Jumat, 01 September 2017

BERHAJI, KESEMPURNAAN IMAN



HAJI, KESEMPURNAAN IMAN
Tukang Roti Naik Haji, sebuah Cerpen ringan
[Part 1]
Ngajinya cukup dulu ya, Nene Ibu mau ramas adonan dulu. Jangan lupa besok datang lebih sedu ya”, demikian pekikan si ustadzah guru ngaji dibalik sekat dapurnya hingga anak mengajipun membubarkan diri seketika setelah menyalami dan menciup tangan ustadzah yang sudah penuh dengan adonan terigu. Demikian kesibukan si ibu renta berbobot 95Kg kala magrib menjemput di sebuah perkampungan transmigrasi lokal Kabupaten Lembata. Daster lusuh kiriman menantunya yang di tanah keresidenan Solo sudah hampir setahun selalu rutin membalut gumpalan lemak di badan yang kian membengkak. Sesekali diganti daster lainnya yang dari Kupang berkombinasi penutup kepala dari menantu yang di Lamahora untuk menyembunyikan kriting rambut yang kian memutih. Si Ibu yang tak beralas kaki masih lincah melintasi setiap bilik rumahnya yang berukuran sedang untuk mencari bibit roti dan sisa terigu hasil ngutang di toko Ako Ming Lewoleba.
Sejenak suasana menjelang magrib tampak hening, dari kejauahan terdengar suara sang muazin kumandangkan azan magrib. Suara itu tak lain adalah sang suami tercinta yang hampir 42 tahun setia menemaninya. Sang Bapak yang berjenggot putih panjang rupanya bertugas sebagai Imam, muazin sekaligus ma’mum di surau dekat rumahnya karena hanya magrib seorang diri sehingga harus pula memecah keheningan senja dengan kumandangan azan. Suaranya sedikit gemetar tak berirama seperti lontai langkah kakinya yang kian redup menjalani kehidupan, azan sengaja dijadikan cara untuk menyudahi aktifitas duniawi penghuni kompleks perumahan namun tak ada satu pun datang menemani magribnya.
Selepas magrib, si bapak masih lanjut tertegun dibelakang mihrab mendengungkan lafadz kalimatullah. Seakan memohon pada Allah untuk diberikan ma’mum yang banyak agar ada teman nya diskusi melanjutkan rencana rehabilitasi suraunya menjadi masjid. Penduduk desa yang sebagian besarnya adalah nelayan, mereka masih asyik menikmati kopi sambil menyiapkan perbekalan untuk kembali melaut malam itu. Dan waktu isya pun tiba, si Bapak masih menyendiri bergegas menunaikan 4 raka’at isya-nya. Selapas salam bapak pun segera membereskan perlengkapa, memadamkan lampu dan menutup rapat pintu masjid untuk pergi kembali menemui sang kekasih hati, ustadzah Fatma. Namun belum juga sampai di rumah, sang Bapak disambangi salah satu penduduk yang mengajaknya pergi menengok anaknya yang tengah sakit tak terdeteksi. Maklum, si Bapak juga mantan guru yang dibekali keahlian mantri serta kelebihan non-medis dengan beberapa mantra ayat al Qur’an. Si Bapak pun nurut karena keibaan meski keahlian lamanya sebagai mantri pernah membuatnya nyaris tersekap dibalik jeruji besi namun mantra-nya semakin sakti maka kadang penduduknya menyapa Mbah Dukun.
Waktu isya berlalu hingga senyap menjemput malam dalam kegelapan kampong mukiman kaum urbanis, penduduknya tergolong kelompok rural yang dipaksakan lebih moderat namun tetap saja paradigmanya tradisional. Pembauran budaya Lamaholot, Bajo, Kedang dan beberapa komunitas etnis kecil lainnya dalam kawasan pemukiman migran seakan lengkap menjemput perubahan namun tetap saja perilaku masyarakatnya masih bersahabat sebagaimana kala Si Bapak bertugas dahulu akhir tahun 1978-an. Si Bapak sempat menjadi guru bantu di SDN Waijarang hingga tugas menjemput dan beberapa kali berpindah ke seputaran wilayah Kabupaten Flotim [kala itu; sekarang Lembata]. Muridnya yang dulu bengal kini tengah meminang anak bahkan ada yang sedang menanti cucu hingga kerentaannya menyaingi sang guru yang di akhir masa pensiunnya kembali ke kampung asal bertugas sebagai Kepala Sekolah. Kini Si Bapak Akhmad telah mengemban amanah baru sebagai imam masjid di pemukiman Waijarang sekaligus dipercayakan sebagai Ketua BPD Desa Waijarang. Entah apa yang membuatnya kembali menikmati masa senjanya di kampung Waijarang, mungkin inilah yang dikatakan proses penakdiran.
Si Bapak dan istrinya yang seorang muallaf, telah menjalani lama proses berumah tangga hingga dikaruniai 4 anak kandung, seorang anak tiri dan dua orang anak piaraan yang diasuh sejak lahir. Selapas Bapak meninggalkan Waijarang dan pindah ke Dolulolong [Desa di Lembata sekarang], si Ibu melahirkan 2 orang putra dan seorang putrid hingga melengkapi sang putra sulung yang dilahirkan di akhir masa abdi tahap I bersama komunitas Bajo di Waijarang. Sang Bapak juga dikaruinai seorang anak dari istri keduanya, tetap akur dan damai dalam perdebatan regulasi sebagai abdi Negara namun itu dijalaninya bersama. Hingga hadirlah seorang anak perempuan yatim yang kini tengah menyiapkan diri untuk berwisuda di UMK Kupang, masih tetap seperti dulu si Bapak dengan letihnya masih menyisihkan hasil keringatnya untuk si Yatim meski telah berkeluarga. Si Bapak juga masih bertanggung jawab atas anak Yatim kedua di tempat tugas lamanya setelah Dolulolong yaitu Tanawerang, kini juga telah berada pada akhir masa studi keserjanaan. Kedua anak piaranya nyaris tak memposisikan si Bapak dan si Ibu sebagai orang tua asuh sesusu namun lebih disayang melebihi anak kandungnya yang kini juga menjadi pendidik.
Si Bapak memang multi talenta, menjadi tukang batu-kayu-besi bahkan tukang jahit dan suntik. Berkebun, mengembala kambing dan memelihara ayam masih menjadi rutinitas keseharian si Bapak kala kesenjangan hari. Sementara si Ibu masih setia pada adonan roti beserta ragam makanan lainnya yang disediakan bagi jajanan sekolahan, itu cukup menguras waktu dan tenaga hingga kadang jatuh sakit. Iya, itu kenikmatan tiada taranya kala senja menjemput mereka berdua masih setia menua sambil menatap jejeran foto sarjana semua anak-anaknya. Kadang beberapa cucu di Lewoleba menemani kesehariannya, sekedar mengalihkan kesibukan lain pada rutinitas diatas. Keduanya sudah berulang kali diingatkan untuk istirahat saja karena anak-anaknya sudah menikah bahkan sukses dengan ragam masa depannya namun tetap saja si Bapak dan si Ibu tetap bekerja. Hingga kini mereka masih seperti dulu.
Kembali bercerita tentang malam itu, si Bapak kembali ke rumah dan ibu telah setia dengan segelas kopi hitam panas. Rupanya sudah ada tamu menunggu di rumah, ada bapak-bapak beserta istri dari kampung sebelah datang bersilaturahmi sambil membawa sebotol air mineral untuk diberikan air do’a pada anak mereka yang kecelakaan motor siang tadi. Si Bapak belum sempat menyedot kopinya dan langsung melayani ‘pasien’ nya, kemudian sedikit basa basi bercerita hingga larut menjemput. Lelah hari itu dan mereka berduapun menuju peraduan untuk berselancar menjajaki senyam malam perkampungan. Baru saja si Bapak beranjak ke kamar tidur, si Ibu sudah mendengkurkan ngoroknya pertanda betapa lelahnya hari ini, sekejab telpon genggamnya bordering. Sebuah panggilan dari anaknya yang sedang menyelesaikan studi doktoralnya di Malang, sang Dosen menyapa salam dan sedikit basa basi menanyakan kabar. “Baik anak, sehat anak, semuanya Alhamdulillah senantiasa dirahmati Allah. Kalian baik-baiklah di rantau”, begitu nasihat si Bapak.
Sang Dosen ingin mendengarkan keluh kesah ibunya hari ini namun sayangnya sudah ada disinggasana mimpi, di balik telepon terdengar keras suara dengkuran ibu. “Bapak, tolong bangunkan Mama. Ini ada sesuatu yang ingin ananda sampaikan bersamaan pada Bapak dan Mama”, begitu permintaan sang anak yang dosen. Ibu pun bangun tertatih menuju ruang keluarga yang sudah padam pijarnya, “eeee Amo, narabone?” sapa si Ibu dalam bahasa Kedang. “Bapak dan Mama, begini… [suara tertatih nyaris menangis] setelah ini tolong sholat sunnah diakhiri dengan sujud syukur. Niatkan untuk mensyukuri nikmat Allah atas segalanya. Alhamdulillah Mama dan Bapak di undang Allah untuk memenuhi panggilannya ke tanah suci, izinkan ananda menyapa Bapak dan Mama sebagai Aba Haji dan Ibu Hajjah”. Demikian suara pelan dan khas si anak mengabari, sontak airmata si Ibu pun mengalir membanjiri lempem pipinya dan si Bapak langsung bertanya mengapa?. Spiker diaktifkan dan sang anak menyapa, “Assalamu’alaikum Pak Haji Akhmad”. Bapak reflex dan sujud syukur. Alhamdulillah Mama dan Bapak di undang ke tanah suci untuk menyempurnakan imannya. Berhaji bagi yang mampu adalah rukun iman kelima dari lima rukun Islam yang diajarkan.
Hari-hari berikutnya dengan kegembiraan bersiap menyambut datangnya jadwal dan lima tahun masa menunggu telah terlewati, kini saatnya menyiapkan lahir dan bathin untuk kesempurnaan iman berkunjung ke tanah suci. Allahu akbar, subhanallah wal hamdulillah. Si ustadzah yang cerewet dan si Bapak yang hanya memutih jenggot panjangnya kini tengah bergabung bersama kloter 66 Embarkasi Surabaya sebagai jama’ah haji pada musim haji 1438 H. Semoga nikmat menjalani kesempurnaan iman, diberikan kekuatan untuk menyandang haji mabrur dan selamat kembali menjadi pewarta kebajikan bagi seisi alam. Engkau guru dan engkau pengabdi, jadilah hamba yang senantiasa tawaddu’, bersahaja dan sederhana sebagaimana yang engkau teladani pada anak cucu kalian berdua. Selamat berhaji Bapak dan Mama, do’akan kami pun menyusul pada undangan selanjutnya.
[Part 1; Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar