Senin, 08 Agustus 2016

REFORMULASI SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN MODEL GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA [GBHN]

REFORMULASI SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
DENGAN MODEL GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA [GBHN] *)
Hamza H. Wulakada **)

Ringkasan


Pendahuluan

Perubahan signifikan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia di berbagai aspek dan dimensi pasca runtuhnya rezim Orde Baru, termasuk perubahan struktur dan fungsi kelembagaan Negara merupakan salah satunya masalah karena beberapa lembaga tinggi masih dicarikan format baru untuk pengembangan tugas, fungsi dan perannya dalam pembangunan nasional. Perubahan mendasar juga terjadi dalam proses penyelenggaraan pembangunan nasional dalam rangka mencapai tujuan Negara seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar [UUD] 1945.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah salah satu lembaga yang mengalami perubahan mendasar dalam hal kedudukan, fungsi dan perannya pasca amandemen UUD 1945. Sebelum amandemen, MPR merupakan lembaga tertinggi Negara dengan kewenangannya menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Pasca amandemen, kedudukan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara, tetapi berkedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga Negara lainnya, dan fungsinya pun terbatas pada satu kewenangan rutin yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan umum, selebihnya merupakan kewenangan insidental MPR, seperti memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD, mengubah dan menetapkan UUD serta kewenangan insidental lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 Perubahan. Dengan demikian, perubahan UUD 1945 telah membuat MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara yang superior seperti pada masa Orde Baru, akan tetapi justru sebaliknya, menjadi sangat lemah dan inferior dibandingkan dengan lembaga-lembaga Negara lainnya yang lebih jelas kedudukan, fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen. Tugas rutin MPR nyaris hanya sekali dalam lima tahun, yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan umum.
Perubahan mendasar juga menyangkut keberadaan GBHN. Pada masa Orde Baru, GBHN merupakan pedoman untuk Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Jika Presiden tidak mengikuti atau melanggar GBHN, maka MPR dapat memberhentikan Presiden. Sejak era reformasi, eksistensi GBHN tidak ada lagi sebagai konsekuensi perubahan UUD 1945. Konsekuensinya adalah adanya perubahan mendasar pada system penyelenggaraan pembangunan. Sebagai penggantinya, maka sebagai pedoman penyelenggaraan pembangunan adalah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) selama 20 tahun sebagaimana dituangkan dalam UU No 17 Tahun 2007, sebagai amanat dari Pasal 13 ayat (1) UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) . RPJPN ini menjadi rujukan pembangunan lima tahunan yang disebut dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN): RPJMN I Tahun 2005-2009, RPJMN II Tahun 2010-2014, RPJMN III Tahun 2015-2019, dan RPJMN IV Tahun 2020-2024. Dokumen perencanaan pembangunan ini tidak lagi menjadi kewenangan MPR, melinkan kewenangan bersama antara DPR RI dan Presiden RI.

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional [SPPN]
SPPN merupakan salah satu konsekuensi adanya perubahan radikal dalam pengaturan ketatanegaraan pasca reformasi. Secara normative, sulit untuk tidak mengakui bahwa SPPN sebagaimana sudah diatur dalam UU No 25 Tahun 2004 sudah cukup ideal. Adopsi pendekatan politik, teknokratik, partisipatif dan perpaduan pendekatan top down dan bottom up, merupakan beberapa alasan kuat untuk mendukung argumentasi tersebut. Implikasinya, menjadikan SPPN merupakan sebuah system perencanaan pembangunan yang integrative, yang menyanjikan keterpaduan proses pembangunan nasional, pembangunan daerah maupun pembangunan antar daerah, dengan melibatkan multi-stakeholder. Perbandingan dengan system perencanaan pembangunan sebelumnya, yang diatur dalam Permendagri No 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Daerah (P5D), SPPN paling tidak dari perspektif normative menjanjikan proses perencanaan pembangunan yang lebih baik. Pada masanya, meski di sisi proses dan tahapan, P5D hampir sama dengan SPPN (Sjaifudian 2003), namun pada kenyataannya P5D merupakan proses perencanaan pembangunan yang sangat top-down (Usui & Alisjahbana 2003; Hidajat &Antlov 2004). Selain itu, stakeholders yang terlibat dalam SPPM lebih banyak dan mencakup berbagai kalangan masyarakat.
Persoalan klasik yang dihadapi adalah tidak adanya jaminan kepastian bahwa apa yang telah dikonstruksi secara ideal dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan SPPN maupun RPJPN itu dilaksanakan secara konsisten oleh pemangku kepentingan terkait. Sampai saat ini, tidak ada mekanisme yang jelas untuk menilai apakah dokumen-dokumen perencanaan yang dibuat sebagai tindak lanjut dari RPJPN, seperti di level nasional, RPJMN, Renstra Kementerian/Lembaga, Rencana Kerja Pemerintah, Rencana Kerja Kementerian, dan di level daerah, RPJMD, Renstra SKPD, RKPD, Renja SKPD, memang sudah merujuk kepada RPJP kecuali program Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah [EKPD] yang dilakukan oleh Bappenas. Apalagi jika mengingat adanya keterlibatan mekanisme penjabaran visi dan misi Presiden/Kepala Daerah terpilih, potensi gap dengan RPJP menjadi lebih besar. Pada akhirnya, banyak pihak yang menilai bahwa proses pembangunan seolah berjalan sendiri-sendiri dan menjadi tidak berpola. Kondisi ini dapat dikatakan hampir tidak terjadi pada era sebelumnya, ketika GBHN merupakan rujukan utama proses perencanaan pembangunan baik di level nasional maupun di daerah.
Kondisi demikian, bukan berarti bahwa SPPN dan RPJP menjadi tidak lebih unggul dibandingkan dengan system perencanaan sebelumnya. Secara normative, SPPN dan RPJP dilaksanakan secara terintegrasi, sinkron dan sistematis. Persoalannya mendasar adalah lebih kepada konsistensi dan sinergi dari berbagai dokumen perencanaan lanjutan sebagai turunan dari RPJP Nasional sebagai “induknya” dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan itu sendiri sesuai dengan yang diamanatkan oleh konstitusi. Kondisi ini ke depan akan semakin parah jika tidak ada mekanisme evaluasi yang jelas untuk menilai sinergitas berbagai dokumen perencanaan pembangunan beserta pelaksanaannya, baik di level nasional maupun daerah.
Berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN, diamanatkan 5 (lima) tujuan pelaksanaan sistem perencanaan pembangunan nasional, yaitu : (1) untuk mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan, (2) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antardaerah, antarruang, antarwaktu, dan antarfungsi pemerintah, serta antara pusat dan daerah, (3) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan, (4) mengoptimalkan partisipasi masyarakat, dan (5) menjamin tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Langkah selanjutnya, untuk menjamin agar pelaksanaan Strategi Pembangunan Nasional dapat dilihat tingkat keberhasilannya maka disusunlah Sasaran Pokok Pembanguan Nasional yang termuat dalam RPJMN [untuk 5 periode dalam RPJPN] yang terdiri dari indikator-indikator dengan berbagai klasifikasi Sasaran Pokok Pembangunan Nasional.
Untuk menjamin agar strategi pembangunan dapat dilaksanakan dengan baik perlu adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antardaerah, antarruang, antarwaktu, dan antarfungsi pemerintah, serta antara pusat dan daerah. Dalam rangka sinergitas perencanaan antara pusat dan daerah perlu adanya sinkronisasi pada dokumen perencanaan, dimana pemerintah daerah dalam menyusun dokumen perencanaannya harus berpedoman kepada dokumen perencanaan pemerintah pusat. Khusus untuk perencanaan jangka menengah (5 tahun), berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, dalam Pasal 263 ayat (3) disebutkan, RPJMD merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang memuat tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan, pembangunan Daerah dan keuangan Daerah, serta program Perangkat Daerah dan lintas Perangkat Daerah yang disertai dengan kerangka pendanaan bersifat indikatif untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang disusun dengan berpedoman pada RPJPD dan RPJMN [keterkaitan antar dokumen perencanaan terjelaskan dalam bagan terlampit].
Selain itu, pada Perpres Nomor 2 Tahun 2015 dalam Pasal 2 ayat (3) disebutkan, RPJM Nasional sebagai bahan penyusunan dan penyesuaian RPJM Daerah dengan memperhatikan tugas dan fungsi Pemerintah Daerah dalam mencapai sasaran Nasional yang termuat dalam RPJM Nasional.  Selain itu, dengan adanya paradigma baru dalam perencanaan pembangunan dimana seluruh proses perencanaan harus berdasarkan holistik-tematik, integratif, dan spasial diperlukan suatu pendekatan baru dalam pelaksanaan evaluasi. Adapun pengertian dari pendekatan tersebut diantaranya adalah:
·         Holistik-tematik, Untuk mencapai sasaran prioritas nasional, perlu koordinasi multi Kementerian/ Lembaga/Daerah.
·         Integratif, Pencapaian sasaran prioritas nasional perlu dilakukan secara terintegrasi dari berbagai sektor pembangunan dan jenjang pemerintahan.
·         Spasial, Perlu sinkronisasi lokasi pembangunan untuk meningkatkan manfaat dan daya ungkit pembangunan yang dirasakan oleh masyarakat.

Untuk menjaga pembangunan berjalan sesuai dengan koridor perencanaan perlu dilaksanakan evaluasi. Proses evaluasi ini dilaksanakan mulai dari tahap penyusunan perencanaan sampai dengan akhir pelaksanaan kegiatan. Dalam rangka pelaksanaan evaluasi terhadap penyusunan dokumen perencanaan dan sehubungan dengan pelaksanaan Pilkada serentak pada tahun 2015, perlu dilakukan evaluasi terhadap rancangan RPJMD untuk menjaga kualitas serta keselarasan dokumen RPJMD.
Perbandingan Persoalan SPPN dan GBHN
Persoalannya adalah instrumen evaluasi dimaksud direncanakan oleh Pemerintah, di evaluasi olehnya [meskipun melibatkan elemen Perguruan Tinggi] dan tidak di pertanggung-jawabkan secara langsung kepada DPR dalam pentahapan yang periodik. DPR hanya diberikan ‘ruang bebas’ untuk melakukan fungsi pengawasan tanpa ada sistem yang jelas dalam mengevaluasi, jika kapasitas dan kualitas personal Anggota DPR tidak mampu melakukan evaluasi secara sistemik maka fungsi pengawasan menjadi tidak ideal dilakukan. Sementara peran MPR yang selevel dengan lembaga tinggi negara lainnya menjadi tidak maksimal, khususnya DPD [Dewan Perwakilan Daerah] yang domain konstituennya lebih representatif mewakili masyarakat daerah sehingga isu dan permasalahan di daerah menjadi tidak terekam dalam proses evaluasi.
Sisi lainnya dibandingkan dengan sistem perencanaan pembangunan sebelumnya, yang diatur dalam Permendagri No 9 Tahun 1982 tentang P5D, SPPN paling tidak dari perspektif normative menjanjikan proses perencanaan pembangunan yang lebih baik. Pada masanya, meski di sisi proses dan tahapan, P5D hampir sama dengan SPPN, namun pada kenyataannya P5D merupakan proses perencanaan pembangunan yang sangat top-down dan stakeholders yang terlibat dalam SPPM lebih banyak dan mencakup berbagai kalangan masyarakat.
Pertanyaannya, masih perlukan model GBHN diterapkan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional saat ini?. Pertimbangan perlu bila fungsi merencanakan melibatkan berbagai elemen [termasuk DPR dan MPR] sebab aspirasi dalam demokrasi tersalur melalui lembaga politik dimaksud. Pemerintah dalam kegiatan perencanaan dokumen telah melibatkan lembaga politik [DPR/DPRD] namun fungsi pengawasan dibiarkan bebas tanpa ada model pengawasan yang ideal sehingga yang terjadi adalah penilaian keberhasilan tanpa merujuk instrumen dan dindikator perencanaan.
Solusi yang ditawarkan  adalah adanya mekanisme perencanaan yang normatif dan akademik antar lembaga tinggi negara, disiapkan pedoman pengawasan dan standarisasi evaluasi sesuai metodologis sehingga penilaian keberhasilan harus rasional dan terukur. Diskusi hari ini untuk kembali menggunakan model GBHN jangan sampai hanya sekedar mengembalikan peran dan fungsi MPR dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional namun juga harus disiapkan mekanisme dan sistem pengawasan, evaluasi dan pengendalian yang sistemik, terstruktur dan metodologis agar tidak ada ketimpangan dalam menilai keberhasilan atau kegagalan. Penyakit para birokrat dan lembaga politik adalah ketimpangan penilaian hanya atas dasar keuntungan, kepentingan dan keberpihakan yang sifatnya politis, tidak memperhatikan pertimbangan rasionalitas dan kepentingan masyarakat. Semoga kedepan akan lebih baik dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, sekaligus pengawasan [evaluasi] dan pengendaliannya dengan melibatkan seluruh elemen politik dan non politik.






*) disajikan dalam RDP Senator Syafrudin Atasoge, S.Pd, M.Pd di Kupang, 4 Juni 2016
**) Dosen dan Peneliti di UNDANA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar