Minggu, 16 Agustus 2020

Terbelenggunya Dunia Pendidikan Dimasa Pandemi Covid-19

 https://www.gonttnews.com/2020/05/Terbelenggunya-Dunia-Pendidikan-Dimasa-Pandemi-Covid-19.html

Terbelenggunya Dunia Pendidikan Dimasa Pandemi Covid-19


OPINI, GNN- Berbagai informasi telah kita pelajari terkait Covid-19 bahwa virus tidak mengenal border (batas) ras, usia, agama, jenis kelamin, latar belakang individu, dan negara. Apapun alasannya, kita kini berada dalam fase keterbukaan, dan dengan kondisi pandemik ini yang bersifat menembus batas relasi antar ruang maka yang dibutuhkan adalah solidaritas kemanusiaan global. Ini adalah defining moment/momen yang menentukan (tepat) dan entrance (jalan masuk)untuk  membentuk dunia kedepan, jangan sampai kita terkonsentrasi dalam urusan teknis mitigasi kesehatan lingkungannya lalu kita lupa menyiapkan alternatif perubahan dan pembaharuan kedepan. Jika demikian adanya maka tak ada nilai yang bergeser dalam proses berkembangnya peradaban, dan risikonya akan lebih dahsyat lagi kedepannya bahwa sistem global (mikro maupun makro) kita tidak dinamis terhadap perubahan, semacam tools and role mitigation for global change. Permasalahannya adalah sistem kita hanya memandang bencana hanya pada bentuk bencana alam dan bencana sosial belaka, hampir tidak ter-cover role kita untuk memitigasi ancaman bencana non-alam seperti epidemic-wabah-pandemic, gagal teknologi, dan gagal moderenisasi. 

Teringat prediksi Bill Gates (2015) bahwa “Bakal ada sebuah virus yang akan menjadi pandemi dan menyusahkan penduduk dunia, virus itu lebih berbahaya dibanding peluru kendali dan bisa membunuh puluhan juta orang”. Gates juga telah jauh memprediksikan kondisi perkembangan peradaban informasi teknologi ini dalam bukunya “Business @ the Speed of Thought” pada tahun 1999 yang menyajikan 15 prediksinya, bahwa akan datang masa dimana manusia sangat dimudahkan urusannya dengan ketersediaan jaringan informasi dan teknologi, dalam berbagai urusan. Indonesia kala itu baru mulai mengenal komputer dan internet sementara di dunia sudah mengaplikasikan sistem jaringan, kemudian masuk di fase 2000-an dil sana sudah maju memanfaatkan model robotik, kita masih bermain diseputaran aplikasi semi-manual dan itupun belum merata. 

Teringat pula pendapat salah satu pejabat di Kemenlu Singapura; pandemik Covid-19 ini dapat menjadi sarana untuk menilai kualitas bangsa dalam 3 (tiga) aspek, yaitu; (1) ketersediaan sistem layanan kesehatan, (2) efektivitas sistem pemerintahan, dan (3) tumbuh-suburnya modal sosial di suatu negara. Terkait pendapat ini, saya sekonsep dengannya. Indonesia memiliki nilai-nilai Pancasila-is sehingga kokohnya kekuatan kemanusiaan dan kegotong-royongan semakin terasah dimasa pandemik ini dan sebagai buktinya; bergerak natural sistem sosial kemasyarakatan, insting kemanusiaan terpacu melalui aksi kepedulian sosial dan gotong royong (Indonesia urut 1 paling dermawan versi CAF Word Giving Index 2018; 59%, disusul Australia dan Selandia baru). Sementara kualitas pertama, sistem kesehatan kita justru tampak tidak siap manajemen mitigasinya dengan kondisi ini, bahkan Menkes RI (Tuan Terawan) justru meremehkan ancaman Covid-19 dan dengan bangga menunjukan keperkasaan sistem kesehatan Indonesia tetapi pada akhirnya kita rasakan kini. Kualitas kedua, efektifkah sistem pemerintah kita? Anda silakan menyimpulkannya sendiri, sedari inkonsistensi kebijakan antara lambat, meremehkan, langkah hati-hati dan bingung mengurus negara dalam pandemik ini sulit kita bedakan. Bosan juga sehari-hari kita hanya disajikan data ODP, PDP, positif-negatif dan sepenggal pidato himbauan dari pejabat diberbagai tingkatan tanpa disertai narasi kebijakan yang lebih ilmiah beralaskan riset dan matangnya sinergitas perencanaan mitigasi.

Realitas (permasalahannya); sistem pendidikan kita masih ada gap antar yang tertinggal dengan yang berkemajuan [disparitas kualitas pendidikan], pembelajaran tatap muka langsung (face to face) masih menjadi andalan. Bahkan masalah klasik; kesejahteraan guru, keterbatasan sarpradik, benturan sosekbud, perubahan kurikulum, gagap teknologi, dan sinergitas kebijakan. Pertanyaan penting selain penanganan resiko kesehatan lingkungan global karena Covid-19 ini adalah, apa perubahan yang akan terjadi setelah ini?. Mas Menteri Nadiem Makarim menghikmati Covid-19 sebagai terbentuk normalitas-normalitas baru, seperti; (1) masalah domestik
 dalam lingkup organisasi terkecil yaitu value (arti pentingnya) keluarga, (2) kesempatan untuk beroperasi (bekerja) dari mana dan kapan pun, serta seberapa pentingnya kesehatan/pola hidup sehat. Tentunya kita sekalian punya hikmah dan nilai sendiri, mungkin ada yang mulai mendalami keunggulan teknologi, membuka akses dan relasi bisnis secara online, lebih tekun beribadah dan hal bijak lainnya.

Terkait kondisi ini, berbagai upaya yang dilakukan Kemendikbud; online learning (kendala; koneksi internet dan kemampuan kuota), program Belajar dari Rumah di TVRI (kendala; kepemilikan TV, ketersediaan signal, ketiadaan listrik), dan beberapa inisiasi inovatif lainnya yang masih dalam tataran konsep. Sedari awal Mas Menteri (Nadiem Makarim) berkomitmen menopang arahan Presiden RI (2019-2024) untuk Menciptakan SDM Unggul dalam menghadapi tantangan industry 4.0 dan society 5.0 (era disrupsi teknologi). Ada 5 (lima) arahan penting yaitu; (1) pendidikan karakter (2) deregulasi dan debirokratisasi, (3) meningkatkan investasi dan invasi, (4) penciptaan lapangan kerja dan (5) pemberdayaan teknologi. Kemudian Mas Menteri menstimulusnya dalam 3 (tiga) kunci yang kita kenal dengan Kemerdekaan Belajar, yaitu; (1) guru/dosen adalah penggerak, (2) perubahan adalah hal yang sulit adan penuh dengan ketidaknyamanan (atau tantangan), dan (3) kita sedang mengkonsolidasikan kebijakan.

Tjandrawinata (2016) menguraikan tantangan revolusi industri 4.0, diantaranya; kurang memadainya keterampilan, masalah keamanan  teknologi komunikasi, keandalan stabilitas mesin produksi, ketidak-mampuan untuk berubah oleh pemangku kepentingan, serta banyaknya kehilangan pekerjaan karena berubah menjadi otomasi. Jepang sudah sedang enjoy dengan revolusi industri 4.0 dan akan memasuki era society 5.0 (masyarakat 5.0; masyarakat yang berpusat pada manusia; human-cetered)  sebuah masyarakat yang berpusat pada manusia yang menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial melalui system yang sangat mengintegrasikan ruang maya dan ruang fisik. Perbedaan mendasar antar keduanya; (1) Revolusi Industri 4.0 itu masyarakat mencari, mengutip dan menganalisa data atau informasi dengan mengakses layanan cloud melalui internet, sementara (2) Sociaty 5.0 itu sejumlah besar informasi dari sensor di ruang fisik terakumuliasi di dunia maya dan dianalisis oleh kecerdasan buatan, dan hasilnya diumpan kembali ke manusia dalam ruang fisik dalam berbagai bentuk.

Kesempatan pandemic ini sesungguhnya akan menjadi entrance dalam mengimplementasikan berbagai konsep kebijakannya dimaksud karena berbagai lini sedang terkondisikan oleh Covid-19. 

Terkait penguatan karakter, silakan pelajari berbagai teori yang disajikan Larry P Nucci dan Darcia Narvaez (Handbook of Moral and Character Education, 2008) lalu padukan antara konsep tentang literasi baru (baca; Konsep dan Aplikasi Literasi Baru di Era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0, karya Fari Ahman dan Hamidullah Ibda, 2019) dengan  konsep Taksonomi Bloom (revisi Krathwoll and Anderson, 2003). Kita mengenal 4 (empat) barul literasi data (big data di dunia digital) dan literasi teknologi (cara kerja mesin dan aplikasi teknologi) dalam satu gugus, serta literasi manusia (humanities, komunikasi & desain) dan experiental learning 
(pendidikan pengalaman), ini dalam upaya Penguatan Karakter harus disandingkan dengan konsep 6C’s yaitu; C1, computational thinking (pemikiran komputasi) yang selaras  dengan literasi gugus pertama serta 5C lainnya, creative, critical thinking, collaboration, communication, and compassion dengan gugus literasi kedua. Nah, terkait perpaduan ini sebenarnya Kemendikbud sekarang sedang memadukannya dalam 6 [enam] kebijakan, yaitu; (1) merdeka dalam belajar, (2) pengembangan kepemimpinan, (3)pendampingan guru/dosen penggerak, (4)g education, (5) enterpreneur mindset, dan  (6) sepanjang hayat (sumber; Materi Rakor Kebijakan Dikti oleh Ainun Na’nim, 16 Jan 2020).

Kesempatan pandemik ini sesungguhnya akan menjadi entrance  dalam mengimplementasikan berbagai konsep kebijakannya dimaksud karena berbagai lini sedang terkondisikan oleh Covid-19. Faktualnya, kehadiran pandemik ini berimbas pada kepentingan teknologi bagi private sector, social sector dan public sector yang akan meningkat drastis sehingga role kekuasaan akan lebih leluasa mengintervensi sistem nilai sosial di bidang pendidikan yang masih tergolong konvensional. Jika pemerintah melalui Kemendikbud serta elemen lainnya yang berurusan dengan pendidikan tidak memanfaatkan momentum Covid-19 ini untuk menyegerakan pengimplementasian berbagai kebijakan di atas maka kelaknya setelah Covid-19 berlalu kita akan sulit lagi mengkondisikan system tata nilai sosial di bidang pendidikan, mengapa? Karena tak ada lagi variable ‘pengharus’ yang memaksa untuk berubah.

Berbagai sektor kini terkena dampak Covid-19 terlebih kesehatan dan ekonomi-bisnis namun khususnya dalam diskusi ini, kita menyoroti terkait sektor pendidikan. Pendidikan, sebelumnya hanya bisa dilakukan face to face akan berubah, sebelumnya tersekat dengan ruang kelas, ada berbagai tools software kita bisa lakukan hyper innovation (inovasi yang luar ‘dari’ biasa) untuk lebih personalisasi dan tersegmentasi melalui multimedia. Kombinasi mengajar antara guru-orang tua-anak, orang tua tidak lepas tangan dari tanggung jawab pembelajaran anak. Ada 2 sisi menarik; Orang tua sadar betapa sulitnya mendidik anak dan sisi lain guru juga menyadari pentingnya peran orang tua/keluarga yang harus menjaga anaknya di luar jam sekolah. Inilah kondisi ideal dalam pembelajaran yang sudah dirintis para ahli lama sebelumnya [teori/ahli; Winkel, Bower, Ernes, Pavlov, Bruner, behaviorisme, konstruktivisme-kontekstual, kognitivisme, Vigotsky, koneksionisme-thorndike],  model hubungan antara stimulus dengan responnya karena keluarga adalah lembaga pembelajaran utama bagi manusia lalu lingkungan kemudian sekolah, dan seterusnya kondisi ini akan membentuk nilai dan karakter anak (baca; Theories Of Learning Teori Belajar Edisi 7 - B.R. Hargenhahn, Matthew H. Olson, 2008).

Mempertimbangkan berbagai konsep, teori dan kondisi kekinian dimaksud maka tawaran hybrid combine antara pembelajaran face to face (non digital) dengan digital (teknologi ; online learning/daring) akan jauh lebih efektif dalam mempercepat memajukan dunia pendidikan Indonesia kini untuk menghadapi berbagai tantangan mendatang. Teknologi harus dijadikan penguat potensi guru, teknologi sebagai tools yang memperantarai kerjasama antara guru-orangtua-murid dalam satu kesatuan lingkungan pembelajaran. Artinya, orang tua dan keluarga harus sebagai teladan bagi peserta didik, serta lingkungan harus dibentuk nyaman dan aman, guru harus menjadi penggerak inovasi etis yang berkemajuan, serta dukungan informasi-komunikasi-teknologi harus selaras dengan kebutuhan kerja sistem ini. Ya, tentunya berbagai kebijakan dimaksud berkonsekuensi pada sistem penganggaran kita dibidang pendidikan tapi itu urusan lain yang tidak saya bahaskan dalam diskusi topik ini, mungkin lain kesempatan kita akan membahasnya secara spesifik.

Saya menduga ada kemungkinan akan datang lagi badai yang lebih dahsyat dari sekedar Covid-19 ini. Mengapa? Karena
perubahan akan terus terjadi dan peradaban akan terus berkembang. Saat sekarang pemerintah masih terkonsentrasi pada upaya pencegahan dan pencegahan pandemi Covid-19, setelah ini akan dilakukan pemulihan sistemik atas krisis diberbagai sektor pasca-pandemi Covid-19, baru kemudian memikirkan tentang bagaimana masa depan. Pemikiran saya, selain energi kita terkonsentrasi pada upaya mitigasi kesehatan lingkungan atas gelombang Covid-19 tapi sembari berjalan kita juga sudah harus memulai penyelarasan perencanaan diberbagai sektor kehidupan bangsa agar kelaknya pasca berlalunya Covid-19, kerja berikutnya adalah penguatan sistem tata nilai yang berubah. Indonesia memiliki tata nilai dasar yaitu Pancasila tetapi sayangnya dalam kondisi krisis ini kita hampir lupa kalau Pancasila-lah menjadi rujukan bersama satu bangsa yang menyatukan nasionalisme ke-Indonesia-an kita, menguatkan optimisme kemanusiaan global untuk songsong masa depan. Saran saya, libatkanlah para ahli dan peneliti diberbagai bidang keilmuan untuk mulai melakukan kajian diberbagai aspek lalu merencanakan berbagai alternative perubahan ini kedepan.

Mengarungi kemajuan peradaban ini tentunya berbagai dinamika global sedang dan akan terus dihadapi, berbagai bencana alam, non-alam dan bencana sosial akan terus menggerus energi bernegara sehingga negara harus lebih dini menyiapkan model mitigasinya. Beberapa ahli memprediksi, gelombang besar  yang perlahan akan meletup adalah permasalahan climate change karena berdampak universal dan saling berkaitan dalam jangka waktu yang panjang (sebab akumulatif), ketergantungan pada alam tinggi
(yang sulit diintervensi manusia), daya jangkau manusia melalui teknologinya saling terkait, dan alasan-alasan besar lainnya. Olehnya; megutip statement Najwa Shihab dalam wawancaranya bersama Mas Menteri (Mendikbud) dalam momen Hardiknas 2020, Never Waste A Crisis (jangan pernah menyia-nyiakan krisis). Saya dan beberapa teman menulis dalam buku Vaksin Ilmiah, dan dalam salah satu tulisan saya berjudul ‘Covid-19;  Bencana atau Berkah?’; manfaatkan momen perubahan ini dan ambil hikmah terbaiknya dengan bijaksana. Semua inovasi digitalisasi jangan sampai diputar kembali ke belakang, harus dioptimalkan kedepannya dengan mengombinasikan keteladanan orangtua/keluarga/guru/lingkungan dengan kemajuan IPTEK. Sebelum berlalu saya ucapkan Selamat Hardiknas 2020 dan selamat menyambut Hari Kebangkitan Nasional 2020, Salam Sehat dan Smart.

*) Opini ini akan menjadi Bahan Diskusi dalam Virtual Public Discussion bertema ‘Dinamika Pendidikan Indonesia dalam Belenggu Covid-19’ yang akan diselenggarakan oleh Sekola Gembira Lembata-NTT pada Minggu, 10 Mei 2020; Pukul 21.00 Wita-selesai.
**) Dosen Pendidikan Geografi FKIP Undana, Masyarakat Kota Kupang-NTT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar