terbuka], realitasnya Rektor adalah simbol kemuliaan ilmuwan. 
Lantas mendelegasikan otoritas kemuliaan itu kepada orang tua wali pada saat pengukuhan gelar kesarjanaannya. Siapapun yang pernah merasakan hikmatnya diwisuda, bagian inilah moment paling membanggakan. Saat tali kuncir dipindahkan. 
Moment ini perlambang seorang anak manusia telah berpindah dari masa kegelapan menuju masa yang terang benderang, dan itu dihantarkan langsung oleh orang tua wali. 
Sisi inilah makna perubahan kebiasaan [NewNorm] akibat adanya Covid-19 sehingga otoritas ini dipercayakan kepada orang tua wali. 
Dan menurut saya, itulah pilihan tepat karena kampus hanyalah sebagai perantara peradaban jika disambungkan dengan konsep belajar merdeka. 
Lingkup sosial terkecil dalam hal ini keluarga menjadi tempat dimana seorang anak manusia itu tumbuh dan berkembang mengenal segala bentuk dinamikan keduniaan sehingga pantaslah jika keberhasilan generasi sangat tergantung pada bentukan lingkungan keluarganya.
Kampus hanya sebagai perpanjangan tangan untuk mendidik, mengajarkan dan membina rintisan karakter yang telah terbentuk dari jenjang pendidikan sebelumnya. 
Karakter dan nilai yang telah terbangun dari rumah dan lingkungan disekitarnya. Olehnya, otoritas kampus itu harus dan pantas didelegasikan kepada seorang Ibu yang mewarisi 70% gen kecerdasan pada anaknya. Saya jadi teringat sebuah penggalan syari lagu rohani yang dinyanyikan kala wisudaku dahulu, ‘di do’a ibu ku dengar namaku disebut. Semoga ini adalah bagian awal yang baik untuk terus tumbuh dan berkembangnya tanggung jawab relasional antara lingkungan keluarga dan lingkungan kampus. Bahwa Covid telah mengukuhkan masa depan generasi cemerlang. Menutup tulisan ini, izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada Rektor Undana beserta jajarannya yang telah menyelaraskan konsep ini. Serta terkhusus, selamat atas diwisudanya wisudawan/I Undana Periode II Tahun 2020 hari ini. Semoga ilmunya berkah dan bermanfaat bagi nusa dan bangsa.
*) Kado buat Wisudawan/I Undana Periode II, 2020 [by Daring]
**) Masyarakat Kota Kupang - NTT



Ketupat Buat Si Chovidh

 https://www.gonttnews.com/2020/05/Ketupat-Buat-Si-Chovidh.html

Ketupat Buat Si Chovidh


Sebagai seorang mantan aktivis yang kini tengah menjadi pengajar di kampus, arahan ini hanyalah sebuah majas yang justru tidak boleh mengendurkan harapan para mahasiswa agar terus kritis terhadap berbagai kebijakan dalam penanganan Covid ini maupun kedepannya.


OPINI- Taburan bumbu opor ayam menguning hiasi meja makan bersanding dengan ketupat, boras dan kelesong, dihari kedua lebaran ini tak ada yang menyentuhnya. Lumrahnya sajian ini tak nampak lagi terpajang dihari kedua, sudah ludes terlahap para keluarga dan tetamu yang datang bersilaturahmi. Menu hari kedua harusnya sarabi panas ditemani kopi kiriman keluarga jauh dari Manggarai, sayangnya tak ada penerbangan yang menghantarnya sehingga tergantikan oleh kopi Timor pemberian senior. Itulah sekilas suasana rumahku saat lebaran hari kedua tahun ini, terasa berbeda diterpa Covid. Tahun dimana Covid-19 telah memporak-porandakan segala nilai dan tradisi, entahlah lebaran ini milik siapa, mungkin milik kaum kapitalis ataukah milik kaum liberalis. Tulisan sederhana ini tersaji buat para pembaca yang sedang menikmati redupnya air mata syawal nan sayu merindu karena tak sempat nikmati indahnya mudik lebaran, terkhusus buat pengembara ilmu (mahasiswa) di rantauan.

Seminggu berlalu Si mungil Chovidh terlahir ke dunia kala para medis masih siaga dengan ancaman Covid-19 namun beberapa hari kemudian suasana menjadi renggang seiring tagar #INDONESIA TERSERAH mulai ramai menghiasi media sosial. Suara publik itu tak didengarkan karena rileksasi terhadap kebijakan PSBB mulai digulirkan meski kurva Covid-19 belum menunjukan tanda-tanda melandai, Presiden Jokowi justru mengajak masyarakat +62 untuk mulai berdamai dengan Corona. Doni Monardo (Ketua Gugus Tugas) pun ikut mendorong masyarakat untuk kembali hidup normal dengan memperhatikan protokol kesehatan, pola kehidupan dimaksudkan adalah kehidupan ‘new normal’. Model kehidupan baru dimaksud sebagaimana telah diterapkan sejak awal bencana ini melanda Indonesia, mulai dari perilaku menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak fisik dan lainnya. Kampanye pencegahan yang ramai dikampanyekan para ‘pembesar’ dimaksud terus diintensifkan meski beliau-beliau lupa jika keluarga kita di pedalaman masih sulit menjangkau bersihnya air sekalipun hanya untuk merebus jagung hasil kebunnya yang terancam gagal panen.

Seyogyanya menurut WHO, model New Normal Live hanya dapat diterapkan sebuah wilayah ditengah pandemic Covid-19 jika memenuhi tiga indikator utama. Ketiga indikator dimaksud adalah; pertama, angka reproduksi dasar (basic reproductive number: RO) sebuah penyakit harus di bawah angka 1; kedua, sistem kesehatan yang dipastikan dengan kemampuan dan kapasitas sistem kesehatan dalam merespon pelayanan Covid-19 minimal 60% dari total fasilitas kesehatan yang ada; dan ketiga, surveilans yaitu proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistemik dan terus menerus untuk pengambilan tindakan penanganannya. Realitasnya data yang terpapar oleh Kepala Bappenas per 21 Mei 2020; rata-rata nasional RO Indonesia diperkirakan masih di angka 2,5 yang artinya 1 orang bisa menularkan virus ke 2 sampai 3 orang, kapasitas system kesehatan bahkan belum mencapai 50% dan tes masif pun baru hanya dilakukan pada beberapa titik strategis di kota besar. 

Baca Juga:
https://www.gonttnews.com/2020/05/Terbelenggunya-Dunia-Pendidikan-Dimasa-Pandemi-Covid-19.html

Potensi penyebaran justru terus meningkat per 23 Mei 2020, bertambah menjadi 949 hingga menjadi 21.745 kasus, 1.351 pasien meninggal dan 5.249 orang dinyatakan sembuh (194 pasien untuk 23/05/2020). Angka demikian bahkan akan meningkat beberapa hari kedepan dan hal itu wajar jika disandingkan dengan berbagai aktivitas masyarakat perkotaan yang terpantau pada beberapa bandara dan pelabuhan penyeberangan. Menjelang hari raya Idul Fitri, masyarakat masih saja tidak mematuhi anjuran pemerintah untuk tidak mudik. Entahlah para peziarah itu mungkin bingung menerjemahkan antara mudik atau pulang kampung tapi yang pasti dinamika demikian adalah bukti rendahnya tingkat ketaatan publik terhadap ancaman atau bahkan bukti pembangkangan normatif terhadap anjuran kekuasaan. Pastinya, normalitas dimaksud akan sulit terwujud dan bahkan dapat terjadi kematian massal kedepannya jika ketidak-patuhan publik menyepelekan ganasnya Covid-19 hanya karena hambalnya Pemerintah menggaris tindakan tegas sebagai pembatas perang terhadap Covid-19. Sebab indikator new normal live lainnya yaitu teredukasinya masyarakat terhadap bahaya Covid-19 belum sepenuhnya terjamin oleh jaring pengaman sosial untuk beradaptasi dengan model kehidupan baru dimaksud. Sisi lainnya, konsep new normal live hanya diparadigmakan sebatas pola hidup sehat tetapi pada dasarnya akan berimbas pada berbagai aktivitas kehidupan diberbagai pranata sosial.

Beberapa daerah kabupaten di NTT yang masih berada dalam zona hijau dari Covid-19 terus menjaga status hijaunya untuk tidak menguning bahkan memerah namun pesan terlanjur bertebaran di media sosial yang memberitakan ramainya bandara dan pelabuhan penyebarangan di Pulau Jawa. Para petani dan nelayan di pedalaman ‘dipaksa’ tetap di rumah menahan lapar setelah stimulus BLT ‘ambyar’ oleh pesta duka dan tuntutan adat. Belum juga untuk jajan anak-anaknya di rantau yang sedang berharap cemas bantuan pemerintah yang tak kunjung datang mengetuk. Hal itu karena status kependudukan mereka yang tidak terdeteksi dalam daftar penduduk kota namun untuk sementara ‘mungkin’ mereka tersanjungi bala bantuan dari para bekas Caleg yang kelak akan berlaga di pesta politik mendatang. Mereka (mahasiswa) yang sebulan berpuasa maupun yang tidak menjalankan ibadah ramadhan (karena bukan perintah Agamanya; non-muslim) masih berharap akan ada susulan BLT yang tertera jelas namanya dalam daftar makhluk yang tersantuni sembari menyelesaikan tugas akhir semester yang kian menumpuk.



Jarak mungkin terbatasi oleh Covid tetapi tautan hati harus terus bersemangat untuk menggaungkan kemenangan melawan Covid-19 serta berita hoax. Ketupat lebaran ini kan tersimpan sebagai persediaan selama lebaran di rumah saja, semoga dapat meningkatkan imunitas keluarga. 



Sebagian kecil mahasiswa yang masih cinta Indonesia mungkin akan mendaftarkan diri menjadi relawan dalam sistem pemantauan dan pelacakan virus corona kelas wahid Juni nanti sebagaimana janji Boris Johnson (PM Inggris). Ups, mereka kini di Indonesia dan bukan di Inggris yang sedang membutuhkan 25 ribu relawan untuk mengikuti mekanisme pelacakan, skema aturan yang harus dipatuhi serta tahapan pelonggaran lock down virus corona. Indonesia sedang dan/atau akan mengerahkan para peneliti handal untuk menjajaki peluang adanya anti-virus buatan anak negeri sebagaimana semangat sang penguasa yang mulai meraba-raba varian pangan lokal sejenis ‘daun kelor’ sebagai menu antibody  yang tidak hanya menangkal stunting tapi juga mampu memproteksi ancaman Covid-19. Para mahasiswa itu seolah tak peduli dengan pidato Jubir Gugus Tugas yang sedang membacakan deretan angka tanpa makna (karena angka-angka itu hanya terbacakan tanpa ada narasi analitik yang lebih ilmiah), hanya sekedar himbauan dan harapan untuk memulai kenormalan baru. Mereka justru sedang asyik berdiskusi virtual membicarakan berbagai hal tentang masa depan umat manusia dan bangsanya agar mereka tak lupa jika Mei adalah bulan kebangkitan nasional sebagaimana pernah disejarahkan oleh perjuangan reformasi Mei 1998 lalu.

Sebagian kecil mahasiswa muslim yang ‘mungkin’ sedang tak nyaman sebulan terakhir karena stok pangan mulai menipis tak lagi berpikir untuk hadiri sholat Ied karena mereka tahu di Kota Kupang semua masjid telah terjaga ketat oleh para petugas berseragam. Benak mereka berbisik masjid kian seram, bahkan lebih seram dari supermarket dan pasar tradisional yang leluasa terkunjungi tanpa ada batasan jarak fisik dan pedagang maupun pengunjungnya, bahkan sebagian mereka tak mengenakan masker pembisu kritik. Masjid yang dahulunya menjadi tempat bermunajah doá kini tak lagi mampu mengikat pertalian ikhtiar untuk menggugah keridhoan Tuhan karena kita telah disarankan berdoa di rumah/kos saja untuk ‘sementara’ waktu. Jangan bertanya kapan tepatnya kata sementara itu akan beruban karena hingga kini kita belum tersaji kepastian ilmiah kapan Covid-19 ini berlalu, tetaplah berharap agar pasien klaster Gowa, klaster Magetan dan bahkan transmisi lokal itu lekas sembuh agar masjid dan rumah ibadah lainnya perlahan dapat kembali nilai fungsinya. Jika Covid-19 harus membuat kita harus berdamai melalui kenormalan baru maka mungkin kelak pengajian akbar akan tergantikan oleh pengajian akbar virtual, dan kalian pun harus menciptakan keharmonisan toleransi untuk mendukung terlaksananya ibadat sejenis KKR oleh para saudara kita yang sudah lama tidak beribadah terbuka. Mungkin itu akan menyatukan kekuatan menembus keridhoan Tuhan untuk menjaga Indonesia bisa lepas dari bala dan bencana, ya tapi tentunya dengan kenormalan baru sembari membantu para pekerja industri kreatif berbasis daring menyiapkan fasilitas peribadatan virtual.

Lebaran hari ini seakan tak ada nuansa kemenangan karena masjid dan tanah lapang terhadang oleh penjagaan petugas berseragam, mungkin yang masih terasa hanyalah hiruk-pikuknya para pengunjung di pasar dan pertokoan yang memburu serba-serbi Idul Fitri. Para mahasiswa yang masih berharap kiriman itu tak dapat berkunjung kesana untuk membeli baju baru meskipun di pasar dan toko tengah lengah dari penjagaan. Jangankan penjagaan, selebaran sebagai media kampanye pencegahan Covid-19 pun hampir tak terpapar di pasar jadi datanglah kesana sembari berharap para pemurah memberikan kalian senyuman optimisme. Berhati-hatilah saat menyeberang jalan karena kini di jalanan sudah padat-ramai dengan kendaraan yang mungkin ikut tertumpangi Covid, jika anda (mahasiswa) sakit dan terpapar Covid-19 lantas bagaimana dengan masa depan bangsa ini?. Sebaiknya pulang dan diamlah di kos-kosan kalian sembari membiarkan masalah itu berlalu, gunakan masker agar mulutmu jangan lagi lantang meneriaki naiknya biaya listrik dan iuran BPJS. Hati-hati pula mengatur jemari saat menuangkan status karena bisa menggiring keresahan semakin meluas tak terkendali. Sebagai seorang mantan aktivis yang kini tengah menjadi pengajar di kampus, arahan ini hanyalah sebuah majas yang justru tidak boleh mengendurkan harapan para mahasiswa agar terus kritis terhadap berbagai kebijakan dalam penanganan Covid ini maupun kedepannya. Teruslah tegar mengkritisi dinamika kebangsaan namun tetap pada koridor demokrasi, menjaga etika dengan gagasan konstruktif nan cerdas, bukan hampa oleh berbagai gamers dan hoax yang mengancam masa depanmu.

Oleh para ahli, salah satu pencegah utama menghadapi Covid-19 adalah tingkat imunitas sebagai antibody alternatif yang dapat diproduksi secara mandiri. Memperolehnya dapat dari ketersediaan pangan yang cukup dan berkualitas serta istirahat dan olahraga yang teratur. Sayangnya pangan yang cukup dan berkualitas itu mungkin sulit kalian jumpai karena keterbatasan modal dan akses memperolehnya, cukuplah kalian mengandalkan istirahat dan olahraga yang cukup sebagai upaya normalisasi gaya hidup baru. Jikalau itupun tak bisa kalian lakukan, cukuplah berpikir sehat dan tak menebarkan berita bohong agar optimisme hidup akan terus terpupuk. Akhirnya kita butuh bermunajjah do’a agar tidak terpilih sebagai host penyebar virus corona, mumpung masih diberi kesempatan berdoa dari rumah maka lakukanlah sebelum berdoa itu dilarang. Prawitasari (2018) dalam sebuah jurnal pernah menulis tentang Psikoneuroimunologi, bahwa kesehatan psikologi mempengaruhi imunitas tubuh pasien sehingga tetaplah yakin berusaha untuk sembuh. Seperti kata pepatah latin (kuno) ‘ora et labora’, saat bekerja tak lagi berhasil maka cukuplah dengan puncak ikhtiar yaitu berdoa. Pepatah itu menyuruh berdoa baru bekerja tapi kini dimasa panggung peraduan antar liberal dan kapitalis, berdoa bukan hanya dipuncak kepasrahan tapi sudah hampir tak seleluasa dahulu. Sebagai Negara Pancasilais yang memberikan porsi pertama dalam landasan ideologis bahwa soal Sang Kuasa Kehidupan, tentunya itu selaras dengan konsep berdoa sambil bekerja. Sebelum jauh terlambat, teruslah khusu’ dalam doa karena berdoa akan lebih baik daripada anda berkonser saat yang lainnya khusu’ berdoa. Mohon didoakan juga bagi para medis untuk tidak surut oleh tagar #Indonesia Terserah, semangati mereka dengan penghiburan ‘pahalamu besar di surga’.

Sebelum hari kemenangan ‘kan berlalu dan nuansa keredupan optimisme kita melawan virus corona terus tergerus oleh ketidakpastian kebijakan, pantaslah jika tulisan ini menjembatani kefitrahan jiwa dan raga untuk memohon maaf. Jarak mungkin terbatasi oleh Covid tetapi tautan hati harus terus bersemangat untuk menggaungkan kemenangan melawan Covid-19 serta berita hoax. Ketupat lebaran ini kan tersimpan sebagai persediaan selama lebaran di rumah saja, semoga dapat meningkatkan imunitas keluarga. Selain pada kalian para mahasiswa perantau, tulisan ini juga special untuk putra bungsuku bernama Chovidh yang artinya kerendahan hati. Semoga kelak Chovidh terus merendah hatinya menghadapi cobaan virus lainnya yang ‘mungkin’ akan datang dimasanya. Selamat hari raya Idul Fitri 1441 H bagi sanak saudara dan handai taulan yang sedang merayakannya, tetap gelorakan kemenangan untuk melawan virus, kembalilah ke fitrah dan jangan lupa cuci tangan.


Penulis merupakan Dosen Pendidikan Geografi FKIP Undana, Masyarakat Kota Kupang-NTT

Pengalaman Organisasi:
* Ketua Umum HMI Cabang Kupang Periode 2005/2006
* Sekretaris DPD KNPI NTT Periode 2010-2012
*Sekretaris KAHMI NTT - sekarang

Terbelenggunya Dunia Pendidikan Dimasa Pandemi Covid-19

 https://www.gonttnews.com/2020/05/Terbelenggunya-Dunia-Pendidikan-Dimasa-Pandemi-Covid-19.html

Terbelenggunya Dunia Pendidikan Dimasa Pandemi Covid-19


OPINI, GNN- Berbagai informasi telah kita pelajari terkait Covid-19 bahwa virus tidak mengenal border (batas) ras, usia, agama, jenis kelamin, latar belakang individu, dan negara. Apapun alasannya, kita kini berada dalam fase keterbukaan, dan dengan kondisi pandemik ini yang bersifat menembus batas relasi antar ruang maka yang dibutuhkan adalah solidaritas kemanusiaan global. Ini adalah defining moment/momen yang menentukan (tepat) dan entrance (jalan masuk)untuk  membentuk dunia kedepan, jangan sampai kita terkonsentrasi dalam urusan teknis mitigasi kesehatan lingkungannya lalu kita lupa menyiapkan alternatif perubahan dan pembaharuan kedepan. Jika demikian adanya maka tak ada nilai yang bergeser dalam proses berkembangnya peradaban, dan risikonya akan lebih dahsyat lagi kedepannya bahwa sistem global (mikro maupun makro) kita tidak dinamis terhadap perubahan, semacam tools and role mitigation for global change. Permasalahannya adalah sistem kita hanya memandang bencana hanya pada bentuk bencana alam dan bencana sosial belaka, hampir tidak ter-cover role kita untuk memitigasi ancaman bencana non-alam seperti epidemic-wabah-pandemic, gagal teknologi, dan gagal moderenisasi. 

Teringat prediksi Bill Gates (2015) bahwa “Bakal ada sebuah virus yang akan menjadi pandemi dan menyusahkan penduduk dunia, virus itu lebih berbahaya dibanding peluru kendali dan bisa membunuh puluhan juta orang”. Gates juga telah jauh memprediksikan kondisi perkembangan peradaban informasi teknologi ini dalam bukunya “Business @ the Speed of Thought” pada tahun 1999 yang menyajikan 15 prediksinya, bahwa akan datang masa dimana manusia sangat dimudahkan urusannya dengan ketersediaan jaringan informasi dan teknologi, dalam berbagai urusan. Indonesia kala itu baru mulai mengenal komputer dan internet sementara di dunia sudah mengaplikasikan sistem jaringan, kemudian masuk di fase 2000-an dil sana sudah maju memanfaatkan model robotik, kita masih bermain diseputaran aplikasi semi-manual dan itupun belum merata. 

Teringat pula pendapat salah satu pejabat di Kemenlu Singapura; pandemik Covid-19 ini dapat menjadi sarana untuk menilai kualitas bangsa dalam 3 (tiga) aspek, yaitu; (1) ketersediaan sistem layanan kesehatan, (2) efektivitas sistem pemerintahan, dan (3) tumbuh-suburnya modal sosial di suatu negara. Terkait pendapat ini, saya sekonsep dengannya. Indonesia memiliki nilai-nilai Pancasila-is sehingga kokohnya kekuatan kemanusiaan dan kegotong-royongan semakin terasah dimasa pandemik ini dan sebagai buktinya; bergerak natural sistem sosial kemasyarakatan, insting kemanusiaan terpacu melalui aksi kepedulian sosial dan gotong royong (Indonesia urut 1 paling dermawan versi CAF Word Giving Index 2018; 59%, disusul Australia dan Selandia baru). Sementara kualitas pertama, sistem kesehatan kita justru tampak tidak siap manajemen mitigasinya dengan kondisi ini, bahkan Menkes RI (Tuan Terawan) justru meremehkan ancaman Covid-19 dan dengan bangga menunjukan keperkasaan sistem kesehatan Indonesia tetapi pada akhirnya kita rasakan kini. Kualitas kedua, efektifkah sistem pemerintah kita? Anda silakan menyimpulkannya sendiri, sedari inkonsistensi kebijakan antara lambat, meremehkan, langkah hati-hati dan bingung mengurus negara dalam pandemik ini sulit kita bedakan. Bosan juga sehari-hari kita hanya disajikan data ODP, PDP, positif-negatif dan sepenggal pidato himbauan dari pejabat diberbagai tingkatan tanpa disertai narasi kebijakan yang lebih ilmiah beralaskan riset dan matangnya sinergitas perencanaan mitigasi.

Realitas (permasalahannya); sistem pendidikan kita masih ada gap antar yang tertinggal dengan yang berkemajuan [disparitas kualitas pendidikan], pembelajaran tatap muka langsung (face to face) masih menjadi andalan. Bahkan masalah klasik; kesejahteraan guru, keterbatasan sarpradik, benturan sosekbud, perubahan kurikulum, gagap teknologi, dan sinergitas kebijakan. Pertanyaan penting selain penanganan resiko kesehatan lingkungan global karena Covid-19 ini adalah, apa perubahan yang akan terjadi setelah ini?. Mas Menteri Nadiem Makarim menghikmati Covid-19 sebagai terbentuk normalitas-normalitas baru, seperti; (1) masalah domestik
 dalam lingkup organisasi terkecil yaitu value (arti pentingnya) keluarga, (2) kesempatan untuk beroperasi (bekerja) dari mana dan kapan pun, serta seberapa pentingnya kesehatan/pola hidup sehat. Tentunya kita sekalian punya hikmah dan nilai sendiri, mungkin ada yang mulai mendalami keunggulan teknologi, membuka akses dan relasi bisnis secara online, lebih tekun beribadah dan hal bijak lainnya.

Terkait kondisi ini, berbagai upaya yang dilakukan Kemendikbud; online learning (kendala; koneksi internet dan kemampuan kuota), program Belajar dari Rumah di TVRI (kendala; kepemilikan TV, ketersediaan signal, ketiadaan listrik), dan beberapa inisiasi inovatif lainnya yang masih dalam tataran konsep. Sedari awal Mas Menteri (Nadiem Makarim) berkomitmen menopang arahan Presiden RI (2019-2024) untuk Menciptakan SDM Unggul dalam menghadapi tantangan industry 4.0 dan society 5.0 (era disrupsi teknologi). Ada 5 (lima) arahan penting yaitu; (1) pendidikan karakter (2) deregulasi dan debirokratisasi, (3) meningkatkan investasi dan invasi, (4) penciptaan lapangan kerja dan (5) pemberdayaan teknologi. Kemudian Mas Menteri menstimulusnya dalam 3 (tiga) kunci yang kita kenal dengan Kemerdekaan Belajar, yaitu; (1) guru/dosen adalah penggerak, (2) perubahan adalah hal yang sulit adan penuh dengan ketidaknyamanan (atau tantangan), dan (3) kita sedang mengkonsolidasikan kebijakan.

Tjandrawinata (2016) menguraikan tantangan revolusi industri 4.0, diantaranya; kurang memadainya keterampilan, masalah keamanan  teknologi komunikasi, keandalan stabilitas mesin produksi, ketidak-mampuan untuk berubah oleh pemangku kepentingan, serta banyaknya kehilangan pekerjaan karena berubah menjadi otomasi. Jepang sudah sedang enjoy dengan revolusi industri 4.0 dan akan memasuki era society 5.0 (masyarakat 5.0; masyarakat yang berpusat pada manusia; human-cetered)  sebuah masyarakat yang berpusat pada manusia yang menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial melalui system yang sangat mengintegrasikan ruang maya dan ruang fisik. Perbedaan mendasar antar keduanya; (1) Revolusi Industri 4.0 itu masyarakat mencari, mengutip dan menganalisa data atau informasi dengan mengakses layanan cloud melalui internet, sementara (2) Sociaty 5.0 itu sejumlah besar informasi dari sensor di ruang fisik terakumuliasi di dunia maya dan dianalisis oleh kecerdasan buatan, dan hasilnya diumpan kembali ke manusia dalam ruang fisik dalam berbagai bentuk.

Kesempatan pandemic ini sesungguhnya akan menjadi entrance dalam mengimplementasikan berbagai konsep kebijakannya dimaksud karena berbagai lini sedang terkondisikan oleh Covid-19. 

Terkait penguatan karakter, silakan pelajari berbagai teori yang disajikan Larry P Nucci dan Darcia Narvaez (Handbook of Moral and Character Education, 2008) lalu padukan antara konsep tentang literasi baru (baca; Konsep dan Aplikasi Literasi Baru di Era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0, karya Fari Ahman dan Hamidullah Ibda, 2019) dengan  konsep Taksonomi Bloom (revisi Krathwoll and Anderson, 2003). Kita mengenal 4 (empat) barul literasi data (big data di dunia digital) dan literasi teknologi (cara kerja mesin dan aplikasi teknologi) dalam satu gugus, serta literasi manusia (humanities, komunikasi & desain) dan experiental learning 
(pendidikan pengalaman), ini dalam upaya Penguatan Karakter harus disandingkan dengan konsep 6C’s yaitu; C1, computational thinking (pemikiran komputasi) yang selaras  dengan literasi gugus pertama serta 5C lainnya, creative, critical thinking, collaboration, communication, and compassion dengan gugus literasi kedua. Nah, terkait perpaduan ini sebenarnya Kemendikbud sekarang sedang memadukannya dalam 6 [enam] kebijakan, yaitu; (1) merdeka dalam belajar, (2) pengembangan kepemimpinan, (3)pendampingan guru/dosen penggerak, (4)g education, (5) enterpreneur mindset, dan  (6) sepanjang hayat (sumber; Materi Rakor Kebijakan Dikti oleh Ainun Na’nim, 16 Jan 2020).

Kesempatan pandemik ini sesungguhnya akan menjadi entrance  dalam mengimplementasikan berbagai konsep kebijakannya dimaksud karena berbagai lini sedang terkondisikan oleh Covid-19. Faktualnya, kehadiran pandemik ini berimbas pada kepentingan teknologi bagi private sector, social sector dan public sector yang akan meningkat drastis sehingga role kekuasaan akan lebih leluasa mengintervensi sistem nilai sosial di bidang pendidikan yang masih tergolong konvensional. Jika pemerintah melalui Kemendikbud serta elemen lainnya yang berurusan dengan pendidikan tidak memanfaatkan momentum Covid-19 ini untuk menyegerakan pengimplementasian berbagai kebijakan di atas maka kelaknya setelah Covid-19 berlalu kita akan sulit lagi mengkondisikan system tata nilai sosial di bidang pendidikan, mengapa? Karena tak ada lagi variable ‘pengharus’ yang memaksa untuk berubah.

Berbagai sektor kini terkena dampak Covid-19 terlebih kesehatan dan ekonomi-bisnis namun khususnya dalam diskusi ini, kita menyoroti terkait sektor pendidikan. Pendidikan, sebelumnya hanya bisa dilakukan face to face akan berubah, sebelumnya tersekat dengan ruang kelas, ada berbagai tools software kita bisa lakukan hyper innovation (inovasi yang luar ‘dari’ biasa) untuk lebih personalisasi dan tersegmentasi melalui multimedia. Kombinasi mengajar antara guru-orang tua-anak, orang tua tidak lepas tangan dari tanggung jawab pembelajaran anak. Ada 2 sisi menarik; Orang tua sadar betapa sulitnya mendidik anak dan sisi lain guru juga menyadari pentingnya peran orang tua/keluarga yang harus menjaga anaknya di luar jam sekolah. Inilah kondisi ideal dalam pembelajaran yang sudah dirintis para ahli lama sebelumnya [teori/ahli; Winkel, Bower, Ernes, Pavlov, Bruner, behaviorisme, konstruktivisme-kontekstual, kognitivisme, Vigotsky, koneksionisme-thorndike],  model hubungan antara stimulus dengan responnya karena keluarga adalah lembaga pembelajaran utama bagi manusia lalu lingkungan kemudian sekolah, dan seterusnya kondisi ini akan membentuk nilai dan karakter anak (baca; Theories Of Learning Teori Belajar Edisi 7 - B.R. Hargenhahn, Matthew H. Olson, 2008).

Mempertimbangkan berbagai konsep, teori dan kondisi kekinian dimaksud maka tawaran hybrid combine antara pembelajaran face to face (non digital) dengan digital (teknologi ; online learning/daring) akan jauh lebih efektif dalam mempercepat memajukan dunia pendidikan Indonesia kini untuk menghadapi berbagai tantangan mendatang. Teknologi harus dijadikan penguat potensi guru, teknologi sebagai tools yang memperantarai kerjasama antara guru-orangtua-murid dalam satu kesatuan lingkungan pembelajaran. Artinya, orang tua dan keluarga harus sebagai teladan bagi peserta didik, serta lingkungan harus dibentuk nyaman dan aman, guru harus menjadi penggerak inovasi etis yang berkemajuan, serta dukungan informasi-komunikasi-teknologi harus selaras dengan kebutuhan kerja sistem ini. Ya, tentunya berbagai kebijakan dimaksud berkonsekuensi pada sistem penganggaran kita dibidang pendidikan tapi itu urusan lain yang tidak saya bahaskan dalam diskusi topik ini, mungkin lain kesempatan kita akan membahasnya secara spesifik.

Saya menduga ada kemungkinan akan datang lagi badai yang lebih dahsyat dari sekedar Covid-19 ini. Mengapa? Karena
perubahan akan terus terjadi dan peradaban akan terus berkembang. Saat sekarang pemerintah masih terkonsentrasi pada upaya pencegahan dan pencegahan pandemi Covid-19, setelah ini akan dilakukan pemulihan sistemik atas krisis diberbagai sektor pasca-pandemi Covid-19, baru kemudian memikirkan tentang bagaimana masa depan. Pemikiran saya, selain energi kita terkonsentrasi pada upaya mitigasi kesehatan lingkungan atas gelombang Covid-19 tapi sembari berjalan kita juga sudah harus memulai penyelarasan perencanaan diberbagai sektor kehidupan bangsa agar kelaknya pasca berlalunya Covid-19, kerja berikutnya adalah penguatan sistem tata nilai yang berubah. Indonesia memiliki tata nilai dasar yaitu Pancasila tetapi sayangnya dalam kondisi krisis ini kita hampir lupa kalau Pancasila-lah menjadi rujukan bersama satu bangsa yang menyatukan nasionalisme ke-Indonesia-an kita, menguatkan optimisme kemanusiaan global untuk songsong masa depan. Saran saya, libatkanlah para ahli dan peneliti diberbagai bidang keilmuan untuk mulai melakukan kajian diberbagai aspek lalu merencanakan berbagai alternative perubahan ini kedepan.

Mengarungi kemajuan peradaban ini tentunya berbagai dinamika global sedang dan akan terus dihadapi, berbagai bencana alam, non-alam dan bencana sosial akan terus menggerus energi bernegara sehingga negara harus lebih dini menyiapkan model mitigasinya. Beberapa ahli memprediksi, gelombang besar  yang perlahan akan meletup adalah permasalahan climate change karena berdampak universal dan saling berkaitan dalam jangka waktu yang panjang (sebab akumulatif), ketergantungan pada alam tinggi
(yang sulit diintervensi manusia), daya jangkau manusia melalui teknologinya saling terkait, dan alasan-alasan besar lainnya. Olehnya; megutip statement Najwa Shihab dalam wawancaranya bersama Mas Menteri (Mendikbud) dalam momen Hardiknas 2020, Never Waste A Crisis (jangan pernah menyia-nyiakan krisis). Saya dan beberapa teman menulis dalam buku Vaksin Ilmiah, dan dalam salah satu tulisan saya berjudul ‘Covid-19;  Bencana atau Berkah?’; manfaatkan momen perubahan ini dan ambil hikmah terbaiknya dengan bijaksana. Semua inovasi digitalisasi jangan sampai diputar kembali ke belakang, harus dioptimalkan kedepannya dengan mengombinasikan keteladanan orangtua/keluarga/guru/lingkungan dengan kemajuan IPTEK. Sebelum berlalu saya ucapkan Selamat Hardiknas 2020 dan selamat menyambut Hari Kebangkitan Nasional 2020, Salam Sehat dan Smart.

*) Opini ini akan menjadi Bahan Diskusi dalam Virtual Public Discussion bertema ‘Dinamika Pendidikan Indonesia dalam Belenggu Covid-19’ yang akan diselenggarakan oleh Sekola Gembira Lembata-NTT pada Minggu, 10 Mei 2020; Pukul 21.00 Wita-selesai.
**) Dosen Pendidikan Geografi FKIP Undana, Masyarakat Kota Kupang-NTT

Opini : Covid-19; Bencana Atau Berkah?

http://genial.id/read-news/covid19-bencana-atau-berkah 

Covid-19; Bencana Atau Berkah?


Genial, Opini - Website resmi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 [https://www.covid19.go.id/] merilis per 22 April 2020, jumlah kasus positif virus corona (Covid-19) di Indonesia telah menembus angka 7.418 dinyatakan positif, 914 kasus dinyatakan sembuh dan 635 jiwa diantaranya dinyatakan meninggal. 

Pandemi global Covid-19 telah meliputi 213 negara/kawasan dengan jumlah kasus terkonfirmasi sebanyak 2.471.136 dan kematian mencapai 169.006 jiwa [WHO Data Last update: 22 April 2020, 08:00 GMT+8], seakan tidak mentolerir momentum 22 April sebagai Hari Bumi. Perbincangan publik yang bertebaran di dunia maya masih di donimasi oleh topik Covid-19, demikian pula disudut pendopo rumah megah milik si miliarder hingga lapak tanah milik si pengemis jalalan. 

Hampir dipastikan semua manusia yang tengah beranjak sadar kini perlahan diedukasikan tentang virus corona, beragam tanggapan miris dan cibiran hingga pujian bertebaran dimedia publik seakan mengekspresikan kecemasan atau mungkin harapan. Pemerintah terus didera cepat, tangkas dan tangkap mengatasi masalah ini sehingga penghuni bumi-pun harus dikekang kebebasannya untuk menetralisir kembali keseimbangan ekologis yang tengah terganggu stabilitasnya.

Berbagai ahli dicurahkan isi kepalanya untuk berpikir mengatasinya, pemerintah dengan segala daya dan kuasanya menggerakkan semua lini elemen bangsa untuk bersatu padu dalam prosuder terstandar agar virus ini segera berlalu. Pertanyaannya, apakah yang diperoleh setelah berlalunya virus ini? Adakah unsur nilai kebaharuan dari tradisi berkehidupan dengan menggeser sedikit kebiasaan kita yang pasrah pada nestapa kebencanaan lantas berharap kapan datangnya bala bantuan untuk berbenah dengan kemajuan peradaban. 

Konteks covid-19 sebagai bencana kesehatan lingkungan seyogyanya memicu manusia terus berkembang melakukan penetrasi dan inovasi, baik teknologinya hingga kebijakan dan teknis operasionalnya, bukan malah terpaku dikungkung ketidak-pastian hingga membunuh semangat optimism untuk terus berkembang. Kasali (2019) mengutip semangat optimism Peter Theil “every time we create something new, we go from zero to one” sehingga biarlah virus corona berlalu menapaki waktu sementara kita terus melangkah dari nol ke satu.

Para ahli terkait telah memberikan warning tentang ancaman virus corona, Soewarno [http://news.unair.ac.id, 2020] yang merupakan Guru Besar Virologi dan Imunologi FKH UNAIR menjelaskan bahwa virus korona jenis baru atau Novel Corona Virus (2019-ncov) yang sekarang sedang berkembang, bukan merupakan sebuah hal baru, melainkan hasil dari mutasi, serupa dengan korona yang menjadi penyebab SARS-Cov dan MERS-Cov.

Virus korona terbagi menjadi empat jenis genus, yakni [1] alpha coronavirus dan [2] beta corona virus yang sering menyerang manusia dan tergolong paling berbahaya, [3] gamma coronavirus dan delta coronavirus yang menyerang hewan.

Berdasarkan jenisnya, virus korona yang menulari manusia adalah HCoV-229E (alpha coronavirus), HCoV-NL63 (alpha coronavirus), HCoV-OC43 (beta coronavirus), serta HCoV-HKU1 (beta coronavirus), sementara tiga lainnya merupakan genus beta [terkategori zoonosis] yang bisa menginfeksi hewan sekaligus manusia pasca berevolusi dalam bentuk baru, yakni SARS-Cov, MERS-Cov, dan 2019-ncov atau Covid-19.

Guru besar Virologi dan Imunologi lainnya [Prof. Dr. Fedik Abdul Rantam, 2020] juga menjelaskan bahwa ketiga virus baru dimaksud memiliki kesamaan dari segi struktur dan morfologi tetapi berbeda secara genetik dan host. Karakteristiknya bersifat single-stranded RNA sehingga mudah mengalami mutasi karena memiliki protein spike sebagai reseptor yang menempel di host. 

Proses mutasi dan perubahannya dipengaruhi oleh lingkungan, host, waktu serta perubahan sifat RNA-nya sehingga para ahli virus serta otoritas kesehatan dunia [WHO] mengkategorikannya sangat berbahaya dan beresiko tinggi. Hal dimaksud terkonfirmasi dalam situs resmi WHO [https://www.who.int] yang menyajikan perbandingan data per 6 Maret 2020 terkait keempat virus yang pernah mewabah, diantaranya;

[1] Virus Corona per 6 Maret 2020 dengan kasus terkonfirmasi sebanyak 97.993, kematian talah mencapai 3.381 jiwa [3,4%] di 87 negara, 

[2] MARS data 2012-2019 terkonfirmasi 2.494 kasus dengan kematian 858 jiwa [34,4%] di 27 negara, 

[3] SARS data endemic 2002-2003 terkonfirmasi 8.098 kasus dengan kematian 774 jiwa [9,6%] di 26 negara, 

[4] Ebola data wabah 2014-2016 terkonfirmasi 28.616 kasus dengan kematian 11.310 jiwa [25%-90%]. 

Sementara update data WHO per 22 April 2020 dalam tempo yang relatif singkat mampu menjangkau 213 kawasan/Negara dengan sejumlah korban jiwa sebagaimana tersaji diawal, dan bahkan impact-nya berimbas pada berbagai sektor kehidupan masyarakat termasuk ekonomi mikro maupun makro.

Otoritas Kesehatan Dunia [WHO] telah menetapkan kondisi pandemik dan olehnya kita sepakat bahwa ini adalah bencana global namun dalam kemerdekaan berpikir, siapa saja boleh menduga ada konspirasi global yang mempercepat pergeseran revolusi industry 4.0 dengan membatasi pertemuan fisik dan memaksimalkan berbagai kemajuan teknologi informasi.

Seiring dengan kebijakan bekerja dan belajar dari rumah, komponen usaha dan industi kian terus menyelaraskan strategi untuk tetap bertahan hidup dan alhasil bisa terjadi pemutusan hubungan kerja. 

Kondisi demikian hanya ada dalam pilihan disrupted or being disruptive [terganggu atau mengganggu] sehingga kesempatan inilah pemerintah harus mendorong komponen industri kreatif untuk memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi dalam proses produksi dan menyajikan kepuasan kepada penggunanya. 

Kelompok millennial yang cukup adaptif dengan berbagai perubahan berpadu pada prinsip Rita Gunther McGrath [2017] bahwa the ability to learn faster than your competitors may be the only sustainable competitive advantage; agar tercipta keunggulan kompetitif yang berkelanjutan namun disisi lainnya kebijakan justru membatasi kesempatan untuk berinovasi menuju revolusi 4.0.

Teknologi 4.0 dan Humanisasi

Berbagai virus lainnya yang sudah pernah melanda dunia, tentunya menimbulkan korban moril maupun material dan menggeser berbagai pola kehidupan, dan demikian pula hadirnya virus corona harus dimaknai sebagai salah satu pintu masuk ke era cyber physical system yang cenderung memanfaatkan interaksi secara sicer dan digital.

Hal demikianlah yang mencerminkan revolusi industry 4.0 bahwa pekerjaan low skill hingga high skill yang dikerjakan oleh manusia hari ini kedepannya pekerjaan low skill akan diperankan oleh robot-robot. 

Konsumen Indonesia mungkin perlahan mulai familiar dengan sistem pemesanan barang menggunakan aplikasi sementara di beberapa negara, bahkan Amazone (aplikasi market place) sudah menggunakan Stone untuk pengiriman pesanan-pesanan dari Amazone sehingga bisa saja para driver Gojek yang kini mengantar barang barang kelaknya akan menjadi pengemudi drone.

Kelaknya dimasa itu, manusia berada pada perannya sebagai middle skill dan bahkan berada pada high skill labour, dimana manusia kembali pada khittoh penciptaannya sebagai pencipta [innovator], bukan sebagai mesin. Olehnya Kisworo [2020] menyarankan untuk terus melakukan peningkatan skill, termasuk membangun sarana dan prasarana penunjang teknologi serta mentaktisi mekanisme teknsi di dalam pasar.

Para pengusaha di bidang food and beverage seyogyanya memilih alternatif untuk mendapatkan omzet secara online dan sebaliknya pembayaran oleh pembeli dapat dilakukan dengan pembayaran digital [virtual account].

Olehnya pasca berlalunya virus corona dapat dipastikan bahwa dunia akan mengalami perubahan besar dalam berbagai aspek termasuk bisnis sehingga harus disiapkan secara matang dalam menghadapi krisis pandemik masa depan dari segi digitalisasi proses bisnis, merencanakan cash flow yang lebih kuat dan memperkuat rantai pasokan.

Kedepannya diprediksi akan terjadi perubahan pola kebiasaan dan menjadi sebuah fenomena yang mendorong munculnya pola kerja baru dengan berpusat pada software atau artificial intelligence sebagai dampak dari perubahan zaman [Jeremy Limman, 2020].

Prof. Sony H. Prianto seorang Peneliti di President University [2020] menggambarkan bahwa bisnis online ini menggunakan teknologi 4.0 yang memungkinkan penyedia barang dan jasa menyampaikan barang dan jasanya kepada konsumen melalui penerapan teknologi big data, artifisial intelijen dan internet of thing serta teknologi informasi lain yg dari gabung dengan teknologi lainnya. 

Promosi yang tidak harus digembar-gemborkan serta tidak perlu menyediakan biaya operasional yang tinggi, cara pembayaranpun tidak sebatas menggunakan ATM namun menggunakan sistem pembayaran cash on delivery, virtual account hingga berbagai pembayaran lewat perusahaan fintech. Minimal ada 5 [lima] teknologi yang dipakai dalam bisnis online seperti teknologi end user rupa aplikasi smartphone Android aplikasi smartphone IOS; teknologi database seperti cloud computing dan smartphone storage; application programming interface seperti Google map, Google place; payment; customer service seperti sosial media website dan call center. 

Bahkan kedepan, untuk membantu dokter dan perawat menganalisa penyakit, memberkan pengobatan dan merawat pasien virus [sejenis corona lainnya kedepan] dapat memanfaatkan teknologi artificial intelligence, serta teknologi virtual reality dan augmented reality terkait dengan jenis penyakit dan bagaimana mencegah dan mengobati nya.

Berbagai sektor urusan secara perlahan mulai peka terhadap teknologi, demikian juga industri manufaktor menggunakan teknologi robotik sebagaimana telah diterapkan diberbagai industri besar.

Bahkan Prof. Prianto juga menawarkan kedepannya industri logistik bisa mengembangkan smart warehouse yang menggabungkan teknologi automatic guide vehicle [AGV] dengan artifisial intelijen yang digabungkan dengan teknologi informasi lainnya dengan memperhatikan komponen penting dalam sistem logistik tersebut yaitu platform, e-marketplace, early warning system, smart warehouse dan computer vision

Semua bisa terkoneksi menjadi satu kesatuan logistik daerah dan nasional sehingga barang masuk dan keluar bisa terdeteksi secara lebih akurat dan realtime. Harga, jumlah, jenis dan spec barangnya bisa diketahui secara real-time, serta aliran barang bisa juga dipantau secara real time dari mana dan mau ke mana serta jenis dan jumlahhya berapa.

Terkait apapun kemajuan teknologi informasi dimaksud, semuanya mengarah pada visi masa depan sehingga apapun resikonya kebijakan harus lebih fleksibel dalam menghadapi kemajuan sebagai langkah awal mempersiapkan datangnya perubahan. Malcolm X [2003] berpesan bahwa, the future belongs to those who prepare for it today, sehingga apapun pilihan harus ada skenario yang tidak kaku dalam memahami dan mengimplementasikan kebijakan.

Mewabahnya berbagai virus selayaknya telah diproyeksikan sebelumnya karena telah terganggu habitat asal-nya oleh aktivitas pembangunan dan berbagai perubahan pola kehidupan, jika ketidakmampuan memprediksi dan bagaimana antisipasi penanggulangannya terjadi hari ini adalah bagian dari kegagalan proses peradaban sebelumnya yang tidak mampu dilakukan manusia sebagai innovator [the best way to predict your future is to create it; Abrahan Lincoln].

Ramadhan@Home

Ancaman virus corona juga mengekang kebebasan ummat beragama dalam menjalankan ibadah ritual keagamaan sebagaimana dihentikan sementara aktivitas umroh, peribadatan di gereja dan masjid serta berbagai tradisi keagamaan yang selama ini dijadikan sacral dan tabu untuk diskenariokan teknis penyelenggaraannya.

Beberapa bagian dari ritual peribadatan telah menyelaraskan teknis peribadatannya menyesuaikan kondisi kemajuan informasi dan teknologi sehingga dalam masa pandemi corona menjadi hal mudah mengaminkan arahan pemerintah sebagai otoritas kenegaraan.

Sementara bagi agama dan kelompok keyakinan lainnya yang atas dasar standar baku beribadah, merasa kehadiran virus corona sebagai bagian dari konspirasi besar menjauhkan kedekatannya dengan Tuhan Sang Pencipta.

Pemerintah seyogyanya dalam mengimplementasikan sila pertama Pancasila harus lebih cepat memprediksikan berbagai alternative dan strategi untuk tetap menjamin kebebasan warga negaranya dalam menjalankan ibadah ritualnya, ya sejenis Protab dan Panduan dalam melaksanakan ibadah.

Menteri Agama RI melalui Surat Edaran Menteri Agama RI Nomor SE.6 Tahun 2020 tanggal 6 April 2020 tentang Panduan Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H di tengah Pandemi Wabah Covid-19, adalah bagian dari kebijakan autodidak yang sangat dilematis.

Seyogyanya dengan pertimbangan dan kajian para ahli agama serta dukungan para ahli kesehatan dan IT, mungkin bisa memperhatikan kembali penyesuain-penyesuian teknis peribadatan sebagaimana kelonggaran-kelonggaran dalam beribadah yang diimani sebelumnya.

Namun hal dimaksud bukanlah gampang karena urusan teknis peribadatan adalah otoritas internal agama masing-masing dengan berbagai tafsir rujukannya yang berbeda-beda sehingga surat edaran dimaksud tidak menyentuh lebih jauh pada unsure syar’i-nya.

Meskipun belum seutuhnya memuaskan namun demikianlah upaya pemerintah untuk mencegah penularan covid-19 dan demi kemaslahatan bersama ummat manusia sehingga sejauh ini masih dapat diaminkan meski timbul ketidaknyamanan ummat dalam beribadah. Demikian pula berbagai kementerian lainnya terus memperbaharui kebijakan untuk memutus mata rantai persebaran virus corona.

Berbagai terobosan dalam menjalankan ibadah ramadhan juga mulai diskenariokan, berbeda dengan tradisi-tradisi ramadhan sebelumnya yang cenderung berkumpul di area public seperti di masjid dan sekitarnya.

Pemanfaatan IT dalam menyelenggarakan kajian-kajian ramadhan dan jenis kegiatan penunjang lainnya seperti tadarusan [mengaji] virtual dari rumah kini tampak mulai direncanakan oleh komunitas-komunitas muslim yang menjalankan ibadah ramadahan, pengelolaan zakat berbasis online, syafari ramadhan dan penyaluran zakar memanfaatkan jasa pengantar, dan demikianlah cara menjalankan ibadah ramadhan dari rumah [Ramadhan@home] sebagaimana edaran menteri agama.

Kapolri menyikapi kebijakan nasional Penanganan Penyebaran Virus Corona dengan salah satu stimulus yaitu keluarnya Maklumat Kapolri Nomor : Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona [Covid-19].

Terobosan dimaksud adalah salah satu langkah bijak dan tegas yang mengacu pada asas keselamatan rakyat yang merupakan hukum tertinggi [Salus Populi Suprema Lex Esto] sehingga 6 [enam] point penting dalam maklumat dimaksud harus dijalankan. Pada point 2.a. ditegaskan secara tegas dinyatakan bahwa “Tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak, baik ditempat umum maupun di lingkungan sendiri”.

Kegiatan sosial kemasyarakatan dimaksud diantaranya; [a] peremuan sosial, budaya, keagamaan dan aliran kepercayaan dalam bentuk seminar, lokakarya, dan kegiatan lainnya sejenis, [b] kegiatan konser music, pekan raya, festival, bazaar, pasar malam, pameran dan resepsi keluarga, [c] kegiatan olah raga, kesenian dan jasa hiburan, [d] unjuk rasa, pawai dan karnaval, serta [e] kegiatan lainnya yang sifatnya berkumpulnya massa. Beberapa point penting dimaksud dibijaki, mungkin setelah memperhatikan pola penyebaran virus corona yang sulit terdeteksi dan sangat rentan kala ada berdekatan sehingga konsep social physical distancing harus dibatasi dalam jumlah yang banyak.

Tentunya ini merupakan langkah represif dalam upaya mitigasi bencana selain kuratif dan preventuf lainnya, terlebih mempertimbangkan rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap berbagai himbauan dalam Protab medis Pencegahan Covid-19.

Sebagai warga Negara yang baik dan sebagai manusia tentunya punya tanggung jawab terhadap diri dan lingkungan disekitarnya sehingga berbagai kebijakan yang telah ditempuh dari segenap pihak yang ber-otoritas harus dipatuhi bersama.

Hal lain yang mungkin terlewatkan adalah level mitigasi disetiap wilayah harusnya menyesuaikan dengan skala prioritas, kondisi perkembangan, ketersediaan sumberdaya, kondisi sosial-budaya, aspek geografis serta aspek lainnya agar tidak menimbulkan kegentingan berlebihan dalam skala terbatas.

Perdebatan tentang karantina yang sempat menjadi komoditas politik, akhirnya dibijaki dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar [PSBB] dengan berbagai prosedur, mekanisme dan syarat pemberlakuan dalam skala lokal tentunya mempertimbangkan berbagai kondisi dan aspek diatas.

Olehnya berbagai kebijakan lainnya seperti Makluma Kapolri juga harus memperhatikan skala prioritas yang bersifat lokalistik, dengan tetap waspada namun tidak mencemaskan.

Manakala argumentasi lahirnya “Tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak, baik ditempat umum maupun di lingkungan sendiri” dikarenakan alasan social physical distancing tidak boleh ada standar ganda dalam pemberlakuannya karena virus corona diindikasikan menyebar tak memandang ruang dan waktu.

Ruang dimaksud termasuk pasar tradisional, pasar modern, pasar insidentil dan tempat-tempat berkumpulnya massa lainnya. Hal demikian menjadi pilihan yang dilematis karena masyarakat berkebutuhan untuk mendapatkan logistik [makan dan minum] dari pasar demi menjaga kesehatan fisik, meningkatkan imunitas dan unsur ragawi lainnya.

Sisi lainnya simulasi pencegahan di pasar-pasar tradisional belum maksimal dilakukan sehingga peluang pencemaran tetap ada dan bahkan sangat besar dengan kondisi penataan dan pola interaksi sosial yang terjadi dipasar-pasar tradisional.

Beberapa daerah di Indonesia sudah menerapkan Protap Pencegahan Pencemaran Virus Corona pada beberapa pasar tradisionalnya, khususnya daerah-daerah yang kini sudah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai zona merah.

Seyogyanya pemerintah menfasilitasi berbagai kebutuhan logistik dapat diperoleh masyarakat dari rumah dengan memanfaatkan berbagai kemudahan teknologi informasi sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bukan lantas membatasi keluar rumah untuk mendapatkan makanan dan minuman sementara penerapan Protab pencegahan Covid-19 tidak diberlakukan di pasar-pasar tradisional.

Kasuistik terkait pasar tradisional dimaksud terjadi di Kota Kupang, misalnya; [1] beberapa pasar tradisioal masih ramai dikunjungi lebih dari 3.000 orang per hari, [2] kondisi penataan pasar yang cukup sempit antar lapak dagangan, [3] jalur lintasan [lorong] para pembeli juga dipadati penjual, [4] jarak fisik antar sesama penjual maupun dengan sesama pembeli relatif kurang dari 1 meter, [5] para penjualan/pembeli/pengunjung juga umumnya tidak mengenakan pakaian dan aksesoris standar pencegahan covid-19 seperti penggunaan masker, [6] tidak ada fasilitas pencuci tangan dan alat tes suhu tubuh di pintu-pintu masuk pasar, [7] tidak ada petugas dari pemerintah yang melakukan fungsi pengawasan dan pengendalian langsung di dalam pasar, [8] tidak ada media sosialisasi dan edukasi di dalam pasar, [9] aktivitas jual-beli di pasar berlangsung lebih dari 12 jam sehari, [10] diperkirakan seorang penjual dapat berada dalam pasar sekitar 1 jam setiap kali kunjungan, dan berbagai hal lainnya yang masih perlu didalami.

Secara nasional terpantau beberapa bahan kebutuhan pokok mengalami lonjakan permintaan seiring dipasar seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat menjelang bulan ramadhan. Hal demikian juga ‘mungkin’akan dialami ummat Islam di Kota Kupang yang populasinya diperkirakan 12%, cenderung tingkat konsumsi akan meningkat seiring pola konsumsinya di bulan ramadhan.

Termasuk didalamnya adalah upaya penyediaan bahan makanan berbuka puasa yang tradisi tahunan sejenis pasar insidentil yang terjadi di Jalan Urip Sumohardjo [Kelurahan Solor] dan Jalan Ir. Soekarno.

Belajar dari pengalaman, diperkirakan tumpukan massa yang terjadi dilokasi kegiatan pasar insidentil dimaksud dapat mencapai 1.000 orang dalam durasi yang relative singkat selama 4 jam aktivitas jual beli. Aktiivitas penjualan juga dilakukan diruang terbuka [trotoal dan sebagian badan jalan] sehingga ruang gerak penjual dan pembeli relative lebih leluasa dibandung pasar tradisional, serta jumlah penjual juga relative sedikit [20-30 penjual per lokasi].

Meskipun demikian kondisinya, virus corona tetap berpeluang untuk menyebar karena ada tumpukan massa dilokasi, namun bila dibandingkan dengan aktivitas di pasar-pasar tradisional maka cenderung lebih beresiko pasar tradisional.

Bilamana aktivitas jual beli di pasar insidentil penjualan kuliner takzil ramadhan juga diberlakukan dengan Protab Pencegahan Covid-19, tetap saja akan ada tumpukan massa dan dikesempatan itu pula virus dimungkinkan akan menyebar.

Terkait perihal pasar insidentil dimaksud Pemerintah Kota Kupang melalui surat Walikota Kupang Nomor BKBP.300/145/SET/IV/2020 yang bersifat SANGAT PENTING dan Perihal PENEGASAN kepada Ketua MUI Kota Kupang. Surat Walikota Kupang dimaksud yang memperhatikan edaran Menag RI diatas, menganjurkan kepada seluruh Ummat Islam Kota Kupang [melalui MUI Kota Kupang] agar selama Bulan Ramadhan bertepatan dengan Masa Darurat Nasional, untuk tidak menggelar jualan makanan Takzil buka Puasa di pinggir jalan dan tempat lainnya yang tidak sesuai peruntukan.

Tentunya, Walikota Kupang selaku otoritas pemerintah telah mempertimbangkan berbagai dampak yang akan ditimbulkan sehingga upaya dimaksud diharapkan untuk menghindari terjadinya kerumunan dan/atau keramaian massa pembeli. Persoalannya bukan hanya pada kepentingan pedagang untuk mendapatkan keuntungan ekonomis dari hasil penjualan belaka tapi pada sisi kebutuhan ummat Islam dalam mendapatkan makanan untuk berbuka dan sahur.

Bahkan berdasarkan pengalaman yang terpantau pada tahun-tahun sebelumnya, konsumen dan pembeli kuliner dimaksud tidak hanya dari kalangan umat Islam belakan namun juga dari kalangan non-muslim juga, artinya kebutuhan makan dan minum tidak membatasi sekat agama sebagaimana kebutuhan untuk mendapatkan bahan makanan di pasar-pasar tradisional.

Apapun alasannya, tumpukan massa dapat berpotensi terjadi penyebaran virus yang tidak terdeteksi. Salah satu solusi alternative lainnya adalah memanfaatkan jasa grab food sebagai langkah maju penerapan teknologi dalam menopang tradisi budaya. Alternative demikian dalam rangka ; [a] upaya mendukung Pemerintah dalam Pencegahan Wabah Covid-19, [b] mendorong partisipasi publik, [c] tetap menumbuhkan perekonomian usaha miko-kecil, [d] membuka peluang usaha lainnya, [f] melestarikan destinasi budaya religi, [g] menjamin kenyamanan ibadah Ramadhan, [h] memudahkan keterpenuhan kebutuhan logistik dan [i] kesehatan lingkungan adalah memanfaatkan aplikasi grab-food yang telah tersedia di Kota Kupang.

Terlebih jika dipautkan lebih jauh kedepan, konsep belanja online adalah bagian dari penerapan Smart City yang kini tengah dirintis Pemerintah Kota Kupang sehingga pola jual-beli dimaksud merupakan tradisi baru yang patut dikembangkan modelnya.

Persoalannya adalah menu makanan berbuka puasa belum tersedia dalam aplikasi grab food sehingga hal ini menjadi bagian dari para pihak untuk menyambungkan keterpautan mata rantai pasar sebelum ramadhan tiba sebagai upaya mewujudkan Smart City Kota Kupang.

Alternatif lainnya adalah membuka kesempatan tukang ojek yang tidak tercover dalam system grab agar bias ekonominya dapat dirasakan pengelola transportasi grab dan ojek, dan disinilah hikmah dari penyelenggaraan bulan ramadhan dalam pandemi corona.

Terobosan sederhana dimaksud kiranya dapat juga diterapkan dalam penertiban corona virus di pasar-pasar tradisional dengan memperhatikan kenyamanan penjual dan pembeli, dan bahkan jika memungkinkan para penjual/ pembeli/pengunjung harus diberikan perlindungan lebih khusus agar nyaman dan aman dari dalam menyediakan persediaan bahan makanan bagi masyarakat Kota Kupang.

Bahkan jika pola ini dapat berjalan baik kedepannya maka pasca pandemi Virus Corona akan menjadi model pasar yang dikembangkan di tengah kemajuan Kupang menujuk Kota Smart, dan bahkan akan tercover juga jenis kebutuhan lainnya seperti sembako dan kebutuhan harian lainnya.

Berbagai ide perubahan dan perbaikan akan hadir diantara kondisi yang terjepit sehingga kehadiran virus corona harus dinilai sebagai hikmah untuk maju, tumbuh dan berkembang.

Mengakhiri serakan tulisan ini, semoga menjadi perhatian para pihak dalam menguatkan komitmen bersama mencegah penyebaran virus corona di NTT dan khususnya Kota Kupang.

Selamat menjalankan ibadah ramadhan bagi ummat Islam Kota Kupang, penulis mengajak segenap ummat Islam Kota Kupang untuk bersama-sama jalankan Protap Pencegahan Penyebaran Virus Corona selama menjalani ibadah Ramadhan 1441 H.

Berbagai ikhtiar pencegahan telah dilakukan namun harus dibarengi dengan do’a agar mendapatkan ridlo Allah SWT, semoga Ramadhan kali ini dengan tema besar Ramadhan@home dapat meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita dalam menata hidup bersama. Selamat Hari Bumi 22 April 2020 dan Selamat Menjalankan Ibadah Ramadhan 1441 H. Wassalam. [*]

Hamza H. Wulakada
Warga Kota Kupang