OPTIMALISASI PERAN TOKOH AGAMA DALAM PENCEGAHAN TERORISME DI DAERAH MELALUI
PENDEKATAN AGAMA DAN PENDIDIKAN
Drs. H. Abdulkadir
Makarim
disusun oleh : HAMZA H. WULAKADA
Pengantar
Teroris merupan klimaks dari radikalisme
yang merupakan paham dan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam semua agama dan budaya masyarakat. terutama masyarakat
Indonesia. Terorisme di era modern dipicu oleh berbagai macam faktor,
seperti faktor politik,
ekonomi, ideologi, dan akibat kolonialisme modern dan globalisasi. Berdasarkan laporan Patterns of Global Terrorism tahun
2000, yang dikeluarkan oleh
Pemerintah AS, gerakan terorisme yang bermotif agama dan ideologilah yang paling banyak terjadi. Pertanyaannya,
mengapa
persoalan terorisme berdasarkan ideologi keagamaan menjadi sangat popular? Hal itu karena agama merupakan
salah satu dari sekian banyak
identitas yang mampu membuat sentimen personal bahkan komunal sehingga masyarakat bersedia berbuat apa saja untuk
membela agama. Pada titik inilah persoalan
ideologi keagamaan sering menjadi titik tolak dalam menggunakan cara-cara kekerasan
dalam menghadapi pelbagai persoalan dalam realitas kehidupan.
Berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, politik, agama dan identitas
memang dapat menimbuhkan gerakan
terorganisir yang dapat terlibat dalam terorisme, akan tetapi kondisi tersebut tidak lantas menjamin dilakukannya kekerasan. Persoalan
kerentanan sosial, ekonomi,
rasa kehilangan peluang politik dan ekspresi identitas menjadi kekhususan dalam keagamaan, seperti ibadah dan ritual. Untuk dapat terjadi kekerasan biasanya harus digabungkan dengan faktor-faktor lain, seperti
doktrin ideologi yang ditanamkan
oleh pemimpin kharismatik, pengembangan sistem rekruitmen yang efektif, dan organisasi yang mapan. Terorisme dari hal
itu pada akhirnya
memang disadari dapat muncul akibat doktrin dan pemahaman agama
secara radikal, meskipun
pada dasarnya semua agama membawa misi kebaikan. Oleh sebab itu, menjadi hal yang urgen untuk sebuah aktivitas atau
program deradikalisasi agama dikerjakan
di Indonesia, yang pendudukanya mayoritas beragama Islam (mencapai 87 %) dari total penduduk Indonesia 240 juta jiwa.
Agama
(Islam) sebagai pembawa misi ketuhanan berusaha menciptakan maslahah, perdamaian, persatuan, keadilan,
kesetaraan, dan menumpas semua bentuk
kezhaliman termasuk teror. Terlebih teror yang dilakukan dengan mengatasnamakan
agama [jihad],
membela Tuhan dan
embel-embel
agama
lainnya. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin melindungi umat manusia secara mutlak, tanpa melihat latar belakang
ideologi, etnis dan bangsa. Gagasan tentang perdamaian melalui agama Islam,
sebenarnya sebuah gagasan yang hendak menurunkan nilai-nilai kedamaian dalam Islam dalam praktek hidup
sehari-hari. Hanya saja semua
terletak pada para penganutnya, terutama para pemimpin agama apakah bersedia untuk mengumandangkan perdamaian ataukah akan
mengumandangkan peperangan
atas nama agama.
Pemahaman yang picik malah akan mereduksi tujuan, visi dan misi
Islam sebagai agama cinta dan
perdamaian. Egoisme beragama untuk mendapatkan predikat mujahid
yang syahid, egoisme untuk mendapatkan surga yang diyakini dan
direalisasikan dengan tindakan
destruktif dapat mengorbankan perdamaian, mencabik rajutan persatuan dan kerukunan umat. Gagasan damai dengan sendirinya akan
memupuk adanya kesejahteraan
hidup dan keselamatan di muka bumi sebab semua itu merupakan cita-cita yang tertuang secara substansial dan faktual
dalam teks keislaman. Terkadang
gagasan yang sangat mendalam tentang misi perdamaian dari agama-agama [terutama
agama Ibrahim], seakan-akan tertutup oleh gagasan kekerasan yang hanya sempalan dari agama-agama.
Terlepas
dari indahnya ajaran agama bahwa salah satu faktor terorisme adalah karena motivasi agama, yaitu
karena proses radikalisasi agama dan
interpretasi serta pemahaman keagamaan yang kurang tepat dan keras yang pada gilirannya melahirkan sosok muslim fundamentalis
yang cenderung ekstrem terhadap
kelompok lain dan menganggap orang lain yang berbeda sebagai musuh sekalipun satu agama, apalagi berbeda agama. Teks-teks
agama ditafsirkan secara atomistik,
parsial-monolitik (monolithic-partial), sehingga menimbulkan pandangan yang sempit dalam beragama. Kebenaran agama menjadi komoditas
yang dapat dimonopoli,. ayat-ayat suci dijadikan justifikasi untuk melakukan
tindakan radikal
dan kekerasan dengan alasan untuk menegakkan kalimat Tuhan di muka bumi ini, aksi
radikalisme inilah yang sering mengarah kearah aksi teror.
Gagasan tentang deradikalisasi agama perlu ditempuh sebagai salah
satu cara penanggulangan
terorisme yang bersifat non violence [bukan
kekerasan] melalui cara represif,
proses hukum, penangkapan, penyidangan dan eksekusi dirasa kurang efektif, karena cara tersebut kurang menyentuh pada akar
permasalahan yang sesungguhnya.
Cara represif dengan pendekatan militeristik seperti penangkapan dan bahkan penembakan pelaku teror merupakan langkah
memotong aksi terror dari
tengah yang dianggap oleh banyak pihak tidak efektif. Para pelaku teror ternyata tidak juga menghentikan kekerasan, bahkan karena alasan
membalaskan dendam saudaranya
yang telah dieksekusi mati oleh aparat keamanan, alasan penahanan yang tidak sesuai prosedur, dan berbagai jenis tindakan
negara atas mereka yang dituduh
dan tertangkap menjadi teroris, maka kekerasan pun bermunculan dengan kekerasan baru. Kekerasan yang dibalas dengan kekerasan,
dalam teori resolusi konflik,
memang akan memunculkan kekerasan baru. Oleh karenanya dicari
metode lain untuk menghentikan berbagai macam tindakan terorisme dalam pendekatan agama dan pendidikan.
Teror Vs Jihad dalam Perspektif Islam
Islam adalah asal kata
perintah dari dari ‘salama’
[keselamatan è selamatkanlah] adalah rahmat li
al’alamin, yaitu agama yang membawa
perdamaian bagi seluruh alam. Sejarah Islam mencatat perkembangan Islam selalu
disampaikan dengan damai, meskipun telah terjadi peperangan dalam ekspansi
keruangan namun itu terjadi dalam rangka melawan rezim dan dilakukan dalam tata
aturan peperangan yang diatur khusus. Ajakan untuk merealisasikan kebenaran dan
perdamaian diperintahkan melalui jalan ber’jihad’ agar manusia keluar dari
kegelapan [kebodohan dan penindasan] menuju cahaya kedamaian.
Islam mensyari’atkan
agar jihad untuk mewujudkan kedamaian
dilakukan dengan harta, jiwa dan raga. Jihad
fi sabilillah [berjuang di jalan Allah] dalam pemahaman sebenarnya tidaklah
identik dengan kekerasan, anarkisme, perang brutal, pengeboman, dan teror yang
dilakukan perorangan maupun kelompok. Fatwa MUI [No. 3/2004] tentang Terorisme
mempertimbangkan bahwa tindakan terorisme terjadi karena beberapa persepsi: sebagian menganggapnya sebagai
ajaran agama Islam dan karena itu, ajaran agama Islam dan umat Islam
harus diwaspadai; sedang sebagian yang lain
menganggapnya sebagai jihad yang diajarkan oleh Islam; dan karenanya harus
dilaksanakan walaupun harus dengan menanggung
resiko terhadap harta dan jiwa sendiri maupun orang lain. Para teroris seharusnya mengimani firman Allah
dalam Q.S. Al Ma’idah [32-33], An Nisa’ [29-30], yang di fahami dengan kondisi
sosial budaya di tengah masyarakat saat ini. Beberapa cuplikan ayat dan hadits
dimaksud, diantaranya;
1.
QS. Al Maidah;
...Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh
orang lain atau bukan karena membuat kerusakan
di muka bumi maka seakan-akan ia telah membuhn manusia seluruhnya...
[32]. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang
yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar” [33]
2.
An Nisa’; ...Dan
janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kamu
[29]. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar dan dianiaya maka Kami
kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah
[30].
3.
Hadits Rosulullah SAW ; Barangsiapa mengacungkan senjata tajam kepada saudaranya maka
Malaikat akan melaknatnya sehingga ia berhenti [HR. Muslim]
Memperhatikan bahwa
terorisme telah memenuhi unsur tindak pidana [jarimah] hirabah dalam khasanah fiqih Islam maka para fuqaha mendefinisikannya sebagai “orang
yang mengangkat senjata melawan banyak orang dan menakut-nakuti mereka
[menimbulkan rasa takut di kalangan masyarakat]”. Definisi ini kemudian
membedakan pengertian tentang terorisme dan jihad, yaitu;
|
|
Perbedaan Terorisme dengan Jihad
|
|
Terorisme
|
Jihad
|
1.
Sifatnya merusak (ifsad) dan anarkhis / chaos (faudha).
|
1.
Sifatnya melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan
cara peperangan
|
2. Tujuannya
untuk menciptakan rasa takut dan/atau menghancurkan pihak lain
|
2.
Tujuannya menegakkan agama Allah dan / atau membela
hak-hak pihak yang terzhalimi
|
3. Dilakukan
tanpa aturan dan sasaran tanpa batas
|
3. Dilakukan
dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syari’at dengan sasaran musuh yang
sudah jelas
|
Merujuk definisi dan perbedaan dimaksud maka MUI menetapkan hukum melakukan
teror
adalah haram, baik dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun Negara; sementara hukum melakukan
jihad adalah wajib. Sisi lainnya, para redikalis harusnya membedakan bom bunuh
diri sebagai ‘amaliyah al istisyad
yaitu; Orang
yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan
pribadinya sendiri sementara pelaku ‘amaliyah
al-istisyhad mempersembahkan dirinya sebagai korban
demi agama dan umatnya. Orang yang bunuh diri
adalah orang yang pesimis atas dirinya dan atas
ketentuan Allah sedangkan pelaku ‘amaliyah al- Istisyhad adalah manusia yang seluruh cita-citanya tertuju
untuk mencari rahmat dan keridhaan Allah SWT.
Bom bunuh diri
hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan keputusasaan (al-ya’su) dan
mencelakakan diri sendiri (ihlak an-nafs), baik dilakukan di daerah damai (dar al-shulh/dar
al-salam /dar
al-da’wah) maupun di daerah perang (dar al
harb). ‘Amaliyah al-Istisyhad (tindakan
mencari kesyahidan) dibolehkan karena merupakan bagian dari jihad binnafsi yang dilakukan di daerah perang (dar
al-harb) atau dalam keadaan perang dengan tujuan untuk menimbulkan
rasa takut (irhab) dan kerugian yang lebih besar di pihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan
yang dapat mengakibatkan terbunuhnya diri sendiri.
Pendidikan Deradikalisme dan Peran Pemuka Agama dan Pendidik
Persoalan terorisme tidak mudah diurai, apalagi
dituntaskan sampai keakarnya sehingga diibaratkan; ketika satu teroris berhasil dimatikan oleh polisi, 1000 yang lain muncul. Indonesia seperti tidak pernah kehabisan stok teroris, mereka terus ada
di sekitar kita. Adanya jaringan baru menjadi bukti bahwa teroris belum gagal bahkan telah meraih kemenangan dari sisi lain, yakni
kemenangan wacana [gagasan dan ideologis]. Asumsinya sederhana, tatkala penguburan para pelaku bom
bunuh diri disiarkan massa media [televisi], sebagian masyarakat mempelakukan
dan menganggapnya sebagai pahlawan [pembela] Islam. Hal ini artinya, paham
redikalisme agama telah kuat dan mengakar, mengaburkan nilai-nilai ideologi
Pancasila karena dalam prakteknya nilai-nilai ideologi Pancasila dianggap gagal
mewujudkan keadilan dan tersandera oleh praktek liberalis dan komunism.
Para
teroris selalu menyalahkan bukan hanya agama lain, tapi juga penganut mainstream
dalam
agamanya (Islam) karena dianggap telah sesat
karena berkolaborasi dengan Barat, terutama Amerika. Bom bunuh diri adalah tindakan yang sah menurut keyakinan para teroris,
sebagaimana pernah dituturkan Imam
Samudra. Jadi adalah kejahatan yang mengerikan ketika para teroris sudah membajak agama dan menjadikan perjuangannya seolah-olah
selaras dan tidak bertentangan
dengan agama yang dianutnya. Bahkan tindakan kekerasan lewat bom dianggap sebagai bentuk perjuangan yang mulia. Inilah
tugas pendidikan Islam
yang bisa dikatakan sangat berat memberikan perspektif lain tentang jihad dan pahlawan Islam itu seperti apa sebab pertarungan
wacana Islam demikian terbuka.
Pemuka agama seharusnya
tidak sekedar beralibi bahwa ‘teror tidak berhubungan dengan agama’ belaka,
namun juga harus peka dan massif menguatkan pemahaman ummatnya bahwa penafsiran
[pemahaman] keagamaan yang ekstrim dan radikal hanya akan menjebak penganutnya
saling berperang. Memberikan keteladanan dan menyerukan kebajikan dengan
senantiasa berbuat baik pada siapa dan apapun menjadi jargon dalam setiap
kampanye, khutbah, ceramah dan siraman rohaninya. Menyimak alasan dan penyebab
terjadinya teror di Indonesia [bahkan seluruh dunia], hanya karena kebencian
yang teramat besar pada ‘barat [Amerika]’ beserta jaringannya yang tidak
menguntungkan agama [ideologi] tertentu dengan kebijakan dan strateginya
menguasai dunia.
Tumbuhnya benih-benih
radikalisme berasal dari pergumulan kelompok, doktrin ideologis dan bahkan
dunia pendidikan sehingga yang harus di perbaharui adalah menyimak kembali
materi pergumulan, bagaimana cara penyampaian dan apa tujuan dorongan ideologis
dimaksud. Pengetahuan keagamaan kita cenderung “hanya pada tataran pengetahuan
beribadah dan bukan pengamalan beribadah”. Ketika
gerakan terorisme mengusung jihad ofensif di dalam memahaminya, misalnya melalui suicide
bombing, teror dengan kekerasan dan sebagainya, maka tentu harus diajarkan tentang makna
jihad secara memadai. Pengertian
jihad yang moderat yakni bekerja keras untuk mencapai tujuan yang sangat baik terutama untuk kemaslahatan umat.
Sehingga janganlah jihad
tersebut dihapus dari mata ajaran karena konotasinya yang disalahartikan. Namun, justru harus ada upaya yang memadai untuk
memberikan penjelasan secara memadai. Tentu saja juga harus ada seorang guru atau ustadh
atau
dosen yang bias menjelaskan
tentang makna jihad yang bernuansa rahmatan lil alamin.
Makanya, para
pendidikpun perlu diseleksi secara memadai agar tidak mengajarkan Islam atau agama apapun sesuai dengan konsepsi kaum radikalis, demikian pula yang menjadi tugas para ulama dan pemuka
agama.
Anak didik dan generasi penerus harus diperkuat
nilai-nilai kemanusiaan yang toleran dan berempati sosial, bukan hanya memaksakan muatan ilmu praktis
dan teknologi. Para orang tua murid cenderung memilih sekolah elit dengan
berbagai fasilitas kenyamanan, tenaga pendidik yang berkualitas serta kurikulum
yang terjamin, ketimbang pilihan menyekolahkan di sekolah ‘pinggiran’ yang
digumuli anak-anak yatim dan orang miskin. Anak-anak seharusnya dilatih
merasakan, menikmati dan berempati sosial dengan hidup dan berkembang bersama
kohesifitas sosial yang terbelakang agar sadar dan mengerti akan kondisi sosial
kemasyarakatan.
Hal ini bukan berarti tidak baik menyekolahkan anak ke
sekolah favorit dan disarankan untuk sekolah bersama ‘orang pinggiran’ namun
point pentingnya adalah; kurikulum dan sistem pendidikan di Indonesia harus
selaras dengan nilai ‘kemanusiaan yang
adil dan beradab serta berkeadilan sosial’. Anak-anak kaum borjuis tidak
boleh dimanjakan dengan kemewahan duniawi dan melupakan sisi sosial lain yang
tertinggal jauh, sekat perbedaan harus
dipersempit agar tidak terjadi kecemburuan antar sesama anak, generasi
penerus bangsa. Hematnya, yang tertinggal
harus didorong lebih cepat mencapai titik kesejahteraan dan yang telah
berlebihan harus menyeimbangi polaritas sosial kemasyarakatannya. Sisi
lainnya, lembaga keagamaan bersama para tokoh agamanya, dakwah
yang disampaikan kepada
masyarakat dengan metode yangan “galak” dan memaksa hanya akan menjauhkan mereka dari agama bukan semakin mendekatkan
mereka yang masih belum
mentaati semua ajaran Allah SWT dan
Nabi Muhammad SAW.
Beberapa aspek dan
pendekatan yang perlu dipertimbangkan dalam menangkal terorisme secara menyeluruh, yaitu;. Pertama,
aspek ideologis karena akar terorisme adalah pemahaman ideologi yang salah, maka perhatian aparat tidak boleh
hanya tertuju pada bentuk terornya
saja. Kedua, aspek regulasi karena untuk memberantas
terorisme tentu perlu aturan
yang cukup agar aparat bisa bergerak di lapangan dengan langkah-langkah yang terukur, tangan
sampai langkah yang dilakukan aparat justru dinilai melanggar HAM. Ketiga, aspek political will dari Negara untuk menggerakkan
semua elemen bangsa Indonesia dalam rangka melakukan penanganan terorisme secara terpadu. Terpadu
artinya tidak bias hanya
mengandalkan aparat keamanan seperti polisi, tetapi sekaligus melibatkan dunia pendidikan dari tingkat menengah sampai perguruan
tinggi; sebab seperti kita
ketahui belakangan aktivitas teroris dan radikalisasi yang berbasiskan agama bergerak di institusi pendidikan, baik lembaga pendidikan
berlatar belakang keagamaan
maupun tidak. Pelestarian nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang
toleran antar sesama sahabatnya terancam punah karena gelombang globalisasi,
mempersempit jarak pemisah antar si kaya dan si miskin, antar penguasa dan yang
dikuasai, antar raja dengan hambanya; adalah solusi bijak dalam pendekatan sosial
budaya dan keagamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar