http://www.kitanusantara.com/2020/06/covid-mewisudai-kita_30.html
Covid Mewisudai Kita
Sekedar membalut kenangan berbagai kisah, foto-foto dimaksud juga sebagai pertanda keterikatan emosi si pemilik rumah dengan sederet kenangan yang pernah terlewati.
Umumnya foto pernikahan si pemilik rumah serta elegansi postur keakuan sang pemiliki, namun ada 1 jenis foto yang lebih membanggakan pemiliki rumah yaitu foto wisuda.
Kala pajangan foto wisuda terpajang di rumah mewah, itu biasa. Pantas saja, mereka orang berada jadi lumrahlah jika mampu menyekolahkan anaknya hingga sarjana.
Foto bertoga dirumah mentereng itu sebagai pertanda kedigdayaan orang-orang berilmu, jika foto itu dicopot atau tak terpajang, maka sekilas kita masih mendapat aura kedigdayaan sosial karena bentuk fisik rumahnya mengangkat derajat nilai si penghuni didalamnya.
Berbeda dengan rumah gubuk, beratapkan pelepah daun lontar, berdinding bambu dan berlantaikan alas tanah. Sipemilik gubuk itu hanya memiliki kebanggaan pada pajangan foto itu, ya foto wisuda itu.
Dia akan bangga dan percaya diri dengan pajangan foto anaknya yang diwisuda di kota. Entalah, si tua renta itu mengerti apa itu wisuda? Entalah bagaimana prosesnya hingga anaknya difoto mengenakan jubah kebesaran yang disebut toga itu. Ternaif, mungkin si orang tua pemiliki rumah gubuk hanya tahu anaknya orang sekolahan. Dia bahkan mungkin tak tahu anaknya itu sarjana ilmu apa, yang dia tahu hanya jubah hitam penyingkap masa kegelapan.
Sekedar apa kesarjanaan saja tak tahu, apalagi mengetahui apa isi dalam kepalanya si anak. Seolah tak kalah saing dengan pemilik rumah mewah, itulah harta termahal yang dia miliki sehingga pantaslah jika memajangnya rapi dideretan foto lusuh bagian depan rumahnya.
Silahkan saja periksa ruang tamu anda, foto apa yang bangga terpajang. Jika ada foto wisudanya berarti kita semirip dengan orang tua saya yang bangga memajang foto anak-anaknya diruang tamu. Pernah saya meminta untuk tidak dipajang namun kata si Bapak, itulah buah keringat yang bisa kami banggakan, itulah bukti jerih payah dari sakit dan deritanya.
Bukan pajangan emas dan berlian, itulah kemilau ilmu pengetahuan yang menerangi masa senja kami. Tak pelak, meskipun anaknya masih pengangguran, itu tetap rapi terpajang sembari berdoa, semoga ilmunya yang tersembunyi dibalik jubah kebesaran itu segera tersingkap dan bermanfaat untuk orang lain. Disitulah kebanggaan datang dan letih terbayarkan.
Foto wisuda itu hanyalah simbol kedigdayaan ilmu pengetahuan yang meretas sekat sosial-ekonomi, dengan foto kesarjanaan itulah peradaban dibangun. Dan orang tua kita bangga anaknya bisa menjadi bagian dari pelaku peradaban.
Kegilaan adalah kebebasan imaginasi, dan masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam zaman renaissance. Tetapi perlahan kegilaan menjadi sesuatu yang asing dan disungkirkan dari kehidupan yang harus dijiwai kelogisan. “Kegilaan ditaklukkan oleh kewarasan” itulah bagian penting Faucault mendeskripsikan tata nilai perkembangan peradaban. Saya bolehlah menambahkan deretan foto wisuda dirumah-rumah itu adalah bagian dari simbol peradaban yang mempengaruhi tatanan nilai dan semangat juang untuk keluar dari kebodohan.
Tak tahu bagaimana kedepannya, asalkan ada simbol yang menguatkan masa depannya, dan disitulah peradaban mulai kuat terbangun.
"Mengutip pendatap Fahroji [2015] dalam bukunya ’Pejuang Gelar’ yang menyoroti lamanya kuliahan, mahalnya biaya kuliah dan realitas banyaknya sarjana yang menjadi pengangguran pasca diwisuda. Fahroji tak banyak bercerita soal wisuda, yang dia soroti adalah bagaimana membayar lunas semua pengorbanan hingga capaian gelar kesarjanaan dengan kiat bisnis kala menghadapi masa pelik pasca wisuda". Wikipedia memaknai graduation sebagai commencement convocation or invocation [dimulainya pertemuan atau doa], karena moment itulah etape kelulusan dari sebuah proses panjang lalu diberikan gelar atas kelulusan proses dimaksud lalu doa dan harapan teruraikan. Selanjutnya apakah kita termasuk kelompok yang just a way of celebrating mediocrity setelah upacara wisuda lantas mencari pelataran elit untuk difoto lalu dipajang diruang tamu ataukah termasuk kelompok yang memajang segenap prestasi dihati kaum pinggiran yang mengharapkan ilmu kita kelak akan berguna? Itu terserah pilihan anda.
Bahkan di Indonesia [kekinian], hanya menamatkan PAUD pun sudah diselenggarakan wisuda lalu berpesta di restoran mewah. Swedia berorientasi pada produk penelitian, namun di Zimbabwe bahkan pada upacaranya melibatkan para pembesar, dan demikian hal-nya di Indonesia. Minimal dalam kesempatan itu ada cermin yang dapat dipantulkan, ada transaksi sumber daya yang ingin dikolaborasikan sehingga ‘para pembesar dan penguasa’ dilibatkan dalam proses upacaranya. Tradisi wisuda ini mulai dikenalkan sejak abad kedua belas oleh universitas pertama di Eropa, upacara dimaksud lalu diberikan lisensi, bergelar [degree] dan kelulusan [graduate yang berasal dari kata gradus]. Kini kita menjadikannya sebagai moment pemberian lisensi kesarjanaan setelah proses panjang perkuliahan itu dilalui.
Seiring perkembangnya, atribut sejenis toga menjadi busana orang romawi berupa sehelai mantel wol tebal yang dianggap sebagai satu-satunya busana yang pantas dikenakan bila berada diluar ruangan. Dan kekinian dimodifikasi seperti jubah sebagai pakaian kebesaran, terlebih makna hitam yang melekat pada toga.
Memang warna hitam sering diidentikan dengan perihal mistis serta kegelapan, dan sebaliknya warna putih sebagai perlambang kecerahan serta keindahan. Makna dibalik hitamnya warna toga menyimbolkan keberhasilan seorang mahasiswa menaklukkan [mengalahkan] kegelapan [kebodohan] dengan ilmu pengetahuan yang diperolehnya selama berkuliah.
Pertanyaannya, apakah para sarjana yang bangga mengenakan toga dan terpajang fotonya diruang tamu itu memiliki kecerdasan hingga menggapai kesuksesan lebih dari seorang Susi Pudjiastuti [Menteri Kelautan dan Perikanan RI 2014-2019] yang hanya bermodalkan ijazah SMP? Bukan hanya Ibu Susi, masih banyak lagi profil orang sukses yang tidak mengandalkan gelar kesarjanaan, silahkan para sarjana menghikmahinya sendiri.
Seremoni memindahkan kuncir tali toga dimaksud menandakan pemanfaatan bagian otak pada manusia. Semulanya sewaktu berkuliah seorang mahasiswa cenderung menggunakan otak kirinya [hard skills] lalu dipindahkan pasca berwisuda agar seorang sarjana mampu juga memanfaatkan otak kanannya untuk urusan soft skills.
Cara pengembangannya melalui penyaluran bakat, hobby maupun karakter seseorang sehingga perpaduan keseimbangan antara soft dan hard kekinian menjadi sebuah tuntutan.
Bila dikampus kita sering menjumpai beberapa teman yang kesehariannya kurang pergaulan dan hanya berteman dengan buku [diistilahkan kutu buku], itulah ciri awalnya. Tapi saya mengamini beberapa teman sejenis itu sebagai bagian dari penyaluran hobinya membaca, dan ingin menguatkan bakatnya sebagai penulis.
Namun jika dalam interaksi sosialnya lemah maka itulah sisi buruk batasan kerja antara otak kiri dan otak kanan. Untuk mendalami bahasan tentang otak kiri dan otak kanan, silahkan menyimak bukunya Daniel H. Pink [2019] yang arasnya mengarah pada kebutuhan generasi masa depan.
Daniel berpendapat bahwa masa depan kini milik orang dengan pemikiran yang sepenuhnya berbeda. Era yang didominasi oleh ‘otak kiri’, dan era informasi yang dihasilkannya, kini telah bergeser ke dunia baru, di mana kemampuan artistik dan holistik ‘otak kanan’-lah yang menentukan siapa yang sukses dan siapa yang gagal.
Kepedulian sosial itu mungkin hanya dibangun dari kebiasaan mengasah nilai dari sebuah interaksi sosial, bukan habis dibaca tapi dilanjutkan dengan diskusi. Tidak habis didiskusi tapi dilanjutkan dengan aksi, dan jiwa itu hanya terbangun melalui gemblengan organisasi.
Teman-teman yang biasa tergolong kutu buku memang malas bergabung dalam sebuah organisasi. Yang dipikirkannya hanyalah cepat wisuda dengan IPK tertinggi mencapai predikat summa cumlaude, dan itulah orang-orang yang hanya pikir akan dirinya sendiri. Dalam berbagai diskusi dengan aktifis mahasiswa, saya mengkritisi kebijakan kampus yang membatasi ruang gerak mahasiswa untuk terlibat dalam organisasi eksternal kampus.
Bahkan ada semacam ancaman jika ada mahasiswa yang demo mengkritisi kebijakan kampusnya, atau kebijakan pemerintah dan lainnya. Sekarang dengan kebijakan Kampus Merdeka oleh Mas Menteri Kemendikbud sekilas hanya berorientasi pada kemampuan mahasiswa memasuki dunia kerja. Saya berharap juga konsep pemagangan yang hanya mengarah pada organisasi profit juga diberikan kesempatan untuk terlibat aktif dalam organisasi kemahasiswaan atau organisasi kepemudaan yang non-profit. Bagian itulah mahasiswa ditantang kemandiriannya, dibentuk jiwa kepedulian sosialnya, digembleng jiwa kepemimpinannya.
Secara kebetulan hari ini kampus saya [Universitas Nusa Cendana] untuk pertama kalinya menyelenggarakan wisuda secara daring [dalam jaringan], dan saya berkesempatan mengikuti prosesinya sebagai Sektetaris Dewan Pengawas BLU Undana. Semulanya mendengar rencana kepanitiaan melaksanakan wisuda secara daring, timbul pasimis sebagian orang karena harus bergeser dari kebiasaan evoria kebahagiaan, tapi saya coba optimis di tengah penerapan New-Norm oleh Undana.
Minimal lingkungan rumah saya yang dikelilingi kos-kosan mahasiswa disekitar kampus dapat terasa nyaman dimalam setelah siangnya wisuda. Itu harapan awal saja karena biasanya selepas wisuda siangnya, wisudawan tak lagi memahami betapa kelam masa depannya sebagaimana makna tali kuncir tadi tapi terlampiaskan dalam atraksi hedonism [pesta dan mabuk-mabukan]. Dugaan itu mendekati kenyataan bahwa malam ini saat sedang menyelesaikan tulisan ini, tak terdengar sedikitpun dentuman bunyi musik disekitar kos-kosan sebagai pertanda adanya pesta wisuda siang tadi. Ya, itu awal yang baik tapi semoga besok kita tidak mendengar berita ada kecelakaan motor yang korbannya adalah sarjana yang baru wisuda kemarin akibat mabuk saat mengendarai motor.
Yang menarik adalah dari pernyataan diatas, ada point penting dari pernyataan itu; [1] kesadaran tanggung jawab dalam menyukseskan pendidikan generasi bangsa, antara institusi pendidikan dan orang tua/wali. Include didalamnya bentukan lingkungan diluar kampus.
Mengapa orang memilih sekolah ke Malang, Jogja, Bandung atau Makassar? Selain kemajuan kampusnya tapi yang paling penting adalah dukungan lingkungan diluar kampus yang membentuk seorang mahasiswa bisa mengelaborasikan otak kiri dan kanan secara bersamaan. [2] Pengorbanan material maupun immaterial, ini saya sambungkan dengan tradisi memajang foto wisuda diruang tamu yang telah terurai di awal. Keringat yang terkucur dan darah yang ditumpahkan para orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya, disertai doa tulus hanya dengan harapan anaknya bisa jadi ‘orang’. Apa makna kata ‘orang’ dalam konteks ini? Orang adalah manusia yang berperi kemanusiaan, adil dan beradab serta bermanfaat untuk nusa dan bangsa. Saya sering guyon pada beberapa teman-teman yang genit menggoda saya terjun ke dunia politik, bahwa menjadi guru itu predikat yang mulia dan memuliakan banyak orang. Kelak seorang guru wafatpun, anak atau bahkan cucunya masih disapa … itu anak guru X. Itulah kemudian mengkonfrontir istilah Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Sementara seorang politisi, silahkan anda mendefinisikannya sendiri.
Kampus sebagai wahana peradaban bangsa yang didalamnya secara struktural dipimpin oleh seorang Rektor [terlepas dari wacana rencana profesionalis manajemen struktural di kampus yang akan dilelang terbuka], realitasnya Rektor adalah simbol kemuliaan ilmuwan.
Lantas mendelegasikan otoritas kemuliaan itu kepada orang tua wali pada saat pengukuhan gelar kesarjanaannya. Siapapun yang pernah merasakan hikmatnya diwisuda, bagian inilah moment paling membanggakan. Saat tali kuncir dipindahkan.
Moment ini perlambang seorang anak manusia telah berpindah dari masa kegelapan menuju masa yang terang benderang, dan itu dihantarkan langsung oleh orang tua wali.
Sisi inilah makna perubahan kebiasaan [NewNorm] akibat adanya Covid-19 sehingga otoritas ini dipercayakan kepada orang tua wali.
Dan menurut saya, itulah pilihan tepat karena kampus hanyalah sebagai perantara peradaban jika disambungkan dengan konsep belajar merdeka.
Lingkup sosial terkecil dalam hal ini keluarga menjadi tempat dimana seorang anak manusia itu tumbuh dan berkembang mengenal segala bentuk dinamikan keduniaan sehingga pantaslah jika keberhasilan generasi sangat tergantung pada bentukan lingkungan keluarganya.
Karakter dan nilai yang telah terbangun dari rumah dan lingkungan disekitarnya. Olehnya, otoritas kampus itu harus dan pantas didelegasikan kepada seorang Ibu yang mewarisi 70% gen kecerdasan pada anaknya. Saya jadi teringat sebuah penggalan syari lagu rohani yang dinyanyikan kala wisudaku dahulu, ‘di do’a ibu ku dengar namaku disebut. Semoga ini adalah bagian awal yang baik untuk terus tumbuh dan berkembangnya tanggung jawab relasional antara lingkungan keluarga dan lingkungan kampus. Bahwa Covid telah mengukuhkan masa depan generasi cemerlang. Menutup tulisan ini, izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada Rektor Undana beserta jajarannya yang telah menyelaraskan konsep ini. Serta terkhusus, selamat atas diwisudanya wisudawan/I Undana Periode II Tahun 2020 hari ini. Semoga ilmunya berkah dan bermanfaat bagi nusa dan bangsa.