HAJI,
KESEMPURNAAN IMAN
Tukang Roti Naik Haji, sebuah Cerpen ringan
[Part 1]
“Ngajinya
cukup dulu ya, Nene Ibu mau ramas adonan dulu. Jangan lupa besok datang lebih
sedu ya”, demikian pekikan si ustadzah guru ngaji dibalik sekat dapurnya
hingga anak mengajipun membubarkan diri seketika setelah menyalami dan menciup
tangan ustadzah yang sudah penuh dengan adonan terigu. Demikian kesibukan si
ibu renta berbobot 95Kg kala magrib menjemput di sebuah perkampungan
transmigrasi lokal Kabupaten Lembata. Daster lusuh kiriman menantunya yang di tanah
keresidenan Solo sudah hampir setahun selalu rutin membalut gumpalan lemak di
badan yang kian membengkak. Sesekali diganti daster lainnya yang dari Kupang
berkombinasi penutup kepala dari menantu yang di Lamahora untuk menyembunyikan
kriting rambut yang kian memutih. Si Ibu yang tak beralas kaki masih lincah
melintasi setiap bilik rumahnya yang berukuran sedang untuk mencari bibit roti
dan sisa terigu hasil ngutang di toko Ako Ming Lewoleba.
Sejenak suasana menjelang magrib tampak
hening, dari kejauahan terdengar suara sang muazin kumandangkan azan magrib. Suara
itu tak lain adalah sang suami tercinta yang hampir 42 tahun setia menemaninya.
Sang Bapak yang berjenggot putih panjang rupanya bertugas sebagai Imam, muazin
sekaligus ma’mum di surau dekat rumahnya karena hanya magrib seorang diri
sehingga harus pula memecah keheningan senja dengan kumandangan azan. Suaranya
sedikit gemetar tak berirama seperti lontai langkah kakinya yang kian redup
menjalani kehidupan, azan sengaja dijadikan cara untuk menyudahi aktifitas
duniawi penghuni kompleks perumahan namun tak ada satu pun datang menemani
magribnya.
Selepas magrib, si bapak masih lanjut
tertegun dibelakang mihrab mendengungkan lafadz kalimatullah. Seakan memohon pada Allah untuk diberikan ma’mum yang
banyak agar ada teman nya diskusi melanjutkan rencana rehabilitasi suraunya
menjadi masjid. Penduduk desa yang sebagian besarnya adalah nelayan, mereka
masih asyik menikmati kopi sambil menyiapkan perbekalan untuk kembali melaut
malam itu. Dan waktu isya pun tiba, si Bapak masih menyendiri bergegas
menunaikan 4 raka’at isya-nya. Selapas salam bapak pun segera membereskan
perlengkapa, memadamkan lampu dan menutup rapat pintu masjid untuk pergi
kembali menemui sang kekasih hati, ustadzah Fatma. Namun belum juga sampai di
rumah, sang Bapak disambangi salah satu penduduk yang mengajaknya pergi
menengok anaknya yang tengah sakit tak terdeteksi. Maklum, si Bapak juga mantan
guru yang dibekali keahlian mantri serta kelebihan non-medis dengan beberapa
mantra ayat al Qur’an. Si Bapak pun nurut karena keibaan meski keahlian lamanya
sebagai mantri pernah membuatnya nyaris tersekap dibalik jeruji besi namun
mantra-nya semakin sakti maka kadang penduduknya menyapa Mbah Dukun.
Waktu isya berlalu hingga senyap menjemput
malam dalam kegelapan kampong mukiman kaum urbanis, penduduknya tergolong
kelompok rural yang dipaksakan lebih moderat namun tetap saja paradigmanya
tradisional. Pembauran budaya Lamaholot, Bajo, Kedang dan beberapa komunitas
etnis kecil lainnya dalam kawasan pemukiman migran seakan lengkap menjemput
perubahan namun tetap saja perilaku masyarakatnya masih bersahabat sebagaimana
kala Si Bapak bertugas dahulu akhir tahun 1978-an. Si Bapak sempat menjadi guru
bantu di SDN Waijarang hingga tugas menjemput dan beberapa kali berpindah ke
seputaran wilayah Kabupaten Flotim [kala itu; sekarang Lembata]. Muridnya yang
dulu bengal kini tengah meminang anak bahkan ada yang sedang menanti cucu
hingga kerentaannya menyaingi sang guru yang di akhir masa pensiunnya kembali
ke kampung asal bertugas sebagai Kepala Sekolah. Kini Si Bapak Akhmad telah
mengemban amanah baru sebagai imam masjid di pemukiman Waijarang sekaligus
dipercayakan sebagai Ketua BPD Desa Waijarang. Entah apa yang membuatnya
kembali menikmati masa senjanya di kampung Waijarang, mungkin inilah yang
dikatakan proses penakdiran.
Si Bapak dan istrinya yang seorang muallaf,
telah menjalani lama proses berumah tangga hingga dikaruniai 4 anak kandung,
seorang anak tiri dan dua orang anak piaraan yang diasuh sejak lahir. Selapas
Bapak meninggalkan Waijarang dan pindah ke Dolulolong [Desa di Lembata
sekarang], si Ibu melahirkan 2 orang putra dan seorang putrid hingga melengkapi
sang putra sulung yang dilahirkan di akhir masa abdi tahap I bersama komunitas
Bajo di Waijarang. Sang Bapak juga dikaruinai seorang anak dari istri keduanya,
tetap akur dan damai dalam perdebatan regulasi sebagai abdi Negara namun itu
dijalaninya bersama. Hingga hadirlah seorang anak perempuan yatim yang kini
tengah menyiapkan diri untuk berwisuda di UMK Kupang, masih tetap seperti dulu
si Bapak dengan letihnya masih menyisihkan hasil keringatnya untuk si Yatim
meski telah berkeluarga. Si Bapak juga masih bertanggung jawab atas anak Yatim
kedua di tempat tugas lamanya setelah Dolulolong yaitu Tanawerang, kini juga
telah berada pada akhir masa studi keserjanaan. Kedua anak piaranya nyaris tak
memposisikan si Bapak dan si Ibu sebagai orang tua asuh sesusu namun lebih
disayang melebihi anak kandungnya yang kini juga menjadi pendidik.
Si Bapak memang multi talenta, menjadi tukang
batu-kayu-besi bahkan tukang jahit dan suntik. Berkebun, mengembala kambing dan
memelihara ayam masih menjadi rutinitas keseharian si Bapak kala kesenjangan
hari. Sementara si Ibu masih setia pada adonan roti beserta ragam makanan
lainnya yang disediakan bagi jajanan sekolahan, itu cukup menguras waktu dan
tenaga hingga kadang jatuh sakit. Iya, itu kenikmatan tiada taranya kala senja
menjemput mereka berdua masih setia menua sambil menatap jejeran foto sarjana
semua anak-anaknya. Kadang beberapa cucu di Lewoleba menemani kesehariannya,
sekedar mengalihkan kesibukan lain pada rutinitas diatas. Keduanya sudah
berulang kali diingatkan untuk istirahat saja karena anak-anaknya sudah menikah
bahkan sukses dengan ragam masa depannya namun tetap saja si Bapak dan si Ibu
tetap bekerja. Hingga kini mereka masih seperti dulu.
Kembali bercerita tentang malam itu, si Bapak
kembali ke rumah dan ibu telah setia dengan segelas kopi hitam panas. Rupanya
sudah ada tamu menunggu di rumah, ada bapak-bapak beserta istri dari kampung
sebelah datang bersilaturahmi sambil membawa sebotol air mineral untuk
diberikan air do’a pada anak mereka yang kecelakaan motor siang tadi. Si Bapak
belum sempat menyedot kopinya dan langsung melayani ‘pasien’ nya, kemudian
sedikit basa basi bercerita hingga larut menjemput. Lelah hari itu dan mereka
berduapun menuju peraduan untuk berselancar menjajaki senyam malam
perkampungan. Baru saja si Bapak beranjak ke kamar tidur, si Ibu sudah
mendengkurkan ngoroknya pertanda betapa lelahnya hari ini, sekejab telpon
genggamnya bordering. Sebuah panggilan dari anaknya yang sedang menyelesaikan
studi doktoralnya di Malang, sang Dosen menyapa salam dan sedikit basa basi
menanyakan kabar. “Baik anak, sehat anak, semuanya Alhamdulillah senantiasa
dirahmati Allah. Kalian baik-baiklah di rantau”, begitu nasihat si Bapak.
Sang Dosen ingin mendengarkan keluh kesah
ibunya hari ini namun sayangnya sudah ada disinggasana mimpi, di balik telepon
terdengar keras suara dengkuran ibu. “Bapak, tolong bangunkan Mama. Ini ada
sesuatu yang ingin ananda sampaikan bersamaan pada Bapak dan Mama”, begitu
permintaan sang anak yang dosen. Ibu pun bangun tertatih menuju ruang keluarga
yang sudah padam pijarnya, “eeee Amo, narabone?” sapa si Ibu dalam bahasa
Kedang. “Bapak dan Mama, begini… [suara
tertatih nyaris menangis] setelah ini tolong sholat sunnah diakhiri dengan
sujud syukur. Niatkan untuk mensyukuri nikmat Allah atas segalanya.
Alhamdulillah Mama dan Bapak di undang Allah untuk memenuhi panggilannya ke
tanah suci, izinkan ananda menyapa Bapak dan Mama sebagai Aba Haji dan Ibu
Hajjah”. Demikian suara pelan dan khas si anak mengabari, sontak airmata si Ibu
pun mengalir membanjiri lempem pipinya dan si Bapak langsung bertanya mengapa?.
Spiker diaktifkan dan sang anak menyapa, “Assalamu’alaikum Pak Haji Akhmad”.
Bapak reflex dan sujud syukur. Alhamdulillah Mama dan Bapak di undang ke tanah
suci untuk menyempurnakan imannya. Berhaji bagi yang mampu adalah rukun iman
kelima dari lima rukun Islam yang diajarkan.
Hari-hari berikutnya dengan kegembiraan
bersiap menyambut datangnya jadwal dan lima tahun masa menunggu telah
terlewati, kini saatnya menyiapkan lahir dan bathin untuk kesempurnaan iman
berkunjung ke tanah suci. Allahu akbar, subhanallah wal hamdulillah. Si
ustadzah yang cerewet dan si Bapak yang hanya memutih jenggot panjangnya kini
tengah bergabung bersama kloter 66 Embarkasi Surabaya sebagai jama’ah haji pada
musim haji 1438 H. Semoga nikmat menjalani kesempurnaan iman, diberikan
kekuatan untuk menyandang haji mabrur dan selamat kembali menjadi pewarta
kebajikan bagi seisi alam. Engkau guru dan engkau pengabdi, jadilah hamba yang
senantiasa tawaddu’, bersahaja dan sederhana sebagaimana yang engkau teladani
pada anak cucu kalian berdua. Selamat berhaji Bapak dan Mama, do’akan kami pun
menyusul pada undangan selanjutnya.
[Part 1;
Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar