Senin, 08 Agustus 2016

PERANAN PEMUDA DALAM KERUKUNAN UMMAT BERAGAMA

Hamza H. Wulakada

Maraknya berbagai konflik dan anarkisme yang mengatasnamakan agama menyebabkan muncul gagasan-gagasan baru untuk mengatasi konflik-konflik atas nama agama demi terwujudnya kerukunan antar ummat beragama yang dibutuhkan untuk menciptakan stabilitas sosial demi tercapainya misi pembangunan. Berbagai gagasan dimaksud mencoba memindahkan domain penanganan hubungan antar agama dari ranah sosial kepada ranah teologis. Pendekatan teoritisnya sering dikenalkan sebagai konsep Pluralisme Agama dengan solusinya untuk menciptakan kerukunan yaitu toleransi.

Pluralisme agama ini bisa semakna dengan toleransiagama akan tetapi, dalam teori yang dikembangkan di Indonesia pasca-Orde baru, pluralisme agamayang dimaksud bukan toleransi, karena teori ini sendiri munculsebagai kritik terhadap konsep toleransiyang sebelumnya dijadikan sandaran teoretis dalam penanganan masalah-masalah hubungan antar-umat beragama. Konsep toleransi dianggap tidak tundamental sehingga pendekatannya justru harus langsung masuk kedalam tataran konsep teologis. Makna pluralisme dimaksud adalah; [1]  wujud pengakuan atas kebenaran setiap agama sehingga tidak ada klaim secara eksklusif atas kebenaran agama sendiri dari setiap pemeluk agama. [2] pengakuan bahwa setiap agama bersatu dalam pengalaman esoteris, meskipun terlihat secara eksoteris berbeda-beda.

Gagasan tentang pluralisme agama cenderung pada pendekatan doktrinal dan teologis, sementara konsep toleransi cenderung berkaitan dengan bubungan sosial antar ummat beragama namun keduanya sama-sama berkeinginan mewujudkan kehidupan beragama yang saling berdampingan. Konsep pluralisme agama diharapkan akan menguatkan pemahaman teologis masing-masing agama akan kesadaran hidup rukun namun dalam tataran aplikasinya cenderung kontraproduktif untuk menerima sisi beda antar paham keagamaan. Sementara pendekatan toleransi mengedepankan persamaan dalam tatanan sosial sehingga perpaduan keduanya akan menjadi pemahaman yang kompleks karena perbedaan adalah sebuah keniscayaan namun dimensi-dimensi pembeda tersebut harus disatukan dalam titik persamaan yang kausal-sosiologis sehingga ditemukan ruang kesamaannya.

Masyarakat khususnya generasi muda merupakan kelompok yang senantiasa diunggulkan, kelompok yang sedang dalam proses mencari identitas dan memiliki peran penting dalam mengisi dan menggerakkan kehidupan suatu bangsa. hakikat dari kerukunan itu sendiri yang sifatnya sangat dinamis, sehingga tidak menutup kemungkinan akan muncul konflik-konflik di dalamnya. Penyebab konflik inilah yang harus dicermati dengan baik oleh generasi muda, jangan sampai mudah terprovokasi, serta harus berpegang teguh pada ajaran agamanya masing-masing yang diselaraskan dengan upaya memperkuat komitmen terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia [NKRI]. Pemuda dalam catatan sejarah perjuangan bangsa telah membuktikan kekukuhan dan kebersamaannya, tanpa membedakan kelompok suku dan agama telah menyatu-padu dalam proses perjuangan kemerdekaan karena nilai-nilai humanism yang dikedepankan.

Usia muda dalam fase pertumbuhan biologisnya cenderung idealis karena fase ini menjadi fase penjajakan untuk mencari identitas diri, berkekuatan untuk mencoba menapaki panggung idealismenya. Hal ini akan lebih mudah terjerumus dalam jebakan radikal manakala referensi teologis yang dogmatis dan bersifat a-sosial lebih dikedepankan, ketimbang nilai-nilai humanis dalam tataran kehidupan sosial. Solidaritas kaum muda akan lebih kukuh, teguh dan kuat karena perasaan senasib-seperjuangan-sepenanggungan terhadap ‘topik’ yang dijuangkan sehingga akan menjadi ancaman bila fase muda telah didoktrin pemikiran yang anti-sosial oleh ajaran agamanya. Seyogyanya dalam ajaran setiap agama telah mengajarkan sifat-sifat humanisme [kemanusiaan] yang teguh karena esensi saling menghargai dan menghormati muncul sebagai dampak dari ketergantungan antar individu dan kelompok.

Doktrin agama yang cenderung mengklaim pembenaran individu dan kelompok agamanya akan menjadi bom waktu bila dalam fase pertumbuhan pemuda telah didoktrin dengan pemikiran yang sulit menerima perbedaan. Hal ini akan terus tertanam dalam pikiran, hati dan sanubarinya sehingga akan menjadi sulit untuk dirubah. Kondisi tersebut akan semakin diperparah dengan kebebasan informasi publik yang menularkan berbagai paham-paham dunia, mengubah pola-gaya-orientasi kehidupan kaum muda yang cenderung kebarat-baratan dan jauh dari norma identitas bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Berbagai informasi di media publik yang mudah diakses, akan menjadi pola yang mamandu pemuda dalam kehidupannya dan meninggalkan nilai transedental yang dimiliki bangsa Indonesia. Kondisi akan lebih miris bila penyelenggara negara [Pemerintah] dinilai tidak mampu mengentaskan masalah dan konflik yang muncul sehingga kondisi menjadi tidak stabil. Para pihak mulai luntur nilai kepercayaannya pada pemerintah sehingga lebih memilih menerima nilai kebenaran individual dan menolak persamaan komunal.

Solusi yang ditawarkan adalah mengembalikan nilai kepercayaan terhadap penyelenggaran negara yang didahului dengan perbaikan tatanan kehidupan yang Pancasilais, berprikemanusiaan dan berkeadilan. Penyelenggaraan negara harus adil dalam merespon kebutuhan dan tuntutan kelompok sehingga tidak menimbulkan kecemburuan lintas kelompok. Hal ini sulit dirubah karena domain politik masih mengendarai urusan keagamaan sehingga konflik horizontal sering menjadi komoditas politik kelompok tertentu. Pewadahan pemuda dalam wadah pendidikan formal, non-formal dan in-formal selayaknya menjadi wadah memperkenalkan nilai pembeda untuk diterima sebagai rumusan kesamaan dari masing-masing kelompok. Ketimpangan informasi yang tidak sempurna dari proses pengajaran keagamaan hanya akan memperuncing masalah yang dibedakan sehingga pendekatan ajaran keagamaan harus mengakomodir dasar-dasar nilai kemanusiaan agar naluri humanitas para pemeluk lebih kuat dibanding keegoan ‘klaim’ pembenaran diri dan kelompok agamanya.

Pembauran pemuda dalam berbagai aksi dan gerakan sosial-kemanusiaan yang seharusnya lebih diintensifkan agar dalam komunikasi sosial yang dilakukan akan terjadi transver pemahaman terhadap kelompok lain [yang berbeda]. Aksi pembauran dimaksud dapat dibangun dari dalam kelompok sosial terkecil, dari dalam keluarga kemudian terus membesar dengan mengendepankan nilai kearifan lokal bahwa sesungguhnya perbedaan menjadi niscaya untuk menemukan titik kesamaan. Lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan akan menjadi wadah pelanjut dari wadah keluarga untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan sehingga berbagai aktifitas harus sering dilakukan bersama untuk memperkenalkan nilai pembeda yang harus diterima sebagai rahmat. Bijaknya, hanya karena ada perbedaanlah maka muncul potensi untuk salung menguatkan [solider] namun kekuatan dimaksud akan menjadi lemah bila tidak ditopang dengan nilai pembeda lainnya. Pada tataran inilah muncul dimensi kesamaan yang selayaknya dijadikan pranata sosial yaitu nilai persaudaraan dan nilai kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar