Senin, 08 Agustus 2016

TERORISME DAN KEARIFAN LOKAL

OPTIMALISASI PERAN TOKOH AGAMA DALAM PENCEGAHAN TERORISME DI DAERAH MELALUI PENDEKATAN AGAMA DAN PENDIDIKAN
Drs. H. Abdulkadir Makarim

disusun oleh : HAMZA H. WULAKADA

Pengantar
Teroris merupan klimaks dari radikalisme yang merupakan paham dan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam semua agama dan budaya masyarakat. terutama masyarakat Indonesia. Terorisme di era modern dipicu oleh berbagai macam faktor, seperti faktor politik, ekonomi, ideologi, dan akibat kolonialisme modern dan globalisasi. Berdasarkan laporan Patterns of Global Terrorism tahun 2000, yang dikeluarkan oleh Pemerintah AS, gerakan terorisme yang bermotif agama dan ideologilah yang paling banyak terjadi. Pertanyaannya, mengapa persoalan terorisme berdasarkan ideologi keagamaan menjadi sangat popular? Hal itu karena agama merupakan salah satu dari sekian banyak identitas yang mampu membuat sentimen personal bahkan komunal sehingga masyarakat bersedia berbuat apa saja untuk membela agama. Pada titik inilah persoalan ideologi keagamaan sering menjadi titik tolak dalam menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi pelbagai persoalan dalam realitas kehidupan.
Berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, politik, agama dan identitas memang dapat menimbuhkan gerakan terorganisir yang dapat terlibat dalam terorisme, akan tetapi kondisi tersebut tidak lantas menjamin dilakukannya kekerasan. Persoalan kerentanan sosial, ekonomi, rasa kehilangan peluang politik dan ekspresi identitas menjadi kekhususan dalam keagamaan, seperti ibadah dan ritual. Untuk dapat terjadi kekerasan biasanya harus digabungkan dengan faktor-faktor lain, seperti doktrin ideologi yang ditanamkan oleh pemimpin kharismatik, pengembangan sistem rekruitmen yang efektif, dan organisasi yang mapan. Terorisme dari hal itu pada akhirnya memang disadari dapat muncul akibat doktrin dan pemahaman agama secara radikal, meskipun pada dasarnya semua agama membawa misi kebaikan. Oleh sebab itu, menjadi hal yang urgen untuk sebuah aktivitas atau program deradikalisasi agama dikerjakan di Indonesia, yang pendudukanya mayoritas beragama Islam (mencapai 87 %) dari total penduduk Indonesia 240 juta jiwa.
Agama (Islam) sebagai pembawa misi ketuhanan berusaha menciptakan maslahah, perdamaian, persatuan, keadilan, kesetaraan, dan menumpas semua bentuk kezhaliman termasuk teror. Terlebih teror yang dilakukan dengan mengatasnamakan agama [jihad], membela Tuhan dan embel-embel agama lainnya. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin melindungi umat manusia secara mutlak, tanpa melihat latar belakang ideologi, etnis dan bangsa. Gagasan tentang perdamaian melalui agama Islam, sebenarnya sebuah gagasan yang hendak menurunkan nilai-nilai kedamaian dalam Islam dalam praktek hidup sehari-hari. Hanya saja semua terletak pada para penganutnya, terutama para pemimpin agama apakah bersedia untuk mengumandangkan perdamaian ataukah akan mengumandangkan peperangan atas nama agama.
Pemahaman yang picik malah akan mereduksi tujuan, visi dan misi Islam sebagai agama cinta dan perdamaian. Egoisme beragama untuk mendapatkan predikat mujahid yang syahid, egoisme untuk mendapatkan surga yang diyakini dan direalisasikan dengan tindakan destruktif dapat mengorbankan perdamaian, mencabik rajutan persatuan dan kerukunan umat. Gagasan damai dengan sendirinya akan memupuk adanya kesejahteraan hidup dan keselamatan di muka bumi sebab semua itu merupakan cita-cita yang tertuang secara substansial dan faktual dalam teks keislaman. Terkadang gagasan yang sangat mendalam tentang misi perdamaian dari agama-agama [terutama agama Ibrahim], seakan-akan tertutup oleh gagasan kekerasan yang hanya sempalan dari agama-agama.
Terlepas dari indahnya ajaran agama bahwa salah satu faktor terorisme adalah karena motivasi agama, yaitu karena proses radikalisasi agama dan interpretasi serta pemahaman keagamaan yang kurang tepat dan keras yang pada gilirannya melahirkan sosok muslim fundamentalis yang cenderung ekstrem terhadap kelompok lain dan menganggap orang lain yang berbeda sebagai musuh sekalipun satu agama, apalagi berbeda agama. Teks-teks agama ditafsirkan secara atomistik, parsial-monolitik (monolithic-partial), sehingga menimbulkan pandangan yang sempit dalam beragama. Kebenaran agama menjadi komoditas yang dapat dimonopoli,. ayat-ayat suci dijadikan justifikasi untuk melakukan tindakan radikal dan kekerasan dengan alasan untuk menegakkan kalimat Tuhan di muka bumi ini, aksi radikalisme inilah yang sering mengarah kearah aksi teror.
Gagasan tentang deradikalisasi agama perlu ditempuh sebagai salah satu cara penanggulangan terorisme yang bersifat non violence [bukan kekerasan] melalui cara represif, proses hukum, penangkapan, penyidangan dan eksekusi dirasa kurang efektif, karena cara tersebut kurang menyentuh pada akar permasalahan yang sesungguhnya. Cara represif dengan pendekatan militeristik seperti penangkapan dan bahkan penembakan pelaku teror merupakan langkah memotong aksi terror dari tengah yang dianggap oleh banyak pihak tidak efektif. Para pelaku teror ternyata tidak juga menghentikan kekerasan, bahkan karena alasan membalaskan dendam saudaranya yang telah dieksekusi mati oleh aparat keamanan, alasan penahanan yang tidak sesuai prosedur, dan berbagai jenis tindakan negara atas mereka yang dituduh dan tertangkap menjadi teroris, maka kekerasan pun bermunculan dengan kekerasan baru. Kekerasan yang dibalas dengan kekerasan, dalam teori resolusi konflik, memang akan memunculkan kekerasan baru. Oleh karenanya dicari metode lain untuk menghentikan berbagai macam tindakan terorisme dalam pendekatan agama dan pendidikan.

Teror Vs Jihad dalam Perspektif Islam
Islam adalah asal kata perintah dari dari ‘salama’ [keselamatan è selamatkanlah] adalah rahmat li al’alamin,  yaitu agama yang membawa perdamaian bagi seluruh alam. Sejarah Islam mencatat perkembangan Islam selalu disampaikan dengan damai, meskipun telah terjadi peperangan dalam ekspansi keruangan namun itu terjadi dalam rangka melawan rezim dan dilakukan dalam tata aturan peperangan yang diatur khusus. Ajakan untuk merealisasikan kebenaran dan perdamaian diperintahkan melalui jalan ber’jihad’ agar manusia keluar dari kegelapan [kebodohan dan penindasan] menuju cahaya kedamaian.
Islam mensyari’atkan agar jihad untuk mewujudkan kedamaian dilakukan dengan harta, jiwa dan raga. Jihad fi sabilillah [berjuang di jalan Allah] dalam pemahaman sebenarnya tidaklah identik dengan kekerasan, anarkisme, perang brutal, pengeboman, dan teror yang dilakukan perorangan maupun kelompok. Fatwa MUI [No. 3/2004] tentang Terorisme mempertimbangkan bahwa tindakan terorisme terjadi karena beberapa persepsi: sebagian menganggapnya sebagai ajaran agama Islam dan karena itu, ajaran agama Islam dan umat Islam harus diwaspadai; sedang sebagian yang lain menganggapnya sebagai jihad yang diajarkan oleh Islam; dan karenanya harus dilaksanakan walaupun harus dengan menanggung resiko terhadap harta dan jiwa sendiri maupun orang lain. Para teroris seharusnya mengimani firman Allah dalam Q.S. Al Ma’idah [32-33], An Nisa’ [29-30], yang di fahami dengan kondisi sosial budaya di tengah masyarakat saat ini. Beberapa cuplikan ayat dan hadits dimaksud, diantaranya;
1.       QS. Al Maidah; ...Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan  di muka bumi maka seakan-akan ia telah membuhn manusia seluruhnya... [32]. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar” [33]
2.       An Nisa’; ...Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kamu [29]. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar dan dianiaya maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah [30].
3.       Hadits Rosulullah SAW ; Barangsiapa mengacungkan senjata tajam kepada saudaranya maka Malaikat akan melaknatnya sehingga ia berhenti [HR. Muslim]
Memperhatikan bahwa terorisme telah memenuhi unsur tindak pidana [jarimah] hirabah dalam khasanah fiqih Islam maka para fuqaha mendefinisikannya sebagai “orang yang mengangkat senjata melawan banyak orang dan menakut-nakuti mereka [menimbulkan rasa takut di kalangan masyarakat]”. Definisi ini kemudian membedakan pengertian tentang terorisme dan jihad, yaitu;
Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well organized), bersifat trans-nasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiskrimatif).
 
Jihad mengandung dua pengertian;
1.       Segala usaha dan upaya sekuat tenaga serta kesediaan untuk menanggung kesulitan di dalam memerangi dan menahan agresi musuh dalam segala bentuknya. Jihad dalam pengertian ini juga disebut al-qital atau al-harb.
2.       Segala upaya yang sungguh-sungguh dan berkelan jutan untuk menjaga dan meninggikan agama Allah (li i’laai kalimatillah).
 
 











Perbedaan Terorisme dengan Jihad
Terorisme
Jihad
1.       Sifatnya merusak (ifsad) dan anarkhis / chaos (faudha).
1.       Sifatnya melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara peperangan
2.      Tujuannya untuk menciptakan rasa takut dan/atau menghancurkan pihak lain
2.       Tujuannya menegakkan agama Allah dan / atau membela hak-hak pihak yang terzhalimi
3.       Dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas
3.      Dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syari’at dengan sasaran musuh yang sudah jelas

Merujuk definisi dan perbedaan dimaksud maka MUI menetapkan hukum melakukan teror adalah haram, baik dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun Negara; sementara hukum melakukan jihad adalah wajib. Sisi lainnya, para redikalis harusnya membedakan bom bunuh diri sebagai ‘amaliyah al istisyad yaitu; Orang yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri sementara pelaku ‘amaliyah al-istisyhad mempersembahkan dirinya sebagai korban demi agama dan umatnya. Orang yang bunuh diri adalah orang yang pesimis atas dirinya dan atas ketentuan Allah sedangkan pelaku ‘amaliyah al- Istisyhad adalah manusia yang seluruh cita-citanya tertuju untuk mencari rahmat dan keridhaan Allah SWT.
Bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan keputusasaan (al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri (ihlak an-nafs), baik dilakukan di daerah damai (dar al-shulh/dar al-salam /dar al-da’wah) maupun di daerah perang (dar al harb). ‘Amaliyah al-Istisyhad (tindakan mencari kesyahidan) dibolehkan karena merupakan bagian dari jihad binnafsi yang dilakukan di daerah perang (dar al-harb) atau dalam keadaan perang dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut (irhab) dan kerugian yang lebih besar di pihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan terbunuhnya diri sendiri.

Pendidikan Deradikalisme dan Peran Pemuka Agama dan Pendidik
Persoalan terorisme tidak mudah diurai, apalagi dituntaskan sampai keakarnya sehingga diibaratkan; ketika satu teroris berhasil dimatikan oleh polisi, 1000 yang lain muncul. Indonesia seperti tidak pernah kehabisan stok teroris, mereka terus ada di sekitar kita. Adanya jaringan baru menjadi bukti bahwa teroris belum gagal bahkan telah meraih kemenangan dari sisi lain, yakni kemenangan wacana [gagasan dan ideologis]. Asumsinya sederhana, tatkala penguburan para pelaku bom bunuh diri disiarkan massa media [televisi], sebagian masyarakat mempelakukan dan menganggapnya sebagai pahlawan [pembela] Islam. Hal ini artinya, paham redikalisme agama telah kuat dan mengakar, mengaburkan nilai-nilai ideologi Pancasila karena dalam prakteknya nilai-nilai ideologi Pancasila dianggap gagal mewujudkan keadilan dan tersandera oleh praktek liberalis dan komunism.
Para teroris selalu menyalahkan bukan hanya agama lain, tapi juga penganut mainstream dalam agamanya (Islam) karena dianggap telah sesat karena berkolaborasi dengan Barat, terutama Amerika. Bom bunuh diri adalah tindakan yang sah menurut keyakinan para teroris, sebagaimana pernah dituturkan Imam Samudra. Jadi adalah kejahatan yang mengerikan ketika para teroris sudah membajak agama dan menjadikan perjuangannya seolah-olah selaras dan tidak bertentangan dengan agama yang dianutnya. Bahkan tindakan kekerasan lewat bom dianggap sebagai bentuk perjuangan yang mulia. Inilah tugas pendidikan Islam yang bisa dikatakan sangat berat memberikan perspektif lain tentang jihad dan pahlawan Islam itu seperti apa sebab pertarungan wacana Islam demikian terbuka.
Pemuka agama seharusnya tidak sekedar beralibi bahwa ‘teror tidak berhubungan dengan agama’ belaka, namun juga harus peka dan massif menguatkan pemahaman ummatnya bahwa penafsiran [pemahaman] keagamaan yang ekstrim dan radikal hanya akan menjebak penganutnya saling berperang. Memberikan keteladanan dan menyerukan kebajikan dengan senantiasa berbuat baik pada siapa dan apapun menjadi jargon dalam setiap kampanye, khutbah, ceramah dan siraman rohaninya. Menyimak alasan dan penyebab terjadinya teror di Indonesia [bahkan seluruh dunia], hanya karena kebencian yang teramat besar pada ‘barat [Amerika]’ beserta jaringannya yang tidak menguntungkan agama [ideologi] tertentu dengan kebijakan dan strateginya menguasai dunia.
Tumbuhnya benih-benih radikalisme berasal dari pergumulan kelompok, doktrin ideologis dan bahkan dunia pendidikan sehingga yang harus di perbaharui adalah menyimak kembali materi pergumulan, bagaimana cara penyampaian dan apa tujuan dorongan ideologis dimaksud. Pengetahuan keagamaan kita cenderung “hanya pada tataran pengetahuan beribadah dan bukan pengamalan beribadah”. Ketika gerakan terorisme mengusung jihad ofensif di dalam memahaminya, misalnya melalui suicide bombing, teror dengan kekerasan dan sebagainya, maka tentu harus diajarkan tentang makna jihad secara memadai. Pengertian jihad yang moderat yakni bekerja keras untuk mencapai tujuan yang sangat baik terutama untuk kemaslahatan umat. Sehingga janganlah jihad tersebut dihapus dari mata ajaran karena konotasinya yang disalahartikan. Namun, justru harus ada upaya yang memadai untuk memberikan penjelasan secara memadai. Tentu saja juga harus ada seorang guru atau ustadh atau dosen yang bias menjelaskan tentang makna jihad yang bernuansa rahmatan lil alamin. Makanya, para pendidikpun perlu diseleksi secara memadai agar tidak mengajarkan Islam atau agama apapun sesuai dengan konsepsi kaum radikalis, demikian pula yang menjadi tugas para ulama dan pemuka agama.
Anak didik dan generasi penerus harus diperkuat nilai-nilai kemanusiaan yang toleran dan berempati sosial,  bukan hanya memaksakan muatan ilmu praktis dan teknologi. Para orang tua murid cenderung memilih sekolah elit dengan berbagai fasilitas kenyamanan, tenaga pendidik yang berkualitas serta kurikulum yang terjamin, ketimbang pilihan menyekolahkan di sekolah ‘pinggiran’ yang digumuli anak-anak yatim dan orang miskin. Anak-anak seharusnya dilatih merasakan, menikmati dan berempati sosial dengan hidup dan berkembang bersama kohesifitas sosial yang terbelakang agar sadar dan mengerti akan kondisi sosial kemasyarakatan.
Hal ini bukan berarti tidak baik menyekolahkan anak ke sekolah favorit dan disarankan untuk sekolah bersama ‘orang pinggiran’ namun point pentingnya adalah; kurikulum dan sistem pendidikan di Indonesia harus selaras dengan nilai ‘kemanusiaan yang adil dan beradab serta berkeadilan sosial’. Anak-anak kaum borjuis tidak boleh dimanjakan dengan kemewahan duniawi dan melupakan sisi sosial lain yang tertinggal jauh, sekat perbedaan harus dipersempit agar tidak terjadi kecemburuan antar sesama anak, generasi penerus bangsa. Hematnya, yang tertinggal harus didorong lebih cepat mencapai titik kesejahteraan dan yang telah berlebihan harus menyeimbangi polaritas sosial kemasyarakatannya. Sisi lainnya, lembaga keagamaan bersama para tokoh agamanya, dakwah yang disampaikan kepada masyarakat dengan metode yangan “galak” dan memaksa hanya akan menjauhkan mereka dari agama bukan semakin mendekatkan mereka yang masih belum mentaati semua ajaran Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.
Beberapa aspek dan pendekatan yang perlu dipertimbangkan dalam menangkal terorisme secara menyeluruh, yaitu;. Pertama, aspek ideologis karena akar terorisme adalah pemahaman ideologi yang salah, maka perhatian aparat tidak boleh hanya tertuju pada bentuk terornya saja. Kedua, aspek regulasi karena untuk memberantas terorisme tentu perlu aturan yang cukup agar aparat bisa bergerak di lapangan dengan langkah-langkah yang terukur, tangan sampai langkah yang dilakukan aparat justru dinilai melanggar HAM. Ketiga, aspek political will dari Negara  untuk menggerakkan semua elemen bangsa Indonesia dalam rangka melakukan penanganan terorisme secara terpadu. Terpadu artinya tidak bias hanya mengandalkan aparat keamanan seperti polisi, tetapi sekaligus melibatkan dunia pendidikan dari tingkat menengah sampai perguruan tinggi; sebab seperti kita ketahui belakangan aktivitas teroris dan radikalisasi yang berbasiskan agama bergerak di institusi pendidikan, baik lembaga pendidikan berlatar belakang keagamaan maupun tidak. Pelestarian nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang toleran antar sesama sahabatnya terancam punah karena gelombang globalisasi, mempersempit jarak pemisah antar si kaya dan si miskin, antar penguasa dan yang dikuasai, antar raja dengan hambanya; adalah solusi bijak dalam pendekatan sosial budaya dan keagamaan.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar