KHUTBAH IDUL FITRI 1436 H
HAKIKAT KEMBALI KEPADA FITRAH
Ahmad
Priyadi Kosso [Khutbah di Lapangan Ba'a Rote Ndao]
disusun oleh HAMZA H. WULAKADA
Allahu Akbar 3x Walillahil Hamd
اللهُ
اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ كُلَّمَا
هَلَّ هِلاَلٌ وَاَبْدَرَ اللهُ اَكْبَرْ كُلَّماَ صَامَ صَائِمٌ وَاَفْطَرْ اللهُ
اَكْبَرْكُلَّماَ تَرَاكَمَ سَحَابٌ وَاَمْطَرْ وَكُلَّماَ نَبَتَ نَبَاتٌ
وَاَزْهَرْوَكُلَّمَا اَطْعَمَ قَانِعُ اْلمُعْتَرْ. اللهُ اَكْبَرْ اللهُ
اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ
وَ للهِ اْلحَمْدُ. اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِى جَعَلَ لِلْمُسْلِمِيْنَ عِيْدَ
اْلفِطْرِ بَعْدَ صِياَمِ رَمَضَانَ وَعْيدَ اْلاَضْحَى بَعْدَ يَوْمِ عَرَفَةَ.
اللهُ اَكْبَرْ (3×) اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ
لَهُ لَهُ اْلمَلِكُ اْلعَظِيْمُ اْلاَكْبَرْ وَاَشْهَدٌ اَنَّ سَيِّدَناَ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الشَّافِعُ فِى اْلمَحْشَرْ نَبِيَّ قَدْ غَفَرَ
اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ اَذْهَبَ عَنْهُمُ
الرِّجْسَ وَطَهَّرْ. اللهُ اَكْبَرْ. اَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَاللهِ
اِتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Segala puji bagi Allah SWT, ...
Salawat dan salam terhantarkan kepada Rosulullah SAW,...
Allahu Akbar 3x Walillahil Hamd. Jama'ah sholat Idul Fitri rahimakumullah...
Ekspresi kebahagiaan dan suka cita terasa sejak semalam
saat alunan
suara takbir, tasbih, tahmid dan tahlil dikumandangkan seantero
jagad sebagai
bentuk ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas kemenangan besar yang kita
peroleh setelah menjalankan ibadah Ramadhan selama satu bulan penuh, sebagaimana
firman Allah SWT:
وَلِتُكْمِلُوااْلعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُاللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ ولَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.”
Takbir kita tanamkan ke dalam lubuk hati sebagai pengakuan atas
kebesaran dan keagungan Allah SWT sedangkan selain Allah semuanya kecil semata.
Kalimat tasbih dan tahmid, kita tujukan untuk mensucikan Tuhan dan segenap yang
berhubungan dengan-Nya, Rasulullah
SAW bersabda:
Sisi lain juga ada rasa sedih di hati
kita sebab bulan Ramadhan yang penuh barakah, rahmat,
ampunan dari Allah baru saja berlalu. Kita tidak tahu, apakah tahun depan kita
masih bisa merasakan nikmatnya Ramadhan. Sebagian saudara-saudara kita yang tidak sempat menikmati kemenangan hari
ini karena telah tiada tentunya berharap dapat berbuat lebih baik bila dikasih
kesempatan untuk memperbaiki, sementara kita yang berkesempatan hari ini....
atas berkah, rahmat dan ampunan Allah selama Ramadlan, mari kita terus menjaga
kejernihan hati ini agar tetap terus fitrah adanya.
Sebagai muslim, kita wajib meyakini bahwa Allah SWT
tidaklah menciptakan kita kecuali untuk menyembah kepada-Nya: “Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.“ (QS.
Az-Dzariyat: 56). Olehnya itu, jika ada manusia yang menyombongkan diri tidak
mau taat dan tunduk kepada Allah SWT, maka ia telah mengingkari tujuan ia
diciptakan. Akibat dari keingkaran tersebut, ia akan menghuni neraka dalam
keadaan dihinakan.
Ketika masih
berada di alam rahim, Allah SWT telah mengambil perjanjian kesiapan dari
manusia untuk menyembah hanya kepada-Nya sebelum mereka lahir ke muka bumi ini.
Allah SWT menanyai ruh manusia tentang kesiapan mereka mengakui Allah SWT
sebagai Tuhannya dengan semua konsekuensinya, lalu ruh tersebut menjawab dengan
tegas bahwa mereka bersaksi tiada Tuhan selain Allah yang berhak mereka imani
dan mereka sembah. Allah bertanya kepada ruh tersebut:
غَافِلِينَ هَذَا عَنْ كُنَّا إِنَّا الْقِيَامَةِ مَ يَوْتَقُولُوا أَنْ شَهِدْنَا بَلَى قَالُوا بِرَبِّكُمْ أَلَسْتُ
“Bukankah Aku
ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap (ketauhidan) ini”
(QS. Al-A’raf: 172)
Dalam menjaga
komitmen kehambaan yang diikrarkan pada alam rahim tersebut, Allah SWT
memerintahkan manusia setelah ia lahir, agar menghadapkan wajahnya kepada agama
yang lurus sebagai fitrah kehambaannya, sebagaimana firman-Nya:
يَعْلَمُونَ لَا النَّاسِ أَكْثَرَ وَلَكِنَّ الْقَيِّمُ الدِّينُ ذَلِكَ اللَّهِ لِخَلْقِ تَبْدِيلَ لَا عَلَيْهَا النَّاسَ فَطَرَ الَّتِي اللَّهِ فِطْرَتَ حَنِيفًا لِلدِّينِ وَجْهَكَ فَأَقِمْ
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30)
Fitrah adalah
kesucian jiwa yang senantiasa tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Namun keadaan
manusia sekitarnya yang telah mempengaruhinya sehingga menodai kesucian fitrah
tersebut. Maka berubahlah ia dari ketauhidan menjadi kemusyrikan, dari keimanan
menjadi kekafiran. Rasulullah SAW bersabda:
يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُهَوِّدَانِهِ، فَأَبَوَاهُ الفِطْرَةِ، عَلَى مَوْلُودٍ يُولَدُ كُلُّ
“Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi,
Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)
Fitrah adalah
suasana jiwa yang suci yang menjelma dalam pemeliharaan tauhid, ketundukan dan
penghambaan, serta pemeliharaan kesucian diri sebagai hamba Tuhan yang Maha
Pengasih. Jika di penghujung Ramadhan ini kaum muslimin merayakan hari Raya
Idul Fitri, tentu maknanya adalah kesiapan untuk menjadikan momentum Ramadhan
ini sebagai proses pembersihan diri dan kesadaran akan urgensi kembali kepada
fitrah. Dan hakikat kembali fitrah itu diwujudkan dalam bentuk mengokohkan ketauhidan, menguatkan komitmen ubudiyah, dan memelihara
karakteristik terpuji.
Wujud kembali kepada fitrah yang pertama adalah: Mengokohkan Ketauhidan
Ibadah Ramadhan
telah kita sempurnakan, mulai dari puasa, shalat tarawih, tilawatil Qur’an,
membayar zakat fitrah dan zakat harta, I’tikaf, membaca dzikir dan ma’tsurat,
hingga hari ini kita tuntaskan dengan melaksanakan shalat Idul fitri. Semuanya
itu kita yakini sebagai bentuk aktualisasi keimanan kita kepada Allah SWT.
Sebagai hamba,
kita menyadari begitu banyak kekurangan yang telah kita lakukan. Terkadang kita
sibuk berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun bekerja keras
dan banting tulang hanya untuk menyenangkan hati orang-orang yang kita cintai.
Suami menghabiskan hampir semua waktu siangnya untuk menyenangkan istrinya
hingga berkali-kali ia meninggalkan shalat Zhuhur dan Asharnya, dan istri
menghabiskan hampir semua waktu malamnya untuk menyenangkan suaminya hingga
berkali-kali ketinggalan shalat Maghrib dan isyanya. Keadaan itu tentu
menjadikan kita seolah lemah keimanannya hingga boleh jadi sampai pada titik
keimanan yang sangat lemah. Jika suasana itu terus berlanjut, kita pasti akan
semakin jauh dari fitrah kita.
Ramadhan adalah
momentum yang sangat efektif untuk mengokohkan keimanan kita dan mengembalikan
kita kepada fitrah. Ramadhan merupakan bulan yang disiapkan Allah SWT untuk
mendidik jiwa-jiwa yang menjauhi-Nya untuk kembali kepada-Nya, mendidik
jiwa-jiwa yang berlumur dosa untuk datang memohon ampunan kepada-Nya, mendidik
jiwa-jiwa yang lalai dari ibadahnya untuk bersimpuh bersujud dan mengikhlaskan
pengabdiannya. Semoga Ramadhan ini mampu kita buktikan sebagai bulan
mengokohkan iman dan ihtisab (mengharap pahala) kita kepada-Nya, sehingga kita
semua mendapatkan ampunan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
ذَنْبِهِ مِنْ تَقَدَّمَ مَا لَهُ غُفِرَ وَاحْتِسَابًا، إِيمَانًا رَمَضَانَ، صَامَ مَنْ
“Barang siapa
berpuasa dengan iman dan ihtisab (mengharap pahala hanya dari Allah), akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)
Melalui
momentum Idul fitri ini, marilah kita mengokohkan keimanan dan tauhid kita,
yang dengannya kita akan senantiasa terjaga pada fitrah kehambaan kita yang
lurus, kita akan dijauhkan dari sikap menghinakan diri kepada makhluk. Dengan
kekuatan tauhid, orang yang kaya akan menjaga fitrah dirinya sehingga tidak
sombong dan angkuh, dengannya pula orang miskin akan tegar mengarungi ujian
hidupnya dan tidak berputus asa.
Wujud kembali kepada fitrah yang kedua adalah: Menguatkan Komitmen
Ubudiyah
Fitrah
kehambaan menuntut setiap muslim untuk membuktikan komitmen ibadahnya. Dia
dituntut tidak hanya bersungguh-sungguh menunaikan semua ibadah-ibadah fardhu,
tapi juga ibadah-ibadah sunnah. Dengan pembuktian komitmen tersebut,
setiap muslim akan mampu mengantarkan dirinya kepada ketakwaan. Al-Qur’an
menegaskan bahwa dibalik perintah ibadah puasa tersebut Allah SWT menghendaki
agar setiap hamba yang melaksanakannya dapat mengantarkan dirinya ke derajat
takwa.
تَتَّقُونَ لَعَلَّكُمْ قَبْلِكُمْ مِنْ الَّذِينَ عَلَى كُتِبَ كَمَا الصِّيَامُ عَلَيْكُمُ كُتِبَ آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Jika seorang
muslim ingin membuktikan kesungguhannya untuk kembali kepada fitrahnya, salah
satu bentuknya adalah dengan membuktikan komitmen ibadahnya. Ia memelihara
shalat yang difardhukan kepadanya dan melengkapinya dengan shalat-shalat
sunnah. Ia berpuasa wajib dan melengkapinya dengan puasa-puasa sunnah.
Mengeluarkan zakat dan menyempurnakannya dengan infak dan sedekah. Ia
melaksanakan haji ke Baitullah dan menyempurnakannya dengan umrah.
Ibadah itu
mempunyai tujuan asasi dan tujuan-tujuan lain yang menyertainya, di mana
tujuan-tujuan yang menyertai ibadah tersebut merupakan keshalihan jiwa dan
meraih keutamaan dalam setiap ibadah. Imam As-Syathibi mengatakan bahwa asal
mula disyariatkannya ibadah shalat adalah ketundukan kepada Allah SWT dengan
mengikhlaskan penghadapan diri kepada-Nya, bersimpuh di atas kaki kehinaan di
hadapan-Nya dan mengingatkan jiwa agar senantiasa ingat kepada-Nya. Allah SWT
berfirman “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (QS. Thaha: 14) Dan
firman-Nya, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)
keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (dalam shalat) lebih besar
keutamaannya.” (QS. Al-Ankabut: 45).
Dengan menjaga
konsistensi ibadah dan menegakkannya secara sempurna, seorang muslim akan
terpelihara fitrah kesuciannya.
Allahu akbar, Allahu Akbar,
Allahu Akbar,... Walillahilhamdu
Jama’ah Sholat Ied yang
dimuliakan Allah ...
Wujud kembali kepada fitrah yang ketiga adalah: Memelihara Karakteristik
Terpuji
Cara lain
memaknai pemeliharaan fitrah kita adalah dengan menjaga karakteristik kehambaan
kita. Karakteristik yang dimaksud adalah karakter amanah, jujur, sabar dan syukur.
Apabila seseorang memiliki sifat-sifat tersebut, maka ia akan merasakan
ketenangan dalam hidupnya. Ia tidak perlu merasa khawatir sebagaimana
khawatirnya orang yang suka berkhianat, karena takut terbongkar
pengkhianatan-nya, atau seperti pendusta yang takut terbongkar kebohongannya.
Ia juga akan terhindar dari bahaya pertengkaran dan perselisihan yang besar,
karena sifat sabar yang dimilikinya. Bahkan ia akan dicintai orang sekitarnya,
karena tidak menunjukkan sifat tamak dan rakus, disebabkan kuatnya sifat syukur
dalam dirinya.
Orang yang
amanah, jujur, sabar dan syukur adalah orang yang akan disenangi dan dirindukan
semua orang. Ia adalah bukti nyata orang yang bersungguh-sungguh memelihara
fitrah kehambaanya. Semua karakter terpuji itu tentu tidak lahir begitu saja,
tapi melalui proses penempaan dan pelatihan. Dan salah satu sarana pelatihan
itu adalah puasa. Dengan berpuasa, seseorang akan terdidik untuk bersifat
amanah, karena dalam berpuasa ia sudah melatih dirinya agar amanah memelihara
puasanya dari segala hal yang membatalkannya, meski pun orang lain tidak
melihatnya. Ia memelihara amalan puasanya semata-semata karena Allah SWT. Ia
mungkin bisa berbohong kalau ia makan dan minum secara sembunyi, tapi ia tidak
bisa membohongi dirinya sendiri yang sedang terkondisi untuk mendekat kepada
Allah SWT.
Puasa juga
membentuk karakter sabar. Rasulullah SAW bersabda: “Puasa adalah setengah dari
kesabaran”. Dengan menguatnya sifat sabar pada diri seorang muslim, ia akan
bisa menjaga diri untuk tidak terlibat dalam konflik, pertentangan, apalagi
permusuhan sekecil apa pun lingkup dan kadarnya. Dan kalau pun harus terlibat
dalam sebuah perbedaan pendapat, maka ia akan bisa menyikapinya dengan
sikap-sikap yang bijaksana. Ia tidak mau perbedaan pendapat itu mengundang
malapetaka yang besar, yaitu munculnya rasa gentar dan hilang kekuatannya dalam
menghadapi musuh-musuhnya. Ia merenungkan firman Allah SWT tentang hal
tersebut:
الصَّابِرِينَ مَعَ اللَّهَ إِنَّ وَاصْبِرُوا رِيحُكُمْ وَتَذْهَبَ فَتَفْشَلُوا تَنَازَعُوا وَلَا وَرَسُولَهُ اللَّهَ وَأَطِيعُوا
“Dan taatlah
kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfal: 46)
Marilah kita
kokohkan persaudaraan kita sesama muslim di atas rasa cinta dan itsar
(mengutamakan saudara). Janganlah perbedaan-perbedaan seperti menetapkan
masuknya 1 Syawal menjadikan kita saling berbantah-bantahan dan saling
membenci. Sikap itu hanya akan memuaskan setan dan hawa nafsu yang selalu
menyuruh kepada keburukan. Kita juga akan dihinggapi rasa lemah dan gentar
sehingga kita tidak akan pernah menjadi umat yang kuat. Hati kita pun akan
kehilangan karakteristiknya yang terpuji, berganti dengan karakter pemarah,
egois, dan merasa paling benar. Akhirnya kita tidak kembali kepada fitrah,
padahal kita berkumpul menaikkan shalat Idul fitri hari adalah agar kita
kembali kepada fitrah kita.
Allahu akbar, Allahu Akbar,
Allahu Akbar,... Walillahilhamdu
Jama’ah Sholat Ied yang
dimuliakan Allah ...
Jika hari ini kita
dikenalkan dengan istilah beken “Revolusi Mental”, maka momentum puasa akan
menjadi titik dimana kita ‘kembali’ karena tuntutan “revolusi adalah kembali
memperbaiki mental” sementara ending dari puasa ramadlan kelaknya adala
“kembali kepada yang fitrah”, fitrahnya manusia yang semestinya
mengejahwantahkan nilai-nilai kebajikan yang dimiliki Allah [asma’ul husna, nilai-nilai ketuhanan]. Perintah
puasa sebagaimana tertera dalam Q.S. Al Baqarah 183 jelas-jelas menerangkan
bahwa;
[a]. Hukum dasar
puasa adalah WAJIB, tidak diterangkan apa jenis puasanya namun mengenang asbabun nuzul-nya, ayat ini di turunkan
berkaitan dengan ramadlan.
Pertanyaannya,
kenapa ayat ini tidak langsung menyebutkan secara tekstual “Puasa Ramadlan”
namun di generalisir untuk semua jenis puasa adalah WAJIB, sementara Rosulullah
SAW ada beberapa jenis puasa yang di sunnahkan dan ada beberapa hari yang di
haramkan melakukan puasa. Semua jenis puasa yang membedakan teknisnya adalah
waktu pelaksanaannya [kapan puasa di laksanakan] dan bukan tata cara
berpuasanya sehingga yang harus di ingat adalah : RUKUN dan SYARAT yang
menyertai dalam pelaksanaan puasa harus terpenuhi, kemudian kebetulan puasa
dilakukan dalam range waktu bulan
Ramadlan sehingga keberkahannya lebih dari puasa yang dilakukan di luar
ramadlan. Melalui berbagai media dan ceramah kita telah tahu ke-istimewaan
ramadlan maka dalam melaksanakan syiam ramadlan kita mendapat 2 porsi
kebajikan; “porsi puasa dan porsi amalan ramadlan” sehingga syukurlah kita
telah memenangkan perang melawan hawa nafsu selama ramadlan dan hari ini kita
keluar sebagai pemenang.
[b]. Puasa
dimaksud TELAH di wajibkan bagi orang yang ber’IMAN’ yang berkeyakinan terhadap
ke’TAUHID’an, bukan ummah Islam ‘MUSLIM’ saja. Julukan bagi pribadi yang diberi
predikat “YANG BERIMAN” adalah mereka yang memiliki iman, berkeyakinan terhadap
sesuatu zat yang diyakini sebagai zat kausal sehingga harus kita akui bahwa ada
jenis keyakinan lain yang diakui keberadaannya oleh Al Qur’an yaitu ahlul qitab [yang memiliki kitab suci].
Sementara tingkatan kualitas ketaqwaan dimulai dengan MUSLIM-MU’MIN-MUKHSIN
[Islam-Iman-Ihsan] sehingga kemungkinan ada kelompok BERIMAN lain yang berasal
dari luar pemeluk Islam. Catatan ini khusus untuk kaum terdahulu sebelum
Rosulullah SAW dan diakui Al Qur’an sebagai ahlul
qitab. Kenapa puasa berhubungan dengan kelompok BERIMAN? Karena kelompok
ini menjalani proses TAUHID dan nilai TAUHID inilah yang diperjuangkan oleh
seluruh kelompok agama sehingga klaim benar-salah hanyalah pada kata TAUHID.
[c]. Kewajiban
berpuasa juga telah diwajibkan bagi ummat sebelum Ummat Muhammad SAW [ummat
dimaksud adalah para ahlul qitab].
Kelompok ummat terdahulu yang juga memiliki keyakinan tersendiri sehingga para
nabi sebelumnya dengan para pengikutnya sudah menjalankan perintah puasa sesuai
perintah yang di terima saat itu, kemudian di sempurnakan hukum [rukun dan
syar’i] nya saat perintah puasa melalui Rosulullah SAW. Sebagaimana point [a dan b] dimaksud, tata cara berpuasa
dengan diperbolehkan dan dilarangnya segala tingkah laku, perkataan, perbuatan
dan aktifitas hati dan pikiran yang negatif; semuanya tidak diperkenankan saat
puasa dilaksanakan. Artinya, berpuasa adalah menahan nafsu [lahir dan bathin,
materi dan immateri, fisik dan psikis] yang merupakan kombinasi aktifitas yang
dilakoni pancaindra, masuk ke otak [terpikirkan] menjadi pikiran, kemudian
mendapatkan pertimbangan bathin dari dalam hati [termasuk niat]. Olehnya,
berpuasa tidak hanya menahan lapar, dahaga dan nafsu birahi namun juga menjamin
seluruh elemen [panca indra, otak, dan hati] agar bekerja positif sesuai
keharusannya sebagai sifat-sifat ke’Tuhan’an.
[d]. Tujuan puasa
agar mencapai status TAQWA. Defenisi sederhananya menjalankan perintah Allah
dan menjauhi larangannya, konsep ini mudah di hafal dan diingat namun belum
tentu dimengerti karena batasan “PERINTAH” yang diperbolehkan dengan “LARANGAN”
yang dibatasi sulit untuk dibedakan. Antara HAQ dan BATHIL sudah tercampur
adukkan sehingga kualitas ketaqwaan perlu redefenisi dan terkategori, namun itu
adalah urusan Allah. Karenanya, berpuasa itu tanggung jawab ‘amalianya tanpa
perantara malaikan namun langsung pada Allah, sementara ‘amaliyah ramadlan
lainnya menjadi bagian dari kerja malaikat mencatatnya. Artinya, kesempatan
ramadlan kemarin juga menjadi bulan tarbiyah untuk mempelajari batasan HAQ dan
BATHIL, kemudian menjalaninya dengan berbagai kemampuannya untuk mendapatkan ridlo
Allah karena keputusan diterima/ditolaknya ‘amalan kenajikan adalah saat
kualitas niat beribadah karena niat menentukan ridla Allah.
Jama’ah Sholat Ied yang
dimuliakan Allah ...
Mengakhiri khutbah ini, marilah kita tundukkan
kepala kita, melupakan kebesaran diri kita di hadapan manusia, mengakui betapa
kecil dan lemahnya kita di hadapan Allah Penggenggam langit dan bumi.
قَدِيرٌ شَيْءٍ كُلِّ عَلَى إِنَّكَ الْخَيْرُ بِيَدِكَ تَشَاءُ مَنْ وَتُذِلُّ تَشَاءُ مَنْ وَتُعِزُّ تَشَاءُ مِمَّنْ الْمُلْكَ وَتَنْزِعُ تَشَاءُ مَنْ الْمُلْكَ تُؤْتِي الْمُلْكِ مَالِكَ اللَّهُمَّ
“Wahai Tuhan
Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau
muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa
atas segala sesuatu.”
الدِّيْنِ يَوْمِ اِلَى تَبِعَهُ وَمَنْ وَاَصْحَابِهِ اَلِهِ وَعَلَى مُحَمَّدٍ نَبِيِّنَا عَلَى وَسَلِّمْ صَلِّ اَللَّهُمَّ
Ya Allah Ya Rabb, kami berlindung pada-Mu dari hawa
nafsu yang penuh ambisi, yang selalu mau menang sendiri dan tidak mau peduli
dengan penderitaan sesama. Jadikanlah kami hamba-hamba yang tahu
mensyukuri nikmat dan karunia-Mu. Tanamkanlah dalam hati kami kepekaan rasa,
yang membuat kami mampu meraba penderitaan saudara-saudara kami dan mau
membantunya.
رَحِيم رَءُوفٌ إِنَّكَ رَبَّنَا آمَنُوا لِلَّذِينَ غِلًّا قُلُوبِنَا فِي تَجْعَلْ وَلَا بِالْإِيمَانِ سَبَقُونَا الَّذِينَ وَلِإِخْوَانِنَا لَنَا اغْفِرْ رَبَّنَا
“Ya Tuhan kami,
beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu
dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun
lagi Maha Penyayang“
الدَّعْوَاتِ مُجِيْبُ قَرِيْبٌ سَمِيْعٌ اِنَّكَ وَالأَمْوَاتِ مِنْهُمْ اَلأَحْيَاءِ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ لِلْمُسْلِمِيْنَ اغْفِرْ اَللَّهُمَّ
Ya Allah,
ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat, mu’minin dan mu’minat, baik yang
masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha
Mendengar, Dekat dan Mengabulkan doa.
Ya Allah yang
Maha Kuat! berikanlah kami kekuatan agar kami mampu memikul beban yang
dititipkan di pundak kami, Ya Allah yang maha Maha Kaya lepaskanlah kami dari
lilitan utang dan kesulitan ekonomi kami, Ya Allah yang Maha Penyayang
buanglah rasa benci dan dendam yang bersemayam di dalam dada kami, Ya Allah
yang Maha Pengasih tanamkanlah dalam dada kami rasa kasih kepada orang tua
kami, anak-anak kami, dan saudara-saudara kami. Ya Allah yang Maha Mendengar
lagi Maha Penerima Taubat dengarlah permohonan kami dan terimalah taubat kami. Innaka
Antas Samiud Du’a wa Innaka Antat Tawwabur Rahim.
Ya Allah Ya
Rabb, anugerahkan rasa syukur kepada kami agar kami dapat mengerti arti jasa
ibu bapak kami, terkhusus ibu kami, yang bersedia dengan tulus menampung kami
selama berbulan-bulan di dalam rahimnya dalam keadaan lemah dan bertambah
lemah, yang rela bersakit-sakit bersimbah darah ketika melahirkan kami, yang
bersedia mempertaruhkan nyawanya demi agar kami dapat menghirup udara
kehidupan, yang bersedia terganggu tidurnya setiap malam demi agar kami dapat
tertidur lelap, yang bersedia menahan rasa lapar dan dahaganya demi agar kami
dapat merasakan kenyang.
Ya Allah Ya
Rabb, kami tahu keridhaan-Mu terdapat pada keridhaannya dan kemurkaan-Mu
terdapat pada kemurkaannya, maafkan kami jika selama ini khilaf telah melukai
hatinya atau membuatnya tidak ridha kepada sikap dan tingkah laku kami. Maafkan
kami ya Allah jika kami tidak mampu membalas kebaikannya. Kami tahu bahwa yang
ia butuhkan dari kami bukanlah materi dan harta tapi cinta dan kasih sayang
kami seperti ia menyayangi kami di waktu kecil. Maafkan kami jika ia sakit kami
tak menjenguknya. Jika ia butuh, kami tak di sampingnya. Jika ia merindukan
kami, kami tak datang menyapanya. Ya Allah ya Rabb Jadikanlah kami hamba-hamba
yang siap mengistimewakannya di dalam hati kami, lalu mau membalas
jasa-jasanya, meski kami sadar tidak akan mampu membalasnya.
صغيرا ربيانا كما وارحمهما ولوالدينا لنا ربنااغفر
Ya Allah Ya Rabb. Kabulkanlah permohonan
orang-orang kecil bangsa kami yang merindukan ketenangan, kestabilan dan
kemakmuran. Jangan Engkau timpakan azab kepada kami hanya karena kedurhakaan
segelintir orang di antara kami. Jadikanlah kami mulia dengan kesederhanaan
kami dan janganlah Engkau hinakan kami dengan curahan rezki yang melimpah ruah.
Bimbinglah ya Allah derap langkah kami dan pemimpin
kami yang dengan tulus ikhlas hendak mengeluarkan kami dari keterpurukan dan
kesulitan hidup, dengan kemurahan dan kasih sayang-Mu. Agar kami dapat
mengantarkan bangsa kami ini menuju negeri yang lebih baik yaitu Baldatun
Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur.
...
Ya Allah jika begitu lama kami melalaikan
perintah-Mu. Jika bertahun-tahun kami terpedaya oleh hawa nafsu kami sehingga
lalai dari jalan-Mu, jika dengan sengaja atau tidak sengaja, dengan
terang-terangan atau sembunyi-sembunyi kami telah berbuat durhaka kepada-Mu dan
telah menganiaya diri kami sendiri. Maka maafkanlah kami dan ampunilah
dosa-dosa kami. Innaka ‘Afuwwun
Tuhibbul ‘Afwa Fa’fu ‘Anna.
......
Allahu Akbar... Allahu Akbar ... Allahu Akbar
... Walillahilhamdu
Billahittaufiqwalhidayah ...
Wassalamu’alaikum Wr. Wb. ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar