Rabu, 26 Desember 2018
Kamis, 03 Mei 2018
Studi Pendirian PT di Manggarai Timur
Ringkasan Hasil Studi Kelayakan Pendirian PT di Kab. Manggarai Timur
Pendidikan berkait
erat dengan kebangkitan ekonomi nasional karena mampu melahirkan SDM
berkualitas, yakni yang memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai
teknologi. Pendidikan Tinggi berperan
menghasilkan lulusan yang kreatif dan inovatif dengan keterampilan khusus yang
dibutuhkan dalam berbagai sektor ekonomi, memiliki kemampuan beradaptasi yang
tinggi, sehingga mampu untuk terus memperbaharui struktur ekonomi dan sosial
yang relevan dengan perubahan dunia. PT berperan dalam meningkatkan jumlah dan mutu penelitian yang memungkinkan
suatu negara untuk memilih, menyerap, dan menciptakan pengetahuan baru secara
lebih cepat dan efisien dibanding yang ada sekarang.
Menghadirkan sebuah Perguruan Tinggi di Kabupaten
Manggarai Timur bisa menjadi solusi
untuk menjawab kondisi kekinian maupun menghadapi persaingan kedepannya.
Merujuk kondisi potensi lokal dan tuntutan persaingan kedepannya maka kehadiran
PT menjadi prioritas dan menjadi komitmen Pemerintah Daerah bertanggung jawab
atas HAK masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang layak. Analisis
SWOT merekomendasikan bahwa mendayagunakan seluruh kekuatan dan peluang yang
tersedia untuk mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan tinggi yang berbasis STEM di bidang pertanian dalam
pengertian yang luas untuk peningkatan
SDM guna mendorong produktifitas dan pertumbuhan ekonomi wilayah.
Berbagai faktor yang menjadi pertimbangan dalam
merekomendasikan pemilihan jenis dan bentuk kelembagaan serta program studi
yang akan dibangun berdasarkan pertimbangan; kondisi eksisting sosial budaya,
yuridis formal, potensi sumberdaya alam, kemampuan daerah, kebutuhan
masyarakat, daya saing, prospek pasar kerja dan peluang keberlanjutan di Kabupaten
Mnggarai Timur. Berdasarkan berbagai
pertimbangan diatas maka maka dinyatakan
Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur dengan segenap dukungan dari stakeholder-nya; LAYAK mendirikan [membentuk]
perguruan tinggi berbentuk INSTITUT di wilayah Kabupaten Manggarai Timur.
Jenis rumpun ilmu diharapkan berupa ilmu TERAPAN
dengan JENIS PENDIDIKAN TINGGI berupa AKADEMI DAN VOKASI.
Sedangkan JENIS PROGRAM yang diharapkan adalah DIPLOMA III [D3] & SARJANA
TERAPAN [S.—Tr] dengan SPESIFIKASI PEMINATAN DALAM KELOMPOK ILMU TERAPAN berupa
SAINS DAN TEKNOLOGI PERTANIAN. Bentuk Perguruan Tinggi yang
direkomendasikan adalah berbentuk Instituk dengan focus pada STEM sehingga
penamaannya menjadi INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI PERTANIAN. Terdapat 15 [lima belas] program
studi yang dikelompokkan dalam 4 [empat] fakultas, yaitu;
[1] Fakultas
Sains dan Teknologi Pertanian, dengan jenis program studi; [1] Teknologi
Produksi Tanaman Hortikultura, [2] Teknologi Produksi Tanaman Pangan, [3] Teknologi
Hasil Perkebunan, [4] Agribisnis Pangan, [5] Teknologi Mekanisasi Pertanian,
[6] Pengelolaan hasil hutan, dan [7] Ekowisata.
[2] Fakultas
Sains dan Teknologi Peternakan, dengan jenis program studi; [1] Teknologi
produksi ternak, [2] Teknologi pakan ternak, dan [3] Teknologi pengolahan hasil
ternak.
[3] Fakultas
Sains dan Teknologi Perikanan, dengan jenis program studi; [1] Pengolahan dan
Penyimpanan hasil perikanan, dan [2] Teknologi Kelautan.
[4] Fakultas
Sains dan Informatika, dengan jenis program studi; [1] Matematika, [2]
Teknologi Informasi, dan [3] Ilmu Komputer.
Pemerintah
daerah dan segenap stakeholder terkait segera melakukan rencana tindak lanjut
yaitu; [1] Penguatan Komitmen segenap Stakeholder [Sosekbud], [2] Pengawalan
Kebijakan dan Dukungan Politik [advokasi dan lokakarya], [3] Konsolidasi
Pembentukan Lembaga Badan Pengelola [Penguatan jika sudah ada], [4] Penyiapan
Penganggaran, [5] Pembentukan Tim Pendiri, [6] Persiapan Teknis dan
Administratif Kelembagaan PT [Prakondisi], [7] Penyusunan Dokumen Persyaratan
[Kelengkapan] Perizinan, [8] Proses [dan Pengawalan] Perizinan, dan [9] Pendirian,
Peluncuran dan Pelaksanaan Perkuliahan
Pengantar Disertasi
KATA PENGANTAR
Naskah ini
disajikan untuk memenuhi persyaratan Doktor pada Program Doktor Ilmu Lingkungan (PDIL), Program Pascasarjana Universitas
Brawijaya (PPs UB). Peneliti
telah melalui proses ujian kualifikasi dengan topik “Dimensi Epistimologi Burung Garuda sebagai Lambang Negara Indonesia
(Tinjauan Filsafat Lingkungan)”, namun cakupan epistimologi terlampau sempit
dan mengenyampingkan dimensi ontologis dan aksiologis yang juga merupakan
dimensi utama dalam kajian filsafat. Topik ini kemudian mengalami perbaikan
menjadi proposal disertasi dengan judul “DIMENSI
FILSAFAT LINGKUNGAN BURUNG GARUDA SEBAGAI SIMBOL KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
INDONESIA”. Selanjutnya peneliti melalui proses
panjang dalam menjajaki berbagai bidang keilmuan hingga menghasilkan naskah
disertasi berikut yang siap dipertanggung- jawabkan.
Kajian filosofis dalam naskah berikut mungkin tergolong
hal baru karena dalam proses penelitian disertasi cenderung menggunakan metode
kualitatif, namun bukan tidak layak untuk dijadikan sebuah topik penelitian.
Topik penelitian ini mungkin sekilas menjadi bahan cemoohan kaum akademis
karena memang hadirnya permasalah Burung Garuda dalam tulisan ini berangkat
dari kerisauan penulis yang melahirkan beragam pertanyaan. Objek Burung Garuda
bagi bangsa dan masyarakat Indonesia merupakan objek sakral yang dikultuskan
sebagai simbol negara. Keberadaanya sudah terdoktrinisasi secara terstruktur
dan bekerja secara turun-temurun dalam alam
berpikir semua generasi bangsa Indonesia, tanpa ada penjelasan ilmiah tentang
hubungan filosofis antara objek Burung Garuda, susunan kalimat kelima sila Pancasila
dan karakteristik (sosial-budaya) ke-Indonesia-an.
Setiap kali menyanyikan lagu nasional “Burung Garuda” atau lagu “Garuda di Dadaku”, seorang anak bangsa
seakan terhipnotis oleh kata-kata dan suasana kebathinan yang sakral dan penuh
hikmat melebihi kekhusukan seorang penganut agama dalam beribadah pada Sang
Penciptanya. Sungguh ironis bila penghayatan atas lagu tersebut begitu khidmah
hingga meneteskan airmata sementara dalam tatanan aksiologis masih banyak
ditemukan berbagai ketimpangan dan ketidak-adilan yang terjadi dalam tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Pertanyaannya, apakah setiap anak
bangsa telah memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang
dilambangkan oleh burung garuda?. Penelitian ini akan menelusuri proses
hadirnya burung garuda sebagai lambang negara dalam perspektif historikal,
kemudian mengkaji makna ke-Indonesia-an dalam objek burung garuda.
Dinamika
kebangsaan yang tengah terjadi akhir-akhir ini terus menggoyahkan nyali
nasionalisme anak bangsa dan mengancam integrasi bangsa Indonesia. Terkhusus
soal ideologi bangsa Indonesia [Pancasila] yang secara paralel dapat
dihubungkan dengan objek Burung Garuda sebagai simbol ke-Indonesia-an karena
pada dadanya tersematkan 5 [lima] objek makna dari kelima sila Pancasila.
Berbagai literatur sejarah maupun produk karya ilmiah lainnya belum menyajikan
relevansi yang ilmiah dan akurat soal keterkaitan antar deretan kata-kata dari
kelima sila Pancasila, Burung Garuda dan karakteristik [sosial-budaya]
ke-Indonesia-an. Konstruksi berpikir yang dibangun hanya menghubungkan
keterkaitan antara teks Pancasila dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia
[NKRI] tanpa memposisikan Burung Garuda sebagai objek yang menyimboli kedua
unsur dimaksud. Sementara tinjauan teoritik dari pendekatan semiotik
mengisyaratkan adanya posisi strategis sebuah simbol atau lambang dalam
pemaknaannya serta pengaplikasiannya. Hal inilah menjadi fokus kajian yang
dilakukan dalam penelitian dan penulisan naskah disertasi berikut.
Topik ini semakin menarik karena sudut pandang keilmuan yang dirujuk adalah
Kajian Lingkungan dan Pembangunan sehingga dapat
memotret dari sudut pandang falsafah lingkungan, dimana
objek kajiannya adalah Burung Garuda yang merupakan sejenis makhluk hidup dalam
sebuah ekosistem. Pendekatan ilmu pembangunannnya adalah dalam rangka membangun
kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang masih tertawan krisis multi-dimensi,
khususnya perihal moralitas kebangsaan yang tercermin dalam moral dan perilaku anak-anak
bangsanya. Rasanya sulit diterima secara ilmiah karena topik ini jauh dari
tradisi intelektual yang biasa dilakukan dalam pendekatan kajian lingkungan
fisik, namun penyaji patut berkemauan keras dalam sebuah misi doktoral ingin
menghasilkan sebuah kajian ilmiah yang bermanfaat bagi segenap komponen bangsa
Indonesia.
Penulis telah mengelaborasikan berbagai pendekatan keilmuan dalam tulisan ini, yaitu; pendekatan historikal, pendekatan simbolik,
pendekatan mitologi, pendekatan morfologi-fisiologi dan pendekatan sosiologi lingkungan. Luaran (outcome) dari penelitan ini menghasilkan sebuah desain pembelajaran yang tepat tentang burung garuda dalam
perspektif ilmu lingkungan dan pembangunan bagi segenap masyarakat Indonesia
diberbagai tingkatan pendidikan. Penyaji berharap akan menemukan hal baru yang
dapat diadopsi dalam desain pembelajaran tentang burung
garuda sebagai lambang negara Indonesia dan dapat memberikan perubahan
paradigma yang lebih bermartabat dalam pembangunan kualitas sumberdaya manusia
Indonesia.
Mengakhiri
pengantar ini, penulis ingin
mengutip ayat Al Qur’an
Surat Ar-Ruum (41) yang menjadi landasan teologis
sekaligus sebagai rujukan utama dalam pelaksanaan penelitian ini.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Bahwa segala
bentuk kerusakan yang terjadi didunia adalah akibat aktifitas manusia sehingga
manusialah yang patut melakukan perbaikan dan pelestarian terhadap
lingkungannya karena kelebihan nilai dan nafsu membangun peradaban [berpikir
dan berkarya] yang dianugerahkan kepadanya. Semoga disertasi
berikut mendapat sambutan positif dari berbagai pihak untuk dikoreksi hingga
mendekati titik kesempurnaan agar bermanfaat bagi nusa dan bangsa Indonesia serta mendapatkan ridlo dari Allah SWT.
Ringkasan Disertasi
RINGKASAN
HAMZA H. WULAKADA,
NIM: 137150100111012, Program Doktor
Ilmu Lingkungan, Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang,
Malang, Maret 2018, “Dimensi Filsafat Lingkungan Burung Garuda Sebagai Simbol Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara Indonesia”,
Promotor: Prof. Dr. Abdul
Hakim.M.Si, Ko-Promotor: Prof. Dr.
Ir. Sugiyanto, MS dan Prof. Dr. Isrok, SH., M.Hum.
Tinjauan
ekologis terhadap keberadaan Burung Garuda sebagai lambang negara Indonesia penting
untuk dikaji karena realitasnya terjadi
krisis multidimensi yang
melanda berbagai komponan
bangsa. Filsafah
hidup Burung Garuda belum dikaitkan secara
metodologis dengan filsafat Pancasila sehingga ideologi bangsa tidak
termanivestasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penelitian ini bertujuan untuk; 1)
Menganalisa proses sejarah memilih
Burung Garuda sebagai lambang negara, 2) Menganalisa pemaknaan publik terhadap Burung Garuda dalam tinjauan mitologi, semiotik dan lingkungan empirik, 3) Menganalisa relevansi Burung Garuda dengan falsafah Pancasila, 4) Menyusun desain pembelajaran yang efektif tentang filsafat hidup Burung Garuda bagi
pelajar dan mahasiswa.
Teori yang dirujuk diantaranya; historiografi, mitos-ritual, morfologi-fisiologi
dan interaksi simbolik. Perolehan
data melalui studi kepustakaan [sekunder] serta observasi lapangan dan diskusi terbatas yang
melibatkan narasumber ahli berkompeten [primer] sehingga menggunakan analisis deskriptif
kualitatif. Fokus
penelitiannya tertuju pada jenis burung yang diidentikan sebagai burung garuda
untuk memperhatikan pola adaptasinya terhadap lingkungan kemudian
diilustrasikan menggunakan pendekatan semiotik dan dikonsepsikan dengan kondisi sosial budaya
masyarakat Indonesia.
Sejarahnya
burung garuda adalah mitos kepercayaan Hindu yang diadopsi dari perkembangan
peradaban bangsa, dijadikan lambang negara pasca proklamasi kemerdekaan
kemudian dikonsensuskan secara terbatas dalam dinamika kebangsaan. Proses
pemilihannya dimulai dengan tahapan persiapan kepanitiaan, perancangan,
legitimasi, sosialisasi dan peneguhan. Konsensus dilakukan untuk mendapatkan
pengakuan publik dengan mengubah substansi bentuk aslinya sehingga menghasilkan
sosok Garuda Pancasila dari dimensi mitos menjadi elang rajawali.
Unsur
kebaharuannya terletak pada dimensi pemaknaan lambang negara yang sebelumnya
merupakan bagian dari objek mitologi, memiliki kemiripan jenis dan bentuk [pendekatan
morfologi-fisiologi] dengan burung elang rajawali. Realitasnya kini belum ada
pembuktian otentik yang mematenkan hak cipta lambang Negara Indonesia sehingga
penting untuk dilakukan langkah hukum untuk menentukan objek empirik dari
garuda yaitu elang rajawali menjadi makhluk penjelmaan garuda. Memaknai
simbol lambang Negara
Garuda Pancasila menjadi penting karena tanpa pemberian makna terhadap objek-objek
budaya yang telah diwariskan satu generasi sebelumnya, maka karya-karya yang
dihasilkan akan hilang dalam peradaban manusia kelaknya.
Lambang negara Garuda Pancasila dapat
dimaknai melalui berbagai pendekatan yaitu makna konotatif (mitos) dan makna
denotatif (visual) terutama merujuk pada objek empirik elang rajawali sehingga
dimensi filsafat dapat merasionalkan makna dan nilai ke-Indonesia-an dalam
lambang negara. Rekomendasi teoritiknya adalah; [1] nilai kebenaran sejarah bersifat
relatif tergantung kekuasaan yang mengendalikannya, [2] konsensus dapat saja
tidak menjangkau ruang publik seutuhnya dalam waktu seketika karena berbagai
pertimbangan situasional, [3] paradigma mitologi yang dikultuskan dapat
dihilangkan nilai keyakinannya dengan memunculkan objek rasional baru yang
dilakukan secara massif dan sistematis, dan [4] interaksi simbolik yang
seharusnya mewakili identitas pengguna simbol ternyata tidak sepenuhnya berlaku
untuk objek komunal kecuali adanya kesepakatan baru yang bersifat universal. Oleh
karena hidup harus bermakna maka peneguhan falsafah elang rajawali menjadi
objek rasional yang efektif dijelaskan kepada peserta didik agar memahami,
meyakini dan mengamalkan Pancasila melalui kebanggan terhadap lambang garuda.
Kata Kunci : Burung Garuda, Mitos, Histori, Morfologi,
Interaksi Simbolik
SUMMARY
HAMZA H. WULAKADA,
NIM: 137150100111012, Doctoral Program of Environmental
Science, Post Graduate, Brawijaya University of Malang, March 2018, ‘Dimensions Of Environmental Philosophy
Of Garuda As A Symbol Of The Life Of A Nation and A Country Indonesia”. Promotor: Prof. Dr. Abdul Hakim.M.Si,
Co-Promotor: Prof. Dr. Ir. Sugiyanto, MS
and Prof. Dr. Isrok, SH., M.Hum.
Ecological review against the
existence of Garuda Indonesia as crucial to studied because reality was a
multidimensional crisis that hit the nation's various komponan. Garuda
philosophy of life has not been associated with a methodological basis of the
philosophy of Pancasila such that the ideology of the nation are not termanivestasikan
in the life of nation and State. This research aims to; 1) Analyzes the
historical process of selecting Bird Garuda as a symbol of the country, 2)
Analyzes public definition of the Garuda in mythology, semiotik and
environment, 3) Analyze the empirical relevance of Garuda Pancasila philosophy,
with 4) Putting together an effective learning about design philosophy of life
Bird Garuda for students.
The theory that is referred to among
others; historiography, the myth-ritual-Physiology, morphology and symbolic
interaction. Acquisition of data through the study of librarianship (secondary)
as well as the observation field and limited discussion involving experts
competent interviewees [primary] so using qualitative descriptive analysis. His
research focus is fixed on the diidentikan of birds as the bird garuda to pay
attention to the pattern of his adaptation to the environment then illustrated
using semiotik approach and to conception of social culture conditions with the
community Indonesian.
History of the mythical bird garuda is
adopted from Hindu civilization Nations, post-war State emblem proclamation of
independence then to concessions are limited in the dynamics of the national
anthem. Election process begins with the preparation of the Committee stages,
designing, legitimacy, socializing and edification. Consensus is done to get
the public recognition by changing the substance of his original form so that
it produces a figure of mythical dimensions of Garuda Pancasila became a hawk
eagle.
The element of novelty lies in the
definition of the dimension of a coat of arms which was formerly part of the
mythological objects, has a resemblance of the type and form of (morphological
approach-Physiology) with hawk Eagle. Reality is now no authentic proofs patent
copyright coat of arms of Indonesia so it's important to do a legal step to
determine the empirical object from the garuda Eagle Eagle into a creature that
is the incarnation of garuda. Interpret the symbols in the coat of arms of
Garuda Pancasila becomes important because without granting meaning against
cultural objects that have been passed down a generation before, then the
resulting works will be lost in the human civilization in the future.
Coat of arms of Garuda Pancasila can
meant through various approaches, namely the meaning of the konotatif (myths)
and in denotative meaning (visual) primarily refers to the Eagle the Eagle the
empirical object so that the dimension of philosophy can rationalise the
meaning and sense of value Indonesia in the coat of arms. The recommendation is
teoritiknya; [1] the value of historical truth are relative depending on the
powers that control it, [2] consensus may not reach out to the whole public
space in time instantly due to various considerations circumstantial, [3] a
mythological paradigm is processed the cult can be eliminated with his values
gave rise to a new rational objects made in the massif and systematic, and
symbolic interaction [4] which is supposed to represent a user identity symbol
turns out to be not entirely true for objects communal except when a new
agreement is universal. Because life should be meaningful so philosophical
edification Eagles hawks become the object of effective rational explained to
the students in order to understand, believe and practise through the heartland
of Pancasila against garuda emblem.
Key words: Bird Garuda, Myth, History,
Morphology, Symbolic Interaction
GENEOLOGI PERADABAN FUTSAL ALA LAMAKERA
Sebelumnya,
maaf saya tidak begitu pandai merangkai kata indah seperti Paman Guru Dr. Umar
Bethan atau senior&yunior lainnya tapi biarlah melepas peluh malam ini
dengan sederet rasa kesyukuran. Alhamdulillah malam ini berkesempatan bersama
keluarga bisa silaturahmi dengan keluarga besar Lamakera di Kota Kupang, kami
menyambangi sebuah hajatan fenomenal, olahraga Futsal yang mungkin tidak asing
bagi pegiat si kulit bundar. Entah siapa yang menginisiasi perhelatan akbar
ini, bagi saya ini adalah sebuah tradisi unik yang terjadi di zaman generasi
neo. Tatkala ancaman individualistik melunturkan temali kekerabatan dengan
indikasi anak-anak yang hampir lupa garis temurunnya, sekelompok kecil kaum
peradaban asal turunan sebuah kampung di ujung Pulau Solor bernama Lamakera
yang bermukim di Kota Kupang memilih untuk lapangan futsal sebagai medium
kekerabatan. Bergumul dalam momentum itu para sesepuh yang sudah manula sampai
generasi besutan abad 21, mereka membaur hampir tak terbilang. Ini baru pertama
terjadi di Kota Kupang, sekampung kecil yang sudah lama bermigrasi namun dapat
dengan mudah merunut garis genetiknya. Dahsyad Lamakera.
Maaf,
saya tidak tahu persis berapa data jumlah anggota komunitas Lamakera yang kini
bermukim di Kota Kupang namun diperkirakan kampung asalnya Lamakera hanya
berkisar kurang dari 10.000 jiwa disana. Sebagian besarnya telah beranak-pinak
di rantauan dan berbaur dalam dinamika peradaban bersama komunitas lainnya.
Saya salah satunya yang sempat merasakan halusnya sentuhan tangan mereka kaum
pelaut unggul, meski tak mengalir darah tapi dogma sebagai perantau saya banyak
belajar dari mereka. Topografi kampung asalnya [Lamakera] berada di kaki bukit
yang sungguh tidak memungkinkan anak adam bisa lincah bermain bola di atas
bebatuan tajam tapi toh sedari dulu tetap saja ada generasinya yang menjadi
bintang lapangan hijau, entah apa musababnya tapi konon katanya itu adalah
bakat genetik. Mereka, gen Lamakera bukan hanya sebatas itu [bola] sejarahnya
tapi lebih jauh dari itu, beliau-beliau adalah para ilmuwan cerdas, orator
handal, pemimpin tangguh dan qori’ nan fasih di atas mimbar mushobaqah.
Berharap suatu ketika ada saya dapatkan data tentang segudang prestasi anak gen
Lamakera di berbagai bidang urusan yang tersebar di muka bumi Allah. Meski jauh
mereka merantau, tetap saja pertalian budaya menarik mereka tetap rekat dan
kembali menyatu.
Saya
hampir saja dinobatkan sebagai putra asli dari sana tapi masih ada nama
belakang yang tersemat sehingga ketahuan bukan anak keturunan komunitas suku di
Lamakera. Kuat dugaan mungkin dalam kelok sejarahnya, ada pertalian darah yang
telah memautkannya sehingga dengan mudah saya membaur dalam kemesraan komunitas
peradaban ini. Patron politik serta faksum entitas pun terintis kala pergumulan
dalam dinamika bersama orang-orang hebat asal Lamakera. Walhasil, ikhtiar
berumah tanggapun saya labuhkan ke puteri Lamakera sehingga malam ini saya
menjadi pemain ‘naturalisasi’ salah satu suku di Lamakera. Jauh sebelum itu,
sekali lagi saya harus jujur bahwa asin airnya telah mengalirkan denyut juang
menjadi sang juara. Olehnya, secara pribadi turut berbangga pernah merasakan doktrin
kejuangan yang pernah tergagas dalam proses karier. Terima kasih Lamakera,
Kampung Peradaban yang tak luntur dikekang zaman. Bersyukur Pernah di Takdirkan
Bersama
Langganan:
Postingan (Atom)