https://www.gonttnews.com/2020/05/Ketupat-Buat-Si-Chovidh.html
Ketupat Buat Si Chovidh
Sebagai seorang mantan aktivis yang kini tengah menjadi pengajar di kampus, arahan ini hanyalah sebuah majas yang justru tidak boleh mengendurkan harapan para mahasiswa agar terus kritis terhadap berbagai kebijakan dalam penanganan Covid ini maupun kedepannya.
OPINI- Taburan bumbu opor ayam menguning hiasi meja makan bersanding dengan ketupat, boras dan kelesong, dihari kedua lebaran ini tak ada yang menyentuhnya. Lumrahnya sajian ini tak nampak lagi terpajang dihari kedua, sudah ludes terlahap para keluarga dan tetamu yang datang bersilaturahmi. Menu hari kedua harusnya sarabi panas ditemani kopi kiriman keluarga jauh dari Manggarai, sayangnya tak ada penerbangan yang menghantarnya sehingga tergantikan oleh kopi Timor pemberian senior. Itulah sekilas suasana rumahku saat lebaran hari kedua tahun ini, terasa berbeda diterpa Covid. Tahun dimana Covid-19 telah memporak-porandakan segala nilai dan tradisi, entahlah lebaran ini milik siapa, mungkin milik kaum kapitalis ataukah milik kaum liberalis. Tulisan sederhana ini tersaji buat para pembaca yang sedang menikmati redupnya air mata syawal nan sayu merindu karena tak sempat nikmati indahnya mudik lebaran, terkhusus buat pengembara ilmu (mahasiswa) di rantauan.
Seminggu berlalu Si mungil Chovidh terlahir ke dunia kala para medis masih siaga dengan ancaman Covid-19 namun beberapa hari kemudian suasana menjadi renggang seiring tagar #INDONESIA TERSERAH mulai ramai menghiasi media sosial. Suara publik itu tak didengarkan karena rileksasi terhadap kebijakan PSBB mulai digulirkan meski kurva Covid-19 belum menunjukan tanda-tanda melandai, Presiden Jokowi justru mengajak masyarakat +62 untuk mulai berdamai dengan Corona. Doni Monardo (Ketua Gugus Tugas) pun ikut mendorong masyarakat untuk kembali hidup normal dengan memperhatikan protokol kesehatan, pola kehidupan dimaksudkan adalah kehidupan ‘new normal’. Model kehidupan baru dimaksud sebagaimana telah diterapkan sejak awal bencana ini melanda Indonesia, mulai dari perilaku menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak fisik dan lainnya. Kampanye pencegahan yang ramai dikampanyekan para ‘pembesar’ dimaksud terus diintensifkan meski beliau-beliau lupa jika keluarga kita di pedalaman masih sulit menjangkau bersihnya air sekalipun hanya untuk merebus jagung hasil kebunnya yang terancam gagal panen.
Seyogyanya menurut WHO, model New Normal Live hanya dapat diterapkan sebuah wilayah ditengah pandemic Covid-19 jika memenuhi tiga indikator utama. Ketiga indikator dimaksud adalah; pertama, angka reproduksi dasar (basic reproductive number: RO) sebuah penyakit harus di bawah angka 1; kedua, sistem kesehatan yang dipastikan dengan kemampuan dan kapasitas sistem kesehatan dalam merespon pelayanan Covid-19 minimal 60% dari total fasilitas kesehatan yang ada; dan ketiga, surveilans yaitu proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistemik dan terus menerus untuk pengambilan tindakan penanganannya. Realitasnya data yang terpapar oleh Kepala Bappenas per 21 Mei 2020; rata-rata nasional RO Indonesia diperkirakan masih di angka 2,5 yang artinya 1 orang bisa menularkan virus ke 2 sampai 3 orang, kapasitas system kesehatan bahkan belum mencapai 50% dan tes masif pun baru hanya dilakukan pada beberapa titik strategis di kota besar.
Seminggu berlalu Si mungil Chovidh terlahir ke dunia kala para medis masih siaga dengan ancaman Covid-19 namun beberapa hari kemudian suasana menjadi renggang seiring tagar #INDONESIA TERSERAH mulai ramai menghiasi media sosial. Suara publik itu tak didengarkan karena rileksasi terhadap kebijakan PSBB mulai digulirkan meski kurva Covid-19 belum menunjukan tanda-tanda melandai, Presiden Jokowi justru mengajak masyarakat +62 untuk mulai berdamai dengan Corona. Doni Monardo (Ketua Gugus Tugas) pun ikut mendorong masyarakat untuk kembali hidup normal dengan memperhatikan protokol kesehatan, pola kehidupan dimaksudkan adalah kehidupan ‘new normal’. Model kehidupan baru dimaksud sebagaimana telah diterapkan sejak awal bencana ini melanda Indonesia, mulai dari perilaku menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak fisik dan lainnya. Kampanye pencegahan yang ramai dikampanyekan para ‘pembesar’ dimaksud terus diintensifkan meski beliau-beliau lupa jika keluarga kita di pedalaman masih sulit menjangkau bersihnya air sekalipun hanya untuk merebus jagung hasil kebunnya yang terancam gagal panen.
Seyogyanya menurut WHO, model New Normal Live hanya dapat diterapkan sebuah wilayah ditengah pandemic Covid-19 jika memenuhi tiga indikator utama. Ketiga indikator dimaksud adalah; pertama, angka reproduksi dasar (basic reproductive number: RO) sebuah penyakit harus di bawah angka 1; kedua, sistem kesehatan yang dipastikan dengan kemampuan dan kapasitas sistem kesehatan dalam merespon pelayanan Covid-19 minimal 60% dari total fasilitas kesehatan yang ada; dan ketiga, surveilans yaitu proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistemik dan terus menerus untuk pengambilan tindakan penanganannya. Realitasnya data yang terpapar oleh Kepala Bappenas per 21 Mei 2020; rata-rata nasional RO Indonesia diperkirakan masih di angka 2,5 yang artinya 1 orang bisa menularkan virus ke 2 sampai 3 orang, kapasitas system kesehatan bahkan belum mencapai 50% dan tes masif pun baru hanya dilakukan pada beberapa titik strategis di kota besar.
Baca Juga:
https://www.gonttnews.com/2020/05/Terbelenggunya-Dunia-Pendidikan-Dimasa-Pandemi-Covid-19.html
Potensi penyebaran justru terus meningkat per 23 Mei 2020, bertambah menjadi 949 hingga menjadi 21.745 kasus, 1.351 pasien meninggal dan 5.249 orang dinyatakan sembuh (194 pasien untuk 23/05/2020). Angka demikian bahkan akan meningkat beberapa hari kedepan dan hal itu wajar jika disandingkan dengan berbagai aktivitas masyarakat perkotaan yang terpantau pada beberapa bandara dan pelabuhan penyeberangan. Menjelang hari raya Idul Fitri, masyarakat masih saja tidak mematuhi anjuran pemerintah untuk tidak mudik. Entahlah para peziarah itu mungkin bingung menerjemahkan antara mudik atau pulang kampung tapi yang pasti dinamika demikian adalah bukti rendahnya tingkat ketaatan publik terhadap ancaman atau bahkan bukti pembangkangan normatif terhadap anjuran kekuasaan. Pastinya, normalitas dimaksud akan sulit terwujud dan bahkan dapat terjadi kematian massal kedepannya jika ketidak-patuhan publik menyepelekan ganasnya Covid-19 hanya karena hambalnya Pemerintah menggaris tindakan tegas sebagai pembatas perang terhadap Covid-19. Sebab indikator new normal live lainnya yaitu teredukasinya masyarakat terhadap bahaya Covid-19 belum sepenuhnya terjamin oleh jaring pengaman sosial untuk beradaptasi dengan model kehidupan baru dimaksud. Sisi lainnya, konsep new normal live hanya diparadigmakan sebatas pola hidup sehat tetapi pada dasarnya akan berimbas pada berbagai aktivitas kehidupan diberbagai pranata sosial.
Beberapa daerah kabupaten di NTT yang masih berada dalam zona hijau dari Covid-19 terus menjaga status hijaunya untuk tidak menguning bahkan memerah namun pesan terlanjur bertebaran di media sosial yang memberitakan ramainya bandara dan pelabuhan penyebarangan di Pulau Jawa. Para petani dan nelayan di pedalaman ‘dipaksa’ tetap di rumah menahan lapar setelah stimulus BLT ‘ambyar’ oleh pesta duka dan tuntutan adat. Belum juga untuk jajan anak-anaknya di rantau yang sedang berharap cemas bantuan pemerintah yang tak kunjung datang mengetuk. Hal itu karena status kependudukan mereka yang tidak terdeteksi dalam daftar penduduk kota namun untuk sementara ‘mungkin’ mereka tersanjungi bala bantuan dari para bekas Caleg yang kelak akan berlaga di pesta politik mendatang. Mereka (mahasiswa) yang sebulan berpuasa maupun yang tidak menjalankan ibadah ramadhan (karena bukan perintah Agamanya; non-muslim) masih berharap akan ada susulan BLT yang tertera jelas namanya dalam daftar makhluk yang tersantuni sembari menyelesaikan tugas akhir semester yang kian menumpuk.
Jarak mungkin terbatasi oleh Covid tetapi tautan hati harus terus bersemangat untuk menggaungkan kemenangan melawan Covid-19 serta berita hoax. Ketupat lebaran ini kan tersimpan sebagai persediaan selama lebaran di rumah saja, semoga dapat meningkatkan imunitas keluarga.
Sebagian kecil mahasiswa yang masih cinta Indonesia mungkin akan mendaftarkan diri menjadi relawan dalam sistem pemantauan dan pelacakan virus corona kelas wahid Juni nanti sebagaimana janji Boris Johnson (PM Inggris). Ups, mereka kini di Indonesia dan bukan di Inggris yang sedang membutuhkan 25 ribu relawan untuk mengikuti mekanisme pelacakan, skema aturan yang harus dipatuhi serta tahapan pelonggaran lock down virus corona. Indonesia sedang dan/atau akan mengerahkan para peneliti handal untuk menjajaki peluang adanya anti-virus buatan anak negeri sebagaimana semangat sang penguasa yang mulai meraba-raba varian pangan lokal sejenis ‘daun kelor’ sebagai menu antibody yang tidak hanya menangkal stunting tapi juga mampu memproteksi ancaman Covid-19. Para mahasiswa itu seolah tak peduli dengan pidato Jubir Gugus Tugas yang sedang membacakan deretan angka tanpa makna (karena angka-angka itu hanya terbacakan tanpa ada narasi analitik yang lebih ilmiah), hanya sekedar himbauan dan harapan untuk memulai kenormalan baru. Mereka justru sedang asyik berdiskusi virtual membicarakan berbagai hal tentang masa depan umat manusia dan bangsanya agar mereka tak lupa jika Mei adalah bulan kebangkitan nasional sebagaimana pernah disejarahkan oleh perjuangan reformasi Mei 1998 lalu.
Sebagian kecil mahasiswa muslim yang ‘mungkin’ sedang tak nyaman sebulan terakhir karena stok pangan mulai menipis tak lagi berpikir untuk hadiri sholat Ied karena mereka tahu di Kota Kupang semua masjid telah terjaga ketat oleh para petugas berseragam. Benak mereka berbisik masjid kian seram, bahkan lebih seram dari supermarket dan pasar tradisional yang leluasa terkunjungi tanpa ada batasan jarak fisik dan pedagang maupun pengunjungnya, bahkan sebagian mereka tak mengenakan masker pembisu kritik. Masjid yang dahulunya menjadi tempat bermunajah doá kini tak lagi mampu mengikat pertalian ikhtiar untuk menggugah keridhoan Tuhan karena kita telah disarankan berdoa di rumah/kos saja untuk ‘sementara’ waktu. Jangan bertanya kapan tepatnya kata sementara itu akan beruban karena hingga kini kita belum tersaji kepastian ilmiah kapan Covid-19 ini berlalu, tetaplah berharap agar pasien klaster Gowa, klaster Magetan dan bahkan transmisi lokal itu lekas sembuh agar masjid dan rumah ibadah lainnya perlahan dapat kembali nilai fungsinya. Jika Covid-19 harus membuat kita harus berdamai melalui kenormalan baru maka mungkin kelak pengajian akbar akan tergantikan oleh pengajian akbar virtual, dan kalian pun harus menciptakan keharmonisan toleransi untuk mendukung terlaksananya ibadat sejenis KKR oleh para saudara kita yang sudah lama tidak beribadah terbuka. Mungkin itu akan menyatukan kekuatan menembus keridhoan Tuhan untuk menjaga Indonesia bisa lepas dari bala dan bencana, ya tapi tentunya dengan kenormalan baru sembari membantu para pekerja industri kreatif berbasis daring menyiapkan fasilitas peribadatan virtual.
Lebaran hari ini seakan tak ada nuansa kemenangan karena masjid dan tanah lapang terhadang oleh penjagaan petugas berseragam, mungkin yang masih terasa hanyalah hiruk-pikuknya para pengunjung di pasar dan pertokoan yang memburu serba-serbi Idul Fitri. Para mahasiswa yang masih berharap kiriman itu tak dapat berkunjung kesana untuk membeli baju baru meskipun di pasar dan toko tengah lengah dari penjagaan. Jangankan penjagaan, selebaran sebagai media kampanye pencegahan Covid-19 pun hampir tak terpapar di pasar jadi datanglah kesana sembari berharap para pemurah memberikan kalian senyuman optimisme. Berhati-hatilah saat menyeberang jalan karena kini di jalanan sudah padat-ramai dengan kendaraan yang mungkin ikut tertumpangi Covid, jika anda (mahasiswa) sakit dan terpapar Covid-19 lantas bagaimana dengan masa depan bangsa ini?. Sebaiknya pulang dan diamlah di kos-kosan kalian sembari membiarkan masalah itu berlalu, gunakan masker agar mulutmu jangan lagi lantang meneriaki naiknya biaya listrik dan iuran BPJS. Hati-hati pula mengatur jemari saat menuangkan status karena bisa menggiring keresahan semakin meluas tak terkendali. Sebagai seorang mantan aktivis yang kini tengah menjadi pengajar di kampus, arahan ini hanyalah sebuah majas yang justru tidak boleh mengendurkan harapan para mahasiswa agar terus kritis terhadap berbagai kebijakan dalam penanganan Covid ini maupun kedepannya. Teruslah tegar mengkritisi dinamika kebangsaan namun tetap pada koridor demokrasi, menjaga etika dengan gagasan konstruktif nan cerdas, bukan hampa oleh berbagai gamers dan hoax yang mengancam masa depanmu.
Oleh para ahli, salah satu pencegah utama menghadapi Covid-19 adalah tingkat imunitas sebagai antibody alternatif yang dapat diproduksi secara mandiri. Memperolehnya dapat dari ketersediaan pangan yang cukup dan berkualitas serta istirahat dan olahraga yang teratur. Sayangnya pangan yang cukup dan berkualitas itu mungkin sulit kalian jumpai karena keterbatasan modal dan akses memperolehnya, cukuplah kalian mengandalkan istirahat dan olahraga yang cukup sebagai upaya normalisasi gaya hidup baru. Jikalau itupun tak bisa kalian lakukan, cukuplah berpikir sehat dan tak menebarkan berita bohong agar optimisme hidup akan terus terpupuk. Akhirnya kita butuh bermunajjah do’a agar tidak terpilih sebagai host penyebar virus corona, mumpung masih diberi kesempatan berdoa dari rumah maka lakukanlah sebelum berdoa itu dilarang. Prawitasari (2018) dalam sebuah jurnal pernah menulis tentang Psikoneuroimunologi, bahwa kesehatan psikologi mempengaruhi imunitas tubuh pasien sehingga tetaplah yakin berusaha untuk sembuh. Seperti kata pepatah latin (kuno) ‘ora et labora’, saat bekerja tak lagi berhasil maka cukuplah dengan puncak ikhtiar yaitu berdoa. Pepatah itu menyuruh berdoa baru bekerja tapi kini dimasa panggung peraduan antar liberal dan kapitalis, berdoa bukan hanya dipuncak kepasrahan tapi sudah hampir tak seleluasa dahulu. Sebagai Negara Pancasilais yang memberikan porsi pertama dalam landasan ideologis bahwa soal Sang Kuasa Kehidupan, tentunya itu selaras dengan konsep berdoa sambil bekerja. Sebelum jauh terlambat, teruslah khusu’ dalam doa karena berdoa akan lebih baik daripada anda berkonser saat yang lainnya khusu’ berdoa. Mohon didoakan juga bagi para medis untuk tidak surut oleh tagar #Indonesia Terserah, semangati mereka dengan penghiburan ‘pahalamu besar di surga’.
Sebelum hari kemenangan ‘kan berlalu dan nuansa keredupan optimisme kita melawan virus corona terus tergerus oleh ketidakpastian kebijakan, pantaslah jika tulisan ini menjembatani kefitrahan jiwa dan raga untuk memohon maaf. Jarak mungkin terbatasi oleh Covid tetapi tautan hati harus terus bersemangat untuk menggaungkan kemenangan melawan Covid-19 serta berita hoax. Ketupat lebaran ini kan tersimpan sebagai persediaan selama lebaran di rumah saja, semoga dapat meningkatkan imunitas keluarga. Selain pada kalian para mahasiswa perantau, tulisan ini juga special untuk putra bungsuku bernama Chovidh yang artinya kerendahan hati. Semoga kelak Chovidh terus merendah hatinya menghadapi cobaan virus lainnya yang ‘mungkin’ akan datang dimasanya. Selamat hari raya Idul Fitri 1441 H bagi sanak saudara dan handai taulan yang sedang merayakannya, tetap gelorakan kemenangan untuk melawan virus, kembalilah ke fitrah dan jangan lupa cuci tangan.
Penulis merupakan Dosen Pendidikan Geografi FKIP Undana, Masyarakat Kota Kupang-NTT
Pengalaman Organisasi:
* Ketua Umum HMI Cabang Kupang Periode 2005/2006
* Sekretaris DPD KNPI NTT Periode 2010-2012
*Sekretaris KAHMI NTT - sekarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar