HAJI,
KESEMPURNAAN IMAN
TUKANG ROTI
NAIK HAJI [Part 2]
Cerita pada part 1 sebelumnya mungkin terlalu
panjang, ya… karena benar-benar iseng dan lagi sangat ingin bercerita meluapkan
kegundahan hati. Maaf jika terlalu berlebihan dan sangat subjektif, jujur saya
hanya ingin mengisahkan perjalanan ritual keimanan kedua orang tua kami yang
mungkin para pembaca juga mengalaminya. Izinkan kami melanjutkan cerita ini
hingga keduanya selesai menunaikan kewajiban menyempurnakan standar rukun
imannya.
Tradisi Ritualis Menjelang Berhaji
Sudah lebih dari seminggu keduanya tinggalkan
Kupang bersama rombongan, beberapa hari sebelumnya si anak sempat disibukkan
karena sang Ibu harus ngantri lebih dari 8 jam hanya untuk mendapatkan jawaban
dari dokter bahwa ‘jantungnya masih
bagus, sepertinya paru nya yang harus di ronsen. Minggu depan ibu datang lagi
ya’ bersama selebar oretan di kertas kontrol. Si mantu yang dengan sabar menahan lapar
menyapanya mengajak pulang dan menuruti perintah dokter, lantas suaminya di
telepon untuk menjemput. Si ibu harus di pastikan bahwa bukan bandrol pita
merah yang dikenakan kelak berangkat haji, ya jikapun kuning tak masalah agar
tak risaukan semua yang di tinggalkan. Si mantu sempatkan singga di resepsionis
untuk memastikan jadwal control berikutnya sementara si ibu langsung menuju
parkiran hampiri anaknya yang sibuk dengan kepulan asap rokoknya. “Abang, lapar
ni. Carikan makanan yu’ dan merekapun meluncur ke swalayan terdekat, senjapun
berlalu hingga Calya merah memarkir di garasi rumah. Lelah tapi di ikhlaskan
hingga ada jawaban lemak di tubuh Emma’ tak membuatnya berbandrol pita merah.
Demikian pekan berikutnya hingga 3 kali
kunjungan dilalui masih tetap yang sama sehingga sang Bapak memutuskan untuk
jalani saja toh bukan penyakit manular sehingga tak usah di risaukan. Sang anak
protes, itu standar dan harus dijalani hingga rekomendasi dokter di dapat agar
layanan keterangan kesehatan dijaminkan dalam perjalanan ibadahnya. Hingga
menjelang keberangkatan, persiapan di rumah anaknya biasa-biasa saja. Tak ada
yang istimewa. Suasana sedikit ramai dan gaduh karena beberapa keluarga dari
kampung datang ingin melepas kepergian keduanya, syukurlah rumah menjadi ramai
karena jika tidak rumah sang bungsu yang jauh dari jangkauan tetangga akan sepi
meski hari keberangkatan tinggal sehari.
Sebelumnya pada 2 pekan berjalan, si anak
mendapatkan beberapa undangan tasyukuran keberangkatan haji beberapa kerabat
kenalannya di Kota Kupang, ya sekedar do’a mauludan yang mentradisi meski masih
harus di pertanyakan garis sunnahnya. Beberapa orang menanyakan kabar
keberangkatan si bapak dan ibu pada anaknya dan kapan ni ‘baca do’anya?’. Sang
anak memelas, tidak ada acara gituan, hanya ngaji-ngaji saja dan memperbanyak
zikir di kelima waktu sholat sambil menstabilkan intensitas gerak agar
otot-otot kedua orang tua siap bertamasya bersama jutaan ummat di tanah suci. Masih
menumpuk tu undangan tasyakuran di meja kerjanya lantas sang sulung menyela,
‘adinda… ada baiknya kita do’a kecil-kecilan saja juga baik biar sang bapak dan
ibu juga terhibur, bahwa kita turut mendukung keberangkatannya’. Sang adik
cuek, dia memang mantan santri tapi tidak terlalu respek jika itu bukan sunnah,
jika hanya tradisi ya cobalah kita memulai tradisi yang berbeda. Perdebatan
antara kakak beradik sempat terjadi namun akhirnya demi sebuah penguatan dalam
kondisi sang Ibu yang demikian, si bungsu pun mengalah dan dibuatkanlah baca
do’a kecil-kecilan.
Paginya menjelang malam acara baca do’a di
helatkan di rumah si dosen yang masih dalam tahapan renovasi, para ibu dan
anak-anak perempuannya sudah disibukkan dengan urusan dapur. Ada saja yang
kurang, entah bumbu ataupun garam harus bolak balik ke pasar dan kios agar
sempurna hidangan malam nanti disantap para hadirin. Dalam intensitas padatnya
kegiatan kadang tensi kesabaran tidak terkendali hingga bisa terjadi salipan
emosi antar sesama petugas rumahan, dan itu yang tidak diinginkan oleh si
bungsu. Jika ingin memberikan penguatan spiritual sekaligus penghiburan
sebaiknya membuat suasana yang penuh canda tawa dan khusu’kan bersujud
menengadah di sela sholat, bukan sibuk ngurusi piring dan sendok hingga kadang
si bungsu berkecut dahi. Ah, sudahlah ini tradisi penghiburan sekaligus
penguatan bagi sang calon haji. Sisi lainnya para keluarga juga berdoa bersama
agar diberikan kekuatan menjalani ibadah, semoga sang bapak dan istrinya
terhibur hingga kembalinya dari tanah suci dalam lindungan Allah.
Sorenya menjelang baca doa malam, si bungsu
baru jujur pada sulungnya. Tata, selain itu alasan tadi, ada juga alasan
lainnya hingga keberatan dibuatkan baca doanya. Sang Paman malah pengen do’a
ini dibuat di rumahnya dan ingin sekali sang Paman yang juga adik kandung dari
si Ibu agar kakaknya yang hanya putus SMP itu berangkat ke tanah suci harus
keluar dari rumahnya. Ya, kebetulan rombong hajinya dari Kupang, bukan dari
Lembata sehingga Paman menawarkan agar seluruh rangkaian acara keberangkatan
dihelatkan disana. Sebenarnya tidak masalah dan sah-sah saja karena kebetulan
si Paman yang dituakan di rantauan tapi si bungsu kukuh karena ini ritual
keagamaan harus di pilah dengan ritual tradisi adat. Olehnya sekalian saja
tradisi itu coba dienyahkan yang penting substansi penghiburan dan doa harap
penyertaan di cetuskan.
Sang Paman yang juga satu-satunya guru besar [Profesor]
komunikasi di NTT dengan lebih dari 20an buku telah ditulisnya, berharap
tradisi itu ingin terjadi di rumahnya. Bagi pembaca mungkin anggap biasa saja,
si adik ingin tunjukan rasa sayangnya pada sang kaka [si Ibu] namun ‘mungkin’
bagi si Paman, inilah kesempatan Komunikasi Lintas Budaya yang ada dalam
beberapa bukunya itu diempiriskan. Beliau selain ingin membuktikan rasa
sayangnya pada si kaka dan iparnya, bisa juga ingin tunjukan pada yang lain
bahwa inilah cara berkomunikasi lintas agama dalam lingkar satu budaya
bertalikan darah. YA,… BUDAYA MENJELANG DAN SESUDAH BERHAJI. Sayangnya seluruh
niat baiknya terurungkan hanya karena prinsip si bungsu yang kukuh tak perlu
ada acara-acaraan, biarkan berjalan alami seperti kisah Ibrahim AS mengajak
Ismail AS mengunjungi Makkah. Sucinya tanah suci harus dimulai dari sucinya
hati para calon haji menjelang keberangkatan, sesuci hati yang saling mengasihi
dan tanpa iri dengki dalam keluarga, sesuci kasih sayang para ibu pada anak-anak
mereka yang ditinggalkan, sesuci hati Siti Hajar yang ikhlaskan anaknya untuk
di Qurbankan. Ah, perdebatan disudahi dan malam pun tetap berlangsung baca do’a
dalam lingkaran keluarga terdekat. Sang Paman sempatkan hadir meski waktu sudah
larut karena berbagai kesibukan akademis dan sosialnya diluar sana. Terima
kasih Paman, ponakan memohon maaf atas kelancangan ini. Jika dalam tradisi
adatnya, si ponakan [sang anak] sudah kena pinalti dari Sang Paman karena
menantang tapi sesama kaum pemikir harus rasional bertindak dan itulah yang
diajarkan sang Paman; BOLEH SALAH TAPI TIDAK BOLEH BOHONG.
Satu hal yang mungkin para pembaca harus
ketahui, si bungsu sadar bahwa ini adalah rangkaian ritual agama sehingga
berbagai atribut dan instrument harus di prakondisikan untuk lebih khusu’
menjalaninya. Soal kenyamanan sang bapak dan sang ibu menjalani rangkaian
sehingga instrument peribadatan itu disiapkan secara saksama dalam kondisi yang
tidak ada rasa kekakuan atau pun keraguan. Secara kebetulan sang Paman yang
professor dan penulis terkenal itu adalah Ketua Sinode di salah satu Gereja
Katholik terbesar di Kupang, tentunya dalam konteks sosiologis budaya adalah
sisi yang sangat positif namun ada sisi lain dalam kekhusu’an beribadah mungkin
masih ada ganjalan yang tidak dapat diungkapkan sehingga sang bapak dan si
ibupun keberatan untuk dibuatkan di rumah adiknya. Inilah sisi lain sang
Profesor ingin mengajarkan kepada semuanya bahwa BERHAJI bukan sekedar ritual
PERIBADATAN VERTIKAL namun juga wahana berinteraksi social agar hubungan
horizontal sang calon haji juga dinikmati oleh komunitas sosialnya. Bahwa sang
kakak [dari Profesor] yang kebetulan muallaf akan berhaji, berbeda keyakinan
spiritual dengannya namun pertalian gen dan darah tidak terpisahkan oleh
keyakinan mereka, maka rasa ber-hak juga dimiliki sang Paman. Bukan hanya sang
Paman, semua keluarga yang Nasrani di kampung dan dimanapun, mereka juga merasa
memiliki si Ibu yang tak tamat bersekolah … Tata Agus, Mama Agus, Oma Agus; ya
Fatmawati [AGUSTINA] Liliweri, itulah sapaan pada si Tukang Roti oleh keluarga
dekatnya.
Hari keberangkatanpun tiba, hiruk pikik
suasana rumah dari paginya sudah terlihat. Janji berkumpul pagi bersama
rombongan pun di batalkan, si bungsu lebih memilih mengistirahatkan kedua orang
tuanya agar lebih nyaman dan fress dalam penerbangan siang nanti. Bukan soal
gugup tak bisa memasang sabuk pengaman yang akan dialami sang ibu dan dinginnya
ruang cabin pesawat yang dirisaukan sang bapak namun gemuruh suasana para
pengantar selama perjalanan berombongan yang akan melelahkan bathin keduanya.
Olehnya si anak memilih mengantar langsung ke Bandar yang jaraknya tak seberapa
jauh dari rumah, semoga membuat keduanya lebih nyaman karena suasananya
biasa-biasa saja tidak seperti rumah lain yang juga sedang melepas kepergian
calon haji [hanya beberapa literan
airmata.. hahaha]. Tiba di Bandara El Tari, hampir tak ada rongga antar
manusia karena sedemikian padatnya para pengantar jama’ah. Al hasil, si bungsu
pun ikhlas melepas kepergian kedua orang tuanya tanpa harus berpamitan, tak ada
cium tangan dan labaian tangan. Rombongan pengantar pun bergegas pulang selepas
keduanya ada diruang tunggu bandara, sang Paman dan Bibi baru datang dan
memaksa bertemu kedua calon haji. Siang itu si professor terpaksa menerobos
blockade petugas bandara hanya ingin memeluk si Ibu, kakaknya yang menggantikan
ibu mereka sejak professor masih kecil. Semoga pelukan adik professor yang juga
ex-frater bisa membuatnya kuat dalam perjalanan dan khusu’ menjalani semua
ritual.
Sempat transit 2 hari di Surabaya, masih
aktif telpon-telponan saling mengabari dengan berbagai keluh kesah dan cerita
lucu penuh hikmah. Dari si ibu yang di tinggali bapak karena sibuk sebagai
ketua rombongan, hingga jaket si bapak yang tertinggal di Kupang. Kabar masih
di kirimkan via bantuan jaringan telkomsel, akhirnya pesawat ke tanah suci
menghantarkan mereka tiba disana dan kabarpun kabur hingga tulisan ini dimuat.
Sekali saja di hari ketiga sms dari si bapak masuk ke hp si bungsu, minta
dibelikan pulsa dan si bungsu berpesan sebelum dikirimkan pulsa, “Bapak dan
Mama konsen saja ibadahnya, kabari jika ada sesuatu yang urgen dan darurat.
Kami doakan semoga lancar ibadahnya”. Sejak itu, belum ada lagi ada kabar dari
keduanya, bahkan kemarin dan besok adalah hari ulang tahun keduanya. Ucapan
telah di lantunkan via SMS dan WA tapi belum juga ada kabarnya, Ya Allah …
berikanlah hidayah dan kuasa-Mu yang menjadi hak keduanya pada momentum ini,
yang kebetulan keduanya ada di Baitullah. Semoga berkah semua ikhtiarnya…
SELAMAT ULANG TAHUN ke-69 buat Ayahan dan ke-62 buat Ibunda tercinta yang di
tanah suci.
Bersambung
ke Part-3