PERANAN PEMUDA DALAM KERUKUNAN UMMAT BERAGAMA
Hamza H. Wulakada
Maraknya berbagai konflik dan anarkisme yang mengatasnamakan
agama menyebabkan muncul gagasan-gagasan baru untuk mengatasi konflik-konflik
atas nama agama demi terwujudnya kerukunan antar ummat beragama yang dibutuhkan
untuk menciptakan stabilitas sosial demi tercapainya misi pembangunan. Berbagai
gagasan dimaksud mencoba memindahkan domain penanganan hubungan antar agama
dari ranah sosial kepada ranah teologis. Pendekatan teoritisnya sering
dikenalkan sebagai konsep Pluralisme Agama dengan solusinya untuk menciptakan
kerukunan yaitu toleransi.
Pluralisme agama ini bisa semakna
dengan toleransiagama akan tetapi, dalam teori yang dikembangkan di Indonesia
pasca-Orde baru, pluralisme agamayang dimaksud bukan toleransi, karena teori
ini sendiri munculsebagai kritik terhadap konsep toleransiyang sebelumnya
dijadikan sandaran teoretis dalam penanganan masalah-masalah hubungan
antar-umat beragama. Konsep toleransi dianggap tidak tundamental sehingga
pendekatannya justru harus langsung masuk kedalam tataran konsep teologis.
Makna pluralisme dimaksud adalah; [1]
wujud pengakuan atas kebenaran setiap agama sehingga tidak ada klaim
secara eksklusif atas kebenaran agama sendiri dari setiap pemeluk agama. [2]
pengakuan bahwa setiap agama bersatu dalam pengalaman esoteris, meskipun
terlihat secara eksoteris berbeda-beda.
Gagasan tentang pluralisme agama
cenderung pada pendekatan doktrinal dan teologis, sementara konsep toleransi
cenderung berkaitan dengan bubungan sosial antar ummat beragama namun keduanya
sama-sama berkeinginan mewujudkan kehidupan beragama yang saling berdampingan.
Konsep pluralisme agama diharapkan akan menguatkan pemahaman teologis
masing-masing agama akan kesadaran hidup rukun namun dalam tataran aplikasinya
cenderung kontraproduktif untuk menerima sisi beda antar paham keagamaan.
Sementara pendekatan toleransi mengedepankan persamaan dalam tatanan sosial
sehingga perpaduan keduanya akan menjadi pemahaman yang kompleks karena perbedaan
adalah sebuah keniscayaan namun dimensi-dimensi pembeda tersebut harus
disatukan dalam titik persamaan yang kausal-sosiologis sehingga ditemukan ruang
kesamaannya.
Masyarakat khususnya generasi
muda merupakan kelompok yang senantiasa diunggulkan, kelompok yang sedang dalam
proses mencari identitas dan memiliki peran penting dalam mengisi dan
menggerakkan kehidupan suatu bangsa. hakikat dari kerukunan itu sendiri yang
sifatnya sangat dinamis, sehingga tidak menutup kemungkinan akan muncul
konflik-konflik di dalamnya. Penyebab konflik inilah yang harus dicermati
dengan baik oleh generasi muda, jangan sampai mudah terprovokasi, serta harus
berpegang teguh pada ajaran agamanya masing-masing yang diselaraskan dengan
upaya memperkuat komitmen terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
[NKRI]. Pemuda dalam catatan sejarah perjuangan bangsa telah membuktikan
kekukuhan dan kebersamaannya, tanpa membedakan kelompok suku dan agama telah
menyatu-padu dalam proses perjuangan kemerdekaan karena nilai-nilai humanism
yang dikedepankan.
Usia muda dalam fase pertumbuhan
biologisnya cenderung idealis karena fase ini menjadi fase penjajakan untuk mencari
identitas diri, berkekuatan untuk mencoba menapaki panggung idealismenya. Hal
ini akan lebih mudah terjerumus dalam jebakan radikal manakala referensi
teologis yang dogmatis dan bersifat a-sosial lebih dikedepankan, ketimbang
nilai-nilai humanis dalam tataran kehidupan sosial. Solidaritas kaum muda akan
lebih kukuh, teguh dan kuat karena perasaan senasib-seperjuangan-sepenanggungan
terhadap ‘topik’ yang dijuangkan sehingga akan menjadi ancaman bila fase muda
telah didoktrin pemikiran yang anti-sosial oleh ajaran agamanya. Seyogyanya
dalam ajaran setiap agama telah mengajarkan sifat-sifat humanisme [kemanusiaan]
yang teguh karena esensi saling menghargai dan menghormati muncul sebagai
dampak dari ketergantungan antar individu dan kelompok.
Doktrin agama yang cenderung
mengklaim pembenaran individu dan kelompok agamanya akan menjadi bom waktu bila
dalam fase pertumbuhan pemuda telah didoktrin dengan pemikiran yang sulit
menerima perbedaan. Hal ini akan terus tertanam dalam pikiran, hati dan
sanubarinya sehingga akan menjadi sulit untuk dirubah. Kondisi tersebut akan
semakin diperparah dengan kebebasan informasi publik yang menularkan berbagai
paham-paham dunia, mengubah pola-gaya-orientasi kehidupan kaum muda yang
cenderung kebarat-baratan dan jauh dari norma identitas bangsa Indonesia yaitu
Pancasila. Berbagai informasi di media publik yang mudah diakses, akan menjadi
pola yang mamandu pemuda dalam kehidupannya dan meninggalkan nilai transedental
yang dimiliki bangsa Indonesia. Kondisi akan lebih miris bila penyelenggara
negara [Pemerintah] dinilai tidak mampu mengentaskan masalah dan konflik yang
muncul sehingga kondisi menjadi tidak stabil. Para pihak mulai luntur nilai
kepercayaannya pada pemerintah sehingga lebih memilih menerima nilai kebenaran
individual dan menolak persamaan komunal.
Solusi yang ditawarkan adalah
mengembalikan nilai kepercayaan terhadap penyelenggaran negara yang didahului
dengan perbaikan tatanan kehidupan yang Pancasilais, berprikemanusiaan dan
berkeadilan. Penyelenggaraan negara harus adil dalam merespon kebutuhan dan
tuntutan kelompok sehingga tidak menimbulkan kecemburuan lintas kelompok. Hal
ini sulit dirubah karena domain politik masih mengendarai urusan keagamaan
sehingga konflik horizontal sering menjadi komoditas politik kelompok tertentu.
Pewadahan pemuda dalam wadah pendidikan formal, non-formal dan in-formal
selayaknya menjadi wadah memperkenalkan nilai pembeda untuk diterima sebagai
rumusan kesamaan dari masing-masing kelompok. Ketimpangan informasi yang tidak
sempurna dari proses pengajaran keagamaan hanya akan memperuncing masalah yang
dibedakan sehingga pendekatan ajaran keagamaan harus mengakomodir dasar-dasar
nilai kemanusiaan agar naluri humanitas para pemeluk lebih kuat dibanding
keegoan ‘klaim’ pembenaran diri dan kelompok agamanya.
Pembauran
pemuda dalam berbagai aksi dan gerakan sosial-kemanusiaan yang seharusnya lebih
diintensifkan agar dalam komunikasi sosial yang dilakukan akan terjadi transver
pemahaman terhadap kelompok lain [yang berbeda]. Aksi pembauran dimaksud dapat
dibangun dari dalam kelompok sosial terkecil, dari dalam keluarga kemudian
terus membesar dengan mengendepankan nilai kearifan lokal bahwa sesungguhnya
perbedaan menjadi niscaya untuk menemukan titik kesamaan. Lembaga pendidikan
dan lembaga keagamaan akan menjadi wadah pelanjut dari wadah keluarga untuk
menanamkan nilai-nilai kemanusiaan sehingga berbagai aktifitas harus sering
dilakukan bersama untuk memperkenalkan nilai pembeda yang harus diterima
sebagai rahmat. Bijaknya, hanya karena ada perbedaanlah maka muncul potensi
untuk salung menguatkan [solider] namun kekuatan dimaksud akan menjadi lemah
bila tidak ditopang dengan nilai pembeda lainnya. Pada tataran inilah muncul
dimensi kesamaan yang selayaknya dijadikan pranata sosial yaitu nilai
persaudaraan dan nilai kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar