REFORMULASI SISTEM PERENCANAAN
PEMBANGUNAN NASIONAL
DENGAN MODEL GARIS-GARIS BESAR
HALUAN NEGARA [GBHN] *)
Hamza H.
Wulakada **)
Ringkasan
Pendahuluan
Perubahan signifikan terhadap
sistem ketatanegaraan Indonesia di berbagai aspek dan dimensi pasca runtuhnya
rezim Orde Baru, termasuk perubahan struktur dan fungsi kelembagaan Negara
merupakan salah satunya masalah karena beberapa lembaga tinggi masih dicarikan
format baru untuk pengembangan tugas, fungsi dan perannya dalam pembangunan
nasional. Perubahan mendasar juga terjadi dalam proses penyelenggaraan
pembangunan nasional dalam rangka mencapai tujuan Negara seperti yang
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar [UUD] 1945.
Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) adalah salah satu lembaga yang mengalami perubahan mendasar dalam hal
kedudukan, fungsi dan perannya pasca amandemen UUD 1945. Sebelum amandemen, MPR
merupakan lembaga tertinggi Negara dengan kewenangannya menetapkan UUD dan
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta memilih dan mengangkat Presiden
dan Wakil Presiden. Pasca amandemen, kedudukan MPR tidak lagi menjadi lembaga
tertinggi Negara, tetapi berkedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga Negara lainnya,
dan fungsinya pun terbatas pada satu kewenangan rutin yaitu melantik Presiden
dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan umum, selebihnya merupakan
kewenangan insidental MPR, seperti memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD, mengubah dan menetapkan UUD serta
kewenangan insidental lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat
(3) UUD 1945 Perubahan. Dengan demikian, perubahan UUD 1945 telah membuat MPR
tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara yang superior seperti pada masa
Orde Baru, akan tetapi justru sebaliknya, menjadi sangat lemah dan inferior
dibandingkan dengan lembaga-lembaga Negara lainnya yang lebih jelas kedudukan,
fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen. Tugas
rutin MPR nyaris hanya sekali dalam lima tahun, yaitu melantik Presiden dan
Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan umum.
Perubahan mendasar juga
menyangkut keberadaan GBHN. Pada masa Orde Baru, GBHN merupakan pedoman untuk
Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Jika Presiden tidak mengikuti
atau melanggar GBHN, maka MPR dapat memberhentikan Presiden. Sejak era
reformasi, eksistensi GBHN tidak ada lagi sebagai konsekuensi perubahan UUD
1945. Konsekuensinya adalah adanya perubahan mendasar pada system
penyelenggaraan pembangunan. Sebagai penggantinya, maka sebagai pedoman
penyelenggaraan pembangunan adalah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) selama 20 tahun sebagaimana dituangkan dalam UU No 17 Tahun 2007,
sebagai amanat dari Pasal 13 ayat (1) UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) . RPJPN ini menjadi rujukan pembangunan
lima tahunan yang disebut dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN): RPJMN I Tahun 2005-2009, RPJMN II Tahun 2010-2014, RPJMN III Tahun
2015-2019, dan RPJMN IV Tahun 2020-2024. Dokumen perencanaan pembangunan ini
tidak lagi menjadi kewenangan MPR, melinkan kewenangan bersama antara DPR RI
dan Presiden RI.
Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional [SPPN]
SPPN merupakan salah satu
konsekuensi adanya perubahan radikal dalam pengaturan ketatanegaraan pasca
reformasi. Secara normative, sulit untuk tidak mengakui bahwa SPPN sebagaimana
sudah diatur dalam UU No 25 Tahun 2004 sudah cukup ideal. Adopsi pendekatan
politik, teknokratik, partisipatif dan perpaduan pendekatan top down dan
bottom up, merupakan beberapa alasan kuat untuk mendukung argumentasi
tersebut. Implikasinya, menjadikan SPPN merupakan sebuah system perencanaan
pembangunan yang integrative, yang menyanjikan keterpaduan proses pembangunan
nasional, pembangunan daerah maupun pembangunan antar daerah, dengan melibatkan
multi-stakeholder. Perbandingan dengan system perencanaan pembangunan
sebelumnya, yang diatur dalam Permendagri No 9 Tahun 1982 tentang Pedoman
Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Daerah (P5D), SPPN paling tidak dari
perspektif normative menjanjikan proses perencanaan pembangunan yang lebih
baik. Pada masanya, meski di sisi proses dan tahapan, P5D hampir sama dengan
SPPN (Sjaifudian 2003), namun pada
kenyataannya P5D merupakan proses perencanaan pembangunan yang sangat top-down
(Usui & Alisjahbana 2003; Hidajat
&Antlov 2004). Selain itu, stakeholders yang terlibat dalam SPPM
lebih banyak dan mencakup berbagai kalangan masyarakat.
Persoalan klasik yang dihadapi
adalah tidak adanya jaminan kepastian bahwa apa yang telah dikonstruksi secara
ideal dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan SPPN maupun RPJPN itu dilaksanakan secara konsisten oleh pemangku
kepentingan terkait. Sampai saat ini, tidak ada mekanisme yang jelas untuk menilai apakah dokumen-dokumen perencanaan
yang dibuat sebagai tindak lanjut dari RPJPN, seperti di level nasional, RPJMN,
Renstra Kementerian/Lembaga, Rencana Kerja Pemerintah, Rencana Kerja
Kementerian, dan di level daerah, RPJMD, Renstra SKPD, RKPD, Renja SKPD, memang
sudah merujuk kepada RPJP kecuali program Evaluasi
Kinerja Pembangunan Daerah [EKPD] yang dilakukan oleh Bappenas. Apalagi
jika mengingat adanya keterlibatan mekanisme penjabaran visi dan misi
Presiden/Kepala Daerah terpilih, potensi gap dengan RPJP menjadi lebih
besar. Pada akhirnya, banyak pihak yang menilai bahwa proses pembangunan seolah
berjalan sendiri-sendiri dan menjadi tidak berpola. Kondisi ini dapat dikatakan
hampir tidak terjadi pada era sebelumnya, ketika GBHN merupakan rujukan utama
proses perencanaan pembangunan baik di level nasional maupun di daerah.
Kondisi demikian, bukan berarti
bahwa SPPN dan RPJP menjadi tidak lebih unggul dibandingkan dengan system
perencanaan sebelumnya. Secara normative, SPPN dan RPJP dilaksanakan secara
terintegrasi, sinkron dan sistematis. Persoalannya mendasar adalah lebih kepada
konsistensi dan sinergi dari berbagai dokumen perencanaan lanjutan sebagai
turunan dari RPJP Nasional sebagai “induknya” dalam rangka mewujudkan tujuan
pembangunan itu sendiri sesuai dengan yang diamanatkan oleh konstitusi. Kondisi
ini ke depan akan semakin parah jika tidak ada mekanisme evaluasi yang jelas
untuk menilai sinergitas berbagai dokumen perencanaan pembangunan beserta
pelaksanaannya, baik di level nasional maupun daerah.
Berdasarkan UU Nomor 25 Tahun
2004 tentang SPPN, diamanatkan 5 (lima) tujuan pelaksanaan sistem perencanaan
pembangunan nasional, yaitu : (1) untuk mendukung koordinasi antar pelaku
pembangunan, (2) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi
antardaerah, antarruang, antarwaktu, dan antarfungsi pemerintah, serta antara
pusat dan daerah, (3) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan, (4) mengoptimalkan partisipasi
masyarakat, dan (5) menjamin tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien,
efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Langkah selanjutnya, untuk menjamin
agar pelaksanaan Strategi Pembangunan Nasional dapat dilihat tingkat
keberhasilannya maka disusunlah Sasaran Pokok Pembanguan Nasional yang termuat
dalam RPJMN [untuk 5 periode dalam RPJPN] yang terdiri dari indikator-indikator
dengan berbagai klasifikasi Sasaran Pokok Pembangunan Nasional.
Untuk menjamin agar strategi pembangunan dapat dilaksanakan dengan
baik perlu adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antardaerah,
antarruang, antarwaktu, dan antarfungsi pemerintah, serta antara pusat dan
daerah. Dalam rangka sinergitas perencanaan antara pusat dan daerah perlu
adanya sinkronisasi pada dokumen perencanaan, dimana pemerintah daerah dalam
menyusun dokumen perencanaannya harus berpedoman kepada dokumen perencanaan
pemerintah pusat. Khusus untuk perencanaan jangka menengah (5 tahun),
berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, dalam Pasal 263 ayat (3)
disebutkan, RPJMD merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala
Daerah yang memuat tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan, pembangunan
Daerah dan keuangan Daerah, serta program Perangkat Daerah dan lintas Perangkat
Daerah yang disertai dengan kerangka pendanaan bersifat indikatif untuk jangka
waktu 5 (lima) tahun yang disusun dengan berpedoman pada RPJPD dan RPJMN
[keterkaitan antar dokumen perencanaan
terjelaskan dalam bagan terlampit].
Selain itu, pada Perpres Nomor 2 Tahun 2015 dalam Pasal 2 ayat (3)
disebutkan, RPJM Nasional sebagai bahan penyusunan dan penyesuaian RPJM Daerah dengan memperhatikan tugas dan fungsi
Pemerintah Daerah dalam mencapai sasaran Nasional yang termuat dalam RPJM
Nasional. Selain itu, dengan adanya paradigma
baru dalam perencanaan pembangunan dimana seluruh proses perencanaan harus
berdasarkan holistik-tematik, integratif, dan spasial diperlukan suatu
pendekatan baru dalam pelaksanaan evaluasi. Adapun pengertian dari pendekatan
tersebut diantaranya adalah:
·
Holistik-tematik, Untuk mencapai sasaran prioritas
nasional, perlu koordinasi multi Kementerian/ Lembaga/Daerah.
·
Integratif, Pencapaian sasaran prioritas nasional perlu dilakukan
secara terintegrasi dari berbagai sektor pembangunan dan jenjang pemerintahan.
·
Spasial, Perlu sinkronisasi lokasi pembangunan untuk meningkatkan
manfaat dan daya ungkit pembangunan yang dirasakan oleh masyarakat.
Untuk menjaga pembangunan berjalan sesuai dengan koridor
perencanaan perlu dilaksanakan evaluasi. Proses evaluasi ini dilaksanakan mulai
dari tahap penyusunan perencanaan sampai dengan akhir pelaksanaan kegiatan.
Dalam rangka pelaksanaan evaluasi terhadap penyusunan dokumen perencanaan dan
sehubungan dengan pelaksanaan Pilkada serentak pada tahun 2015, perlu dilakukan
evaluasi terhadap rancangan RPJMD untuk menjaga kualitas serta keselarasan
dokumen RPJMD.
Perbandingan Persoalan SPPN dan GBHN
Persoalannya adalah instrumen
evaluasi dimaksud direncanakan oleh Pemerintah, di evaluasi olehnya [meskipun
melibatkan elemen Perguruan Tinggi] dan tidak di pertanggung-jawabkan secara
langsung kepada DPR dalam pentahapan yang periodik. DPR hanya diberikan ‘ruang bebas’ untuk melakukan fungsi
pengawasan tanpa ada sistem yang jelas dalam mengevaluasi, jika kapasitas dan
kualitas personal Anggota DPR tidak mampu melakukan evaluasi secara sistemik
maka fungsi pengawasan menjadi tidak ideal dilakukan. Sementara peran MPR yang
selevel dengan lembaga tinggi negara lainnya menjadi tidak maksimal, khususnya
DPD [Dewan Perwakilan Daerah] yang domain konstituennya lebih representatif
mewakili masyarakat daerah sehingga isu dan permasalahan di daerah menjadi
tidak terekam dalam proses evaluasi.
Sisi lainnya dibandingkan dengan
sistem perencanaan pembangunan sebelumnya, yang diatur dalam Permendagri No 9
Tahun 1982 tentang P5D, SPPN paling tidak dari perspektif normative menjanjikan
proses perencanaan pembangunan yang lebih baik. Pada masanya, meski di sisi
proses dan tahapan, P5D hampir sama dengan SPPN, namun pada kenyataannya P5D
merupakan proses perencanaan pembangunan yang sangat top-down dan stakeholders
yang terlibat dalam SPPM lebih banyak dan mencakup berbagai kalangan
masyarakat.
Pertanyaannya, masih perlukan
model GBHN diterapkan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional saat ini?.
Pertimbangan perlu bila fungsi merencanakan melibatkan berbagai elemen
[termasuk DPR dan MPR] sebab aspirasi dalam demokrasi tersalur melalui lembaga
politik dimaksud. Pemerintah dalam kegiatan perencanaan dokumen telah
melibatkan lembaga politik [DPR/DPRD] namun fungsi pengawasan dibiarkan bebas
tanpa ada model pengawasan yang ideal sehingga yang terjadi adalah penilaian
keberhasilan tanpa merujuk instrumen dan dindikator perencanaan.
Solusi yang ditawarkan adalah adanya mekanisme perencanaan yang
normatif dan akademik antar lembaga tinggi negara, disiapkan pedoman pengawasan
dan standarisasi evaluasi sesuai metodologis sehingga penilaian keberhasilan
harus rasional dan terukur. Diskusi hari ini untuk kembali menggunakan model
GBHN jangan sampai hanya sekedar
mengembalikan peran dan fungsi MPR dalam Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional namun juga harus disiapkan mekanisme dan sistem pengawasan, evaluasi
dan pengendalian yang sistemik, terstruktur dan metodologis agar tidak ada
ketimpangan dalam menilai keberhasilan atau kegagalan. Penyakit para birokrat
dan lembaga politik adalah ketimpangan penilaian hanya atas dasar keuntungan,
kepentingan dan keberpihakan yang sifatnya politis, tidak memperhatikan
pertimbangan rasionalitas dan kepentingan masyarakat. Semoga kedepan akan lebih
baik dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, sekaligus pengawasan
[evaluasi] dan pengendaliannya dengan melibatkan seluruh elemen politik dan non
politik.
*) disajikan dalam RDP Senator Syafrudin
Atasoge, S.Pd, M.Pd di Kupang, 4 Juni 2016
**) Dosen
dan Peneliti di UNDANA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar